Anda di halaman 1dari 8

Lafadz Dilihat dari Segi Terang dan Kandungan Makna

1. Tarif
Yang disebut dzhohirud dalalah ialah suatu lafadz yang menunjuk kepada makna yang
dikehendaki oleh sighat (bentuk) lafadz itu sendiri. Artinya untuk memahami makna dari lafadz
tersebut tidak tergantung kepada suatu hal dari luar.
Zhahirud dalalah itu ada 4 tingkat:1[4]
Zhahir yang dimaksud dengan zhahir ialah lafadz yang menunjuk kepada suatu makna
yang dikehendaki oleh sighat lafadz itu sendiri.
Tetapi bukanlah makna itu yang dimaksud oleh syaqul kalam dan lafadz itu sendiri masih
dapat di takwilkan di tafsiran dan dapat pula di nasakhkan pada masa Rasulullah SAW, misalnya
firman Tuhan :

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga atau empat. (An-Nisa 3)
Adalah lafadz zhahir, sebab makna yang dikehendaki dan segera dapat dipahamkan dari
lafadz fankihu ma thaaba lakum minan nisai ialah halalnya mengawini wanita-wanita yang
disenangi, akan tetapi kalau kita perhatikan siyaqul kalam (rangkaian pembicaraan) maka bukan
itu yang dimaksud. Maksud yang sebenarnya dari ungkapan itu ialah membatasi jumlah wanita
yang boleh di kawini yaitu 4 orang sekali pegang.
Hukum lafadz zhahir2[5]
Lafadz zhahir itu wajib diamalkan sesuai dengan makna yang dikehendakinya, selama
tidak ada dalil yang menafsirkan, mentawilkan atau menasakhkannya.
Oleh karenanya apabila lafadz zhahir itu :
a) Dalam keadaan mutlaq, maka tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang
mentaqyidkannya (membatasi kemutlakannya).
b) Dalam keadaan umum maka ia tetap dalam keumumannya, selama tidak ada dalil yang
mentakhsiskannya. Jika ada dalil yang mentakhsiskannya, hendaklah diamalkan sesuai dengan
mukhashshisnya.
c) Mempunyai arti haqiqat, hendaklah diartikan menurut arti yang haqiqi itu, selama tidak ada
qorinah yang memaksa untuk dialihkan kepada artinya yang majazi.
d) Pada masa pembinaan hukum syariat yaitu pada zaman Rasulullah SAW lafadz dhahir itu dapat
dinasakh dalalahnya. Artinya hukum yang dipetik dari lafadz dhahir dapat diganti dengan hukum
yang berlawanan, apabila hukum tersebut berkaitan dengan hukum furu (cabang) yang dapat
berubah menurut kemaslahatan.
2. Nash
Lafadz nash ialah lafadz yang menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki baik oleh lafadz
itu sendiri maupun oleh siyaqul kalam dan ia masih dapat ditawilkan, ditafsirkan dan di naskah
dimasa Rasulullah SAW, misalnya firman Tuhan.3[6]

1
2

Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (an-Nisa:
12)
Lafadz washiyatin dan dainin dalam ayat tersebut adalah lafadz nash. Sebab makna
yang dikehendaki oleh sighat lafadz dan oleh siyaqul kalam adalah sama benar, yaitu keharusan
mendahulukan wasiat dan pembayaran hutang dari pada membagikan harta pusaka kepada para
ahli waris.
Dan firman-Nya lagi

Makna yang dikehendaki baik oleh lafadz itu sendiri maupun oleh siyaqul kalam secara
asli ialah perihal batasan seorang laki-laki dalam mengawini wanita hanya sampai empat orang
saja.
Hukum lafadz nash4[7]
a. Ketentuan lafadz nash itu sama dengan ketentuan hukum lafadz zhahir. Yakni wajib di amalkan
menurut madlulnya (dalam hal ini mana yang dikehendaki oleh siyaqul kalam). Selama tidak ada
dalil yang mentakwilkan, menafsirkan atau menasakhnya.
Berdasarkan ketentuan yang prinsip itu apabila lafadz nash tersebut:
1) Dalam keadaan mutlaq, ia tetap dalam kemutlakannya. Selama tidak ada dalil yang
mentaqyidkannya. Jika ada dalil yang mentaqyidkannya maka lafadz yang muqayyadhah yang
diamalkannya. Sebagai contoh lafazh nash mutlaq seperti firman Allah :

Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (an-Nisa:
12)
Wasiat yang harus didahulukan pelaksanaannya adalah mutlak, tidak dibatasi berapa besarnya.
Kemudian kemutlakannya dibatasi tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan oleh sabda
Rasulullah SAW.
2) Bersifat amm. Maka ia tetap dalam arti keumumannya, selama tidak ada dalil yang
mentakhsiskannya. Jika ada dalil yang mentakhsiskannya hendaklah diamalkan
mukhashshishnya.
Contoh lafadz nash amm yang ditakhshiskan seperti firman Tuhan:

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (suci) (alBaqarah : 228)
b. Lafadz nash itu baik diciptakan untuk pengertian umum maupun khusus, harus tetap diartikan
menurut maknanya yang haqiqi, sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa makna yang
dikehendaki oleh lafadz itu adalah makna yang majazi.
Persamaan dan perbedaan antara tawil dengan tafsir.5[8]
Antara tawil dan tafsir terdapat persamaan dan perbedaan, sebagai berikut:

3
4
5

Bahwa masing-masing dari tawil dan tafsir adalah sebagai jalan untuk menjelaskan suatu
maksud dari nash. Lafadz-lafadz yang dapat ditawilkan dan ditafsirkan dari tingkatan lafadz
zhahirud dalalah ialah lafadz zhahir dan lafadz nash, sedang dari tingkatan lafadz khafiyud
dalalah ialah lafadz mujmal, musykil dan khafi
Adapun perbedaan antara tawil dan tafsir ialah bahwa tawil itu menjelaskan maksud
suatu nash dengan dalil dzanni lewat ijtihad para ulama. Oleh karena itu dalalah maksudnya
belum positif. Boleh jadi yang dimaksud makna yang itu atau makna yang lain. Sedang tafsir
adalah menjelaskan makdus suatu nash dengan dalil qathi oleh syari sendiri.
3. Mufassar
Mufassar ialah lafadz yang menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki oleh
shighat lafadz itu sendiri dan siyaqul kalam, tetapi ia tidak dapat ditawilkan dan ditafsirkan
selain oleh syari. Contoh:

Maka deralah mereka delapan puluh kali


Macam-macam mufassar.6[9]
a. Mufassar bidzatih yaitu kejelasan makna yang dikehendaki oleh shighat lafadz dan siyaqul
kalam tanpa memerlukan penjelasan dari luar lafadz itu
b. Mufassar bighairih yaitu kejelasan maknanya di karenakan adanya penjelasan dari nash qathi
yang lain di luar lafadz itu.
Hukum lafadz mufassar
Lafadz mufassar itu wajib diamalkan sesuai dengan dalalahnya yang ditunjuk oleh lafadz
itu sendiri atau sesuai dengan penjelasan dari syari kecuali ada dalil yang sharih yang
menasakhkannya.
4. Muhkam
Lafadz muhkam ialah lafadz yang menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki
oleh sighat lafadz itu dan siyaqul kalam. Akan tetapi ia tidak dapat ditawilkan, ditafsirkan dan di
naskah pada saat Rasulullah SAW masih hidup. Dengan demikian lafadz muhkam itu adalah
lafadz mufassar yang tidak dapat dinasakh.
Macam-macam lafadz muhkam
Lafadz muhkam itu ada dua macam
- Muhkam lidzatih yaitu lafadz muhkam yang tidak dapat dinasakh maknanya
- Muhkam lighairihi yaitu lafadz muhkam yang menurut dzatnya dapat menerima nasakh, akan
tetapi lafadz itu dinukil oleh suatu lafadz lain yang menunjuk kepada kelestariannya.
Hukum lafadz muhkam7[10]
Lafadz muhkam wajib diamalkan secara qathi karena makna lafadz muhkam itu tidak dapat
ditawilkan kepada arti lain di luar lafadznya dan tidak dapat pula di nasakh baik pada zaman
Rasulullah SAW maupun sesudahnya.
B. Khafiyud Dalalah
1. Tarif

6
7

Yang dimaksud dengan khafiyud dalalah ialah lafadz yang penunjukannya kepada makna
yang dikehendaki bukan oleh shighat itu sendiri, akan tetapi karena tergantung kepada sesuatu
dari luar lantaran adanya kekaburan pengertian pada lafadznya.
Kekaburan pengertian itu dapat dihilangkan dengan jalan mengadakan penelitian dan
ijtihad lafadz yang dapat dihilangkan kekaburannya, dengan jalan ini disebut lafadz khafi dan
musykil. Sedang lafadz yang tidak dapat dihilangkan kekaburannya melainkan dengan jalan
mencari penafsirannya dari syari sendiri disebut lafadz mujmal. Dan apabila tidak ada jalan lain
untuk menghilangkan kekaburannya disebut lafadz mutasyabih.
2. Tingkatan lafadz mutasyabih
Para ahli ushul mengklasifikasikan tingkatan lafadz khafiyud dalalah kepada 4 macam.8
[11]
a. Khafi
Lafadz khafi ialah lafadz yang penunjukkannya kepada maknanya adalah jelas, akan
tetapi penerapan maknanya kepada sebagian satuannya terdapat kekaburan yang bukan
disebabkan oleh lafadz itu sendiri.
b. Musykil
Ialah lafadz yang shighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki.
Akan tetapi, harus ada qorinah dari luar agar menjadi jelas apa yang dikehendakinya.
Perbedaan antara lafadz khafi dan musykil ialah bahwa pada lafadz khafi kekaburan
maknanya bukan disebabkan adanya keraguan makna atas sebagian satuannya karena sesuatu
dari luar.
Cara-cara untuk menghilangkan kemusykilan suatu lafadz ialah dengan jalan berijtihad.
c. Mujmal
Mujmal ialah lafadz yang shighatnya sendiri tidak menunjukkan makna yang dikehendaki
dan tidak pula didapati qarnah lafdziyah (tulisan) atau keadaan yang menjelaskannya.
Kekaburan makna lafadz mujmal lantaran perkataan lafadz sendiri, bukan dari luar,
disebabkan ada kaitannya karena :
1) Lafadz itu mustarak yang sulit ditentukan aibnya
2) Makna lafadz-lafadz yang menurut makna lughawi (bahasa) itu dipindah oleh syari kepada
makna yang pantas untuk istilah syariat.
d. Mutasyabih
Mutasyabih ialah lafadz yang shighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang
dikehendakinya dan tidak didapati pula qarinah-qarinah dari luar yang menjelaskannya.
Misalnya huruf-hurus hijaiyah yang dipergunakan sebagai pembukaan dalam beberapa surat alQuran (mafati hussuwar) seperti Alif Lam Mim. Dan ayat-ayat yang menurut lahirnya
menetapkan bahwa Allah itu serupa dengan makhluk. Misalnya mempunyai tangan. Seperti
firman Allah:9[12]

Tangan Allah di atas tangan mereka (al-Fath : 10)


8

Menanggapi ayat mutasyabih semacam itu para ulama ahli kalam terbagi kepada dua
golongan
1) Golongan salaf (terdahulu) mengitiqadkan bahwa Tuhan adalah suci dari sifat-sifat yang tidak
patut baginya. Oleh karena itu, mereka menyerahkan bulat-bulat penawilan ayat mutasyabihat
kepada Allah
2) Golongan Khalaf (terkemudian) mentakwilkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan pemakaian
bahasa.
Atas dasar itulah lafadz jadun dalam ayat tersebut di atas ditawilkan dengan qoidah
(kekuasaan) lafadz ayunina dalam surat Hud : 37 harus di tawilkan dengan bihi ajelani.10
Pengertian Mutlak dan Muqayyad
Mutlak artinya yang terlepas, yang dilepaskan, yang tidak terikat oleh ilmu ushul,
ditijukan kepada : satu perkataan yang menunjukkan kepada dzat sesuatu dengan tidak ada
syarat, sifat atau suatu ketentuan. Misalnya: kata meja, rumah, jalan, kata-kata ini
memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian
makna tertentu yang telah kita pahami,Beberapa pendapat para ualam tentang mutlak dan
muqayyad:
1.
Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu
atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2.
Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap
maudhunya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk
kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
3.
Menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang
memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.[1]
Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu.
Pengertian secara istilah ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang terikat
dengan suatu seperti sifat.
B. Kaidah Mutlak dan Muqayyad
1. Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang
ada dalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi
harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.
Contoh ayat mutlak :
QS. Al-Maidah ayat 3
(3: )
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa
terkecuali, karena lafadz dam(darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain
yang mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah dam (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya
bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.
Ayat Muqayyad:
Surat al-Anam ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu dam (darah) yang
diharamkan.

(145: )
10

Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir.
Lafadz dam (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh
qarinah atau qayid yaitu lafadzmasfuhan (mengalir). Oleh karena itu darah yang diharamkan
menurut ayat ini ialah dam-an masfuhan (darah yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-Anam ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3
adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah bahwa Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang
mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka
pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad. Dengan
demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan
harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-Anam ayat 145.
Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda,
maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad.
Contoh:
a. Ayat mutlaq :
Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:
.(6:) .

Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah
Lafadz yad (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain
yang mengikat lafadz yad(tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan
menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai
siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata
cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai
pergelangan tangan.
b. Ayat Muqayyad:
Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu, yaitu:
(6: )

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku
Lafadz yad (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang
mengikatnya yaitu ilal marafiqi(sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci
tangan harus sampai siku.
Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu
keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat mutlaq
sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad
menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat mutlaq
tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak
bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu yang mengharuskan membasuh
tangan sampai siku. Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan
ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
3. Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya
sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.
Contoh ;

a. Mutlaq
Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada
istrinya.

(3: )
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur.
Lafadz raqabah (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk mutlaq karena
tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar
istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba
sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.
b. Muqayyad
Surat an-Nisa ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan) yang tidak sengaja, yaitu :
(92: )
dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.
Lafadz raqabah (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat
lafadz mukminah (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba
sahaya yang beriman. Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain
kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap
diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq berjalan berdasarkan
kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.
4. Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang
ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang
muqayyad.
Contoh:
a. Mutlaq
Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :
(38: )
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Lafadz yad dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan
tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.
b. Muqayyad
Masalah wudhu yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:
(6: )

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.
Lafadz yad dalam ayat wudhu ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz
ilal marafiqi (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan
sampai siku.
Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz yad. Ayat pertama
berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad. Keduanya mempunyai sebab dan
hukum yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus potong
tangan. Sedangkan yang muqayyad berkenaan masalah wudhu yang mengharuskan membasuh
tangan sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut

yang muqayyad.

Anda mungkin juga menyukai