Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nash al-Qur’an dan as-Sunah menggunakan bahasa Arab. Hukum dari nash tersebut
dapat dipahami secara benar jika memperhatikan tuntutan tata bahasa, cara pengambilan
makna dari arti yang ditunjukkan oleh kata per kata serta susunan kalimat dalam bahasa
Arab.1 Karena itu para pakar Ushhul Fikih Islam mengadakan penelitian tentang Tata Bahasa
Arab, ungkapan dan kosa katanya. Dari hasil penelitian ini ditambah dengan ketetapan para
pakar bahasa dikembangkan menjadi kaidah dan batasan-batasan. Dengan kaidah itu
diharapkan dapat memahami hukum dari nash syara’ dengan pemahaman yang benar, sesuai
dengan pemahaman orang Arab yang mana nash itu diturunkan dengan bahasa mereka. Juga
diharapkan dapat membuka nash yang masih samar, menghilangkan kontradiksi antara nash
yang satu dengan yang lain.2

Kaidah dan batasan bahasa ini dikembangkan dari tata bahasa Arab dtambah
ketetapan oleh ahli bahasa Arab, bukan tinjuan dari segi Agama. Ini merupakan kaidah untuk
memahami ungkapan secara benar. Karena itu juga dapat digunakan juga untuk memahami
materi semua undang-undang yang menggunakan bahasa Arab. Karena materi undang-
undang yang berbahasa Arab adalah seperti nash syara’, yakni keduanya menggunakan
ungkapan berbahasa Arab, tersusun dari kata-kata Arab, dan dibentuk menurut tata Bahasa
Arab. Jadi memahami makna dan hukum dari undang-undang itu harus menggunakan teori
Arab, baik dalam memahami ungkapan, kata-kata maupun bahasanya.

Al-Qur’an seperti undang-undang, undang-undang tidak dapat menjadi hujjah


(argumen) bagi umatnya jika dibuat tidak dengan bahasa mereka, atau cara memahaminya
tidak menurut bahasa di mana undang-undang itu dibuat, sebagaimana firman Allah Swt
dalam surat Ibrahim ayat 4 di bawah ini:

             
       

1
Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2008), h. 118.
2
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), h. 199

1
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya,
supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang
Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. 3” (QS.
Ibrahim: 4)

Untuk itu kemudian dikenal beberapa kaidah yang digunakan untuk memahami teks
al-Qur’an secara tata bahasa Arab dalam mengambil petunjuk nash yang tersirat dalam al-
Qur’an yang salah satunya memahami lafaz dari segi maknanya.

B. Rumusan Masalah

Untuk membatasi pembahasan makalah secara sistematis, maka dibuat rumusan


masalah sebagai berikut :

1. Apa yang di maksud dengan lafaz dari segi makna; zhahir, nash, mufassar dan
muhkam serta contohnya masing-masing?.
2. Bagaimana kedudukan zahir, nash mufassar dan muhkam dalam menetapkan hukum?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui yang di maksud lafaz dari segi makna; zahir, nash, mufassar dan
muhkam serta contohnya masing-masing.
2. Untuk mengetahui kedudukan zahir, nash mufassar dan muhkam dalam menetapkan
hukum.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Lafaz Dari Segi Makna

3
Kementerian Agama RI, al-Qur’anul Karim dan terjemahannya (Depok: Sabiq, 2009), h. 255

2
Dari segi terang dan samarnya makna suatu lafaz para ahli Ushul membagi lafazh
kepada dua bagian yaitu Zhahirud Dalalah (yang jelas dalalahnya) dan Khafiyud Dalalah
(yang samar-samar dalalahnya). Dalam hal ini akan dijelaskan mengenai Zhahirud Dalalah.
Yang disebut Zhahirud Dalalah ialah suatu lafaz yang menunjuk kepada makna yang
dikehendaki oleh sighat (bentuk) lafaz itu sendiri, artinya untuk memahami makna dari lafaz
tersebut tidak bergantung makna dari luar.4

Zhahirud dalalah itu ada empat tingkatan. Jika nash itu mungkin untuk ditakwil, tetapi
yang dimaksud bukan tujuan asal dari susunan katanya maka disebut zhahir. Jika mungkin
untuk ditakwil (memalingkan makna lafal dari lahirnya karena ada dalil), sedangkan yang
dimaksud adalah tujuan asal dari susunan katanya maka disebut nash. Jika nash itu tidak
mungkin ditakwil tetapi hukumnya dapat dinasakh (disalin) maka disebut mufassar. Dan jika
tidak mungkin untuk ditakwil dan hukumnya tidak dapat disalin maka disebut muhkam.5

Untuk lebih memahami secara rinci dari masing-masing makna tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut :

1. Zhahir
Menurut Muhammad Adib Salih, Zahir adalah suatu lafaz yang menunjukkan
suatu makna dengan rumusan lafaz itu sendiri tanpa menunggu qarinah yang ada diluar
lafaz itu sendiri, namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh.6
Sedangkan menurut istilah ahli ushul fikih zahir adalah sesuatu yang maksudnya
ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa membutuhkan faktor luar, bukan tujuan
asal dari susunan katanya dan mungkin untuk ditakwil.7 Makna yang dipahami dari suatu
ucapan tanpa membutuhkan bantuan lain dan ia bukan maksud asal dari susunan katanya,
maka ucapan itu dianggap zhahir. Contohnya firman Allah Swt :

           
  

Dan jika kamu takut tidak berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim
(apabila kamu berkahwin Dengan mereka), maka berkahwinlah Dengan sesiapa Yang
kamu berkenan dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat. (an-Nisa’: 3)
4
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islami ( Bandung: Alma’arif,
1986), h. 268
5
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 231
6
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 153
7
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 232

3
Adalah lafaz zhahir. Sebab makna yang dikehendaki dan segera dapat dipahamkan
dari lafaz “fankihu ma thaba lakum minan-nisa’i...” ialah halalnya mengawani wanita-
wanita yang disenangi, akan tetapi kalau kita perhatikan siyaqul kalam (rangkaian
pembicaraan), maka bukanlah makna itu yang dimaksud. Maksud sebenarnya dari
ungkapan itu ialah membatasi jumlah wanita yang boleh dikawini yaitu 4 orang.
Kemudian firman Allah:

       

Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarang
bagimu maka tinggalkanlah..

Adalah lafaz zhahir. Sebab makna yang dikehendaki dan segera dapat dipahamkan
dari lafaz “fakhudzuhu” ialah kewajiban mentaati perintah Rasulullah Saw. dan dari lafaz
“fantahu” ialah keharusan meninggalkan larangannya. Akan tetapi kalau kita
memperhatikan siyaqul kalam dan mengaitkan dengan ayat yang sebelumnya, tahulah kita
bahwa itu menerangkan bagian harta rampasan yang telah diberikan oleh Rasulullah
kepada para pejuang agar diterimanya, sedang yang tidak dibagikan kepada mereka agar
ditinggalkannya.8

Selanjutnya firman Allah Swt:

    


Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah:
275)
Bermakna zhahir dalam menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Karena
makna itu langsung dapat dipahami dari kata: “Ahalla” dan “Harrama”, tanpa harus
membutuhkan alasan dan hal itu bukan maksud dari susunan ayat. Karena ayat itu
susunan asalnya adalah meniadakan persamaan antara jual beli dan riba sebagai bantahan
kepada orang yang mengat: “Bahwasannya jual beli itu seperti riba,” tidak untuk
menjelaskan kedua hukumnya.
Kemudian firman Allah Swt:

            
 

8
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islami, h. 269

4
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja. (QS. An-Nisa’: 3)

Bermakna jelas dalam memperbolehkan kawin dengan wanita yang halal. Karena
makna inilah yang langsung dipahami dari kata fankihuu maa thaaba lakum minhunna,
dengan tidak membutuhkan alasan. Makna ini bukan menjadi tujuan dari susunan ayat,
karena maksud asalnya adalah membatasi jumlah istri maksimal empat atau hanya satu.

2. Nash

Menurut bahasa nash adalah raf’u asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang
tampak, oleh sebab itu nash ini sering disebut manashahat.9 Definisi nash menurut al
Sarkhasi adalah : lafadz yang mempunyai derajat kejelasan di atas zahir dengan qarinah
yang menyertai lafadz dari mutakallim, ditunjukkan dengan sighat sendiri atas makna
yang dimaksud dalam konteks, mengandung kemungkinan takwil, menerima naskh dan
takhsis.10

Sedangkan Nash menurut istilah ulama Ushul Fikih adalah suatu yang dengan
bentuknya sendiri menunjukkan makna asal yang dimaksud dari susunan katanya dan
mungkin untuk ditakwil. Jika makna itu langsung dipahami dari lafal, pemahamannya
tidak butuh faktor luar dan ia adalah makna asal yang dimaksud dari susunan kata itu,
maka ia dianggap sah. Firman Allah Swt:

      


Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya, atau sesudah dibayar hutangnya (QS.
an-Nisa: 12)

Lafaz “washiyatan” dan “dainin” dalam ayat tersebut adalah lafaz nash. Sebab makna
yang dikehendaki oleh lafaz sighat lafaz dan oleh siyaqul kalam adalah sama benar. Yaitu
keharusan mendahulukan wasiat dan pembayaran hutang dari pada membagikan harta
pusaka kepada para ahli waris.

        

9
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, h. 153
10
Al- Sarkhasi, Ushul Assarkhasi, Jilid 1 (Beirut: Daar Al- Ma’rifah. 1993), h. 164

5
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. (QS.
An-Nisa’: 3)

Makna yang dikehendaki baik oleh lafaz itu sendiri maupun oleh siyaqul kalam secara
asli ialah membatasi jumlah maksimal istri sampai empat. Karena ini adalah makna yang
langsung dipahami dari lafazh dan makna asal yang dimaksud dari susunan katanya.
Qarinah ‫ وثالث ورباع‬datang setelah perintah menikah untuk menunjukkan bahwa maksud
konteks kalam adalah keterangan jumlah yang diizinkan bagi seorang muslim. Maka ayat
ini secara dzahir adalah penghalalan pernikahan dan nash jumlah yang dibolehkan.
Demikianlah qarinah sebagai pembeda antara dzahir dan nash dan sebagai petunjuk
bahwasannya nash itulah yang dimaksud oleh kalam.11

       

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr: 7)

Disebut nash dalam arti kewajiban taat kepada Rasulullah dalam pembagian harta
fai’; diberi atau tidak, karena ia adalah makna yang dimaksud dari susunan katanya.

3. Mufassar
Wahbah Zuhaili mendefinisikan mufassar adalah lafaz yang menunjukkan akan
kejelasan maknanya dari nash dan zhahir dimana tidak membutuhkan dari sisi pentakwilan
atau pengkhususan makna akan tetapi lafaz yang mufassar menerima nasakh.12

Sedangkan menurut istilah ahli ushul fikih, Mufassar adalah nash yang dengan
sendirinya menunjukkan makna secara rinci yang tidak memungkinkan adanya takwil atau
lafal yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas. Antara lain
karena bentuk nash itu dengan sendirinya telah menunjukkan makna secara jelas dan rinci
yang di dalamnya tidak ada lagi kemungkinan diberi makna lain. Sebagaimana firman
Allah Swt:

  

11
Ibid, h. 163
12
Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami (Damaskus Syria: Daar al-Fikr, 1986), h. 321

6
Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya. (QS. at-Taubah: 36)

Kata khaffah (semuanya) meniadakan adanya pengecualiaan. Banyak sekali materi


hukum pidana yang membatasi jumlah hukuman atas tindakan tertentu. Juga materi
undang-undang perdata yang membatasi bermacam-macam tindakan, seperti hutang, hak,
atau yang menjelaskan hukum secara rinci yang tidak mungkin untuk ditakwil. Antara
lain karena bentuk nash itu datang secara global, tidak terinci, kemudian disusul oleh
syari’ dengan penjelasan rinci, pasti, meniadakan keglobalannya, dan memerincinya
sehingga nash yang global itu menjadi terinci dan tidak mungkin ditakwil. 13 Seperti
firman Allah Swt:

   

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat. (Qs. Al-Baqarah: 43)

    

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah. (Qs. Ali Imran: 97)

    


“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-
Baqarah: 275)
Kata shalat, zakat, haji dan riba adalah kata yang global yng mempunyai arti syara’
yang tidak dijelaskan oleh bentuk nash ayat. Tetapi Rasulullah Saw. menjelaskan arti
kata-kata itu dengan perbuatan dan ucapannya.14
Demikian juga setiap kata yang mujmal (global) dalam al-Qur’an, yang dijelaskan
oleh hadits dengan penjelasan yang cukup sehingga menjadi mufassar (jelas/rinci).
Sedangkan perincian itu sendiri bagian dari jumlah sebagai penyempurna selama ia
berupa dalal qath’iy (pasti). Inilah yang dalam ilmu Musthalahul Hadits disebut Tafsir
Tasyri’i, yaitu tafsir yang sumbernya syar’i sendiri. Karena Allah memberikan kekuasaan
kepada Rasulullah untuk memberi penjelasan dan perincian dengan firman-Nya:

       

Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.15 (QS. An-Nahl: 44)
13
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 240
14
Ibid, h. 24
15
Ibid, h. 241

7
Amir Syarifudin mengatakan mufassar ada dua macam:16

a. Mufassar Bidzatih yaitu menurut asalnya, lafaz itu memang sudah jelas dan terinci
sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Seperti firman Allah Swt:
        
 

“Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina)


kemudian mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka delapan puluh kali”. (QS. An-Nisa: 4)

Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh
kali dera, tidak mungkin untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.

b. Mufassar Bighairih yaitu menurut asalnya, lafaz itu belum jelas (ijmal) dan
memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain
yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Lafaz seperti itu juga disebut
dengan mubayyan. Contoh dalam firman Allah Swt:
          
“Orang-orang yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja hendaklah ia
memerdekakan hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada keluarganya”. (QS.
An-Nisa: 92)

Ayat ini menyangkut keharusan menyerahkan diyat kepada keluarga korban tetapi
tidak dijelaskan mengenai jumlah, bentuk dan macam diyat yang harus diserahkan.
Sesudah turun ayat ini datang penjelasan dari Nabi Muhammad Saw dalam sunah
yang merinci keadaan dan cara membayar diyat itu sehingga ayat di atas menjadi
terinci dan jelas artinya.

4. Muhkam

Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul Fiqh mengemukakan pengertian


muhkam yaitu lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud, yang memang
didatangkan untuk makna itu. Lafadz ini jelas pengertiannya, tidak menerima lagi adanya
takwil dan takhsis. Bahkan terkadang disertai dengan ungkapan yang menunjukkan
bahwa lafadz itu tidak menerima adanya nasakh.17

16
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2005), h. 11
17
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 178

8
Sedangkan muhkkam menurut istilah ulama Ushul Fikih adalah sesuatu yang
menunjukkan kepada makna yang dengan sendirinya tidak menerima pembatalan dan
penggantian berdasarkan petunjuk yang jelas, dan sama sekali tidak mengandung takwil.
Ia tidak menerima takwil, yakni diberi makna lain selain lahirnya, karena ia bersifat rinci
dan jelas yang tidak ada peluang untuk takwil. Ia tidak menerima nasakh, baik pada masa
kerasulan, masa kekosongan turunnya wahyu dan atau masa sesudahnya.

Lafaz muhkam tidak dapat dinasakh pada zaman Rasulullah dan apalagi sesudahnya,
lantaran ketentuan yang ditunjuk oleh lafaz muhkam itu adakalanya:18

a. Mengenai hukum asasi yang sudah tidak dapat dirubah, seperti beriman kepada
Allah, rasul-rasul-Nya dan kitab-kitab-Nya.
b. Mengenai induk keutamaan yang tidak berbeda lantaran perbedaan suasana dan
keadaan. Misalnya berbuat bakti kepada kedua orang tua, berlaku adil dam
bersifat jujur.
c. Mengenai hukum syar’i juz’i (hukum cabang) yang ditetapkan oleh syar’i agar
hukum tersebut dilestarikan. Misalnya larangan untuk menerima persaksian orang
yang menuduh zina yang tidak sanggup mengemukakan 4 orang saksi
sebagaimana firman Allah Swt:
    
Dan janganlah kamu menerima persaksian mereka selama-lamanya. (QS. An-
Nur: 4)
dan mellakukan jihad. Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya “jihad itu terus
berjalan sejak Allah mengutus aku sampai dengan ummatku yang terakhir
membunuh Dajjal.”

Lafaz muhkam terbagi ke dalam dua macam yaitu:19

a. Muhkam lidzatih yaitu lafaz muhkam yang tidak dapat dinasakh maknanya.
b. Muhkam lighairih yaitu lafaz muhkam yang menurut dzatnya dapat menerima
nasakh, akan tetapi lafaz itu diikuti oleh lafaz lain yang menunjuk kepada
kelestariannya.
B. Kedudukan Dalam Menetapkan Hukum

18
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islami, h. 280
19
Ibid, h. 281

9
Dalam menetapkan hukum, keempat macam petunjuk yang jelas ini berbeda tingkat
petunjuknya terhadap makna yang dimaksud. Perbedaan ini tampak jelas manakala terjadi
kontradiksi, untuk lebih memahami kedudukan hukumnya masing-masing dijelaskan sebagai
berikut:

1. Zhahir

Hukum lafaz zhahir itu wajib diamalkan petunjuknya atau dilalah-nya sepanjang
tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakhsis atau menasakh. Karena pada dasarnya
tidak ada pembelokan kata dari makna zhahir kecuali ada dalil yang menuntut hal itu.
Artinya hukum zahir itu wajib diamalkan sesuai dengan makna zhahirnya selama tidak
ada dalil yang menuntut untuk diamalkan dengan yang selain zhahir. Jika lafaz itu umum
maka mungkin untuk dibatasi, jika kata itu bermakna hakiki maka mungkin untuk diberi
makna majaz dan bentuk-bentuk takwil yang lain. Zahir mungkin untuk disalin, artinya
bahwa hukum zhahir pada masa Rasulullah Saw. dan masa penetapan syariat dapat
dihapus kemudian diundangkan hukum penggantinya, selama hukum itu termasuk bagian
dari hukum cabang yang dapat berubah demi kemaslahatan dan dapat disalin.20

Oleh karenanya apabila lafaz zhahir itu:21

a. Dalam keadaan mutlak, maka tetap dalam kemutlakannya, selam tidak ada dalil
yang mengtaqyidkannya, diamalkan dalil yang mengtaqyidkannya (membatasi
kemutlakannya).
b. Dalam keadaan umum maka ia tetap dalam keumumannya, selam tidak ada dalil
yang mentakhsiskannya, hendaklah diamalkan sesuai dengan mukhashishnya.
c. Mempunyai arti haqiqat hendaknya diartikan menurut arti yang haqiqi itu, selama
tidak ada qarinah yang memaksa untuk dialihkan kepada artinya yang majazi.
d. Pada masa pembinaan hukum syariat, yaitu pada zaman Rasulullah Saw. Lafaz
zhahir itu dapat dinasakh dalalahnya, artinya hukum yang dipetik dari lafaz zhahir
dapat diganti dengan hukum yang berlainan, apabila huum tersebut berkaitan
dengan hukum furu’ (cabang) yang dapat berubah menurut kemashlahatan.
2. Nash

Hukum nash sama dengan zahir, artinya ia wajib diamalkan sesuai dengan nashnya
sepanjang tidak ada dalil yang mentakwilkan, mentakhsis dan menasakhnya. Nash itu
20
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 234
21
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islami, h. 269-271

10
mungkin untuk ditakwil, artinya yang dikehendaki dapat selain pada nash. Dan ia juga
dapat menerima nasakh. Perbedaan antara zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil,
takhsis atau nasakh pada lafaz nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafaz
zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafaz zhahir dengan lafaz nash ,
maka lafaz nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafaz zhahir pada
lafaz nash.22

Hukum lafaz nash mempunyai beberapa ketentuan. Pertama, ketentuan lafaz nash
itu sama dengan ketentuan hukum lafaz zhahir, yakni wajib diamalkan menurut madlulnya
(dalam hal ini makna yang dikehendaki oleh siyaqul kalam), selama tidak ada dalil yang
yang mentakwilkan, menafsirkan atau menasakhnya. Berdasarkan ketentuan yang prinsip
itu apabila lafaz nash tersebut:

a. Dalam keadaan mutlak, ia tetap dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang
mentaqyidkannya. Jika ada dalil yang mentaqyidkannya maka lafaz yang
muqayyadlah yang diamalkan.
b. Bersifat ‘amm, maka ia tetap dalam arti keumumannya, selama tidak ada dalil yang
mentakhsiskannya, hendaklah diamalkan mukhashisnya.

Kedua, lafaz nash itu baik diciptakan untuk pengertian umum maupun khusus, harus
tetap diartikan menurut maknanya yang hakiki, sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa
makna yang dikehendaki oleh lafaz itu adalah makna yang majazi. jika ada dalil yang
menunjukkan bahwa makna yang dikehendaki itu adalah maknanya yang majazi, maka harus
diartikan kepada makna majazi.23

3. Mufassar

Hukum mufassar harus diamalkan sebagaimana penjelasan terhadapnya, ia tidak


mempunyai kemungkinan untuk dipalingkan dari makna lahirnya. Hukumnya bisa
menerima nasakh (disalin) jika termasuk di dalam hukum az-zhahir, yakni hukum cabang
yang menerima perubahan. Jadi, tafsir yang meniadakan kemungkinan takwil adalah tafsir
yang diambil langsung dari bentuk kalimatnya, atau yang diambil dari penjelasan
(tafsirnya) yang pasti, disamakan dalam bentuknya, dan keluar dari yang disyariatkan itu
sendiri, karena penjelasan ini termasuk undang-undang.24

22
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, h. 155
23
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islami, h. 272-274
24
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 241

11
Sedangkan tafsir dari para peneliti atau para mujtahid tidak dianggap bagian yang
menyempurnakan undang-undang, tidak dapat menghilangkan kemungkinan takwil, dan
selain syari’ sendiri mengenai nash yang mungkin ditakwil tidak berhak untuk mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah ini, bukan lainnya. Artinya hanya syar’i sendiri yang berhak
menafsirkan lafaz mufassar, maka segala penafsiran mujtahid terhadap lafaz mufassar
tidak dapat dipakai.25

4. Muhkam

Hukum muhkam secara pasti wajib diamalkan secara qath’i, tidak mungkin
dibelokkan dari makna lahirnya, atau disalin. Kami mengatakan tidak menerima nasakh
karena setelah masa Rasul dan terputusnya wahyu, semua hukum yang terdapat dalam al-
Qur’an maupun as-Sunah menjadi kokoh dan kuat, tidak menerima nasakh dan
pembatalan. Sebab setelah Rasul tidak ada lagi yang berkuasa menetapkan hukum syara’
yang berhak membatalkan dan merubah apa yang telah beliau bawa.26

Perbedaan zhahir, nash, mufassar dan muhkam adalah kemungkinan takwil, takhsis
atau nasakh pada masing-masing lafaz. Oleh sebab itu jika terjadi kontradiksi atau
pertentangan antara zhahir dan nash, maka yang dimenangkan atau didahulukan adalah nash,
karena ia lebih jelas petunjuknya dilihat dari segi bahwa makna nash itu adalah makna asal
dari susunan katanya. Sedangkan zhahir, maknanya bukan asal yang dimaksud dari susunan
katanya.

Kemudian jika terjadi kontradiksi antara nash dan mufassar, maka mufassar
dimenangkan, karena ia lebih jelas petunjuknya dari pada nash dilihat dari segi bahwa
penjelasan tafsirnya menjadikan mufassar itu tidak mungkin ditakwil dan maksudnya menjadi
tertentu.

Lafaz muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari maksud
asalnya dan tidak boleh dihapus. Oleh sebab itu, dilalah muhkam jauh lebih kuat dari seluruh
macam lafaz. Dengan sendirinya apabila terjadi pertentangan dengan macam lafaz diatas,
maka yang harus didahulukan adalah lafaz muhkam.

25
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islami, h. 280
26
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 242

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengertian dan contoh lafaz zhahir, nash, mufassar dan muhkam adalah sebagai
berikut:
a. Lafaz Zahir adalah sesuatu yang maksudnya ditunjukkan oleh bentuk nash itu
sendiri tanpa membutuhkan faktor luar, bukan tujuan asal dari susunan katanya
dan mungkin untuk ditakwil. Contohnya:

           
  

Dan jika kamu takut tidak berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim
(apabila kamu berkahwin Dengan mereka), maka berkahwinlah Dengan sesiapa
Yang kamu berkenan dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat.
(an-Nisa’: 3)
b. Lafaz Nash adalah suatu yang dengan bentuknya sendiri menunjukkan makna asal
yang dimaksud dari susunan katanya dan mungkin untuk ditakwil. Jika makna itu
langsung dipahami dari lafal, pemahamannya tidak butuh faktor luar dan ia adalah
makna asal yang dimaksud dari susunan kata itu, maka ia dianggap sah.
Contohnya firman Allah Swt:
      
Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya, atau sesudah dibayar hutangnya
(QS. an-Nisa: 12)
c. Lafaz Mufassar adalah nash yang dengan sendirinya menunjukkan makna secara
rinci yang tidak memungkinkan adanya takwil atau lafal yang menunjukkan suatu
hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas. Antara lain karena bentuk nash itu
dengan sendirinya telah menunjukkan makna secara jelas dan rinci yang di
dalamnya tidak ada lagi kemungkinan diberi makna lain. Contohnya firman Allah
Swt:

13
  

Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya. (QS. at-Taubah: 36)


d. Lafaz Muhkam adalah sesuatu yang menunjukkan kepada makna yang dengan
sendirinya tidak menerima pembatalan dan penggantian berdasarkan petunjuk
yang jelas, dan sama sekali tidak mengandung takwil. Contohnya firman Allah
Swt:
    
Dan janganlah kamu menerima persaksian mereka selama-lamanya. (QS. An-
Nur: 4)
2. Kedudukan hukum zhahir, nash, mufassar dan muhkam ia wajib diamalkan sesuai
dengan nashnya sepanjang tidak ada dalil yang mentakwilkan, mentakhsis dan
menasakhnya. Oleh sebab itu jika terjadi kontradiksi atau pertentangan antara zhahir
dan nash, maka yang dimenangkan atau didahulukan adalah nash. Kemudian jika
terjadi kontradiksi antara nash dan mufassar, maka mufassar dimenangkan.
Sedangkan lafaz muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari
maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. apabila terjadi pertentangan dengan macam
lafaz diatas, maka yang harus didahulukan adalah lafaz muhkam.
B. Saran

Makalah ini merupakan cerminan penulis dalam usahanya mempelajari ilmu Ushul
Fikih yang belum penulis pelajari lebih dalam dan detail. Untuk itu kekurangan dan keslahan
dalam penulisan makalah ini besar kemungkinan terjadi di dalamnya sehingga perlu ada
koreksi dan kritik serta saran yang membangun karena hal itu sangat penulis butuhkan dalam
membuat dan menjadikan tulisan ini sebagai tambahan dalam khazanah keilmuan di bidang
Ushul Fikih baik bagi penulis sendiri maupun khalayak umum.

14
DAFTAR PUSTAKA

Al- Sarkhasi. Ushul Assarkhasi, Jilid 1. Beirut: Daar Al- Ma’rifah. 1993

Kementerian Agama RI. al-Qur’anul Karim dan terjemahannya. Depok: Sabiq, 2009

Khallaf Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani, 2003

Syafe’i Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2007

Syarifuddin Amir. Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2005

Yahya Mukhtar dan Fatchur Rahman. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islami. Bandung:
Alma’arif, 1986

Zahroh Muhammad Abu. Ushul Fiqh. Jakarta, Pustaka Firdaus, 2008

Zuhaili Wahbah. Ushul Fiqh al-Islami. Damaskus Syria: Daar al-Fikr, 1986

15

Anda mungkin juga menyukai