Anda di halaman 1dari 7

Dilalah An-Nash

Ahsan Taqwim
Mahasiswa Universitas Islam Internasional Darul Lughah wad Da’wah

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dilalah

Nash adalah raf’u atau munculnya segala sesuatu yang tampak, nash juga sering disebut dengan
munashahat[1] sedangkan Dalalah adalah suatu petunjuk yang menunjukkan kepada yang dimaksudkan
atau memahami sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul yang ditunjuk. Dalam hubungannya
dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua
kalinya disebut dalil yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil
hukum.

Adapun pengertian yang lain Dalalah (‫ )الداللة‬itu sendiri menurut bahasa adalah maksud tertentu. Dan
dalam ilmu Ushul Fiqh dapat ditegaskan bahwa Dalalah adalah pengertian yang ditunjuki oleh suatu
lafadh dengan kata lain petunjuk suatu lafadh kepada makna tertentu. Dalalah atau Dalalah adalah
hubungan antara al-dal dan al-madlul. Al-dal adalah lafadh sedangkan Al-madlul adalah ma’na lafadh. [2]

Contoh : ‫( الصالة‬sholat). ini namanya al-dal. dan madlulnya adalah do’a (ma’na bahasa atau lughawi).
Atau perbuatan yang diakhiri dengan takbir dan diakhiri dengan salam (ma’na istilah). Maka penunjukan
ma’na sholat pada doa atau perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam namanya
Dalalah.

B. Metode Pengambilan Makna Nash

Dalam khazanah literatur ushul fiqh aliran Hanafiyah, disebutkan bahwa dilalat al-alfaz dibedakan
menjadi empat maca, yaitu dilalat al-ibarah, dilalat al-isyarah, dilalat al-nass, dan dilalat al-iqtida’.
Menurut mereka pula, Alquran atau hadis dapat menjadi suatu hukum bisa dengan media lafal dan
adakalanya tidak dengan media lafal.

Dalam penunjukan nash dengan media lafal, terdapat dua kemungkinan yaitu hukum yang ditunjukan
memang dikehendaki oleh konteks nash (siyaq al-nash) atau hukum yang ditunjukan tidak dikehendaki
oleh konteks nash. Penunjukan terhadap hukum yang dikehendaki oleh konteks nash tersebut
dinamakan dilalat al-ibarah atau ibarat ala-nass; sedang penunjukan terhadap hukum yang tidak
dikehendaki oleh konteks nash disebut dilalat al-isyarah atau isyarat al-nass. Selanjutnya, penunjukan
nash yang tidak melalui media lafal juga terdapat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, hukum
yang ditunjukan dapat disimpulkan dari lafal berdasarkan logika kebahasaan; dan penunjukan ini
dinamakan dilalat al-dilalah atau dilalah al-nash. Kemungkinan kedua, hukum yang ditunjukan dapat
disimpulkan dari lafal bedasarkan logika yuridis atau logika rasionalitas; dan penunjukannya ini disebut
dilalat al-iqtida’ atau iqtida’ al-nass.[3] Untuk lebih jelas lagi kami uraikan sebagai berikut:

1.Ungkapan Nash (dilalat al-ibarah)


Yang dimaksud ungkapan nash adalah bentuk kalimat yang tersusun dari kosa kata dan susunan kalimat.
Yang dimaksud dengan pemahaman dari ungkapan nash adalah arti yang langsung dapat dipahami dari
bentuk, dan itulah maksud dari redaksi nash. Jika makna jelas dapat dipahami dari bentuk nash,
sedangkan nash itu disusun untuk menjelaskan dan menetapkannya, maka itu adalah madlul (yang
ditunjukkan) oleh ungkapan nash, dan disebut juga makna harfiyah (menurut kata-kata) nash. Jadi
Dilalah ibarah merupakan petunjuk dari bentuk kata yang langsung dapat dipahami makna yang
dimaksud dari redaksi itu; baik maksud redaksi itu menurut aslinya maupun konsekuensinya[4] bisa juga
diartkan Ma’na yang difahami dari lafazh, baik lafazh tersebut berupa zhahir maupun nash, muhkam
maupun tidak. [5] seperti firman Allah yang berbunyi:

Contoh lain seperti firman Allah Swt :

‫ۚ َو َأَح َّل ُهَّللا اْلَب ْي َع َو َح َّر َم الِّر َب ا‬

Artinya :

Padahal allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-baqarah: 275)

Bentuk nash ini menunjukkan dalalah yang jelas kepada dua makna yang masing-masing merupakan
maksud dari redaksinya; pertama, bahwa jual beli tidak seperti riba, kedua, hukum jual beli adalah halal,
sedangkan riba adalah haram. Keduanya merupakan makna yang dipahami dari ungkapan nash dan
tujuan dari redaksi nash. Hanya saja makna pertama adalah maksud asli dari redaksi, karena ayat
tersebut disusun untuk membantah orang-orang yang mengatakan: sesungguhnya jual beli adalah
seperti riba. Sedangkan makna kedua adalah maksud konsekuensi dari dari redaksi, karna
menghilangkan kesamaan adalah menjelaskan kedua hukum jual beli dan riba sampai ditemukan
perbedaan hukum bahwa keduanya tidak sama. Seandainya orang meringkas arti yang dimaksud dari
redaksi asal nash itu, dia akan berkata “ Tidaklah jual beli itu seperti riba.[6]

Allah Swt. Berfirman:

)3:‫(النساء‬.‫وإن خفثم أال تقسطوا في اليتامى فانكحواما ظاب لكم من النساء مثنى وثالث ورباع فاء ن خفتم أالتعد لوا فواحدة‬

Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, empat
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang orang saja.(QS. An-
nisaa’:3)

Dari nash ini dapat di tarik tiga makna: boleh menikahi perempuan yang baik, membatasi jumlah
maksimal empat orang istri, dan kewajiban untuk beristri seorang saja jika kawatir berbuat aniaya
karena banyak istri. Ketiga makna itu dengan jelas telah ditunjjukkan oleh kata-kata nash dan
dimaksudkan oleh susunan katanya. Hanya saja, pengertian pertama adalah maksud konsekuensi nash
dan pengertian kedua dan ketga adalah maksud assli dari nash, karna ayat itu disusun sesuai dengan
kondisi para penerima wasiat agar membatasi diri; yaitu orang-orang yang enggan menerima wasiat
karena takut berbuat aniaya dalam mengelolah harta anak yatim. Maka allah Swt. Mengingatkan
mereka bahwa takut aniaya juga harus dengan membatasi diri dan membatsi jumlah istri yang tak
terbatas dan tanpa kendali. Sehingga mereka cukup beristri dua, tiga atau empat, dan jika kalian takut
tidak adil ketika beristri lebih dari satu, maka cukuplah satu istri. Membatasi jumlah istri menjadi dua,
tiga, empat atau satu itulah yang wajib atas orang yang takut berbuat aniaya dan itulah maksud asli dari
susunan ayat.

Dari uraian ini muncul makna konsekuensi tentang kebolehan menikah. Kebolehan menikah adalah
maksud konsekuensi, bukan maksud asli, sedangkan maksud aslinya adalah membatasi jumlah istri
sampai empat atau satu. Seandainya orang meringkas petunjuk makna dari susunan ayat itu niscaya
akan berkata, “ jika kalian takut tidak mampu berbuat adil dalam memelihara anak yatim, maka
cukuplah dengan jumlah istri yang tidak lebih dari empat. Dan jika kalian takut tidak adil terhadap
beberapa istri, maka cukuplah satu istri.” [7]

2.Isyarat Nash (dilalat al-isyarah)

Yang dimaksud pemahaman dari isyarat nash adalah makna yang tidak secara tidak langsung dipahami
dari kata-kata dan bukan maksud dari susunan katnya, melainkan makna lazim (biasa) yang sejalan
dengan makna yang langsung dari kata-katanya. Itulah makna kata dengan jalan ketetapan. Karena ia
merupakan makna ketetapan dan bukan makna yang dimaksud dari sususnan kata, makna petunjuk
nashnya dengan isyarat, bukan dengan ungkapan. Bentuk ketetapan itu kadang-kadang nyata dan
kadang-kadang samar. Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa sesuatu yang diisyaratkan oleh
nash kadang-kadang memerlukan penelitian yang mendalam dan pemikiran yang sungguh-sungguh,
kadang-kadang hanya dengan pemikiran yang sekedarnya. Jadi petunjuk isyarat adalah petunjuk nash
tentang makna lazim bagi sesuatu yang dipahami dari ungkapan nash yang bukan dimaksud dari
susunan katanya yang memerlukan pemikiran mendalam atau sekedarnya tergantung bentuk ketetapan
itu nyata atau samar. [8]

Seperti firman Allah yang berbunyi :

‫َو َأْم ُرُه ْم ُشوَر ٰى َب ْي َن ُهْم َو ِمَّما َر َز ْق َن اُه ْم ُيْن ِفُقوَن‬

Artinya : sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka (QS. Asy-syura : 38)

Secara eksplisit (ibarat) ayat tersebut menjelaskan bahwa pemerintahan yang islami adalah didasarkan
atas musyawarah di antara umat islam. Sebagai konsekuensi logisnya, umat islam harus menunjuk
(memilih) sekelompok kaum muslimin yang selalu mengawasi dan menyertai pemerintah dalam
melaksanakan pemerintahan dan undang-undang.[9]

Seperti firman Allah Swt.:

‫ۚ َو َع َلى اْلَم ْو ُلوِد َلُه ِر ْز ُقُهَّن َو ِكْس َو ُتُهَّن ِباْلَم ْع ُروِف‬

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf.(QS. Al-baqarah:
233)

Dari nash ini dapat dipahami bahwa nafkah yang berupa makanan dan pakaian para ibu adalah
kewajiban para bapak. Karena makanan inilah yang dapat dipahami secara secara langsung dari nash
dan yang dimaksud dengan kata-katanya. Dari isyarat nash dapat dipahami bahwa para bapak bersama
dengan yang lain dalam kewajiban memberi nafkah kepada anaknya, karena anak itu adalah miliknya
bukan milik orang lain. Jika ayah suku Quraisy sedangkan ibu bukan suku Quraisy, maka anak itu ikut
kepada ayahnya yaitu suku Quraisy karena ia adalah anaknya, bukan anka orang lain. Seorang ayah
ketika membutuhkan sesuatu milik anaknya berhak mengambil barang itu tanpa pengganti sekedar
menutupi kebutuhanya. Karena anaknya dalah miliknya dan harta anaknya adalah miliknya. Hukum-
hukum ini dipahami dari isyarat nash. Karena pada kata-kata nsh terdapat penghubungan antara anak
dengan ayahnya yang menggunakan huruf laam (li) yang bermakna khusus:

‫وعل المولود له‬

Yang dilahirkan untuknya, (sama dengan bapaknya). Kekhususan inilah yang diungkapkan dalam hadist
nabi Saw.:

‫انت ومالك ألبيك‬

Engkau dan harta (milik)mu adalah untuk bapakmu.

Dari khususan ini maka muncul hukum-hukum tersebut, yaitu hukum sejalan dengan makna yang
dipaham dari ungkapan nash dan bukan maksud dari susunan katanya. Jadi pemahaman itu dari isyarat
nash, bukan dari ungkapan nash.

Dari beberapa contoh di atas dapat diketahui bahwa pengertian implisit (isyaratu nash) adalah
pengertian logis dan rasional yang diambil dari apa yang ditunjukan oleh suatu ungkapan (ibarat) suatu
teks. Tentu setiap orang akan berbeda-beda dalam menggali pengertian-pengertian yang implisit
tersebut sesuai dengan perbedaan pemikiran dan pemahamanya. Hanya orang yang berpengalaman
dalam memahami teks-teks hukum syara’ dan perundang-undangan, tentunya yang mempunyai
kemampuan dalam menggali pengertian – pengertian implisit yang logis tersebut. Pengertian suatu teks
(nash) secara eksplisit mungkin dapat difahami oleh setiap orang baik ia ahli dalam bidang fiqh maupun
tidak, akan tetapi pengertian secara implisit pada umunya hanya diketahui oleh para ahli dalam hukum
syariat dan perundang- undangan, sekaligus ahli dalam bidang bahasa. Oleh karena itu tidak ada yang
mampu untuk menggali hukum-hukum syara’ dan perundang-undangan, kecuali orang yang benar-
benar mahir dan menguasai bahasa arab sampai pada akar-akarnya, sehingga ia mengetahui rahasia dan
makna yang di maksud bahasa arab tersebut.[10]

3.Petunjuk Nash (Dilalah an-Nash)

Yang dimaksud dengan sesuatu yang dipaham dan petunjuk nash adalah makna yang dipahami dari jiwa
dan rasionalitas nash. Apabila ada nash yang ungkapannya menunjukkan suatu hukumatas
kejadiandengan suatu illat tersebut. Kemudian ditemukan kejadian lain yang sama dalam illat hukumnya
atau lebih utama illat itu. Sedangkan persamaan atau keutamaan itu langsung dapat dipaham dari
bahasa tanpa membutuhkan ijtihad atau kias, maka nash itu secara bahasa berarti mencakup dua
kejadian dan hukum yang telah ditetapkan dari yang tercakup ditetapkan pula untuk yang tersirat yang
sesuai dalam illatnya; baik sama maupun lebih utama.[11]
Seperti Firman Allah SWT:

‫َف اَل َت ُقْل َلُهَم ا ُأٍّف َو اَل َت ْن َه ْر ُه َم ا َو ُقْل َلُهَم ا َق ْو اًل َك ِر يًما‬

maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.(QS. Al-Isra’ :23)

Ungkapan nash ini menunjukkan larangan kepada anak untuk mengatakan “ah” kepada kedua orang
tuanya. Illat dalam larangan ini adalah sesuatu yang terkandung dalam “ucapan”kepada keduanya,
berupa menyakiti. Kemudian ada bentuk yang lain yang lebih menyakitkan dari sekedar berkata seperti
memukul dan mencaci. Maka dapat segera dipahami bahwa larangan itu mencakup kejadian yang baru
ini. Artinya, ia diharamkan oleh nash yang mengharamkan berkata “ah”. Karena secara bahasa langsung
dapat dimengerti bahwa larangan berkata “ah” berarti larangan berbuat sesuatu yang lebih dari itu,
yaitu apalagi menyakiti kedua orang tua. Dari sini diketahui bahwa arti orang tua. Dari sini diketahui
bahwa arti yang sesuai yang tak terucap lebih utama hukumnya dari pada yang terucap.[12]

4.Kehendak Nash (Dilalat al- Iqtida)

Kehendak nash dengan pahaman dari kehendak nash adalah makna logika yang mana kalimat itu tidak
dapat dipahami kecuali dengan mengira-ngirakan makna itu. Sedangkan bentuk nash tidak ada kata
yang menunjukkan makna tersebut, tetapi kebenaran arti menghendaki makna itu atau membenarkan
dan menyesuaikannya dengan kenyataan.[13]

Seperti sabdah Nabi Saw:

‫رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عنه‬.

Dihapus dari umatku (dosa) keliru, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.

Ungkapan hadist ini, dapat dijelaskan bahwa entitass kealahan dan kelupaan tidaklah dapat diangkat /
dilepaskan dari umat Islam, terbukti kedua hal itu tetap dialami oleh mereka; dan ini tidak logis secara
syar’I atau aqli. Oleh karena itu pasti ada makna tersemunyi yang dapat diasumsikan, yakni dosa;
sehingga makna yang dimaksud adalah setiap perbuatan salah, lupa, dan terpaksa
dibebaskan/dilepaskan pelakunya dari beban dosa. Inilah makna / pemahaman yang logis secara syar’I
atau aqli dari nash tersebut.[14]

Contoh lain seperti dalam Al-Qur’an, seperti:

‫ُحِّر َم ْت َع َلْي ُك ْم ُأَّمَه اُتُك ْم َو َب َن اُتُك ْم‬

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu


yang perempuan

‫ “ ُأَّمَه اُتُك ْم‬Diharamkan atas kamu , ibu-ibumu.” Ini menunjukan (Lafazh)b yang dikira-kirakan akan
dibuang. Kata-kata itu berbunyi:
‫ ُأَّمَه اُتُك ْم ْ َز َو اُج‬Mengawini ibu-ibumu. Karena menyandaran keharaman kepada pribadi ibu adalah tidak
tepat. Maka enyadaran yang tepat adalah menghendak kata yang dikira-kirakan ini (zawaaj.)[15]

C. Tingkatan Dilalah Dari Segi Kuat Dan Lemahnya

Semua dilalah di atas, kecuali dilalah an-nash adalah termasuk dalam kategori dilalah manthuq, karena
dilalah-dilalah tersebut didasarkan pada pengertian lafazh, baik pengertian eksplisit (ibarat) maupun
implisit (isyarat) atau didasarkan pada kebutuhan lafazh tersebut kepada dilalah. Dilalah manthuq
adalah kebalikan dilalah mafhum.

Sebelum beralih pada pembahasan dilalah mafhum perlu dijelaskan bahwa tingkatan dilalah-dilalah
tersebut dalam istinbath hukum tidaklah sama. Dilalah ibarat (eksplisit) yang paling kuat, dan dilalah
iqtidha’ yang paling rendah.

Ditinjau dari segi kuat dan lemahnya, menurut madzhab Hanafi, tingkatan dilalah adalah berikut :

1.Dilalah al-‘ibarah

2.Dilalah al-isyarah

3.Dilalah an-Nash

4.Dilalah al-iqtidha’[16]

Pngabilan makna ungkapan lbih kuat dari pada isyarat. Karna ungkapan mnunjukan makna yang
langsung dipaham maksudnya dari susunan kata, sdangkan isyarat mnunjukan makna lazim yang tidak
dimaksud olh susunan katanya. Kdua cara itu lbih kuat dari pada pngambilan makana scara dalalah
(ptunjuk). Karna kduanya trucapkan dalam nash dan yang ditunjuk nash ada pada bntuk dan kata-
katanya, ttapi cara dalalah adaah pmahaman nash yang ditunjukkan olh jiwa dan rasionalitas nash.
Karna kkuatan inilah maka ktika trjadi prtntangan makna nash, maka yang dimnangkan adalah
pmahaman dari ungkapan dari pada pmahaman scara isyarat. Dan salah satunya dimnangkan dari pada
pmahaman dari ptunjuk nash.

Tingkatan-tingkatan tersebut mempunyai konsekuensi ketika terjadi kontradiksi (ta’arudl) antara satu
dilalah dengan dilalah yang lain, seperti:

a. Pertentangan makna antara ibarah dan isyarat nash.

‫ۖ ُك ِتَب َع َلْي ُك ُم اْلِقَص اُص ِفي اْلَقْتَلى‬

diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; (QS. Al-Baqarah : 178)

Dengan firman Allah SWT:

‫َو َم ْن َي ْقُتْل ُمْؤ ِم ًن ا ُم َت َع ِّم ًد ا َف َج َز اُؤ ُه َج َه َّن ُم َخ اِلًد ا ِفيَه ا‬


Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam
kekal ia di dalamnya… (QS. An-Nisa’ : 93)

Ayat pertama , ungkapanya menunjukan kewajiban qisas bagi pembunuh. Sedasedangkan ayat kedua ,
menurut isyaratnya menunjukan bahwa pembunuh yang sengaja tidak harus menerima qisas, karena
ayat tersebut menganggap cukup bahwa balasanya adallah neraka jahanam. Bila ringkasan ini dijadikan
penjelasan, maka pembunuh itu tidak wajib menerima hukuman lain. Tetapi makan dari ungkapan harus
dimenangkan daru pada isyarat maka ia wajib diqisas.

b. Pertentangan antara makna secara isyarah dan an- nash

‫َو َم ْن َقَت َل ُمْؤ ِم ًن ا َخ َط ًأ َفَت ْح ِر يُر َر َق َب ٍة ُمْؤ ِم َن ٍة‬

dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman (QS.an nisaa’:92)

Menurut petunjuknya, dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa orang yang embunuh seran mukmin
yang sengaja wajib memerdekakan seorang dudak adalah sarana dari menebus dari dosa pembunuhan.
Orang yang sengaja lebih utama dari pada orang yang tidak sengaja dalam penebusan dosa.

‫َو َم ْن َي ْقُتْل ُمْؤ ِم ًن ا ُم َت َع ِّم ًد ا َف َج َز اُؤ ُه َج َه َّن ُم َخ اِلًد ا ِفيَه ا‬

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam,
kekal ia di dalamnya… (QS. An nisaa’ : 93)

Menurut isyaratnya dari ayat ini dapat diambil pengertian: pembunuhan tidak wajib memerdekaan
budak karena ayat itu member I isyarat bahwa tidak ada penebusan bagi dosanya di dunia, tidak yang
lain.

Dengan demikian Ketika menjadi pertentangan antara isyat dan petunjuk maka yang dimenangkan
adalah isyarat. Jadi pemmbunuh yang sengaja tidak wajib memerdekakan budak.[17]

DAFTAR PUSTAKA

http://ushulfiqhutm.blogspot.com/2016/06/metode-pengambilan-makna-nash.html

Anda mungkin juga menyukai