Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

HAQIQAH-MAJASI, MUHKAM MUFASSAR

OLEH

AYU NABILA

NIM: 11915075

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH

FAKULTAS FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONTIANAK

2022/2023
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam kajian Ushûl fiqh pemahaman bahasa arab secara mendalam adalah suatu
keharusan bagi orang yang ingin mendalaminya, maka bisa dikatakan sangat lucu apabila
belakangan ini ada orang yang membuat hukum-hukum baru dengan metode yang tidak jelas
dan pemahaman serta rasa bahasa arab yang sangat minim. Bagi kita yang ingin mendalami
Ilmu ushul, pertama-tama yang harus kita pelajari adalah bahasa yang dipakai oleh objek
kajian tersebut, agar apa yang kita kaji bisa lebih obyektiv dan tidak terkesan subyektiv,
karena dengan bahasalah segala gagasan dan fikiran tertuang dan dengan memahami bahasa
tersebut kita bisa memahami gagasan dan fikiran yang dituangkan.
Dalam makalah singkat ini penulis mencoba memberikan sedikit pengetahuan
tentang bagaimana kita mengunakan dan memperlakukan suatu lafadz menurut maknanya,
karena pada makalah-makalah sebelumnya kita telah disuguhi kajian tentang peletakan lafad
(maudu’i) dan petunjuk-petunjuk yang ada pada lafad (dilalah al lafdi) atas suatu makna. Dan
semoga makalah singkat ini bisa bermangfaat bagi penulis dan para pembaca.
Telah kita ketahui bersama bahwa yang menjadi dalil hukum dalam Islam adalah
nash al-Qur’an dan al-Hadis yang kesemuanya berbahasa arab.  Karena itulah
para Ushuliyyun menaruh perhatian yang sangat besar sekali terhadap bahasa arab sebagai
alat untuk memahami kedua dalil diatas. Perhatian itu sangat lah penting agar nash-nash yang
berbahasa arab tadi dapat dipahami dengan baik dan sempurna. Untuk itulah para Ushuliyyun
telah menciptakan beberapa kaedah lughowi atau bahasa agar suatu dalil itu dapat dipahami
dan diambil hukumnya yang kemudian dapat dijadikan sebagai sebuah dasar hukum.
Nash itu ada dua macam yaitu yang berbentuk bahasa atau lafdhiyyah dan yang tidak
berbentuk bahasa tetapi dapat dipahami atau maknawiyyah. Sedangkan yang lafdhiyyah itu
sendiri terbagi menjadi dua juga yaitu yang jelas petunjuknya yang kemudian disebut
dengan dhohirud dalalah dan yang samar petunjuknya yaang kemudian disebut
dengan khofiyud dalalah. Dhohirud dalalah sendiri sebagai sebuah lafadh yang petunjuknya
memberikan arti secara jelas dan tidak tergantung kepada yang lainnya untuk memahaminya
terbagi menjadi empat macam, yaitu Dzahir, Nash, Mufassar dan Muhkam.
Keempat pembagian dalam lafadh dhohirud dalalah tadi merupakan pembagian
secara berurutan dari lafadh yang jelas atau terang petunjuknya sampai kepada yang paling
jelas atau paling terang petunjuknya. Tingkatan lafadz yang mempunyai dalalah
dzahir sampai muhkam mempunyai status dan ketentuan hukum sendiri-sendiri. Setelah
dalam makalah sebelumnya diterangkan tentang dzahir dan nash maka sangat perlu diketahui
tentang dua tingkatan selajutnya, yaitu mufassar dan muhkam. Selain itu juga perlu diketahui
tentang ketentuan hukumnya apabila dalalah yang satu dengan yang lainnya bertentangan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Haqiqah, Majaz, Muhkam dan Mufaasar?
2. Apasaja macama-macam Haqiqah, Majaz, Muhkam dan Mufaasar?
3. Apasaja contoh Haqiqah, Majaz, Muhkam dan Mufaasar?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hakikat, Majz, Muhkam dan Mufassar


1. Definisi Hakikat Dan Majâz
Hakikat menurut bahasa berasal dari fi’il madi ‫ حق‬yang berarti jelas. Sedangkan
menurut istilah Ulama’ ushul adalah: ( )‫وهى كل لفظ أريد به ما وضع له فى االصل لشىء معلوم‬
‫( أو ألتصال معنوى‬Bazdawi, 2019:69). Yaitu setiap lafad yang menghendaki ma’na asal
(wad’i) karena ada hal-hal yang telah di ketahui. Selanjutnya Makna wad’I adalah:
menetukan makna lafad dengan kembali pada awal mula peletakan makna (Zaidan,
1988:330).
Selanjutnya hakikat dibagi empat bagian antara lain (Isnawi, 2002:315):
1. Hakikat lughowi, yaitu: lafad yang ditetapkan dan di gunakan dalam ma’na lafad
oleh ahli bahasa. Seperti pengunaan kata ‫ االنس[[ان‬sebagai mahluk hidup yang
memiliki nalar, dan lafad ‫ الذأب‬yang digunakan sebagai hewan yang memiliki
kuku yang tajam.
2. Hakikat syar’i, yaitu: lafad yang ditetapkan dan digunakan dalam ma’nanya oleh
Ahli syari’at. Seperti lafad ‫ ص[الة‬yang digunakan untuk ma’na ibadah tertentu
dengan syarat-syarat tertentu.
3. Hakikat ‘urfi khusus, yaitu: lafad yang ditetapkan dan digunakan ma’nanya oleh
kelompok atau komunitas tertentu. Seperti istilah I’rab rafa’,nasab, jer, yang
digunakan untuk istilah tertentu oleh kelompok Ahli nahwu.
4. Hakikat ‘urfi umum, yaitu lafad yang ditetapkan dan digunakan dalam ma’nanya
oleh kelompok atau komunitas umum. Seperti lafad ‫ دابة‬yang diartikan setiap
hewan yang melata, atau lafad ‫ مذياع‬yang diartikan radio oleh kebanyakan orang.
2. Majaz

majâz menurut bahasa berasal dari fi’il madi ‫ يجوز‬-‫ جاز‬yang berarti lewat
atau keluar. Sedangkan menurut istilah ulama’ ushul adalah:

setiap lafaz yang digunakan tidak pada asal kata dari Artinya. Seperti lafad
‫ أسد‬yang digunakan Artinya untuk seorang pemberani. Seperti halnya hakikat
majâz juga terbagi menjadi empat bagian (Zuhail, 1988,239).

a. majâz lughowi, yaitu penggunaan lafaz yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya
karena adanya suatu petunjuk kebahasaan, seperti Contoh di atas dan lafaz ‫ صالة‬yang
digunakan untuk arti selain do’a, walaupun kata tersebut bisa menjadi hakikat
menurut arti bahasa.
b. majâz syar’i, yaitu penggunaan lafaz yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya karena
adanya suatu petunjuk syara’. Seperti penggunaan ahli bahasa terhadap lafaz ‫صالة‬
pada arti ibadah yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
c. majâz ‘urfi khusus, yaitu penggunaan lafaz yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya
karena adanya suatu hubungan dengan penggunaan oleh komunitas tertentu. Seperti
penggunaan kata ‫ الحال‬oleh ahli nahwu untuk arti keadaan atau suasana baik atau
buruk .
d. majâz ‘urfi umum, yaitu penggunaan lafaz yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya
karena adanya suatu hubungan dengan penggunaan oleh komunitas umum, seperti
penggunaan kata ‫ دابة‬yang secara umum berarti hewan melata menjadi orang yang
bodoh.
3. Mufassar
Para ulama mempunyai definisi yang berbeda-beda dalam
memberikan ta’rif mufassar. Abdul Wahab Khallaf seperti yang dikutip dalam Kamus
Ilmu Ushul Fiqih memberikan ta’rif mufassar:
“suatu lafadh yang dengan sighatnya sendiri memberikan petunjuk kepada
maknanya yang terperinci sehingga dengan terperincinya tadi tidak dapat dipahami
adanya makna lain dari lafadh tersebut” (Jumantoro & Samsul, 2005:215).
Sedangkan dalam buku Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam karya Muhtar Yahya
dan Fatchurrahman (1997:276) memberikan definisi mufassar ialah “lafadh yang
menunjuk kepada makna sebagai mana dikehendaki oleh sighat lafadh itu sendiri dan
siyaqul kalam, tetapi ia tidak dapat dita’wilkan dan ditafsirkan selain oleh Syari’
sendiri dan dapat menerima nasakh pada zaman Rasulullah Saw”.
Mufassar dibedakan menjadi dua macam yaitu : mufassar
lidzatihi dan mufassar bighairihi.
a. Mufassar lidzatihi yaitu lafadh yang tidak membutuhkan penjelasan dari yang
lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan. Misalnya
dalam firman Allah surat at-Taubah ayat 36:
“Dan perangilah orang-orang musyrik seluruhnya.”
Dengan adanya lafadh kaffah (seluruhnya) pada ayat di atas,
meniadakan takhshish terhadap lafadh ‘am al-Musyrikin (kaum musyrikin).
Dengan demikian, dengan adanya lafadh itu sudah menjadi jelas arti yang
dimaksudkan, tanpa membutuhkan penjelasan dari yang lain (Muin dkk,
1986:63).
Misalnya lagi, dalam firman Allah surat an-Nur ayat 2:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Lafadh mi’ah (seratus) adalah lafadh khas yang tidak perlu penjelasan
dan tidak mungkin ditakwilkan, misalnya ditambah atau dikurangi. Dengan
demikian lafadh ayat itu sendiri telah menunjukkan kepada arti yang jelas,
sehingga tidak membutuhkan kepada sesuatu yang lain di luar ayat tersebut
untuk menjelaskannya (Muin dkk, 1986:63-64).
b. Mufassar bighairihi, yaitu lafadh yang membutuhkan penjelasan dari yang
lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan. Sebagai contoh,
dalam lafadh mujmal (global) maka untuk menerangkan agar terang arti yang
ditunjuki oleh yang mujmal itu harus ada penjelasan dari yang lain. Misalnya
yang terdapat dalam firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 77:
“Dirikanlah sembahyang dan bayarlah zakat.”
Lafadh shalat dalam dalam ayat diatas secara bahasa berarti
do’a. Kemudian lafadh ini digunakan oleh syara’ untuk arti lain yang lebih
terperinci. Akan tetapi, karena dalam ayat tersebut dikemukakan secara
mujmal, makna tidak cukup jelas arti yang dimaksudkan. Oleh karena itu
dibutuhkan penjelasan dari yang lain, yang dalam hal ini dijelaskan oleh
hadis-hadis baik yang berupa sabda Rasulullah Saw. maupun perbuatan
beliau, antara lain :
Artinya : “shalatlah kamu, seperti yang kamu melihat aku melakukan
shalat” (Muin dkk, 1986:64).
4. Hukum Lafadh Mufassar
Lafadh mufassar itu wajib diamalkan sesuai dengan dalalah yang ditunjuk oleh
lafadh itu sendiri atau sesuai dari penjelasan dari Syari’, kecuali ada dalil
yang sharih yang menasakhkannya. Oleh karena hanya Syari’ sendiri yang berhak
menafsirkan lafadh mufassar, maka segala penafsiran para mujtahid terhadap lafadh
mufassar tidak dapat dipakai itu (Yahya & Fatchurrahman, 1997:280).

5. Muhkam
Lafadh muhkam ialah “lafadh yang menunjuk kepada makna sebagai mana
dikehendaki oleh sighat lafadh itu dan siyaqul kalam, akan tetapi ia tidak dapat
dita’wilkan, ditafsirkan dan dinasakh pada saat Rasulullah Saw. masih hidup”
(Yahya & Fatchurrahman, 1997:280). Dalam Kamus Ilmu Ushul Fikih disebutkan
definisi muhkam adalah
Yang maksudnya adalah lafadh yang petunjuknya nyata terhadap makna yang
tersusun dari lafadh itu dan tidak menerima adanya kemungkinan yang lainnya
(ta’wil, takhsis, nasakh) (Jumantoro & Samsul, 2005:218).
Dari definisi-definisi yang tersebut diatas, dengan demikian dapat diambil
kesimpulan bahwa lafadh muhkam itu adalah lafadh mufassar yang tidak dapat
dinasakh. Ia seperti lafadh mufassar dari segi terangnya dalalah (wadhihuud
dalalah), akan tetapi dari segi dalalah maknanya adalah lebih kuat dari pada dalalah
makna lafadh mufassar. Lafadh muhkam tidak dapat dinasakh pada zaman Rasulullah
Saw. dan apalagi sesudahnya  (Yahya & Fatchurrahman, 1997:280). Hal ini berlaku
demikian lantaran ketentuan yang ditunjuk oleh lafadh muhkam itu adakalanya:
a. Mengenai hukum asasi yang tidak dirubah, sepeti beriman kepada Allah, Rasul-rasul-
Nya dan kitab-kitab-Nya.
b. Mengenai induk keutamaan yang tidak berbeda lantaran perbedaaan suasana dan
keadaan. Misalnya berbakti kepada orang tua, berlaku adil dan bersifat jujur.
c. Mengenai hukum syar’i juz’i (hukum cabang) yang ditetapkan oleh Syari’ agar
hukum tersebut dilestarikan. Contohnya adalah larangan untuk menerima kesaksian
orang yang menuduh zina yang tidak sanggup medatangkan empat orang saksi
(Yahya & Fatchurrahman, 1997:280). Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah
dalam surat An-Nur ayat 4 :

“ Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya”


Larangan menerima persaksian zina merupakan ketentuan cabang syar’i, bukan
ketentuan yang asasi atau menadasar. Meskipun demikian Syari’ sendiri telah
menetapkannya untuk dilestarikan atau berlangsung untuk selamanya. Hal ini seperti
yang ditunjukkan oleh lafadh abadan pada akhir surat (Yahya & Fatchurrahman,
1997:280).

Ÿ
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN

Haqiqah adalah sebuah kata dalam ayat Alquran yang digunakan seperti makna
semulanya yang telah ditentukan, dan memiliki tujuan tertentu. Haqiqah diklasifikasikan
ke dalam 2 bentuk, yaitu : Haqiqah Lughawiyyah Wadh`iyyah dan Haqiqah
Lughawiyyah Manqulah (Pada bagian ini, terbagi kedalam dua bentuk pula, yaitu
Haqiqah lughawiyyah `urfiyyah dan Haqiqah lughawiyyah syar`iyyah).

Haqiqah memiliki signifikansi di antaranya : Dengan mempelajari haqiqah, dapat


memahami suatu makna kata yang terdapat didalam Alquran dengan baik, Kemudian
dapat membedakan, antara kata yang harus diartikan sebagaimana bentuk asalnya, dan
mana pula kata yang harus dimaknai setelah mengalami transformasi, Dapat memahami
bahwa kata asal yang mengalami transformasi dengan kata lain, memiliki kaitan yang
erat dan memiliki maksud tertentu. Majaz adalah peralihan makna dasar ke makna
lainnya, karena alasan tertentu, atau pelebaran medan makna dari makna dasarnya. Majaz
ada dua, yaitu: Majaz Mufrad dan Majaz Fi at-Tarkib.

Diantara faedah-faedah penggunaan majaz adalah : Al-iijaz yakni memperingkas


suatu kalimat atau ungkapan, Memperluas lafadz, dimana seandainya suatu lafadz tidak
dimajazkan maka setiap makna hanya memiliki satu komposisi, Menampilkan suatu
makna dalam suatu gambaran yang dalam dan dekat kepada akal fikiran.

Mufassar  adalah suatu lafadh yang dengan sighatnya sendiri memberikan


petunjuk kepada maknanya yang terperinci sehingga dengan terperincinya tadi tidak
dapat dipahami adanya makna lain dari lafadh tersebut.

Mufassar terbagi menjadi dua yaitu mufassar lidzatihi dan mufassar bighoirihi.
Hukum mufassar adalah wajib diamalkan sesuai dengan dalalah yang ditunjuk oleh
lafadh itu sendiri atau sesuai dari penjelasan dari syari’, kecuali ada dalil yang sharih
yang menasakhkannya.
Muhkam adalah lafadh yang menunjuk kepada makna sebagai mana dikehendaki
oleh sighat lafadh itu dan siyaqul kalam, akan tetapi ia tidak dapat dita’wilkan,
ditafsirkan dan dinasakh pada saat Rasulullah Saw. masih hidup.

Muhkam terbagi menjadi dua yaitu muhkam lidzatihi dan muhkam bighoirihi
Hukum muhkam adalah wajib diamalkan secara qath’i.

Apabila terjadi perlawanan antara lafadh mufassar dengan lafadh muhkam maka
lafadh muhkam harus didahulukan.

Apabila terjadi perlawanan antara lafadh nash dengan lafadh mufassar maka
lafadh mufassar harus didahulukan daripada lafadh nash.
DAFTAR PUSTAKA

Jumantoro, Totok & Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta:Penerbit
Amzah
Muin Dkk. 1986.Ushul Fiqh II. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia.
Yahya, Mukhtar & Fatchurrahman. 1997. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
Ashari, S.Pd.I, Rahmat, Al-Haqiqah Dan Al-Majaz Dalam Alquran, (24 Juli 2013),
http://rahmadashariuinsuska.blogspot.co.id, diunduh pada tanggal 9 Okotober 2015.
As Sudais, Abdullah, Al-Majaaz 'Inda Al-Usuliyyin Bain Al-Mujiiziin Wa AlMaani'iin,, Al-
Maktabah Asy-Syaamilah.
As-Suhuud, Ali, Al-Khulaashah Fi 'Ilmu Al-Balaaghah, Al-Maktabah AsySyaamilah. As-Suyuti,
Al-Itqan Fi 'Ulum Alquran, Al-Maktabah Asy-Syaamilah.
Halimi, Majazi (Tasybih, Istiarah, Dan Kinayah), http://pascasarjanahalimi.blogspot.co.id,
diunduh pada tanggal 9 Okotober 2015. Syarifudin, Amir. 2008. Ushul Fiqih. Jilit 2.
Cet. V. Jakatra: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai