Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

LAFAZ JELAS DAN TIDAK JELAS

(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh 2)
Dosen Pengampu: Nunung Susfita, M.S.I

DISUSUN OLEH :

kelompok I

M. Fathul Nurul Mubin (220202128)

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan
makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongannya mungkin penyusun tidak
akan sanggup menyelesaikan dengan baik. Makalah ini disusun agar pembaca dapat
mengetahui tentang Lafaz yang jelas dan tidak jelas. Makalah ini disusun oleh penulis
dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penulis maupun yang datang dari
luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah SWT akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing yang telah banyak membantu serta teman-teman disekitar penulis yang telah
memberikan dukungan agar dapat menyelesaikan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penulis mohon untuk saran
dan kritinya.

Terima kasih.

Mataram, 25 Agustus 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................

DAFTAR ISI.......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................4

A. Latar Belakang................................................................................................................

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................

C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................

A. LAFADZ.........................................................................................................................

B.LAFADZ YANG JELAS DAN TIDAK JELAS.............................................................

C.LAFADZ DITINJAU DARI SEGI PEMAKAINNYA...................................................

BAB III PENUTUP.............................................................................................................

A. Kesimpulan.....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

ketika seseorang ingin memahami hukum yang terkandung dalam teks-teks

hukum Islam, seperti Al-Qur'an dan hadis, dapat timbul kesulitan dalam menafsirkan

makna yang tepat dari beberapa lafadz. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan

bahasa, konteks sejarah, atau perbedaan budaya dari waktu dan tempat penulisan teks

tersebut.

Oleh karena itu, dalam memahami hukum Islam dan prinsip-prinsipnya,

penting untuk memahami dan membedakan lafadz yang jelas dan tidak jelas.

Pemahaman yang tepat terhadap lafadz yang jelas akan memungkinkan seseorang

untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan ajaran Islam dan mengetahui batasan-

batasan yang ditetapkan oleh agama.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada makalah ini ditujukan untuk merumuskan permasalahan


yang akan dibahas pada pembahasan dalam makalah. Adapun rumusan masalah yang
akan dibahas dalam makalah, sebagai berikut :

1. Apakah pengertian lafazh?

2. Apa yang dimaksud lafadz yang jelas dan tidak jelas?

C. Tujuan

Pada dasarnya tujuan penulisan karya tulis ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu
tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk

4
menyelesaikan tugas mata kuliah Ushul Fiqh 2. Adapun Tujuan khusus penyusunan
makalah ini adalah:

1. Mengetahui pengertian dari lafadz

2. Mengetahui pengertian dari lafadz yang jelas dan tidak jelas

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. LAFADZ
Sebelum memasuki bahasan tentang “lafaz” selanjutnya, perlu dijelaskan lebih
dahulu arti dari lafadz itu sendiri. Kata lafaz itu berasal dari bahasa Arab yang
secara sederhana diartikan “ungkapan atau sebutan atau ucapan yang tersusun dari
huruf-huruf. Bila susunan huruf-huruf itu mengandung arti dan maksud tertentu
dalam satu komunitas, disebut lafaz terpakai atau ‫ اللفظ المستعمل‬seperti kursi dan
makan. Bila susunan huruf itu tidak mengandung arti dan tidak dipahami oleh
komunitas yang menggunakan Bahasa itu, susunan huruf itu disebut “lafaz yang
terpakai” atau ‫اللفظ المهمل‬.1

B. LAFADZ YANG JELAS DAN TIDAK JELAS


Kalangan Hanafiyah sebagaimana dijelaskan oleh Adib Shalih yang kutip oleh
Satria Effendi mengelompokkan lafaz dari segi kejelasan maknanya (dalalahnya)
menjadi dua macam. Pertama lafaz yang artinva jelas yang meliputi empat
tingkatan yaitu: zahir, nas, mufassar, dan muhkam. Kedua lafaz yang maknanya
tidak jelas yang meliputi empat tingkatan juga yaitu: khafi, musykil, mujmal, dan
mutasyabih. Berikut ini akan dibahas satu per satu dari kedua macam bentuk lafaz
dilihat dari maknanya tersebut.2

 Lafaz Yang Jelas Dalalahnya


1) Zahir
Zahir secara bahasa berarti al-wuduh (jelas) secara istilah seba-
gaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf ialah lafaz yang
menunjukkan arti secara langsung dari nas itu tanpa memerlukan penyerta
lain yang datang dari luar untuk memahami maksud nas itu akan tetapi
bukan pengertian itu yang menjadi maksud utama dari pengucapnya.

1
Amir Syarifuddin, USHUL FIQH II, Kencana, 2008, hlm. 2
2
Sapiudin Shidiq, USHUL FIQH, Kencana, 2011, hlm.195

6
Karena terdapat pengertian lain yang menjadi mak- sud utama dari pihak
yang mengucapkannya maka kata zahir sangat dimungkinkan untuk
menerima takhsis, ta'wil, dan nasakh.

Pada kasus kata tertentu, dimungkinkan terdapat dua pengertian salah


satunya pengertian yang ditunjukkan oleh redaksi tersebut bukan
merupakan tujuan utama dari pengucapnya dan itulah yang dikenal dengan
makna zahir dan makna yang satu lagi adalah makna yang menjadi tujuan
utama dari pengucapnya yang disebut dengan nas, contohnya firman Allah
SWT:

.. ‫وا‬FF‫ َو َأَح َّل ُهَّللا اْلَبْي َع َو َح َّر َم الرب‬.. Artinya: ... Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba... (QS. al-Baqarah/2: 275).

Makna zahir dari ayat di atas yang secara cepat dapat ditangkap
pemahamannya adalah kehalalan jual beli dan keharaman riba. Kata halal
dan haram telah jelas arti dan maksudnya tanpa membutuhkan qarinah dari
luar. Tetapi bukan makna itu yang menjadi tujuan utama dari konteks ayat di
atas. Tujuan utamanya atau makna nasnya adalah perbedaan antara jual beli
dan riba, karena ayat ini turun sebagai ban- tahan bagi orang musyrik yang
mengatakan bahwa jual beli itu sama dengan ribaj Hukum yang jelas (zahir)
dimungkinkan akan menerima ta'wil (memalingkan dari makna zahir-nya)
mungkin juga menerima takhsis juga bisa menerima nasakh (penghapusan
hukum).3
Lafaz zahir terkadang harus di ta'wil untuk mencari makna yang dapat
di pahami. Yang dimaksud dengan ta'wil adalah "memalingkan arti zahir
kepada makna lain yang memungkinkan berdasarkan dalil/ bukti. Contohnya
kata pada ayat berikut ini:

... ‫ َيُد ِهَّللا َف ْو َق َأْي ِد يِه ْم‬Artinya... tangan Allah di atas tangan mereka... (QS. al-
Fath/48: 10)

Kata "yadun" pada ayat di atas memiliki dua arti masing-masing arti zahir
yang berarti tangan dan arti ta'wil yang berarti sulthan artinya kekuasaan.
3
Sapiudin Shidiq, USHUL FIQH, Kencana, 2011, hlm.196

7
2) Nas

Secara bahasa arti nas berarti al-zuhur (jelas). Secara istilah, nas bisa
memiliki dua pengertian yaitu pengertian umum dan pengertian khusus.
Pengertian pertama sebagaimana dikemukakan oleh Imam Safi'i, nas adalah
teks al-Qur'an dan hadis Rasulullah baik yang tegas maupun yang tidak
tegas. Berdasarkan pengertian ini, maka istilah nas diperuntukkan untuk al-
Qur'an dan hadis. Nas dalam pengertian kedua (khusus), dan pengertian
kedua inilah yang akan menjadi pokok pembahasan, yaitu lafaz yang
menunjukkan arti yang asli yang muncul dari lafaz itu secara jelas, tidak
mungkin mengandung makna lain, pengertiannya cepat ditangkap ketika
mendengar lafaz itu. Seperti kata sepuluh (asyaratun) dalam ayat berikut
ini: َ ‫َم ۡن َّلۡم َيِج ۡد َفِصَياُم َثٰل َثِة َاَّياٍم ِفى اۡل َح ِّج َو َس ۡب َعٍة ِاَذ ا َر َج ۡع ُتؕۡم ِتۡل َك َع َش َر ٌة َك اِم َلٌة ؕ ٰذ ِلَك ِلَم ۡن َّلۡم َيُكۡن‬
‫َاۡه ُلٗه َح اِض ِر ۡى اۡل َم ۡس ِج ِد اۡل َح ـَر اِم‬
Artinya:... tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak
hampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sem-
Purna demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang
harganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang kan
penduduk Kota Mekkah).... (QS. al-Baqarah/2: 196)

kata "asyaratun" dalam ayat di atas adalah nas karena maknanya jelas
dan pasti tidak mungkin sembilan atau sebelas.

Contoh lain adalah ayat tentang perbedaan hukum jual beli dan keharaman
riba:

.. ‫ َو َأَح َّل ُهللا اْلَبْيَع َو َح َّر َم الربوا‬...

Artinya: ... Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" ... (QS.
al-Baqarah/2: 275).

Perbedaan hukum antara jual beli dan riba yang disebut oleh ayat di atas
disebut nas, karena sangat jelas dan mudah dipahami dari bunyi ayat ini.

8
Ayat ini turun untuk menolak secara tegas perkataan orang kafir yang
mengatakan jual beli itu seperti riba.

Dilihat dari segi dalalahnya nas lebih kuat dibanding dengan zahir, oleh
karena itu jika terjadi pertentangan antara nas dan zahir maka yang
dimenangkan adalah nas untuk diamalkan. Namun demikian, menurut Abu
Zahra bahwa nas bisa menerima ta'wil sebagaimana zahir dapat
menerima nasakh.4

3) Mufassar

Mufassar menurut ulama ushul fiqh adalah lafaz yang menunjuk- an

kepada maknanya secara jelas dan terperinci yang tidak mungkin penerima

ta'wil (dipalingkan maknanya). Jika dibandingkan dengan mufasssar lebih

jelas karena pada mufassar tidak berlaku takhsis. Lafaz mufassar terbagi

menjadi dua:

a. Menunjukkan maknanya secara jelas dan terperinci tanpa memerlukan

lagi penjelasan dari luar. Contohnya firman Allah SWT:

‫َو اَّلِذ يَن َيْر ُم وَن اْلُم ْح َص َنِت ُثَّم َلْم َيْأُتوا ِبَأْر َبَعِة ُش َهَداَء َفاْج ِل ُدوُهْم َثَم ِنيَن َج ْل َد ًة َو اَل َتْقَبُل وا‬

‫َلُهْم َش َهَد ٌة َأَبًدا َو َأْو َلَتِبَك ُهُم اْلَفِس ُقوَن‬

Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang

baik- baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang sak- si,

maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan

janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya dan mereka

itulah orang-orang yang fasik. (QS, an-Nuur/24: 4)

Jumlah delapan puluh kali dera adalah mufassar karena

maknanya sudah jelas tanpa perlu ada penambahan dan pengurangan dan tidak

4
ibid

9
perlu di ta'wil. Hukuman delapan puluh kali dera ini diperuntukkan bagi

pelaku qazaf, yaitu seseorang yang menuduh orang baik berzina tanpa saksi.

b. Berupa mujmal (global), tidak jelas dan tidak terperinci, kemudian

datang penjelasan dari syariat sehingga menjadi jelas dan pasti dan

tidak lagi menerima ta'wil. Seperti perintah shalat, perintah zakat,

perintah haji, dan keharaman riba. Empat contoh yang tersebut terakhir

ini adalah makna ayat-ayat al-Qur'an yang mujmal (global) yang

membutuhkan penjelasan syariat tetapi tidak ada penjelasan dari ayat-

ayat yang lain. Maka datang hadis-hadis Nabi berupa perkataan dan

perbuatan beliau yang menjelaskan perkara-perkara mujmal sehingga

hukumnya menjadi jelas dan dapat diamalkan. Perintah shalat

dijelaskan oleh hadis Nabi melalui hadisnya:

‫َص ُّلوا َك َم ا َر َأْيُتُم وِني ُأَص ِّلي)رواه البخار ي‬

Artinya: "Shalatlah kamu semua sebagaimana kamu melihatku shalat."

(HR. Bukhari) Tentang haji dijelaskan oleh hadis Nabi:

‫ُخ ُدوا َع ِّني َم َناِس َك ُك ْم‬

Artinya: "Ambillah dariku tentang cara-caraku dalam beribadah

haji."

Bentuk kedua inilah yang disebut dalam istilah hadis dengan tafsir
tasyri'i, karena bersumber kepada syariat yaitu Rasul dan Rasul diberikan
kemampuan untuk menafsirkan dan menjelaskan firman-Nya.5

4) Muhkam

5
ibid

10
Muhkam sebagaimana didefinisikan oleh Abu Zahra adalah "kalimat

yang menunjukkan maknanya dengan jelas yang tidak menerima

kemungkinan ta'wil (dipalingkan kepada makna lain) dan tidak menerima

takhsis." Lawan muhkam adalah mutasyabih. Abdul Wahab Khallaf

menegaskan bahwa lafaz muhkam tidak dibatalkan hukumnya, tidak dapat

diganti karena maknanya yang sudah jelas dan juga tidak dapat menerima

nasakh karena lafaz muhkam berisi antara lain:

a. Tentang ajaran-ajaran pokok agama yang tidak menerima nasakh

(penggantian) seperti ibadah kepada Allah dan beriman kepada kitab-

kitab dan Rasul.

b. Perbuatan-perbuatan utama yang tidak diperselisihkan seperti ber- buat

baik kepada kedua orang tua, berbuat adil dan sebagainya.

c. Hukum cabang (fiqh) yang diabadikan oleh syariat seperti status orang

yang menuduh orang baik dengan berzina (qazhif), maka kesaksiannya

tidak dapat diterima selama-lamanya dan hukum jihad yang abadi

sebagaimana sabda Nabi: “jihad itu berlaku hukumnya sejak dahulu

sampai hari kiamat".

Tiga macam kandungan "muhkam" sebagaimana tersebut di atas telah


menunjukkan kepada pengertian secara qat'i, tidak berlaku baginya ta'wil
dan tidak ada dalil bahwa perkara-perkara itu telah dinasakh
pada zaman Nabi.6

 Lafaz Yang Tidak Jelas Dalalahnya

6
ibid

11
1) Khafi

Yaitu lafaz yang maknanya jelas akan tetapi ketika diterapkan kepada

kasus tertentu menimbulkan ketidakjelasan. Untuk menghilangkan

ketidakjelasan itu dibutuhkan pemikiran dan analisis. Lawan dari khafi

adalah zahir.

Ketidakjelasan itu dapat dimungkinkan karena bentuk kasus- kasus itu

tidak persis sama dengan kasus yang ditunjukkan oleh satu dalil.

Contoh, lafaz "saariq" dalam QS. al-Maidah/5: 38:

‫َو الَّساِر ُق َو الَّساِرَقُة َفاْقَطُعوا َأْيِدَيُهَم ا َج َزاًء ِبَم ا َك َسَبا َنَك اًل ِّم َن هَّللا‬

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah

tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan

sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Makna "saariq" pada ayat di atas sudah jelas yaitu pencuri yang
mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi di tempat yang layak.
Namun ketika kata "saariq" diterapkan kepada pencopet maka muncullah
ketidakjelasan, apakah pencopet yang dengan keterampilannya mampu
melalaikan orang lain sehingga ia mampu mengambil hartanya, maka
apakah pencopet yang seperti itu dapat dimasukkan ke dalam istilah pencuri
yang harus dipotong tangannya atau tidak, atau hanya di-ta'zir? Untuk
memecahkan masalah ini, maka dibutuhkan ijtihad. Menurut Abdul Wahab
Khallaf, berdasarkan ijtihad yang didasari oleh dalalah nas disepakati
bahwa hukum pencopet harus dipotong tangannya seperti pencuri karena
illat untuk memotong tangan pencopet sudah terpenuhi sebagaimana
pencuri.7

2) Musykil

7
ibid

12
Musykil adalah lafaz yang tidak menunjukkan makna yang jelas maka

diperlukan qarinah (indikator) dari luar untuk menjelaskan maksudnya.

Musykil merupakan lawan dari nas.

Penyebab ketidakjelasannya karena lafaz itu mengandung beberapa

pengertian yang tidak menunjukkan makna tertentu. Sehingga untuk

mengetahui pengertian mana yang dimaksud diperlukan indikator atau

dalil dari luar. Di antara lafaz musykil adalah kalimat musytarak, yaitu

satu lafaz yang mempunyai dua arti atau lebih di mana masing- masing

arti mengandung pengertian yang berbeda hakikatnya. Contoh kata

"quru"dalam surat al-Baqarah/2 ayat 228:

‫ َو اْلُم َطَّلَقُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأنُفِس ِهَّن َثَلَثَة ُقُروء‬...

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri

(menunggu) tiga kali quru'...

Kata "quru" pada ayat di atas memiliki dua makna yang berbeda yaitu
suci dan haid. Kemudian timbul pertanyaan, makna apa yang dimaksud dari
kedua makna tersebut? Imam Hanafi dan Hambali mengartikannya dengan
haid. Adapun imam Syafi'i dan Maliki mengartikannya dengan suci.
Masing-masing kelompok memiliki argumentasi. Imam Hanafi dan
Hambali mendasari pendapatnya di antaraya dengan hadis Nabi, artinya
"bahwa iddahnya seorang hamba sahaya perempuan itu dua kali haid."
Menurutnya tidak ada perbedaan antara perempuan hamba sahaya dan
orang merdeka tentang iddah. Artinya pada hadis tersebut Nabi menyebut
masa iddah hamba sahaya itu dengan dua kali haid bukan dengan dua kali
sucian, ketentuan ini juga berlaku untuk perempuan merdeka. Dengan
demikian, quru pada berbentuk ayat di atas artinya haid bukan suci. Adapun
Imam Syafi'i dan Maliki mendasarkan pendapatnya lebih kepada

13
argumentasi kebahasaan, yaitu keharusan memuannaskan adad (bilangan)
yang berbentuk mudzakkar. Maka setelah kata "tsalaasatu" (muannas)
mengharuskan kata setelahnya adalah muzakkar, sesuai kaidah bahasa.
Maka atas dasar itu menurut keduanya yang tepat, kata quru' diposisikan
dengan kata mudzakkar dan kata yang muzakkar itu adalah kata "tuhrun"
bukan kata "haidatun". Dengan demikian, maka iddah perempuan yang
dicerai oleh suaminya dalam tiga kali suci.8

3) Mujmal

Mujmal adalah lafaz yang mencakup kemungkinan segala keadaan dan

hukum yang terkandung di dalamnya. Lafaz mujmal tidak dapat diketahui

secara jelas tanpa adanya mubayyan (penjelas). Abdul Wahab Khallaf

mendefinisikan mujmal adalah "lafaz yang pengertiannya tidak dapat

dipahami dari lafaz itu sendiri apabila tidak ada qarinah yang

menjelaskannya". Dengan kata lain mujmal adalah kalimat yang belum

jelas. Contohnya perintah shalat, perintah haji, keharaman riba yang

terdapat dalam al-Qur'an. Contoh-contoh yang tersebut terakhir ini

semuanya adalah termasuk kalimat mujmal yang membutuhkan

penjelasan secara syariat bukan secara bahasa.

Jika terdapat lafaz mujmal dalam al-Qur'an maka sunah berfungsi

untuk menjelaskannya. Sunah dimaksud dapat berupa perkataan atau

perbuatan. Contoh perintah shalat dalam al-Qur'an dijelaskan oleh Nabi

tentang rukun, syarat dan cara pelaksanaannya sebagaimana hadis beliau

artinya "shalatlah kamu semua seperti kamu melihat aku shalat" demikian

pula Nabi menjelaskan secara terperinci tentang zakat. puasa haji, dan

riba di mana empat perkara terakhir ini juga oleh al-Qur'an secara mujmal

(global) yang perinciannya dijelaskan oleh hadis Nabi.

8
ibid

14
Macam-macam Penjelasan bagi Lafaz Mujmal:

a. Penjelasan dengan perkataan, seperti penjelasan tentang denda haji

tamattu, yaitu puasa sepuluh hari. Tiga hari di tanah suci dan tujuh hari di

rumah.

... ‫َفَم ن َتَم َّتَع ِباْلُع ْمَر ِة ِإَلى اْلَحَج َفَم ا اْسَتْيَسَر ِم َن اْلَهْد ِي َفَم ن َّلْم‬

‫َيِج ْد َفِصَياُم َثَلَثِة َأَّياٍم ِفي اْلَحَج َو َس ْبَعٍة ِإَذ ا َر َج ْع ُتْم ِتْلَك َع َش َر ٌة َك اِم َلٌة‬

‫َذ ِلَك ِلَم ن َّلْم َيُك ْن َأْهُلُه َح اِض ِر ى اْلَم ْس ِج ِد اْلَح َر اِم َو اَّتُقوا َهَّللا‬

‫) َو اْعَلُم وا َأَّن َهَّللا َش ِد يُد اْلِع َقاِب‬

Artinya: ... bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di

dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah

didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak

mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari

(lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang

sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang

yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil- haram (orang-orang

yang bukan penduduk Kota Mekkah). Dan bertak- walah kepada Allah

dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan- Nya. (QS.

al-Baqarah/2: 196)

b. Penjelasan dengan perbuatan. Contohnya hadis nabi yang men-

jelaskan bagaimana cara shalat dan haji.

15
c. Penjelasan dengan tulisan seperti ketentuan zakat dan diyat.

d. Penjelasan dengan isyarat, contohnya hadis Nabi, artinya "Aku dan


orang yang menanggung anak yatim seperti ini". Ketika mengucap- kan
hadis ini Nabi sambil menunjukkan ibu jari dan jari tengah.9

4) Mutasyabih

Mutasyabih adalah lafaz yang tidak jelas maknanya dan tidak ada

indikator dari luar yang menjelaskan maknanya. Yang mengetahui

hakikatnya hanyalah pembuat syariat yaitu Allah SWT.

Para ulama sepakat bahwa dalam al-Qur'an terdapat ayat mutasyabih,

hal ini didasari oleh firman Allah SWT:

‫ُهَو اَّلِذ ي َأنَز َل َع َلْيَك اْلِكَتَب ِم ْنُه َو اَيٌت ُم ْح َك َم ُت ُهَّن ُأُّم اْلِكَتاِب َو ُأَخ ُر‬

‫ُم َتَش اِبَهاٌت‬

Artinya: Dia-lah yang menurunkan Alkitab (al-Qur'an) kepada kamu.

Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi al-

Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat... (QS. Ali Imran/3:7)

Namun mereka berselisih dalam menentukan kriterianya.

a. Menurut Ibnu Hazm sebagaimana dikutip oleh Imam Abu Zahra

bahwa tidak ada lafaz mutasyabih dalam al-Qur'an kecuali huruf-

huruf tertentu seperti "Alif laam miim", sumpah (qasam) Allah seperti

kata "wa al-syamsi" (demi matahari), dan sebagainya.

b. Sebagian ulama berpendapat bahwa mereka sepakat dengan apa

yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm di atas namun menurut pendapat

kedua ini bukan hanya itu saja lafaz mutasyabih, tetapi juga terdapat

pada ayat-ayat yang mengandung pengertian "keserupaan antara

9
ibid

16
Allah dengan makhluknya seperti kata "yadun” dan "ainun" pada

masing-masing dua ayat berikut ini.""

.. ‫ َيُد ِهللا َفْو َق َأْيِد يِه ْم‬.

Artinya:... tangan Allah di atas tangan mereka... (QS. al-Fath/48: 10)

‫) والقيت عليك محَّبٌة ِّمِني َو ِلُتْص َنَع َع َلى َعيني‬

Artinya:... dan aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang

datang dari ku dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-ku...

(QS. Thaha/20: 39)

Pendapat pertama dan kedua sebagaimana dijelaskan di atas se-

cara substantif adalah saling melengkapi. Namun para ulama ushul

figh lebih menegaskan lagi bahwa lafaz mutasyabik sebagaimana

dimaksud oleh definisi di atas tidak ditemukan dalam ayat-ayat

ahkam dan hadis ahkam, karena untuk kedua macam nas yang disebut

terakhir ini di- anggap telah jelas. Lafazd mutasyabih terdapat dalam

al-Qur'an hanya pada huruf-huruf di awal surat-surat tertentu dalam

al-Qur'an seperti "alif laam", "miim", dan sebagainya.

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ayat mu


tasyabih terdapat pada huruf-huruf yang ada pada awal surat dalam al-
Qur'an, sumpah Allah dalam al-Qur'an dan ayat-ayat yang artinya
secara zahir mengandung keserupaan antara makhluk dan Tuhan.10

10
ibid

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1) Kata lafaz itu berasal dari bahasa Arab yang secara sederhana diartikan
“ungkapan atau sebutan atau ucapan yang tersusun dari huruf-huruf. Bila
susunan huruf-huruf itu mengandung arti dan maksud tertentu dalam satu
komunitas, disebut lafaz terpakai atau ‫ اللفظ المستعمل‬seperti kursi dan makan.
Bila susunan huruf itu tidak mengandung arti dan tidak dipahami oleh
komunitas yang menggunakan Bahasa itu, susunan huruf itu disebut “lafaz
yang terpakai” atau ‫اللفظ المهمل‬.
2) Kalangan Hanafiyah sebagaimana dijelaskan oleh Adib Shalih yang kutip oleh
Satria Effendi mengelompokkan lafaz dari segi kejelasan maknanya
(dalalahnya) menjadi dua macam. Pertama lafaz yang artinva jelas yang
meliputi empat tingkatan yaitu: zahir, nas, mufassar, dan muhkam. Kedua
lafaz yang maknanya tidak jelas yang meliputi empat tingkatan juga yaitu:
khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih. Berikut ini akan dibahas satu per
satu dari kedua macam bentuk lafaz dilihat dari maknanya tersebut.

18
DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir.( 2008) USHUL FIQH II. Kencana. Jakarta.

Shidiq, Sapiudin. USHUL FIQH. Kencana. Jakarta. 2011

19

Anda mungkin juga menyukai