(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh 2)
Dosen Pengampu: Nunung Susfita, M.S.I
DISUSUN OLEH :
kelompok I
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan
makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongannya mungkin penyusun tidak
akan sanggup menyelesaikan dengan baik. Makalah ini disusun agar pembaca dapat
mengetahui tentang Lafaz yang jelas dan tidak jelas. Makalah ini disusun oleh penulis
dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penulis maupun yang datang dari
luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah SWT akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing yang telah banyak membantu serta teman-teman disekitar penulis yang telah
memberikan dukungan agar dapat menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penulis mohon untuk saran
dan kritinya.
Terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................
A. LAFADZ.........................................................................................................................
A. Kesimpulan.....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
hukum Islam, seperti Al-Qur'an dan hadis, dapat timbul kesulitan dalam menafsirkan
makna yang tepat dari beberapa lafadz. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan
bahasa, konteks sejarah, atau perbedaan budaya dari waktu dan tempat penulisan teks
tersebut.
penting untuk memahami dan membedakan lafadz yang jelas dan tidak jelas.
Pemahaman yang tepat terhadap lafadz yang jelas akan memungkinkan seseorang
untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan ajaran Islam dan mengetahui batasan-
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Pada dasarnya tujuan penulisan karya tulis ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu
tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk
4
menyelesaikan tugas mata kuliah Ushul Fiqh 2. Adapun Tujuan khusus penyusunan
makalah ini adalah:
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. LAFADZ
Sebelum memasuki bahasan tentang “lafaz” selanjutnya, perlu dijelaskan lebih
dahulu arti dari lafadz itu sendiri. Kata lafaz itu berasal dari bahasa Arab yang
secara sederhana diartikan “ungkapan atau sebutan atau ucapan yang tersusun dari
huruf-huruf. Bila susunan huruf-huruf itu mengandung arti dan maksud tertentu
dalam satu komunitas, disebut lafaz terpakai atau اللفظ المستعملseperti kursi dan
makan. Bila susunan huruf itu tidak mengandung arti dan tidak dipahami oleh
komunitas yang menggunakan Bahasa itu, susunan huruf itu disebut “lafaz yang
terpakai” atau اللفظ المهمل.1
1
Amir Syarifuddin, USHUL FIQH II, Kencana, 2008, hlm. 2
2
Sapiudin Shidiq, USHUL FIQH, Kencana, 2011, hlm.195
6
Karena terdapat pengertian lain yang menjadi mak- sud utama dari pihak
yang mengucapkannya maka kata zahir sangat dimungkinkan untuk
menerima takhsis, ta'wil, dan nasakh.
.. واFF َو َأَح َّل ُهَّللا اْلَبْي َع َو َح َّر َم الرب.. Artinya: ... Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba... (QS. al-Baqarah/2: 275).
Makna zahir dari ayat di atas yang secara cepat dapat ditangkap
pemahamannya adalah kehalalan jual beli dan keharaman riba. Kata halal
dan haram telah jelas arti dan maksudnya tanpa membutuhkan qarinah dari
luar. Tetapi bukan makna itu yang menjadi tujuan utama dari konteks ayat di
atas. Tujuan utamanya atau makna nasnya adalah perbedaan antara jual beli
dan riba, karena ayat ini turun sebagai ban- tahan bagi orang musyrik yang
mengatakan bahwa jual beli itu sama dengan ribaj Hukum yang jelas (zahir)
dimungkinkan akan menerima ta'wil (memalingkan dari makna zahir-nya)
mungkin juga menerima takhsis juga bisa menerima nasakh (penghapusan
hukum).3
Lafaz zahir terkadang harus di ta'wil untuk mencari makna yang dapat
di pahami. Yang dimaksud dengan ta'wil adalah "memalingkan arti zahir
kepada makna lain yang memungkinkan berdasarkan dalil/ bukti. Contohnya
kata pada ayat berikut ini:
... َيُد ِهَّللا َف ْو َق َأْي ِد يِه ْمArtinya... tangan Allah di atas tangan mereka... (QS. al-
Fath/48: 10)
Kata "yadun" pada ayat di atas memiliki dua arti masing-masing arti zahir
yang berarti tangan dan arti ta'wil yang berarti sulthan artinya kekuasaan.
3
Sapiudin Shidiq, USHUL FIQH, Kencana, 2011, hlm.196
7
2) Nas
Secara bahasa arti nas berarti al-zuhur (jelas). Secara istilah, nas bisa
memiliki dua pengertian yaitu pengertian umum dan pengertian khusus.
Pengertian pertama sebagaimana dikemukakan oleh Imam Safi'i, nas adalah
teks al-Qur'an dan hadis Rasulullah baik yang tegas maupun yang tidak
tegas. Berdasarkan pengertian ini, maka istilah nas diperuntukkan untuk al-
Qur'an dan hadis. Nas dalam pengertian kedua (khusus), dan pengertian
kedua inilah yang akan menjadi pokok pembahasan, yaitu lafaz yang
menunjukkan arti yang asli yang muncul dari lafaz itu secara jelas, tidak
mungkin mengandung makna lain, pengertiannya cepat ditangkap ketika
mendengar lafaz itu. Seperti kata sepuluh (asyaratun) dalam ayat berikut
ini: َ َم ۡن َّلۡم َيِج ۡد َفِصَياُم َثٰل َثِة َاَّياٍم ِفى اۡل َح ِّج َو َس ۡب َعٍة ِاَذ ا َر َج ۡع ُتؕۡم ِتۡل َك َع َش َر ٌة َك اِم َلٌة ؕ ٰذ ِلَك ِلَم ۡن َّلۡم َيُكۡن
َاۡه ُلٗه َح اِض ِر ۡى اۡل َم ۡس ِج ِد اۡل َح ـَر اِم
Artinya:... tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak
hampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sem-
Purna demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang
harganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang kan
penduduk Kota Mekkah).... (QS. al-Baqarah/2: 196)
kata "asyaratun" dalam ayat di atas adalah nas karena maknanya jelas
dan pasti tidak mungkin sembilan atau sebelas.
Contoh lain adalah ayat tentang perbedaan hukum jual beli dan keharaman
riba:
Artinya: ... Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" ... (QS.
al-Baqarah/2: 275).
Perbedaan hukum antara jual beli dan riba yang disebut oleh ayat di atas
disebut nas, karena sangat jelas dan mudah dipahami dari bunyi ayat ini.
8
Ayat ini turun untuk menolak secara tegas perkataan orang kafir yang
mengatakan jual beli itu seperti riba.
Dilihat dari segi dalalahnya nas lebih kuat dibanding dengan zahir, oleh
karena itu jika terjadi pertentangan antara nas dan zahir maka yang
dimenangkan adalah nas untuk diamalkan. Namun demikian, menurut Abu
Zahra bahwa nas bisa menerima ta'wil sebagaimana zahir dapat
menerima nasakh.4
3) Mufassar
kepada maknanya secara jelas dan terperinci yang tidak mungkin penerima
jelas karena pada mufassar tidak berlaku takhsis. Lafaz mufassar terbagi
menjadi dua:
َو اَّلِذ يَن َيْر ُم وَن اْلُم ْح َص َنِت ُثَّم َلْم َيْأُتوا ِبَأْر َبَعِة ُش َهَداَء َفاْج ِل ُدوُهْم َثَم ِنيَن َج ْل َد ًة َو اَل َتْقَبُل وا
baik- baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang sak- si,
maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan
maknanya sudah jelas tanpa perlu ada penambahan dan pengurangan dan tidak
4
ibid
9
perlu di ta'wil. Hukuman delapan puluh kali dera ini diperuntukkan bagi
pelaku qazaf, yaitu seseorang yang menuduh orang baik berzina tanpa saksi.
datang penjelasan dari syariat sehingga menjadi jelas dan pasti dan
perintah haji, dan keharaman riba. Empat contoh yang tersebut terakhir
ayat yang lain. Maka datang hadis-hadis Nabi berupa perkataan dan
haji."
Bentuk kedua inilah yang disebut dalam istilah hadis dengan tafsir
tasyri'i, karena bersumber kepada syariat yaitu Rasul dan Rasul diberikan
kemampuan untuk menafsirkan dan menjelaskan firman-Nya.5
4) Muhkam
5
ibid
10
Muhkam sebagaimana didefinisikan oleh Abu Zahra adalah "kalimat
diganti karena maknanya yang sudah jelas dan juga tidak dapat menerima
c. Hukum cabang (fiqh) yang diabadikan oleh syariat seperti status orang
6
ibid
11
1) Khafi
Yaitu lafaz yang maknanya jelas akan tetapi ketika diterapkan kepada
adalah zahir.
tidak persis sama dengan kasus yang ditunjukkan oleh satu dalil.
َو الَّساِر ُق َو الَّساِرَقُة َفاْقَطُعوا َأْيِدَيُهَم ا َج َزاًء ِبَم ا َك َسَبا َنَك اًل ِّم َن هَّللا
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Makna "saariq" pada ayat di atas sudah jelas yaitu pencuri yang
mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi di tempat yang layak.
Namun ketika kata "saariq" diterapkan kepada pencopet maka muncullah
ketidakjelasan, apakah pencopet yang dengan keterampilannya mampu
melalaikan orang lain sehingga ia mampu mengambil hartanya, maka
apakah pencopet yang seperti itu dapat dimasukkan ke dalam istilah pencuri
yang harus dipotong tangannya atau tidak, atau hanya di-ta'zir? Untuk
memecahkan masalah ini, maka dibutuhkan ijtihad. Menurut Abdul Wahab
Khallaf, berdasarkan ijtihad yang didasari oleh dalalah nas disepakati
bahwa hukum pencopet harus dipotong tangannya seperti pencuri karena
illat untuk memotong tangan pencopet sudah terpenuhi sebagaimana
pencuri.7
2) Musykil
7
ibid
12
Musykil adalah lafaz yang tidak menunjukkan makna yang jelas maka
dalil dari luar. Di antara lafaz musykil adalah kalimat musytarak, yaitu
satu lafaz yang mempunyai dua arti atau lebih di mana masing- masing
Kata "quru" pada ayat di atas memiliki dua makna yang berbeda yaitu
suci dan haid. Kemudian timbul pertanyaan, makna apa yang dimaksud dari
kedua makna tersebut? Imam Hanafi dan Hambali mengartikannya dengan
haid. Adapun imam Syafi'i dan Maliki mengartikannya dengan suci.
Masing-masing kelompok memiliki argumentasi. Imam Hanafi dan
Hambali mendasari pendapatnya di antaraya dengan hadis Nabi, artinya
"bahwa iddahnya seorang hamba sahaya perempuan itu dua kali haid."
Menurutnya tidak ada perbedaan antara perempuan hamba sahaya dan
orang merdeka tentang iddah. Artinya pada hadis tersebut Nabi menyebut
masa iddah hamba sahaya itu dengan dua kali haid bukan dengan dua kali
sucian, ketentuan ini juga berlaku untuk perempuan merdeka. Dengan
demikian, quru pada berbentuk ayat di atas artinya haid bukan suci. Adapun
Imam Syafi'i dan Maliki mendasarkan pendapatnya lebih kepada
13
argumentasi kebahasaan, yaitu keharusan memuannaskan adad (bilangan)
yang berbentuk mudzakkar. Maka setelah kata "tsalaasatu" (muannas)
mengharuskan kata setelahnya adalah muzakkar, sesuai kaidah bahasa.
Maka atas dasar itu menurut keduanya yang tepat, kata quru' diposisikan
dengan kata mudzakkar dan kata yang muzakkar itu adalah kata "tuhrun"
bukan kata "haidatun". Dengan demikian, maka iddah perempuan yang
dicerai oleh suaminya dalam tiga kali suci.8
3) Mujmal
dipahami dari lafaz itu sendiri apabila tidak ada qarinah yang
artinya "shalatlah kamu semua seperti kamu melihat aku shalat" demikian
pula Nabi menjelaskan secara terperinci tentang zakat. puasa haji, dan
riba di mana empat perkara terakhir ini juga oleh al-Qur'an secara mujmal
8
ibid
14
Macam-macam Penjelasan bagi Lafaz Mujmal:
tamattu, yaitu puasa sepuluh hari. Tiga hari di tanah suci dan tujuh hari di
rumah.
... َفَم ن َتَم َّتَع ِباْلُع ْمَر ِة ِإَلى اْلَحَج َفَم ا اْسَتْيَسَر ِم َن اْلَهْد ِي َفَم ن َّلْم
َيِج ْد َفِصَياُم َثَلَثِة َأَّياٍم ِفي اْلَحَج َو َس ْبَعٍة ِإَذ ا َر َج ْع ُتْم ِتْلَك َع َش َر ٌة َك اِم َلٌة
َذ ِلَك ِلَم ن َّلْم َيُك ْن َأْهُلُه َح اِض ِر ى اْلَم ْس ِج ِد اْلَح َر اِم َو اَّتُقوا َهَّللا
Artinya: ... bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di
mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang
yang bukan penduduk Kota Mekkah). Dan bertak- walah kepada Allah
al-Baqarah/2: 196)
15
c. Penjelasan dengan tulisan seperti ketentuan zakat dan diyat.
4) Mutasyabih
Mutasyabih adalah lafaz yang tidak jelas maknanya dan tidak ada
ُهَو اَّلِذ ي َأنَز َل َع َلْيَك اْلِكَتَب ِم ْنُه َو اَيٌت ُم ْح َك َم ُت ُهَّن ُأُّم اْلِكَتاِب َو ُأَخ ُر
Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi al-
huruf tertentu seperti "Alif laam miim", sumpah (qasam) Allah seperti
kedua ini bukan hanya itu saja lafaz mutasyabih, tetapi juga terdapat
9
ibid
16
Allah dengan makhluknya seperti kata "yadun” dan "ainun" pada
ahkam dan hadis ahkam, karena untuk kedua macam nas yang disebut
terakhir ini di- anggap telah jelas. Lafazd mutasyabih terdapat dalam
10
ibid
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Kata lafaz itu berasal dari bahasa Arab yang secara sederhana diartikan
“ungkapan atau sebutan atau ucapan yang tersusun dari huruf-huruf. Bila
susunan huruf-huruf itu mengandung arti dan maksud tertentu dalam satu
komunitas, disebut lafaz terpakai atau اللفظ المستعملseperti kursi dan makan.
Bila susunan huruf itu tidak mengandung arti dan tidak dipahami oleh
komunitas yang menggunakan Bahasa itu, susunan huruf itu disebut “lafaz
yang terpakai” atau اللفظ المهمل.
2) Kalangan Hanafiyah sebagaimana dijelaskan oleh Adib Shalih yang kutip oleh
Satria Effendi mengelompokkan lafaz dari segi kejelasan maknanya
(dalalahnya) menjadi dua macam. Pertama lafaz yang artinva jelas yang
meliputi empat tingkatan yaitu: zahir, nas, mufassar, dan muhkam. Kedua
lafaz yang maknanya tidak jelas yang meliputi empat tingkatan juga yaitu:
khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih. Berikut ini akan dibahas satu per
satu dari kedua macam bentuk lafaz dilihat dari maknanya tersebut.
18
DAFTAR PUSTAKA
19