Anda di halaman 1dari 8

A.

Latar Belakang
Di dalam usul fiqih hukum dibentuk sesuai dengan kehendak dari
Syari’ yakni Allah SWT. Kehendak Allah tersebut dapat ditemui di dalam
Al-Qur’an maupun Hadits yang kemudian disebut sebagai penjelas dari
Al-Qur’an.1 Ushul fiqh yakni ilmu yang mengandung nilai atau berguna
untuk memperoleh hukum syara’ tentang perbuatan atau dalil-dalil yang
terperinci guna memecahkan masalah-masalah yang terjadi dari zaman ke
zaman. Selain itu, ushul fiqh digunakan untuk mengetahui alasan-alasan
pendapat para ulama dan ini akan lebih pentingbketika seseorang akan
memilih pendapat yang di pandang lebih valid.
Berdasarkan penjelasan yang diatas, Maka dapat disimpulkan
bahwa ushul fiqh memiliki peranan penting dalam upaya menemukan dan
mengeluarkan hukum dalil-dali syara’, baik yang bersumber dalam Al-
Qur’an maupun As-sunnah. Oleh karena itu untuk memahami dua hal
tersebut perlu juga pemahaman dari Lafaz yang ada pada Al-Qur’an dan
As-sunnah baik itu lafaz yang jelas makna dan penunjukkannya maupun
yang lafaz yang tidak jelas. Seperti lafaz secara zhahir, nash, mufassar,
muhkam, khofiy, mutasyabbih, dan ta’rif.
Oleh karena itu artikel ini akan membantu menjelaskan maksud
dari pernyataan yang diatas.

B. Pembahasan
1. Metodologi Formulasi Hukum Islam
Metodologi formulasi hukum islam memiliki metode dan cara
memahami serta menetapkan hukum dari sumbernya yaitu;
a. Memahami hukum dari nash atau teks syara’ yang diambil dari Al-
Qur’an dan Sunnah secara (tertulis dan terbaca) atau secara tidak
secara langsung (tersirat dibalik apa yang tertulis dan terbaca).
b. Memahami hukum tidak dari nash syara’, baik yang tertulis secara
langsung maupun tidak. Metode atau cara memahami dan menetapkan
hukum menurut cara ini disebut mengikuti kaidah makna nash.

1
Amir Syarifudin, Ushul Fiqih, Jilid II (Jakarta : Kencana PrenadaMedia Group, 2014), 1.
2. Pemahaman teks Al-Qur’an dan Sunnah.
Teks Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber dan dalil hukum islam
menggunakan Bahasa Arab. Karena Nabi yang menerima dan menjelaskan
Al-Qur’an itu menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu, setiap usaha
memahami dan mendalami hukum dari kedua teks tersebut sangat
bergantung pada kemampuan Bahasa arab. Maksud dari semua tersebut
para ahli Ushul menetapkan bahwa penggalian teks dan penggalian
hukum harus berdasarkan kaidah, dalam hal ini berpegang teguh pada dua
hal:
a. Pada petunjuk kebahasaan dan pehaman kaidah Bahasa Arab dari teks
tersebut dalam hubungannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
b. Pada petujuk Nabi dalam memahami hukum-hukum Al-Qur’an dan
penjelasan Sunnah atas hukum-hukum Qur’ani itu. Dalam hal ini lafaz
‘Arabi dipahami dalam ruang lingkup hukum syara’.
Lafaz itu sendiri artinya ungkapan atau sebutan atau ucapan yang
tersusun huruf-huruf. Beberapa kata yang tersusun yang mengandung arti
dan juga tersusun beberapa huruf itu bisa disebut lafaz atau satu lafaz.
Adapun kaidah lafaz ‘Arabi itu mencakup empat segi pokok pembahasan
sebagai berikut;
a. Pemahaman lafaz dari segi arti dan kekuatan penggunaannya.
b. Pemahaman lafaz dari segi penunjukkannya terhadap hukum.
c. Pemahaman lafaz dari segi kandungannya.
d. Pemahaman lafaz dari segi gaya bahasa.
3. Lafaz dari Segi Kejelasan Artinya
Dalam lafaz itu sendiri memiliki 2 makna pendapat, yaitu lafaz yang
jelas maknanya dan yang tidak jelas maknanya. Adapun penjelasan Lafaz
yang telah terang artinya dan jelas penunjukannya terhadap makna yang di
maksud, sehingga atas dasar kejelasan itu beban hukum dapat ditetapkan
tanpa memerlukan penjelasan. Dan lafaz yang tidak jelas memiliki arti
yang belum jelas maksudnya atau penunjukkannya terhadap makna yang
di maksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz.
a. Lafaz yang jelas dari Hanafiyah
Lafaz yang jelas menurut Hanafiyah macam-macamnya;
1) Zhahir
Zhahir sendiri memiliki arti secara jelas tanpa menjelaskan dan
memerlukan penjelasan dari luar. Pendapat dari beberapa kalangan
ulama ushul yaitu dari;
a) Al-Sarkhisi memberikan definisi; Dari apa-apa yang di
dengar meskipun tanpa pemahaman yang mendalam dapat
diketahui apa sebenarnya yang di maksud oleh pembicara
lafaz itu.
b) Al-Amidi memberikan definisi : lafaz zhahir adalah yang
menunjukan kepada makna yang dimaksud, berdasarkan
apa yang digunakan oleh bahasa menurut asal dan
kebiasaan, serta ada kemungkinan dipahami dari lafaz itu
adanya maksud lain dengan kemungkinan yang lemah.
c) Qadhi Abi Ya’la merumuskan definisi : lafaz yang
mengandung dua kemungkinan makna,namun salah satu
diantara keduannya lebih jelas
d) Definisi yang tampaknya dikemukan lebih oleh Abdul
Wahab khalaf: lafaz yang dengan sighat sendiri
menunjukan apa yang dimaksud tampa tergantung
pemahamannya kepada lafaz lain tetapi bukan maksud itu
yang dituju dalam ungkapan serta dalam ungkapan, serta
ada kemungkinanuntuk takwilkan (dipahami dengan
maksud lain).
2) Nash
Pengertian nash sendiri tidak berarti dalil syara dalam bentuk
tertulis seperti Al Qur’an atau Hadist dan bukan pula nash dalam
arti fiqh mazhab, qaul (pendapat) imam mujtahid yang dijadikan
dasar berijtihad bagi pengikut mazhab, tetapi kedudukan lafaz dari
segi kejelasan arti.
Pendapat para ulama mengemukan definisi yang berbeda
tentang lafaz nash. Adapun nash yang didefinisikan beberapa
Ulama’;
a) Definisi nash menurut al uddah :lafaz yang jelas dalam
hukum nya meskipun lafaz yang mungkin dipahami untuk
maksud lain.
b) Ulama hanafiyyah menjelaskan lafaz yang dengan
sighatnya sendiri menunjukan makna yang dimaksud secara
langsung menurut apa yang diungkapkan, dan ada
kemungkinan ditakwilkan atau menerangkan makna yang
tersirat dari penjelasan tersebut.
3) Mufassar
Ada beberapa definisi tentang mufassar;
a) Al-Sarkhisi mendefinisikan mufassar nama bagi sesuatu
yang terbuka yang dikenal dengannya secara terbuka dalam
bentuk yang tidak ada kemungkinannya mengandung
makna lain.
b) Definisi yang dikemukah oleh Abudul Wahab khalaf :suatu
lafaz yang dengan sighatnya sendiri memberi petunjuk
kepada maknannya sehingga tidak dapat dipahami adanya
makna laim dari lafaz tersebut.
c) Udduh merumuskan definisi yang sederhana namun jelas
yaitu: sesuatu lafaz yang dapat diketahui maknanya dari
lafaz tersebut.
4) Muhkam
Suatu lafaz yang sighatnya sendiri member petunjukan kepada
maknanya sesuai dengan pembentukan lafaz secara penunjuk yang
jelas , sehingga tidak menerima kemungkinan pembatalan,
pengganti maupun ta’wil. Muhkam memiliki dua jenis;
a) Muhkam lizatihi atau muhkam dengan sendirinya bila tidak
ada kemungkinan untuk pembantalan atau nasakh itu
disebabkan oleh nash(text) itu sendiri.
b) Muhkam lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila
tidak didapatkan di dalam naskah bukan karena nash yang
menasahkannya.

4. Lafaz yang Tidak Terang Artinya


Dalam pandangan ulama hanafiyyah lafaz yang tidak terang artinya
disebut : gairu wudhul al ma’na yang rinciannya dan urutan
peringkatnnya adalah:
1) Khafi

Suatu yang samar artinya dalam sebagian penunjukan atau dialah


nya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari sighat lafaz Lafaz
kahfi itu sebenarnya dari segi lafaz nya menunjukan arti yang jelas,
namun dalam penerapan artinnya terhadap sebagian lain dari satuan
artinya terdapat kesamaran untuk menghilangkan kesamaran itu
diperlukan penalaran dan takwil atau penjelasan dari yang lain.

Sumber kesamaran dalam lafaz disebabkan karena dalam salah satu


artinya afrad nya mengandung sifat tambahan dibandingkan satuan arti
yang lainnya. Contoh lafaz kahfi ini adalah pencuri dalam firman
Allah, surat Al-Maaidah (5) : 4 “pencuri laki-laki dan pencuri
perempuan, potonglah tangan keduanya”.

2) Muyskil

Lafaz yang ialah :suatu lafaz yang samar artinya , disebabkan oleh
lafaz itu sendiri. Adanya definisi lain yang memberikan penjelasan
terhadap definisi tersebut, yaitu bahwa lafaz musykil itu dari segi
sighat -nya sendiri tidak menunjukan maksud tertentu , oleh
karenannya diperlukan qarinah dari luar yang menjelaskam apa yang
dimaksud oleh lafaz tersebut.

Sumber kesamaran lafaz itu berasal dari itu sendiri, adakalanya


lafaz itu digunakan untuk arti yang banyak secara penggunaan yang
sebenarnya sehingga tidak dapat dipahami artinya dari semata hanya
melihat kepada hanya melihat kepada lafaz itu. Contohnya;

3) Mujmal

Yaitu lafaz yang maknanya mengandung beberapa keadaan d an


beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya. Lafaz mujmal lebih
samar dibandingkan lafaz sebelumnya dari segi shigatnya sendiri ia
tidak menunjukkan arti yang dimaksud, tidak pula mendapatkan
qarinah yang dapat membawa kita kepada maksudnya itu sendiri. Dari
Sebagian ulama berpendapat lafaz mujmal setelah memperoleh
penjelasan, kadang-kadang menjadi zhahir atau nash dan kadang-
kadang menjadi mufassar, dan kadang-kadang menjadi muhkam. Oleh
karena itu, kemungkinan tidak dapat dipastikan suatu diantara macam
macamnya.

Contohnya;

4) Mustasyabbih

Lafaz yang dapat diragukan artinya karena mengandung beberapa


persamaan. Adapun dalam istilah hukum yakni memiliki arti lafaz
yang samar artinya dan tidak ad acara yangg dapat digunakan untuk
mencapai artinya. Ketidakjelasan mutasyabbih ini adalah karena
keshigattannya atau ucapannya sendiri tidak memberikan arti.
Musasyabbih itu ada dua bentuk;

a) Dalam bentuk potongan huruf hijaiah yang terdapat dalam


pembuka beberapa surat dalam Alqur'an seperti ‫ كهيعص‬،‫ر‬JJ‫ ال‬،‫ الم‬dan
sebagainya. Potongan potongan dalam bentuk huruf ini tidak
mengandung arti apa apa ditinjau dari segi lafaznya. Allah swt dan
Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah menjelaskannya sehingga
pembaca hanya akan mengatakan hanya Allah yang mengetahui.
b) Ayat ayat yang menurut zhahirnya mempersamakan Allah
Pencipta dengan makhluknya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat
menurut arti lughawinya karena Allah swt Mahasuci dari pengertian
demikian. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-fath (48).
Para ulama sepakat mengatakan bahwa di dalam Al-Qur'an
memang terdapat ayat-ayat mutasyabih karena Allah SWT sendiri
yang mengatakan demikian, seperti tersebut dalam surat Ali 'Imran (3):
7:

‫هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات‬

Dialah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu.


Diantara isi nya ada ayat-ayat muhkamât, dan itulah Ummul Kitab
(pokok-pokok isi Al-Qur'an) dan yang lain adalah ayat-ayat
mutasyâbihât. Di samping kesepakatan ulama tentang keberadaan ayat
mu tasyâbihât dalam Al-Qur'an, mereka berbeda pendapat tentang
tempatnya dalam Al-Qur'an.
5) Ta’rif
Contoh sebab ketidakjelasan;
5. Lafaz yang tidak terang artinya menurut Mutakallimin
a. Mujmal
Kedua-duanya tidak memiliki perbedaan, kemudian lafaz tersebut
haus diijtihadkan untuk mengunggulkan salah satu maknanya.
Adapun bentuk mujmal dan contohnya;
-Musytarak adalah salah satu bentuk mujmal, secara objek bahasa
musytarak menunjukkan sesuatu yang kedua-duanya hakikat.
Contohnya quru’ yakni ada yang mengartikan suci dan haid. Kedua
arti tersebut digunakan oleh orang arab tetapi yang diprioritaskan ialah
yang digunakan dalam hukum.
Quru’tersebut bisa menjadi hakikat haid dan bisa juga menjadi
hakikat haidh. Maka kalimat quru’tersebut memerlukan penjelasan
untuk memahami makna yang diinginkan.
b. Surotun Mujmal
Kalimat arab yang menunjukkan makna zhahir, tapi dia keluar dari
makna hakikatnya itu digunakan dalam ‘urf syara’ menimbulkan
makna baru. Contohnya; sholat dalam orang arab diartikan doa
sedangkan dalam arti etimologi artinya.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut;
Metedologi formulasi hukum islam menjelaskan pemahaman
syari’. Cara memahami hukum dari nash AlQurán dan teks syara’
baik secara langsung maupun tidak langsung dan cara mehami
hukum tidak dari nash syara’. Dengan memahami teks Al-Qurán
dan Sunnah diperlukan juga cara memahai lafaznya baik dari segi
kejelasan artinya ataupun macam macam lafaz seperti; zhahir,
nash, mufassar dan muhkam.
Dan memahami kejelasan lafaz menurut mutakallimin
sseperti zhahir, muawwal. Serta memahami perbandingan zhahir
dan nash dengan mazhab hanafiyah.

Anda mungkin juga menyukai