Anda di halaman 1dari 22

RANGKUMAN USHUL FIQH MATERI 6-12

KLP 6 (QIYAS)
A. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau
penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Imam syafi’I mendefinisikan qiyas sebagai
upaya pencarian (ketetapan hukum) dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu
yang pernah diinformasikan dalam al-Quran dan hadist.
Pengertian qiyas secara terminology terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan para pakar ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi mengandung
pengertian yang sama. Di antaranya dikemukakan
 Shadr asy-Syariah (w. 747 H/1346 M, tokoh ushul fiqh Hanafi).
Artinya : memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ diseabkan kesatuan ‘illah
yang tidak dapat dicapai melalui hanya dengan pendekatan Bahasa.
Maksudnya, ‘illah yang ada pada satu nash sama dengna ‘illah yang ada pada kasus
sedang dihadapi seorang pakar, dan karena kesatuan ‘illah ini, maka hukum dari kasus
yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang dtentukan oleh nash tersebut.
 Mayoritas ulama syafi’yah mendefinisikan qiyas dengan :
Artinya : Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang yang
diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum
bagi keduanya, disebabka sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun
sifat.
 Saifuddin al-Amidi mendefinikan qiyas dengan.
Artinya : Mempersamakan ‘illah yang ada pada furu’ dengan ‘illah yang ada pada
ashal yang diistinbatkan dari hukum ashal.
 Wahbah al-Zuhaily menedefinisikan qiyas dengan:
Artinya : Menyatukan suatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan
suatu yang tidak disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘illah hukum
antara keduanya.
Apabila ‘illah-nya sama dengan ‘illah hukum yang disebutkan dalam nash,
maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan
nash tersebut.
Misalnya, seorang pakar ushul fiqh (mujtahid) ingin mengetahui hukum minuman bir
atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitian secara cermat, kedua minuman itu
mengandung zat yang memaukkan, seperti zat yang ada pada khamar. Zat yang
memabukka inilah yang menjdi ‘illah diharamkannya khamar. Hal ini sesuai dengan
firman Allah SWT dalam surat (5: 90-91). Dengan demikian, pakar tersebut telah
menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamar, karena
‘illah keduanya adalah sama, yakni memabukkan. Kesamaan ‘illah yang anatara kasus
yang tidak ada nash nya dengan hukum yang ada nash nya dalam al quran atau hadist,
menyebabkan adanya kesatuan hukum. Inilah yang dimaksudkan para pakar ushul
fiqh bahwa penentuan hukum melalui metode qiyas bukan berarti menentukan hukum
sejak semula, tetapi menyingkapkan dan menjelaskan hukum untuk kasus yang
sedang dihadapi dan mempersamakannya dengan hukum yang ada pada nash,
disebabkan kesamaan ‘illah antara keduanya.
B. Rukun dan Syarat Qiyas
Para ahli Ushul yang mempergunakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan
ketika qiyas itu telah memenuhi rukunnya. Rukun qiyas ada empat :
a. Ashlun Yaitu merupakan hukum pokok yang diambil persamaan atau sesuatu
yang ada nash hukumnya, syarat-syarat ashl :
1. Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok.
Kalau sudah tidak ada misalnya, sudah dihapuskan (Mansukh) maka tidak
mungkin terdapat pemindahan hukum.
2. Hukum yang ada dalam pokok harus hukum syara’ bukan hukum akal atau
hukum Bahasa.
b. Far’un Yaitu merupakan hukum cabang yang dipersamakan atau sesuatu atau
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Syarat-syarat :
1. Hukum cabang tidak lebih dulu adanya daripada hukum pokok
2. Cabang tidak mempunyai kekuatan sendiri
3. ‘Illat yang terdapat pada hukum cabang harus sama dengan ‘illat yang terdapat
pada pokok.
4. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
c. ‘Illat Yaitu sifat yang menjdi dasar persamaan antara hukum cabang dengan
hukum pokok. Syarat-syaratnya :
1. ‘illat harus berupa sesuatu yang terang dan tertentu.
2. ‘Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan nash lah yang
didahulukan.
d. Hukum Yaitu, merupakan hasil dari qiyas tersebut. Lebih jelasnya biasa
dicontohkan bahwa Allah telah mengharamkan arak, karena merusak akal,
membinasakan badan, menghabiskan harta. Maka segala minuman yang
memabukkan dihukumi haram. Dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Segala minuman yang memabukkan adalah far’un atau cabang artinya
diqiyaskan.
2. Arak, adalah menjadi ukuran atau tempat menyerupakan atau mengqiyaskan
hukum, artinya ashal atau pokok.
3. Mabuk merusak akal, adalah ‘illat penghubung atau sebab.
4. Hukum, segala yang memabukkan hukumnya haram.
Bahwasanya Allah SWT tidaklah mensyariatkan suatu hukum melainkan untuk
suatu kemaslahatan dan bahwasanya kemaslahatan hamba merupakan sasaran
yang dimaksudkan dari pembentukan hukum. Maka apabila suatu kejadian yang
tidak ada nashnya menyamai suatu kejadian yang ada nashnya dari segi ‘illat
hukum yang menjadi mazhinnah al maslahah, maka hikmah dan keadilan
menuntut untuk dipersamakannya dalam segi hukum, dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan yang menjadi tujuan syar’I (pembuat hukum) dari pembentukan
hukumnya. Keadilan dan kebijaksanaan Allah SWT tidak akan sesuai jika Dia
mengaharamkan minuman khamar karena ia memabukkan dengan maksud untuk
memelihara akal hamba-Nya dan minuman keras lainnya yang didalamnya
mengandung ciri-ciri khas khamr, yaitu memabukkan. Karena acuan larangan ini
adalah memlihara akal dari suatu yang memabukkan, sedangkan meninggalkan
pengharaman minuman keras lainnya merupakan suatu penawaran untuk
menghilangkan akal dengan suatu yang memabukkan lainnya.
Dan bahwasanya qiyas merupakan dalil yang yang dikuatkan oleh fitrah yang
sehat dan logika yang benar, sesungguhnya orang yang diarang meminum
minuman karena minuman itu beracun,. Maka ia akan mengqiyaskan segala segala
minuman yang beracun dengan minuman tersebut. Maka qiyas merupakan sumber
pembentukan hukum yang sejalan dengan kejadian yang terus menerus datang dan
menyingkap hukum syariat terhadapa berbagai peristiwa baru ang terjadi dan
menyelaraskan antara pembentukan hukum dan kemaslahatan.
C. Contoh Qiyas
• Hukum meminum Bir/wisky
Misalnya, seorang pakar ushul fiqh (mujtahid) ingin mengetahui hukum
minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitian secara cermat, kedua
minuman itu mengandung za yang memaukkan, seperti zat yang ada pada khamar. Zat
yang memabukka inilah yang menjdi ‘illah diharamkannya khamar. Hal ini sesuai
dengan firman Allah SWT dalam surat (5: 90-91). Dengan demikian, pakar tersebut
telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamar,
karena ‘illah keduanya adalah sama, yakni memabukkan. Kesamaan ‘illah yang
anatara kasus yang tidak ada nash nya dengan hukum yang ada nash nya dalam al
quran atau hadist, menyebabkan adanya kesatuan hukum. Inilah yang dimaksudkan
para pakar ushul fiqh bahwa penentuan hukum melalui metode qiyas bukan berarti
menentukan hukum sejak semula, tetapi menyingkapkan dan menjelaskan hukum
untuk kasus yang sedang dihadapi dan mempersamakannya dengan hukum yang ada
pada nash, disebabkan kesamaan ‘illah antara keduanya.
Q.S Al-Maidah : 90-91
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
(Q.S Al-Maidah : 90) “Sesungguhnya syaitn itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi
itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Q.S Al-Maidah : 91)
Ashal = Khamar
Far’un = Narkotika (sabu-sabu, heroin, dkk)
Hukum ashal = Haram (mengacu pada Q.S Al baqarah : 219 )
Illat hukum = Memabukkan, menghilangkan kesadaran seseorang, dan akan
menimbulkan kemudharatan.
Q.S Al Baqarah : 219
Artinya:
“ Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah,
“Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi
dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” Dan mereka menanyakan kepadamu
(tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang
diperlukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu
memikirkan,”
D. Macam-Macam Qiyas
Macam-macam/pembagian qiyas dapat diurai berdasarkan hal-hal berikut :
• Pembagian qiyas dilihat dari segi ‘illat yang terdapat pada furu’ yang dibandingkan
pada ‘illat yang terdapat pada ashal, menjadi tiga bagian :
1. Qiyas Awlawi Yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan ‘illat pada furu’.
Contoh :
Mengqiyas-kan keharaman memukul orang tua kepada ucapan “uff’’ (berkata kasar)
terhadap orang tua dengan ‘illat “menyakiti”. Hal itu ditegaskan Allah Swt dalam
surat al-Isra (17) : 23.
Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-
baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya Perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka Perkataan yang mulia” (QS 17:23).
Mengucapkan kata “Ah” kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi
mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar dari pada itu.
Keharaman memukul kepada orang tua lebih kuat dari keharaman mengucapkan “uf”
karena sifat menyakiti pada memukul lebih kuat dari pada yang terdapat pada ucapan
“uf”
2. Qiyas Musawi yaitu qiyas yang kekuatan hukum pada furu’ sama dengan kekuatan
hukum pada ashal dikarenakan kekuatan ‘illat-nya sama.
Contoh :
Mengqiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya dengan tidak
sepatutnya dalam hal sama-sama keharamannya. QS an-Nisa (4): 10.
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam
api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S An Nisa : 10).
‘illat nya , Karena tindakan tersebut sama-sama melenyapkan harta anak yatim.
3. Qiyas Adna Yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih rendah
bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat dalam ashal (pokok).
Contoh : Sifat yang memabukan yang ada dalam minuman keras bir umpanya lebih
rendah dari sifat memabukan yang terdapat pada minuman keras khamar yang
diharamkan dalat al-Quran surat al-Maiddah ayat 90.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. ( Q.S Al Maidah : 90).
Meskipun pada ashal dan fur’u (cabang) sama-sama terdapat sifat memabukan
sehingga dapat diberlakukan qiyas.
 Pembagian qiyas dari segi kejelasan ‘illat-nya.
Qiyas dari segi kejelasan illatnya terbagi kedalam dua macam:
1. Qiyas Jali Yaitu qiyas yang ‘illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan
dengan penetapan hukum ashal namun titik perbedaan antara ashal dengan
furu’ dipastikan tidak ada pengaruhnya.

Contoh : Meng-qiyas-kan perempuan kepada laki-laki dalam kebolehan


meng-qashar shalat di perjalanan, meskipun terdapat perbedaan jenis
kelamin tetapi perbedaan tersebut dapat dikesampingkan.
2. Qiyas Khafi Yaitu qiyas yang ‘illat-nya tidak disebutkan dalam nash,
maksudnya adalah dengan di-istinbath-kan dari hukum ashal yang
memungkinkan kedudukan ‘illat-nya bersifat zhanni.
Contoh : Meng-qiyas-kan pembunuhan dengan benda berat kepada
pembunuhan dengan benda atau senjata tajam dalam penetapan hukum
qishash dengan ‘illat pembunuhan disengaja dalam bentuk permusuhan.
Kedudukan ‘illat ini dalam ashal lebih jelas dibandingkan dengan
kedudukannya dalam furu’.
 Pembagian qiyas dari segi keserasian ‘illat-nya dengan hukum;
Berdasarkan keserasian ‘illat-nya dengan hukum qiyas terbagi kedalam dua
bagian:
1. Qiyas Muatstsir Yaitu qiyas yang ‘illat penghubung antara ashal dan furu’
ditetapkan dengan nash yang sharih atau ijma’, atau qiyas yang ain sifat
(sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashal dengan furu’ berpengaruh
terhadap ain hukum.
Contoh :
Meng-qiyas-kan minuman keras yang dibuat selain dari anggur kepada
khamar dengan ‘illat memabukkan, hal ini termasuk pada ‘illat yang
hubungannya dengan hukum haram adalah berbentuk qiyas muatstsir.
Q.S Al Baqarah : 219
Artinya : “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar
dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.”
Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka
infakkan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang diperlukan).”
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu
memikirkan.” (Q.S Al Baqarah : 219)
Jadi, perasan anggur haram, yakni sama halnya dengan khamar karena
memiliki illat yang sama yakni memabukkan, dan hukumnya pun haram
sebagaimana khamar (hukum ashal).
2. Qiyas Mulaim
Yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum
haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.
Contoh : Qiyas pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan
dengan senjata tajam yang ‘illat-nya pada ashal dalam hubungannya
dengan hukum pada ashal adalah dalam bentuk munasib mulaim.
Al-Gazali mendefinisikan munasib selaras (al-munasib almulaim)
sebagai suatu atribut yang diketahui dapat menjadi ilat hukum bukan
karena adanya penyataan nas atau ijmak, melainkan karena munasabahnya
dengan hukum, dalam arti bahwa atribut itu dapat dipahami secara logika
dan akal mampu menangkap pesan kemaslahatan yang terkandung di
dalamnya. Keselarasan itu juga dapat diketahui berdasarkan ketentuan
syariah ditempat lain.

Contoh :
Tidak wajib qahda salat bagi wanita haid, karena hal itu dapat
menimbulkan kesulitan dan kesukaran. Alasan kesukaran itu tidak
ditemukan dalam nas dan ijma, tetapi melalui munasabah yang secara akal
sehat juga dapat menangkap bahwa terdapat kesulitan atau kesukaran bagi
wanita untuk menqadha salat karena mereka berulang-ulang mengalami
menstruasi (haid). ‘Illat ini memiliki persamaan dengan illat bolehnya
menqasar salat ketika sedang musafir. Karena alasan musafir sehingga
salat boleh diqasar. Secara langsung kedua contoh tidak memiliki
munasabah (kesesuaian ilat), tetapi secara tidak langsung dapat dipahami
bahwa ada unsur kesukaran dan kesulitan pada saat musafir untuk
melaksanakan salat secara sempurna, meskipun tingkat kesulitan itu
subyektif, sehingga hal itu tidak dapat dijadikan alasan. Namun secara
umum dipahami ada kesulitan dan kesukaran pada dua contoh itu. Karena
adanya kesukaran itulah sehingga dapat dijadikan illat umum terhadap
kasus-kasus yang sama.
Artinya : “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa
kamu meng-qasar salat, jika kamu takut diserang orang kafir.
Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Q.S An
Nisa : 101)

Sebagaimana ayat diatas, yakni tentang tidak berdosa kita melakukan


qhasar dikarenakan ada illat atau kesukaran.
KELOMPOK 7 (‘Urf)
A. Pengertian ‘Urf
Dari segi etimologi al-‘urf berasal dari kata yang terdiri dari
huruf ‘ain, ra’ dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata
ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang dikenal
sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik). Adapun dari
segi terminologi. Kata ‘urf mengandung makna: Sesuatu yang
menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk
setiap perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata
yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dlam
pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak
memahaminya dalam pengertian lain.
Dalam istilah fuqaha ‘urf ialah kebiasaan. Dari pengertian ini
kita mengetahui bahwa ‘urf dalam sesuatu perkara tidak bisa
terwujud kecuali apabila ‘urf itu mesti berlaku atau sering-seringnya
berlaku pada perkara tersebut, sehingga masyarakat yang mempunyai
‘urf tersebut selalu memperhatikan dan menyesuaikan diri
dengannya. Jadi unsur pembentukan ‘urf ialah pembiasaan bersama
antara orang banyak, dan hal ini hanya terdapat pada keadaan terus-
menerus atau sering-seiringnya dan kalau tidak demikian, maka
disebut perbuatan perseorangan.
Sebagai contoh ialah kebiasaan masyarakat Indonesia pada
perkawinan ialah bahwa keluarga dari fihak calon mempelai laki-laki
datang ketempat orang tua calon mempelai perempuan untuk
meminangnya.Selain itu, pada adat perbuatan, seperti kebiasaan umat
manusia berjual beli dengan tukar menukar secara langsung, tanpa
bentuk ucapan akad. Dan juga kebiasaan mereka untuk tidak
mengucapkan kata “daging” sebagai “ikan”.
B. Macam-macam ‘Urf
Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada tiga macam :
1. Dari segi objeknya :
a. Al-‘Urf al-Lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan).
Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan
lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu,
sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas
dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang
berarti daging sapi; padahal kata-kata “daging” mencakup
seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi
penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki
bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya
beli daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil daging
sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah
mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
b. Al-‘urf al-‘amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud
“perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat dalam masalah
kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan
orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari
tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat memakan
makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan
kebiasaan masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam
acara-acara khusus.
2. Dari segi cakupannya:
a. Al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum). Adalah
kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh
masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli
mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil
seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam
harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh
lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang
bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang adalah
duapuluh kilogram.
b. Al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus). Adalah
kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyrakat tertentu.
Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat
tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan
untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat
mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan
mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.

3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ :


a. Al-‘urf al-Shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) Adalah
kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang
tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak
menghilangkan kemaslahtan mereka, dan tidak pula
membawa mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa
pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak
wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
b. Al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak). Adalah
kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan
kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya,
kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam
menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama
pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah
dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta
rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya
10%. Dilihat dari segi keuntungan yang di raih peminjam,
penambahan utang sebesar 10% tidaklah membertakan,
karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupaiah
tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi
praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong
menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang
sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan.
C. Kedudukan ‘Urf sebagai Sumber Hukum
Dalam kehidupan sosial dalam masyarakat manusia yang tidak
mempunyai undang-undang (hukum-huum), maka ‘urf lah
(kebiasaan) yang menjadi Undang-undang yang mengatur mereka.
Jadi sejak zaman dahulu ‘urf mempunyai fungsi sebagai hukum
dalam kehidupan manusia.
Sampai sekarang, ‘urf dianggap sebagai salah satu sumbar
undang-undang, dimana unsur-unsurnya banyak diambilkan dari
hukum-hukum yang berlaku, kemudian dikeluarkan dalam bentuk
pasal-pasal dalam undang-undang.
Syari’at Islam datang kemudian banyak mengakui tindakan
tindkan dan hak-hak yang sama-sama dikenal oleh Syari’at Islam dan
masyarakat Arab sebelumnya, disamping banyak memperbaiki dan
menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang lain. Selain itu, Syari’at
Islam juga membawa hukum-hukum baru yang mengatur segala segi
hubungan manusia satu sama lain dalam kehidupan sosialnya, atas
dasar keperluan dan bimbingan kepada penyelesaian yang sebaik-
baiknya, karena Syari’at-syari’at Tuhan dengan aturan-aturan
keperdataannya (segi keduniaannya) dimaksudkan untuk mengatur
kepentingan dan hak-hak manusia. Oleh karena itu kebiasaan yang
telah ada bisa diakui asal dapat mewujudkan tujuan-tujuannya serta
sesuai dengan dasar-dasarnya yang umum.
Dalam Syari’at Islam dalil yang dijadikan dasar untuk
menganggap ‘urf (kebiasaan) sebagai sumber hukum ialah firman
Allah SWT :
“dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh”.

Meskipun kata-kata ‘urf disini sebenarnya diartikan menurut


arti bahasa, yaitu perkara yang biasa dikenal dan dianggap baik,
namun bisa juga dipakai untuk menguatkan ‘urf menurut arti istilah,
karena apa yang biasa dikenal oleh orang banyak dalam perbuatan-
perbuatan dan hubungannya satu sama lain termasuk perkara yang
dianggap baik oleh mereka dan dikenal oleh pikiran mereka.
D. Kehujjahan ‘Urf Sebagai Dalil Syara’
‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’
tersendiri. Pada umumnya, urf ditujukan untuk memelihara
kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan
penafsiran beberapa nash. Namun hal ini bukan berarti urf tidak
mempunyai dasar hukum sebagai salah satu sahnya sumber syari’at
islam. Mengenai kehujjahan urf menurut pendapat kalangan ulama
ushul fiqh, diantaranya:
• Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa urf adalah
hujjah untuk menetapkan hukum islam. Alasan mereka ialah
berdasarkan firman Allah dalam surat al A’rof ayat 199:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang
ma’ruf serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.
Ayat ini bermaksud bahwa urf ialah kebiasaan manusia dan
apa-apa yang sering mereka lakukan (yang baik). Ayat ini, bersighat
‘am artinya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengerjakan
suatu hal yang baik, karena merupakan perintah, maka urf dianggap
oleh syara’ sebagai dalil hukum.
Maka dari pernyataan di atas, dapar dikatakan bahwasannya
sesuatu yang sudah lumrah dilakukan manusia di dunia untuk
kemaslahatan hidupnya, maka hal itu dianggap benar oleh syari’at
islam meskipun tidak ada dalil yang menyatakannya baik dalam al
qur’an ataupun sunnah.
Selain berdasarkan dalil al qur’an tersebut, ulama Hanafiyah dan
Malikiyah juga berhujjah dengan hadits nabi:
“Sesuatu yang dianggap baik oleh umat islam, termasuk suatu hal
yang baik pula menurut Allah”.
Hadits ini mengandung arti bahwa hal yang dipandang baik
bagi orang islam berarti hal itu baik pula di sisi Allah yang di
dalamnya termasuk juga urf yang baik. Yang mana berdasarkan
dalil-dalil tersebut, urf yang baik adalah suatu hal yang baik di
hadapan Allah.
 Golongan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf sebagai
hujjah atau dalil hukum syar’i. Golongan Imam Syafi’i tidak mengakui adanya
istihsan, mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath
hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Maka dengan hal itu, secara
otomatis golongan Imam Syafi’ juga menolak menggunakan urf sebagai
sumber hokum islam. Penolakannya itu tercermin dari perkataannya
sebagaimana berikut:
“Barang siapa yang menggunakan istihsan maka sesungguhnya ia telah
membuat hukum”.
Bahkan dalam kitab ‘Risalah’-nya, beliau menyatakan dengan tegas sebagai
berikut, yang artinya:
“ Tidak seorang pun berhak selain Rasulullah menetapkan sesuatu hukutn
tanpa alasan (dalil) dan tidak seorang pun pantas menetapkan berdasarkan apa
yang dianggap baik (istihsan). Sesungguhnya menetapkan hukum dengan
istihsan adalah membuat ketentuan baru yang tidak mempedomani ketentuan
yang telah digariskan sebelumnya”.
Berkaitan dengan penolaknnya terhadap istihsan ini, beliau
mengemukakan beberapa dalil (argumen) sebagai dasar dari penolakannya,
sebagaimana tercermin dalam kitabnya alRisalah dan al-Umm. Ia
mengemukakan dalil-dalil dari al-Quran dan hadits, di antaranya:
• Surat al-Maidah (5): 3 yang berbunyi:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama
bagimu”.
• Surat al-Nahl (16): 89 yang berbunyi:
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat”.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka Imam Syafi’i menolak adanya
sumber hukum dari urf, karena beliau menganggap bahwa urf merupakan
penetapan suatu hukum yang tidak berdasarkan dalil yang sudah ditetapkan
yakni; Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
E.Syarat-syarat Pemakaian ‘Urf sebagai Sumber Hukum
Syarat-syarat ‘urf yang bisa diterima oleh hukum Islam :
• ‘Urf harus berlaku terus menerus atau kebanyakannya berlaku
Yang dimaksud dengan terus menerus berlakunya ‘urf ialah bahwa ‘urf
tersebut berlaku untuk semua peristiwa tanpa kecualinya, sedan yang
dimaksud dengan kebanyakan berlakunya ‘urf ialah bahwa ‘urf tersebut
berlaku dalam kebanyakan peristiw. Yang menjadi ukuran kebanyakan
berlakunya menurut hitungan –statistik. Kalau sesuatu perkara sama
kekuatannya antara dibiasakan dengan tidak dibiasakan, maka perkara tersebut
dinamai ‘urf-mustarak (‘urf rangkap). ‘Urf semacam ini tidak bisa dijadikan
sandaran dan dalil dalam menentukan hak-hak dan kewajiban karena apabila
perbuatan orang banyak pada sesuatu waktu bisa dianggap sebagai dalil, maka
peninggalannya pada waktu yang lain dianggap sebagai penentang dalil
tersebut.
• ‘Urf yang dijadidkan sumber hukum bagi sesuatu tindakan harus terdapat
pada waktu diadaknnya tindakan tersebut
Bagi ‘urf yang timbul dari sesuatu perbuatan tidak bisa dipegangi, dan
hal ini adalah untuk menjaga kestabilan ketentuan sesuatu hukum. Misalnya,
kalau kata-kata “Sabilillah” dalam pembagia harta zakat menurut ‘urf pada
suatu ketika diartikan semua keperluan jihad untuk agama, atau semua jalan
kebaikan dengan mutlak, menurut perbedaan pendapat para ulama dalam hal
ini, atau kata-kata “Ibnus-Sabil” diartikan kepada orang yang kehabisan bekal
dalam perjalanan. Kemudian pengertian yang dibiasakan tersebut berubah,
sehingga Sabilillah diartikan anak pungut yang tidak mempunyai keluarga,
maka nas-nas hukum tersebut tetap dirtikan kepada pengertian ‘urf pertama,
yaitu yang berlaku pada waktu kelurnya nas tersebut, karena pengertian
tersebut itulah yang dikehendaki oleh Syara’, sedang pengertian-pengertian
yang timbul sesudah keluarnya nas tidak menjadi pertimbangan. Oleh karena
itu Ibnu Nujaim berkata sebagai berikut :
“’Urf yang menjadi dasar kata-kata ialah ‘urf yang menyertai dan mendahului,
bukan ‘urf yang datang kemudian. Oleh karena itu para fuqaha mengatakan:
“Tidak ada pertimbangan terhadap ‘urf yang datang kemudian”.
• Tidak ada penegasan (nas) yang berlawanan dengan ‘urf. Penetapan hukum
berdasarkan ‘urf dalam hal ini termasuk dalam penetapan berdasrkan
kesimpulan (menurut yang tersirat). Akan tetapi apabila penetapan tersebut
berlawana dengan penegasan, maka hapuslah penetapan tersebut. Oleh karena
itu sesuatu peminjaman barang diabatasi oleh oenegasan orang yang
meminjamkan, baik megenai waktu atau tempat atau besarnya, meskipun
penegasan tersebut berlawanan dengan apa yang telah terbiasa. Jadi kalau
sesorang meminjam kendaraan muatan dari orang lain, maka ia dianggap telah
diixinkan untuk memberinya muatan menurut ukurannya yang biasa. Akan
tetapi kalau pemiliknya dengan tegas-tegas meentukan batas-batasnya sendiri,
meskipun berlawanan dengan kebiasaan, maka peminjam tidak boleh
melampaui batas-batas yang telah ditentukan itu.
• Pemakaian ‘urf tidak akan mengakibatkan dikesampingkannya nas yang
pasti dari Syari’at, sebab nas-nas Syara’ harus didahulukan atas ‘urf. Apabila
nas Syara’ tersebut bisa digabungkan dengan ‘urf, maka ‘urf tersebut tetap
bisa dipakai.

KELOMPOK 8(KONSEP ISTIHSAN)

A. Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap sesuatu,
Sedangkan menurut istilah ulama fiqh, istihsan adalah berpalingnya
seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jail (nyata) kepada tuntutan
qiyas yang khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum
istitsnai (pengecualian), karena dapat dalil yang mementingkan
perpindahan.
Apabila ada kejadian yang tidak terdapat nash hukumnya, maka untuk
menganalisisnya dapat menggunakan dua aspek yang berbeda yaitu:
Pertama : Aspek nyata (Zhahir) yang menghendaki suatu hukum tertentu.
Kedua : Aspek tersembunyi (Khafi) yang menghendaki hukum lain.
Dalam hal ini, apabila dalam diri mujtahid terdapat dalil yang
mengunggulkan segi analisis yang nyata, maka ini disebut dengan istihsan,
menurut istilah syara’. Demikian pula apabila ada hukum yang bersifat
kulli (umum) namun pada diri mujtahid terdapat dalil yang menghendaki
pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli (umum) tersebut, dan mujtahid
tersebut menghendaki hukum juz’iyyah dengan hukum yang lain, maka hal
tersebut menurut syara’ juga disebut dengan istihsan.
B. Macam-Macam Istihsan
1. Istihsan Qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dan ketentuan
hukum yang didasarkan kepada qiyas jali( nyata ) kepada Ketentuan
hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi (yang tersembunyi), karena
adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentun hukum tersebut.
Alasan kuat yang dimaksud disini adalah kemaslahatan. Istihsan dalam
bentuk pertama inilah yang disebut dengan istihsan qiyasi. Contoh
dibawah ini akan lebih mendekatkan pemahaman kita kepada
pengertian Istihsan dalam bentuk yang pertama ini.
Berdasarkan istihsan qiyasi yang dilandasi oleh qiyasi khafi, air
sisa minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum, seperti :
sisa minuman burung gagak atau burung elang. Padahal, berdasarkan
qiyas jali, sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung buas
adalah najis dan haram unutuk diminum, karena sisa minuan tersebut
telah bercampur dengan air liurnya, yaitu dengan meng-qiyaskkan
kepada dagingnya. Sedangkan segi istihsannya bahwa jenis burung
yang buas, meskipun dagingnya haram tetapi air liur yang keluar dari
dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa minumannya. Karena ia
minum dengan menggunakan dengan paruhnya sedangkan paruh
adalah tulang yang suci. Adapun binatang buas maka ia minum dengan
lidahnya yang bercampur dengan air liurnya. Oleh karena inilah, sisa
minumannya najis.
Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan
air sisa minuman binatang buas ini ditetapkan berdasarkan Istihsan
qiyasi, yaitu mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang
berdasarkan qiyas jali (najis dan haram), kepada hukum yang
berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena adanya alasan yang
kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.
Contoh lainnya Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat
wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang
dilarang Melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu
seseorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya.
Maka untuk kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah istihsan
seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat
kepadanya.
Dari contoh di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Yang
menjadi illat dari contoh di atas adalah bahwa seorang dokter itu
hukumnya dalam Islam bisa untuk melihat aurat seseorang dengan
syarat dokter tersebut tidak boleh membocorkan apa-apa yang telah ia
lihat.
2. Istihsan Istishna’i
Istihsan Istishna’I adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari
ketentuaan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada
ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus, istihsan dalam bentuk
yang kedua ini disebut dengan istihsan Istishna’I. istihsan bentuk yang
kedua ini terbagi menjadi beberapa macam yaitu sebagai berikut :
a. Istihsan bi an-Nashsh Istihsan bi an-Nashsh adalah pengalihan
hukum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan lain dalam
bentuk pengecualian, karena ada nashsh yang mengecualikannya,
baik nashsh tersebut Al-Qur’an maupun sunnah.
Contoh Istihsan bi an-Nashsh berdasarkan Nashsh Al-Qur’an
adalah berlakunya ketentuan wasiat setelah seseorang itu wafat,
padahal menurut ketentuan umum ketika orang yang telah wafat, ia
tidak berhak lagi terhadap hartanya, karenanya telah beralih kepada
ahli warisnya, Nyatanya, ketentuan umum tersebut dikecualikan
oleh Al-Qur’an, antara lain termaktub dalam surah an-Nisa’ (4) :
12 :
“Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah
dibayar utangnya…”
Contoh istihsan bi an-Nashsh yang berdasarkan sunnah ialah, tidak
batalnya puasa orang yang dimakan atau minum karena lupa,
padahal menurut ketentuan umum, makan dan minum
membatalkan puasa, nyatanya ketentuan umum tersebut
dikecualikan berdasarkan hadist:
Dari Abu Hurairah RA, katanya, Rasullah SAW bersabda :
“ Barang siapa yang lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan
atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya,
karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minuman
kepadanya”.

b. Istihsan Bi al-Ijma’
Istihsan Bi al-Ijma’ adalah istihsan yang meninggalkan
penggunaan dalil qiyas karena adanya ijma’ ulama yang
menetapkan hukum yang berbeda dari tuntunan qiyas. [7] Sebagai
contoh, ketetapan ijma’ tentang sahnyaakad istishna’
( perburuhan/pesanan ). Menurut qiyas, semestinya akad itu batal.
Sebab sasaran (objek) akad tidak ada ketika akad itu
dilangsungkan.
Akan tetapi karena transaksi model itu telah dikenal dan sah
sepanjang zaman, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau
urf’Am(tradisi) yang dapat mengalahkan dengan dalil qiyas. Yang
demikian ini berarti merupakan perpindahan suatu dalil ke dalil
lain yang lebih kuat.
c. Istihsan bin al-Urf
Istihsan bin al-Urf adalah pengecualian hukum dari prinsip
syari’ah yang umum, berdasarkan kebiasaan yang berlaku.
Contohnya ialah, menurut ketentuan umum menetapkan ongkos
kendaraan umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa
membedakan jauh atau dekatnya jarak tempuh, adalah terlarang.
Sebab, transaksi upah-mengupah harus berdasarkan kejelasan pada
objek upah yang dibayar. Akan tetapi melalui istihsan, transaksi
tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku, demi
menjaga jangan timbul kesulitan masyarakat dan terpeliharanya
kebetuhan mereka terhadap transaksi tersebut.
Dari contoh di atas yang menjadi ur'f nya adalah bagaimana
kebiasaan masyarakat untuk membayar upah sesuai dengan jauh
dekatnya jarak yang mereka tempuh.
d. Istihsan bi ad-Dharurah
Istihsan bi ad-Dharurah adalah istihsan yang disebabkan oleh
adanya keadaan yang darurat (terpaksa) dalam suatu masalah yang
mendorong seorang mujtahid untuk meninggalkan dalil qiyas.
Seperti contoh menghukumkan sucinya air sumur atau kolam air
yang kejatuhan najis dengan cara menguras airnya. Menurut
ketentuan umum, tidak mungkin mensucikan sumur atau kolam
hanya dengan mengurasnya.
Sebab ketika air sedang dikuras mata air akan terus
mengeluarkan air yang kemudian akan bercampur dengan air yang
bernajis. Demikian juga dengan alat pengurasnya (timbah atau
mesin pompa air); ketika bekerja, air yang bernajis akan mengotori
alat tersebut, sehingga air akan akan tetap najis. Akan tetapi, demi
kebutuhan akan menghadapi keadaan darurat, berdasarkan istihsan,
air sumur atau kolam dipandang suci setelah dikuras.
e. Istihsan bi al-Mashlahah Mursalah
Istihsan bi al-Mashlahah Mursalah adalah pengecualian
ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan,
dengan Memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip
kemaslahatan. Misalnya, menetapkan hukum sahnya wasiat yang
ditujukkan untuk keperluan yang baik, dari orang yang berada
dibawah pengampuan, baik karena ia kurang akal maupun karena
berperilaku boros. Menurut ketentuan umum, tindakan hukum
terhadap harta orang yang dibawah pengampuan tidak sah, karena
akan mengabaikan kepentingaannya terhadap hartanya. Akan
tetapi, demi kemaslahatan,wasiat orang tersebut dipandang sah.
Sebab, dengan memberlakukan hukum sah wasiatnya yang
ditunjukan untuk kebaikan, maka hartanya akan tetap terpelihara.
Apalagi mengingat bahwa hukum berlakunya wasiat adalah setelah
ia wafat. Tentu hal itu tidak menganggu kepentingan orang yang
berwasiat tersebut. Oleh karena itu,ketentuan umum yang berlaku
dalam harta orang yang dibawah pengampuan dikecualikan khusus
yang berkaitan dengan wasiat.
C. Kehujjahan Istihsan
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macam, jelaslah
pada hakikatnya istihsan bukan sumber hukum yang berdiri sendiri.
Karena hukum-hukum tersebut pada bagian pertama berasal dari qiyas
khafi (tersembunyi) yang mengalhkan terhadap qiyas jali (jelas).
Karena adanya beberapa faktor yang meneneangkan hati para mujtahid
yaitu dari segi istihsan. Sedangkan bagian kedua dari istihsan, hukum-
hukumnya antara lain berupa dalil maslahat yang menuntut pengecualian
juz’iyyah dari hukum kulli (umum) dan ini juga disebut dengan segi
istihsan.
Hujjah Istihsan kebanyakan digunakan oleh kalangan ulama Hanafiyah,
alasan mereka ialah bahwa mencari dalil dengan istihsan hakikatnya
merupakan Istidlal (mencari dalil). Dengan dasar qiyas yang Kehadiran
istihsan sebagai sumber hukum Islam tentunya tidak datang dengan
mulusnya tetapi mendapatkan banyak pertentangan salah satunya adalah
adanya ulama yang menolak dan menerima istihsan ini :
- imam as Syafi'i dengan tegas menolak adanya istihsan
karena imam Syafi'i menganggap bahwasanya istihsan ini
adalah metode yang istimbat hukumnya berdasarkan atas
hawa nafsu dan hanya mencari enaknya saja.
- imam malik dan imam hanafi karena imam hanafih
mendefinisikan istihsan sebagai penetapan hukum dari
seorang Mujtahid terhadap suatu masalah yang
menyimpang dari ketentuan hukum yang diterapkan pada
masalah-masalah yang serupa, karena alasan yang lebih
kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu.
-
D. Perbedaan Istihan dengan Qiyas
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama diatas, dapat
disimpulkan bahwa Istihsan adalah penggunaan maslahat juziyyah pada
suatu kasus tertentu yang berlawanan dengan qiyas ‘am.
Dalam hal ini para ulama memberikan beberapa contoh diantaranya :
1.) Menurut qiyas, saksi-saksi pada setiap kasus yang diajukan kedepan
pengadilan haruslah orang-orang yang adil. Sebab dengan sifat adil
itulah seseorang dapat dinilai jujur atau tidaknya sehingga
kesaksiannya dapat dijadikan landasan keputusan hakim. Akan
tetapi, seandainnya dalam suatu negara, seorang hakim/qadhi tidak
menemukan orang yang adil, maka ia wajib menerima kesaksian
orang yang secara umum dipandang dapat dipercaya ucapannya,
sehingga dengan demikian dapat dicegah timbulnya kejahatan-
kejahatan, baik terhadap harta benda maupun manusia/individu.
Demikian beberapa contoh istihsan yang pada intinya berkisar
pada pencegahanPemakaian qiyas secara berlebihan yang menjurus
kearah yang tidak proposional (qabih).

KELOMPOK 9(IJMA)
A. Pengertian Ijma’
Arti Ijma’ menurut bahasa adalah sepakat, setuju atau sependapat dan
definisi Ijma’ menurut bahasa terbagi dalam dua arti, antara lain ucapan
Nabi Nuh AS kepada kaumnya, dalam surah Yunus (10) : 71 : [1]
Artinya :” Karena itu bulatkanlah keputusan dan (kumpulkanlah) sekutu-
sekutumu (untuk membinasakanku).”(QS. Yunus :71)
Pengertian tersebut juga terdapat dalam sabda Nabi :
Arinya : “tidak sah puasa seseorang yang tidak membulatkan niat
puasanya pada malam harinya.” (HR. Abu Dawud)
Kedua, kesepakatan terhadap sesuatu kaum dikatakan telah berijma
mereka sepakat terhadap sesuatu. Sebagaiman firman Allah dalam surah
Yusuf ayat 15.
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat dan memasukanya
kedasar sumur ( lalu masukkan dia ), dan ( dia waktu dia sudah dalam
sumur ) Kami wahyukan kepada Yusuf “sesungguhnya kamu akan
menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini , sedang mereka tiada
ingat lagi.
Adapun ijma’ dalam pengertian terminology, para ulama ushul berbeda
pendapat dalam mendefinisikannya :
1. Pengarang kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma’ itu adalah
kesepakatan semua ulama mujtahid dari ijma’ umat Muhammad Saw
dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
2. Pengarang kitab Tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’
adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ untuk Muhammad
Saw, terhadap masalah syara.’
3. Iamam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “kesepakatan umat
Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.” Rumusan Al-
Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat
Muhammad Saw, yaitu seluruh umat Islam termasuk orang awam. Al-
Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa ijma’ harus
dilakukan setelah wafatnya Rasulullah Saw. alasannya karena, pada masa
Rasulullah saw ijma tidak diperlukan sebab keberadaan Rasulullah Saw.
sebagai syar’I (penentu/pembuat hukum tidak memerlukan ijma’)
Kesepakatan semua ulama mujtahid muslim dalam suatu masa tertentu
setelah wafatnya Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum syara’
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa ijma’ mengandung beberapa
unsur.
a. Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan islam
b. Suatu kesepakatan harus dilakukan secara jelas,
c. Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah seorang mujtahid
d. Kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya Rasulullah
e. Yang disepakati itu adalah hukum syara’
Berdasarkan definisi ijma’ sebagaimana disebutkan diatas, sebagian
ulama yang pesimis berpendapat, sangat sulit memenuhi unsur-unsur
untuk mewujudkan suatu ijma’, menurut kelompok ini, kemungkinan
terjadinya ijma’ hanya pada masa sahabat, dimana umat muslim masih
sedikit dan terkosentrasi pada wilayah-wilayah yang masih di
koordinasikan. Akan tetapi kelompok ulama yang optimis berpendapat
ijma’ sangat mungkin terjadi dan bahkan memang secara nyata terjadi
ijma’ dalam beberapa masalah hukum tertentu. Misalkan, tentang
pengangkatan Abu bakar menjadi khalifah dll.

B. Hukum Dan Syarat Ijma’ Mengenai bolehnya ijma’ dijadikan hujah, para
ulama terbagi menjadi pada dua kelompok : [2]
a. Golongan yang menerima Ijma sebagai hujah, antara lain beralasan
bahwa ijma adalah hal yang mutawattir sejak dari zaman sahabat dan
hasil Ijma’ tidak mungkin salah, karena nabi sendiri menyatakan
bahwa umat Muhammad tidak akan ber-Ijma’ dalam hal yang salah.
Di samping itu dalam menerima Ijma’ sebagai hujah, mereka
memberi beberapa syarat:
1. Bila yang disepakati adalah satu hukum agama, maka keseluruhan
mujtahid, persepakatan kebanyakan ulama tidak dianggap Ijma’
dan tidak dipakai sebagai hujah
2. Harus ada dalil syara’ yang memperkuat hukum yang di-Ijma’-kan
itu. Sebagian mereka mesyaratkan dalil syara tersebut haruslah nas
yang Qat’y dan zahir dan tidak boleh dalil yang lain seperti qiyas
misalnya
3. Sebagian masyarakat bahwa Ijma’ harus didapat dengan jalan
mutawattir, jika di dapat dengan habar ahad tidak dapat berhujah
dengannya. Sedangkan sebagian lain tidak mensyaratkan. Ynag
demikian karena menurut mereka berita ahad juga boleh dijadikan
hujah .
b. Golongan yang menolak adanya Ijma’ beralasan dengan beberapa
alasan :
1. Kemungkinan untuk mengetahui hal-hal mana saja yang telah di
Ijma-kan adalah tidak mungkin
2. Tidak mungkin mengetahui seluruh ulama mujtahid di negeri barat
dan timur. Kemungkinan untuk menemui semua mereka saja tidak
mungkin karena terbatasnya umur, lagipula tidak ada ketentuan
seseorang untuk diberi gelar mujtahid.
Seseorang mungkin dianggap mujtahid di negeri belahan barat,
tetapi tidak dianggap dinegeri timur. Oleh karena itu, kemungkinan
adanya ijma’ yang diakui golongan ini hanyalah Ijma sahabat, diantara
ulama paling keras menentang golongan yang berpendirian akan
adanya Ijma’ selain Ijma’ sahabat adalah Imam Ahmad bin Hambal,
hingga beliau berkata :
“Barangsiapa yang mendakwakan bahwa telah terjadi Ijma’( selain
Ijma’ sahabat ), maka dusta ia, dan sepanjang sepengetahuan saya
belum ada berita yang sampai pada saya akan adanya pendapat para
sahabat yang menyalahi demikian”
Jadi jelas yang dimaksudkan Imam Ahmad adalah, tidak ada
Ijma’ selain Ijma’ sahabat, dan tidak ada ulama yang mengatakan atau
berpendapat ada Ijma’ berpendapat ada Ijma’ selain Ijma’ sahabat.
Dari uraian diatas, maka sebagian ulama membuat kesimpulan, Ijma’
tidak termasuk dalil syara’ yang berdiri sendiri, kecuali diperkuat oleh
Al-qur’an dan sunah dan dalam Al-Qur’an.
C. Syarat-Syarat Ijma’
1. Yang Bersepakat Adalah Para Mujtahid
Para ulama yang berselisih faham tentang istilah mujtahid,
secara umum mujtahid itu diartikan sebegai para ulama yang
mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil
syara’.Dalam kitab Jamu’ ul jawami disebutkan bahwa yang
dimaksud mujtahid adalah orang yang faqih selain pendapat itu ada
juga yang memandang mujtahid sebagai ahlul ahli wal aqdi, dan
istilah ini sesuai dengan pendapat Al- Wadih dalam kitab isbath
bahwa mujtahid yang diterima adalah ahlu ahli wal aqdi.
Beberapa pendapat tersebut memiliki kesamaan bahwa yang
dimaksud dengan mujtahid adalah orang islam yang baliq, berakal,
mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istibathkan hukum dari
sumbernya. Dengan demikian, kesepakatan orang bodoh atau mereka
yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan Ijma’,
begitu pula penolakan mereka.Karena mereka tidak ahli dalam
menelaah hukum- hukum syara’.
2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid Bila sebagian mujtahid
bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun, maka Menurtut jumhum,
hal ini tidak bisa dikatakan ijma’. Karena ijma; itu harus mencakup
keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama berpandang bahwa ijma
itu sah bila dilakukakan oleh sebagian besar mujatahid, karena yang
dimaksud kesepakatan ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian
besar dari mereka . begitu pula menurut kaida fiqh, sebagain besar itu
telah mencakup hukum keseluruhan.
3. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat
Muhammad SAW. Tidak bisa dikatakan ijma’, hal ini menunjukkan
adanya umat para Nabi lain yang berijma’, adapun ijma’ nabi
Muhammad SAW, telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin
berijma’ untuk melakukan kesalahan
4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi
masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-
perbuatan para sahabat yang dipandang baik karena itu dianggap
sebagai Syariah.
5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syariat Maksudnya
kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan
syariat. Seperti tentang wajib, sunnah, makruh, haram, dll.

D. Macam-Macam Ijma’
Macam-macam Ijma’ bila dilihat dari cara terjadinnya ada dua macam:
a) Ijma’ Sharih Maksudnya , semua Mujtahid mengemukakan pendapat
mereka masing-masing, kemudian mereka menyepakati salah satunya.
Hal itu bisa terjadi bila semua mujtahid berkumpul disuatu tempat,
kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah
yang ingin diketahui ketetapan hukumnya.Setelah itu, mereka
menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yang mereka keluarkan
tersebut.
Selain itu, bisa juga pada suatu masa timbul sautu kejadian,
kemudian seorang mujtahid memberikan fatwa tentang kejadian itu,
mujtahid kedua berfatwa seperti mujtahid pertama. Dan mujtahid
ketiga mengamalkan apa yang telah di fatwakan tersebut, begitu
seterusnya sehingga semua mujtahid menyepakati pendapat tersebut.
b) Ijma’ Sukuti Adalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah
yang diketahui oleh para mujtahid lainya, tapi mereka diam, diam tidak
menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas, Ijma’
sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria dibawah ini:
 Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adannya
kesepakatan Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya
kesepakatan yang dilakukan oleh sebagian mujtahid, maka tidak
dikatakan Ijma’ sukuti, melaikan Ijma’ Sharih, begitu pula dengan
penolakannya
 Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang dipaksa
untuk memikirkan permasalahanya, dan biasanya dipandang cukup
mengemukakan pendapatanya. Namun perlu diingat bahwa tidak
mungkin menentukan lamanya waktu bagi seorang mujtahid untuk
mengeluarkan fatwanya, karena setiap mujtahid memerlukan waktu
yang berbeda, cepat atau lambat dalam mengeluarkan fatwanya.
 Permasalahan yang di fatwakan oleh mujtahid tersebut adalah
permasalahan ijtihadi yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat
zhanni. Adapun tentang permasalahan yang tidak boleh di-Ijtihadi
atau bersumber dari dalil-dalil qath’i apabila seorang mujtahid
mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan
yang lainnya diam, hal itu tidak bisa disebut Ijma’ karena diamnya
mereka tidak bisa dikatakan menyepakati, melainkan meremehkan
pemberi fatwa karena ilminya masih dangkal.
a. Kehujahan Ijma’ Sharih
Jumhur ulama sepakat bahwa Ijma’ Sharih merupakan
hujjah secara qath’I, wajib mengamalkannya dan haram
menentangnya. Bila sudah terjadi Ijma’ pada suatu
permasalahan maka ia menjadi hukum Qath’i yang tidak boleh
di tentang dan menjadi masalah yang tidak boleh di-Ijtihadi
lagi. Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur. Firman Allah
dalam surah An-Nisa ayat 115. Yang artinya.
“Barang siapa yang menentang rasul sesudah jelas kebeneran
baginya. Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, kami biarakan ia leluasa terhadap keseksatan yang
telah dikuasinya itu dan kami masukkan ia kedalam jahannam
dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”
Kehujahan dalil dari ayat diatas adalah ancamman Allah
SWT terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-
orang mukmin. Disebutkan bahwa mereka akan masuk neraka
jahannam .Hal ini menunjukkan bahwa jalan yang di tempuh
oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah Bathil dan
haram diikuti.Sebaliknya, jalan yang di tempuh oleh orang
orang mukmin adalah baik dan wajib diikuti.
b. Kehujahan Ijma’ Sukuti
Ijma’ sukuti dipertentangkan kehujahannya di kalangan
para ulama.Sebagian dari mereka tidak memandang Ijma’
sukuti sebagai hujjah, bahkan tidak menyatakan sebagai Ijma’
diantara mereka hal tersebut adalah pengikut maliki dan
imam syafi’I yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai
pendapatnya.
Mereka beragument bahwa diamnya sebagian ulama itu
mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa juga tidak sama
sekali. Misalkan karena tidak melakukan ijtihad pada masalah
atau mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan
mereka terhadap mujtahid lainya tidak bisa di tetapkan
apakah hal itu Qat’I atau zhanni.Jika demikian adannya, tidak
bisa dikatakan adanya kesepakatan seluruh mujtahid.Berarti
tidak bisa dikatakan Ijma’ataupun dijadikan hujjah.
Sebagian besar golongan Hanafi dan imam Ahmad bin
hambal menyatakan bahwa Ijma’ sukuti merupakan hujjah
yang Qat’I seperti halnya ijma’ sharih.Alasan mereka adalah
diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan sepakat
ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh
sebagian mujtahid lainnya. Bila memenuhi persyaratan
adanya Ijma’ sukuti, bila dikatakan sebagai dalil-dalil tentang
kesepakatan mereka sehingga bisa dikatakan sebagai Ijma’
karena kesepakatan mereka tentang hukum. Dengan
demikian, bisa dikatakan sebagai hujah qat’I karena
alasannya yang juga menejukkan adanya ijma’ yang tidak
bisa dibedakan dengan Ijma’ Sharih.
Contoh-Contoh Ijma’
Berikut beberapa contoh ijma’
1. Yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’ yang
dilandaskan pada Al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama
tentang keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan
berdasarkan QR. An-Nisa ayat 23. Para ulama sepakat bahwa
kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu
kandung dan nenek, sedangkan kata banat (anak-anak wanita)
dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu
perempuan.
2. Ijma’ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya
mengangkat seorang Imam atau Khalifah untuk
menggantikan Rasulullah dalam mengurusi urusan Daulah
Islamiyah yang menyangkut urusan agama dan dunia yang
disepakati oleh para sahabat di saqifah Bani Sa’idah.
E. Kemungkinan Adanya Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan
adannya Ijma’ dan kewajiban melaksanakannya jumhur
ulama berkata “ Ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah
terlaksana”. Ulama’ ushul fiqh klasik, diantaranya ulama
jumhur klasik menyatakan tidaklah sulit untuk melaksanakan
ijma’ bahkan secara actual ijma telah ada, mereka
memberikan contoh hukum-hukum yang telah disepakati
seperti tentang pembagian waris nenek sebesar seperenam
dari harta warisan. Akan tetapi ada ulama klasik yang tidak
setuju seperti imam ahmad bin hambal. Dalam pandangan
ulama’ fiqh modern seperti Imam Muhammad Abu Zahrah,
Muhammad Khuduri Bek, dan Abdul Wahab Khalaf Ijma’
mungkin terjadi hanya ada pada zaman sahabat karena pada
masa itu islam masih bisa saling jangakau satu sama lain.
Abdul Wahab Khalaf berpendapat ijama’ hanya bisa
dilakukan apabila diserahkan kepada pemerintah, karena
pemerintah sebagai ulil amri mengetahui mujtahid-
mujtahidnya, dan pemerintah mengetahui mujtahid suatu
bangsa, dan disepakati mujtahid di seluruh dunia. Sedangkan
menurut Hasbi Ashidiqie ijma’ sama dengan mengumpulkan
ahli permuyawaratan untuk bermusyawarah sebagai wakil
dari rakyat atas perintah kepala Negara, itulah yang terjadi
pada masa Abu bakar dan Umar.

Anda mungkin juga menyukai