Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH USHUL FIQH

“QIYAS” SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 5

NAMA:

OPA SAPUTRA

MUHAMMAD ALWANI

SUPRIADI

STIT DARUSSALIMIN NW PRAYA


TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah
ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Hormat Kami

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................................iii
PENDAHULUAN.....................................................................................................................iv
A. Latar belakang................................................................................................................
B. Rumusan masalah...........................................................................................................
C. Tujuan Penulisan............................................................................................................
PEMBAHASAN ……………………………………………………………………………..

1. Pengertian Qiyas ………………………………………………………………………


2. Rukun dan Syarat Qiyas ………………………………………………………………
3. Macam-macam Qiyas ………………………………………………………………..
4. Qiyas sebagai sumber hukum Islam …………………………………………………

PENUTUP ………………………………………………………………………………….
A. Kesimpulan …………………………………………………………………………
DAFTARPUSTAKA…….…………………………………………………………………
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu sumber hukum Islam yang disepakati oleh jumhur ulama setelah alQur’an, as-
Sunnah, dan Ijma’ adalah Qiyas. Hal ini berarti bahwa, apabila terjadi suatu peristiwa maka
pertama kali yang harus dijadikan sumber hukum adalah Al-Qur’an, apabila ditemukan hukum di
dalamnya maka hukum itu yang dilaksanakan. Namun, jika hukum atas peristiwa tersebut tidak
diketemukan di dalam Al-Qur’an, maka yang kedua di lihat adalah hukum di dalam As-Sunnah
dan apabila hukum atas peristiwa tersebut ada di dalam As-Sunnah maka hukum itu yang
dilaksanakan. Akan tetapi, jika tidak diketemukan hukumnya dalam As-Sunnah, maka harus
dilihat apakah ada para mujtahid dalam suatu masa pernah berijma’ mengenai hukum atas suatu
peristiwa tersebut (konsesus ulama dalam suatu hukum), Apabila tidak juga diketemukan, maka
seseorang harus berijtihad untuk menghasilkan hukumnya dengan cara mengqiyaskan pada
hukum yang sudah ada nashnya (analogi). Dengan demikian, qiyas merupakan salah satu metode
ijtihad sekaligus alat untuk menetapkan suatu hukum.

Qiyas merupakan suatu prinsip hukum, ia memainkan peran yang sangat penting dalam
kajian hukum Islam. Namun, disamping peran qiyas yang amat vital tersebut, ia selalu saja
menjadi pembahasan yang menarik karena beberapa persoalan. Diantaranya perdebatan seputar
perintis, penggagas, atau the founding father dari prinsip hukum ini termasuk adanya golongan
ulama yang anti –qiyas dan pro-qiyas. Adapun bukti penggunaan qiyas bagi kelompok pro-qiyas
yaitu jumhur ulama ushul fiqh dan para pengikut madzhab yang empat terdapat pada firman
Allah SWT QS. An-Nisa’(4) ayat 59 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah
Allah dan Taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(AlQur’an) dan rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Berdasarkan firman Allah SWT tersebut, perintah untuk mentaati Allah SWT dan rasul-
Nya merupakan perintah untuk mengikuti Al_Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan perintah untuk
mengikuti ulil amri diantara kaum muslimin merupakan perintah untuk mengikuti hukum-hukum
yang sudah disepakati di kalangan para mujtahid, karena mereka adalah ulil amri kaum muslimin
dalam pensyariatan hukum. Sedangkan perintah untuk mengembalikan kasus-kasus yang
diperselisihkan di antara umat Islam kepada Allah SWT dan rasul, merupakan perintah untuk
mengikuti qiyas ketika tidak ada nash dan ijma’. Hal ini berarti pula bahwa qiyas merupakan
upaya untuk mengembalikan kasus yang diperselisihkan hukumnya kepada Allah SWT dan
Rasul.

Dengan kata lain, qiyas merupakan menyamakan kejadian yang tidak ada nash hukumnya
dengan kejadian yang ada nash hukumnya berkenaan dengan suatu hukum yang ada nashnya,
dikarenakan ada persamaan illat hukum pada keduanya. Ayat di atas, juga sekaligus menjadi
dalil wajibnya mengikuti keempat sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas.
RUMUSAN MASALAH

1. Apa Pengertian Qiyas ?


2. Berapa Rukun Qiyas dan Syarat- Syarat Rukun Qiyas ?
3. Berapa Macam-macam Qiyas ?
4. Qiyas sebagai sumber hukum Islam ?
B. Tujuan Penulisan
1. Memahami Tenentang Pengertian Qiyas.
2. Mengetahui Rukun Qiyas dan Syarat- Syarat Rukun Qiyas.
3. Mengetahui Macam-macam Qiyas.
4. Memahami Tenentang Qiyas sebagai sumber hukum Islam.
PEMBAHSAN

1. Pengertian Qiyas

Qiyas artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan
persamaan illat-nya

Menurut istilah agama, qiyas adalah mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa
dari hukum yang belum mempunyai ketetapan pada hukum yang telah ada/telah ditetapkan oleh
Al-qur’an dan sunnah adanya kesamaan, illat antara keduanya (asal dan furu’).

Secara etimologis kata “qiyas” berarti qadar artinya mengukur, membandingkan sesuatu
dengan yang semisalnya, dalam bahasa arab ada ungkapan: Qosatussawabu bidzzar’I Artinya:
“saya mengukur pakaian itu dengan hasta”.

Sementara pengertian qiyas menurut istilah hukum (terminology) terdapat beberapa definisi
yang berbeda yang saling berdekatan artinya Namun apabila diperhatikan unsur-unsur pokok di
dalam qiyas yaitu: ashal, cabang, hukum ashal dan illat.
Imam Syafi’i mengatakan tentang qiyas sebagai berikut: “Setiap kejadian/peristiwa yang terjadi
pada seorang muslim pasti ada hukumnya. Dan ia wajib mengikuti nash, apabila ada nashnya.
Dan apabila tidak ada nashnya dicari dari permasalahannya (dilalah-nya) diatas jalan yang benar
dengan ijtihad, dan ijtihad itu adalah qiyas”.

Al-Ghazali dalam al-Mustashfa memberi definisi qiyas sebagai berikut:


“Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan
hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.

Menurut Abu Hasan al-Bashri qiyas adalah: “Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada
furu’ karena keduanya sama dalam ‘illat hukum menurut mujtahid”.

2. Rukun Qiyas dan Syarat- Syarat Rukun Qiyas.


Rukun Qiyas menurut Para ulama ushul fiqih bahwa rukun Qiyas terdiri atas 4 macam :
a) Ashall menurut para ahli ushul fiqih, merupakan objek yang telah ditetapkan
hukumnya oleh ayat AlQur’an, hadits Rasulullah SAW, atau Ijma’
Berberapa syarat ashal adalah:
1) Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok (ashal).
Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (mansukh) di masa Rasulullah,
maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.
2) Hukum yang terdapat pada ashal hendaklah hukum syara’, bukan hukum akal atau
hukum yang berhubu ngan dengan bahasa, karena pembicaraan kita adalah qiyas
syara’.
3) Hukum ashal bukan merupakan hukum pengecuali an seperti sahnya puasa orang
yang lupa, meskipun makan dan minum. Mestinya puasa menjadi rusak, sebab
sesuatu tidak akan tetap ada apabila berkumpul dengan hal-hal yang menaikannya
(meniadakannya).
b) Far’u adalah objek yang ditentukan hukumny, tidak ditentukan dalam nash atau ijma’.
Syarat-syaratnya, antara lain yang terpenting:
1) Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri. Ulama ushul Fiqh menetapkan
bahwa, apabila datang nash (penjelasan hukumnya dalam Al-Qur’an atau
Sunnah), qiyas menjadi batal. Artinya, jika cabang yang akan di-qiyas-kan itu
telah ada ketegasan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka qiyas
tidak lagi berfungsi dalam masalah tersebut.
2) ‘Illat yang terdapat pada cabang terdapat sama dengan yang terdapat pada
ashal.
3) ‘Illat yang ada pada cabang harus sama dengan ‘illat yang ada pada Ashal.
4) Cabang tidak lebih dahulu ada daripada ashal.
5) Hukum cabang harus sama dengan hukum ashal.

c) Hukum Al-Ashal adalah hukum syara’ yang ditentukan oleh nash atau ijma’ yang
akan diberlakukan kepada far’u.
Syarat dari hukum ashal adalah sebagai berikut:
1) Hukum ashal harus merupakan hukum syara’ yang amaliyah
2) Hukum ashal harus ma’qul al-ma’na dalam arti pensyariatannya rasional.
3) Hukum ashal bukan hukum yang khusus, sesuatu hukum ashal bisa
merupakan hukum khusus dalam dua keadaan.
Pertama: Bila ‘illat hukum tidak terdapat/tergambarkan selain pada ashal seperti ma
shul huffain/mengusap sepatu dibolehkannya adalah ma’qul al-ma’na, karena untuk
menghilangkan kesempitan (raf’ul haraj) tetapi ‘illatnya memakai sepatu tidak dapat
terbayang selain dengan cara memakai sepatu tadi.
Kedua: Ada dalil khusus yang menentukan hukum tersebut, seperti ketidak bolehan
nikah dengan bekas isteri-isteri Nabi.
Hukum ashal harus tetap ada (tidak Mansukh), Kalau Ashal sudah di-mansukh
misalnya, maka tidak mungkin melakukan qiyas dengan  hukum ashal yang sudah
dimansukh.

d) llat Yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya, maka berbicara
tentang qiyas akan lebih banyak berbicara tentang ‘illat hukum ini.
‘Illat adalah sesuatu/sifat yang ada pada ashal yang menjadi landasan/sebab adanya
hukum pada cabang-cabang, atau dengan kata lain ‘illat adalah sesuatu sifat yang
nyata dan tertentu yang bertalian (munasabah) dengan ada atau tidak ada hukum.
syarat ‘illat adalah sebagai berikut:
1) Harus merupakan sesuatu yang nyata dalam arti dapat diamati; tanpa diketahui
adanya ‘illat kita tidak bisa meng-qiyas-kan. Misalnya memabukkan yang
dapat diketahui dengan panca indera pada khamar dapat diketahui pula dengan
panca indera pada barang lain yang memabukkan.
2) Harus merupakan sifat yang tegas dan tertentu, dalam arti tidak berbeda
karena perbedaan orang di dalam keadaan lingkungannya, seperti
pembunuhan sengaja yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya
mengakibatkan terhapusnya hak waris. Demikian halnya pembunuhan sengaja
yang dilakukan oleh penerima wasiat terhadap pemberi wasiat mengakibatkan
terhapusnya hak wasiat.
3) Harus ada kaitannya (munasabah) dengan hikmah dalam arti ada
hubungannya antara hukum dengan ‘illat tadi dalam rangka
menerapkan maqashid al-syari’ah, karena motif yang hakiki dari pen-syari’at-
an hukum dan tujuan yang dimaksud adalah hikmah hukum tersebut. Jika
hikmah hukum tersebut nyata, tegas dan tertentu pasti itulah illat hukumnya,
karena dia motif hukum, akan tetapi karena hikmah ini tidak nyata dan
tertentu pada sebagian hukum maka fungsinya digantikan
oleh munasabah tadi. Seperti memabukkan itu munasabah dengan keharaman
khamar, karena keharaman khamar hikmahnya dalam rangka memelihara dan
mengembangkan akal. Oleh karena tidak tepat memberi ‘illat dengan sifat-
sifat yang tidak munasabah dengan hukum dan hikmahnya, seperti keharaman
khamar dengan ‘illat warna khamar misalnya.
4) Bukan sifat yang hanya terdapat pada ashal, sebab jika ‘illat itu hanya terdapat
pada ashal, maka tidak bisa dianalogikan/di-qiyas-kan, sebab qiyas hanya bisa
dilakukan apabila sifat-sifat yang sama pada dua waqi’ah atau lebih. Seperti
kekhususan-kekhususan Rasulullah tidak bisa diqiyaskan kepada orang lain.
Misalnya kekhususan bagi Nabi menikahi wanita lebih dari empat orang.
5) Tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan, maka nash-lah yang
harus didahulukan, karena kemashlahatan sudah seharusnya tidak
bertentangan dengan nash atau dalil qath’iy, karena itu tidaklah tepat member
sanksi kepada raja yang membatalkan puasa di bulan Ramadhan karena
hubungan biologis dengan isterinya, dengan mewajibkan puasa dua bulan
berturut-turut karena dianggap mashlahat. Sanksi tentang hal ini adalah
bertahap yaitu; pertama, membebaskan budak, kalau tidak mampu diganti
dengan puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak kuat baru kemudian
memberi makan 60 orang miskin.
3. Macam-macam Qiyas

Dari segi perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok tempat meng-qiyas-kan)
dan yang terdapat pada cabang, qiyas dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

a) Qiyas awla, yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama daripada
‘illat yang terdapat pada ashal (pokok).
b) Qiyas musawi, yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama
bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok).
c) Qiyas al-adna, yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih
rendah bobotnya dibandingkan de ngan ‘illat yang terdapat dalam ashal (pokok).

Adapun dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat sebagai landasan hukum, seperti
dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, qiyas dapat dibagi dua, yaitu:

a) Qiyas jali, yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah, atau tidak disebutkan secara tegas dalam salah satu sumber
tersebut, tetapi berdasarkan penelitian kuat dugaan bahwa tidak ada ‘illat-nya.
b) Qiyas khai, yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang diistinbatkan (ditarik) dari
hukum ashal.
4. Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam.

Berdasarkan pada beberapa pengertian tentang qiyas dalam pembahasan sebelumnya dapat


diambil benang merahnya bahwa pada dasarnya qiyas adalah penarikan kesimpulan atau
inferensi dari suatu masalah hukum yang telah di tentukan hukumnya oleh nash (al-Quran dan
atau al-Sunnah) untuk suatu masalah hukum yang belum ditentukan hukumnya oleh nash karena
di antara dua masalah hukum tersebut terdapat makna homonim yang disebut ‘illat.

Menurut Abu al-Husayn al-Bashriy, penerapan hukum yang terdapat


dalam ashal kepada far’ u (cabang), yang belum terdapat di dalamnya hukum, dapat
dilaksanakan apabila di dalam ashal dan far’ itu terdapat kesamaan ‘illat hukum bagi
seorang mujtahid, yang akan men-istinbath hukum.

Qiyas dalam pengertian di atas merupakan salah satu metode hukum islam. Kesimpulan
hukum yang diperoleh dengan metode qiyas menjadi sumber hukum dan ajaran islam. Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian ulama menjadikan qiyas sebagai sumber hukum
ke empat setelah al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma.
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan qiyas adalah mengeluarkan (mengambil) suatu
hukum yang serupa dari hukum yang belum mempunyai ketetapan atau mempunyai hukum
namun masih mempunyai beberapa makna pada hukum yang telah ada/ telah ditetapkan oleh Al-
Qur’an dan sunnah yang mempunyai kesamaan, illat antara keduanya (asal dan furu’).
Berdasarkan pada beberapa pengertian tentang qiyas dalam pembahasan sebelumnya dapat
diambil benang merahnya bahwa pada dasarnya qiyas adalah penarikan kesimpulan atau
inferensi dari suatu masalah hukum yang telah di tentukan hukumnya oleh nash (al-Quran dan
atau al-Sunnah) untuk suatu masalah hukum yang belum ditentukan hukumnya oleh nash karena
di antara dua masalah hukum tersebut terdapat makna homonim yang disebut ‘illat.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Satria Effendi M.Zein,M.A, 2017, Ushul Fiqh, Jakarta: KENCANA.

Dr. Ali Sodikin, 2012, Fiqih dan Ushul Fiqh,Yogyakarta: Beranda Publishing.

Hhusnaini, S.Ag. M.Ag, 2020, Ushul Fiqh, Aceh: CV. SEFA BUMI PERSADA.

Nazar Bakry, 2003, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

A. Djazuli dan Nurol Aen, 2000, Ushul Fiqh metodologi Hukum Islam, cet 1, Jakarta: PT.
Raja Grasindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai