Anda di halaman 1dari 13

QIYAS SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh


Dosen pengampu : H. Moh. Syaripudin S. Lc, MA.

Disusun oleh :
Deden Muhamad Hidayat
Murodi
Tommy Suhardiyono

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NUR EL GHAZY
BEKASI
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Alloh SWT yang telah


memberikan kelancaran kepada kami dalam rangka penulisan makalah ini
dengan judul “Qiyas Sebagai Dalil Hukum Islam”.
Shalawat beserta salam semoga selalu terlimpah curahkan kepada
Baginda tercinta Nabi Muhamad SAW yang telah menjadi Rahmatan lil
‘alamin bagi kita semua.

Adapun tujuan penulisan makalah “Qiyas Sebagai Dalil Hukum


Islam” ini sebagai salah satu bentuk pemenuhan tugas mata kuliah Ushul
Fiqh. Besar harapan kami sebagai penyusun agar pembaca dapat
memberikan bantuan berupa masukan dalam penulisan mengenai makalah
yang kami susun agar menjadi pembelajaran bagi kami kedepan.

Tak lupa kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak


yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran
pembaca sangat kami harapkan agar makalah ini bisa tersusun dengan baik.

Bekasi, 02 Oktober 2020

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketika masyarakat Muslim tumbuh, muncul berbagai persoalan
baru yang kebanyakan di antaranya belum pernah ada status hukumnya.
Para ulama dan fukaha mencoba memecahkan persoalan ini dengan
menggunakan analogi deduktif dari al-Qur‟an dan Sunnah. Analogi
deduktif ini disebut dengan qiyas. Pada prinsipnya, qiyas memberi
pemahaman kepada para ulama bahwa dua kasus yang berbeda dapat
dipecahkan dengan mengacu pada aturan yang sama.
Qiyas merupakan salah satu metode istinbāṭ (menggali) hukum
yang populer di kalangan mazhab Syafi‟i. Dalam urutannya, mazhab
Syafi‟i menempatkan qiyas berada di urutan keempat setelah al-Qur‟an,
hadis, dan ijmak. Imam Syafi‟i2 sebagai pelopor mujtahid yang
menggunakan qiyas sebagai satu satunya jalan untuk menggali hukum,
mengatakan bahwa yang dinamakan ijtihad adalah qiyas. Beliau
mengatakan bahwa “ijtihad” dan “qiyas” merupakan dua kata yang
memiliki makna yang sama. Artinya, dengan cara qiyas, berarti para
mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum sesuai dengan
sumbernya: alQur‟an dan hadis. Sebab, hukum Islam, kadang tersurat jelas
dalam nas al-Qur‟an atau hadis secara eksplisit, kadang juga bersifat
tersirat secara implisit. Hukum Islam adakalanya dapat diketahui melalui
redaksi nas, yakni hukum-hukum yang secara tegas tersurat dalam al-
Qur‟an dan hadis, adakalanya harus digali melalui kejelian memahami
makna dan kandungan nas, yang demikian itu dapat diperoleh melalui
pendekatan qiyas.
Adapun makalah ini akan membahas qiyas sebagai salah satu
metode istinbāṭ hukum dalam koridor usul fikih dengan mengulas berbagai
unsur dan aspeknya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Qiyas serta rukun Qiyas ?

2. Bagaimana kualifikasi dan kedudukan Qiyas ?

3. Apa saja yang terbagi dalam Qiyas itu sendiri beserta contohnya?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang apa itu hukum qiyas.

2. Untuk mengetahui kualifikasi dan kedudukan hokum qiyas itu sendiri.

3. Untuk mengetahui bagaimana dengan pembagian hokum Qiyas serta


contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Qiyas
Secara etimologi, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qâsa-
yaqîsu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu Secara etimologi,
qiyas berarti mengira-ngirakan atau menyamakan. Meng-qiyas-kan, berarti
mengira-ngirakan atau menyamakan sesuatu terhadap sesuatu yang lain.
Sedangkan secara terminologis, menurut ulama usul fikih, qiyas adalah
menyamakan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dengan sesuatu yang
ada nas hukumnya karena adanya persamaan illat hukum. Dalam redaksi
yang lain, qiyas adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang
tidak memiliki nas hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nas
hukum, sebab adanya persamaan dalam illat hukumnya.
Qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada nas
hukumnya dengan hal lain yang ada nas hukumnya karena ada persamaan
illat hukum. Dengan demikian, qiyas merupakan penerapan hukum
analogis terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan
illat akan melahirkan hukum yang sama pula. Oleh karenanya,
sebagaimana yang diungkapkan Abu Zahrah, asas qiyas adalah
menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan
sebab dan sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan analogis itu
menemukan titik persamaan antara sebab-sebab dan sifat-sifat antara dua
masalah tersebut, maka konsekuensinya harus sama pula hukum yang
ditetapkan.
Qiyas merupakan salah satu medote istinbāṭ yang dapat
dipertanggungjawabkan karena ia melalui penalaran yang disandarkan
kepada nas. Ada beberapa ayat Al-Qur‟an yang dijadikan landasan bagi
berlakunya qiyas di dalam menggali hukum, di antaranya:
‫هّٰللا‬
ُ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا َ َواَ ِط ْيعُوا ال َّرسُوْ َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۚ فَاِ ْن تَنَازَ ْعتُ ْم فِ ْي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوْ ه‬
ࣖ ‫ك خَ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَأْ ِو ْياًل‬ َ ِ‫م ااْل ٰ ِخ ِر ۗ ٰذل‬tِ ْ‫ل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَو‬tِ ْ‫اِلَى هّٰللا ِ َوال َّرسُو‬

﴿۵۹ : ‫﴾النساء‬

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah


Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa': 59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari
ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasul” (dalam masalah khilafiah),
tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan
apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat
diperoleh melalui pencarian „illat hukum yang merupakan tahapan dalam
melakukan qiyas.

B. Rukun – Rukun Qiyas

Rukun adalah unsur-unsur pokok yang harus terpenuhi demi


keabsahan atau kesempurnaan suatu hal, dengan kata lain rukun adalah
elemen urgen yang dengannya suatu perkara menjadi sempurna. Dalam
segala hal, rukun merupakan elemen terpenting karena rukun memegang
peranan sebagai penentu sah atau tidaknya; legal atau tidaknya sesuatu.
Termasuk dalam hal ini, qiyas juga memiliki rukun-rukun yang harus
terpenuhi. Jika rukun-rukun tersebut tidak dapat terpenuhi maka secara
otomatis qiyas juga tidak dapat diterapkan.

Adapun rukun-rukun qiyas adalah sebagai berikut:

1. Al-Aṣl
yaitu merupakan hukum pokok yang diambil persamaan
atau sesuatu yang ada nash hukumnya. Syarat-syarat ashl:
a. Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang
masih ada pada pokok. Kalau sudah tidak ada
misalnya, sudah dihapuskan (mansukh) maka tidak
mungkin terdapat perpindahan hukum.
b. Hukum yang ada dalam pokok harus hukum Syara’
bukan hukum akal atau hukum bahasa.
2. Far’un
yaitu merupakan hukum cabang yang dipersamakan atau
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Syarat-syarat:
a. Hukum cabang tidak lebih dulu adanya daripada
hukum pokok.
b. Cabang tidak mempunyai kekuatan sendiri.
c. llat yang terdapat pada hukum cabang harus sama
dengan ‘Illat yang terdapat pada pokok.
d. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
3. Illat
yaitu sifat yang menjadi dasar persamaan antara hukum
cabang dengan hukum pokok. Syarat-syaratnya:
a. Illat harus berupa sesuatu yang terang dan tertentu.
b. Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila
berlawanan maka nash yang didahulukan.
4. Hukum
yaitu merupakan hasil dari qiyas tersebut.
Lebih jelasnya biasa dicontohkan bahwa Allah telah
mengharamkan arak, karena merusak akal, membinasakan badan,
menghabiskan harta. Maka segala minuman yang memabukkan
dihukumi haram. Dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Segala minuman yang memabukkan adalah


far’un atau cabang artinya yang diqiyaskan.

b) Arak, adalah yang menjadi ukuran atau


tempat menyerupakan atau mengqiyaskan
hukum, artinya ashal atau pokok.

c) Mabuk merusak akal, adalah ‘Illat


penghubung atau sebab.

d) Hukum, segala yang memabukkan


hukumnya haram. Bahwasanya Allah SWT
tidaklah mensyariatkan suatu hukum
melainkan untuk suatu kemaslahatan dan
bahwasanya kemaslahatan hamba
merupakan sasaran yang dimaksudkan dari
pembentukan hukum.8 Maka apabila suatu
kejadian yang tidak ada nashnya menyamai
suatu kejadian yang ada nashnya dari segi
‘Illat hukum yang menjadi mazhinnah al-
maslahah, maka hikmah dan keadilan
menuntut untuk dipersamakannya dalam
segi hukum, dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan yang menjadi tujuan Syari’
(pembuat hukum) dari pembentukan
hukumnya.

Keadilan dan kebijaksanaan Allah tidak


akan sesuai jika Dia mengharamkan
minuman khamr karena ia memabukkan
dengan maksud untuk memelihara akal
hamba-Nya dan minuman keras lainnya
yang didalamnya mengandung ciri-ciri khas
khamr, yaitu memabukkan. Karena acuan
larangan ini adalah memelihara akal dari
sesuatu yang memabukkan, sedangkan
meninggalkan pengharaman minuman keras
lainnya merupakan suatu penawaran untuk
menghilangkan akal dengan sesuatu yang
memabukkan lainnya. Dan bahwasanya
qiyas merupakan dalil yang dikuatkan oleh
fitrah yang sehat dan logika yang benar,
sesungguhnya orang yang dilarang
meminum minuman karena minuman itu
beracun. Maka ia akan mengqiyaskan
segala minuman yang beracun dengan
minuman tersebut. Maka qiyas merupakan
sumber pembentukan hukum yang sejalan
dengan kejadian yang terus menerus datang
dan menyingkap hukum Syari’at terhadap
berbagai peristiwa baru yang terjadi dan
menyelaraskan antara pembentukan hukum
dan kemaslahatan.
C. Macam-Macam Qiyas
Ulama ushul diantaranya al-Amidi dan asy-Syaukani,
mengemukakan bahwa qiyas terbagi kepada beberapa segi, antara lain
a. Dilihat dari segi kekuatan `illat yang terdapat pada furu`:

1) Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang `illat-nya


mewajibkan adanya hukum. Dan hukum yang disamakan (cabang)
mempunyai kekuatan hukum yang lebih utama dari tempat
menyamakannya (ashal). Misalnya, berkata kepada kedua orang tua
dengan mengatakan “uh”, “eh”, “buset”, atau kata -kata lain yang
menyakitkan maka hukumnya haram. Sesuai dengan firman Allah
dalam QS. Al-Isra ayat 23 Artinya : .... maka sekali – kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”…
Maka mengqiyaskan berkata “uh”, “buset”, dan sebagainya bahkan
dengan memukul itu hukumnya lebih utama. Dengan demikian,
berkata “uh” saja tidak boleh apalagi memukulnya, karena
memukul tentu lebih menyakitkan.
2) Qiyas musawi, yaitu qiyas yang `illat-nya
mewajibkan adanya hukum yang sama antara hukum yang ada
pada ashal dan hukum yang ada pada furu` (cabang). Contohnya
keharaman memakan harta anak yatim sesuai dengan firman Allah
dalam QS. An – Nisa ayat 10 berikut Artinya : Sesungguhnya
orang – orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, maka
sesungguhnya mereka itu menelan api neraka ke dalam perutnya
dan mereka akan masuk ke dalam api neraka yang menyala – nyala.
3) Qiyas adna, yaitu `illat yang ada pada far`u
(cabang) lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan `illat yang
ada pada ashal. Misalnya sifat memabukkan yang terdapat dalam
minuman keras seperti bir itu lebih rendah dari sifat memabukkan
yang terdapat pada minuman keras khamr yang diharamkan dalam
al-Qur`an.a
4)
D. Dilihat dari segi kejelasan `illat hukum.
a) Qiyas jaly, yaitu qiyas yang `illat nya ditegaskan oleh
nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal, atau
`illat-nya itu tidak ditegaskan oleh nash, tetapi dapat
dipastikan bahwa tidak ada pengaruh dari perbedaan
antara ashal dan furu`. Contohnya, dalam kasus
dibolehkannya bagi musafir laki-laki dan perempuan
untuk mengqashar shalat ketika perjalanan, sekalipun
diantara keduanya terdapat perbedaan (kelamin). Tetapi
perbedaan ini tidak mempengaruhi terhadap kebolehan
wanita mengqashar shalat. `illat-nya adalah sama-sama
dalam perjalanan. Dan mengqiyaskan memukul orang
tua kepada larangan berkata “ah” seperti pada contoh
qiyas aulawi sebelumnya..
b) Qiyas khafy, yaitu qiyas yang `illat-nya tidak
disebutkan dalam nash. Contohnya mengqiyaskan
pembunuhan dengan menggunakan benda berat
kepada pembunuhan dengan menggunakan benda
tajam dalam pemberlakuan hukum qiyas, karena
`illat-nya sama-sama yaitu pembunuhan yang
dilakukan dengan sengaja.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai salah satu metode penggalian hukum Islam, qiyas
memiliki porsinya tersendiri dalam kajian usul fikih. Qiyas bisa menjadi
jalan keluar dalam menentukan kasus hukum yang belum ada dalil nasnya.
Melalui tahapan-tahapan yang ada dalam qiyas, seorang mujtahid dapat
memutuskan persoalan hukum dengan bersandar pada kasus yang sudah
jelas hukumnya karena ada persamaan „illat. Pencarian „illat sendiri bisa
melalui tiga tahapan, yakni takhrīj al-manāṭ (menggali sifat yang menjadi
sandaran hukum), tanqīḥ al-manāṭ (menyeleksi sifat yang menjadi
sandaran hukum) dan tahqīq al-manāṭ (mengukuhkan sifat yang menjadi
sandaran hukum). Ketiga tahapan al-taqsīm wa al-sabru ini menunjukkan
bahwa di dalam proses istinbāṭal-ḥukmdibutuhkan kejelian, ketelitian dan
kehatihatian. Selain itu, melalui metode qiyas ini pula, Imam Syafi‟i
mencoba untuk menengahi konflik antara ulama yang cenderung tekstualis
dengan ulama ahl alra‟y. Qiyas memberi porsi yang sama baik pada akal
maupun teks; akal digunakan untuk menalar „illat dan teks sebagai
landasan dan sandarannya. Kritik dan Saran
Makalah yang kami buat masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kami berharap pembaca terutama Bapak Dosen dapat
memberikan kritik dan saran konstruktif kepada kami untuk perbaikan
makalah agar lebih bagus lagi.
DAFTAR PUSTAKA

 Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma‟shum dkk.,


cet.XI Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

 Zakky al-Din Sya’ban, Ushul al- Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar al-Ta’lif,
1964)
 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh

Anda mungkin juga menyukai