Disusun oleh :
Deden Muhamad Hidayat
Murodi
Tommy Suhardiyono
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika masyarakat Muslim tumbuh, muncul berbagai persoalan
baru yang kebanyakan di antaranya belum pernah ada status hukumnya.
Para ulama dan fukaha mencoba memecahkan persoalan ini dengan
menggunakan analogi deduktif dari al-Qur‟an dan Sunnah. Analogi
deduktif ini disebut dengan qiyas. Pada prinsipnya, qiyas memberi
pemahaman kepada para ulama bahwa dua kasus yang berbeda dapat
dipecahkan dengan mengacu pada aturan yang sama.
Qiyas merupakan salah satu metode istinbāṭ (menggali) hukum
yang populer di kalangan mazhab Syafi‟i. Dalam urutannya, mazhab
Syafi‟i menempatkan qiyas berada di urutan keempat setelah al-Qur‟an,
hadis, dan ijmak. Imam Syafi‟i2 sebagai pelopor mujtahid yang
menggunakan qiyas sebagai satu satunya jalan untuk menggali hukum,
mengatakan bahwa yang dinamakan ijtihad adalah qiyas. Beliau
mengatakan bahwa “ijtihad” dan “qiyas” merupakan dua kata yang
memiliki makna yang sama. Artinya, dengan cara qiyas, berarti para
mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum sesuai dengan
sumbernya: alQur‟an dan hadis. Sebab, hukum Islam, kadang tersurat jelas
dalam nas al-Qur‟an atau hadis secara eksplisit, kadang juga bersifat
tersirat secara implisit. Hukum Islam adakalanya dapat diketahui melalui
redaksi nas, yakni hukum-hukum yang secara tegas tersurat dalam al-
Qur‟an dan hadis, adakalanya harus digali melalui kejelian memahami
makna dan kandungan nas, yang demikian itu dapat diperoleh melalui
pendekatan qiyas.
Adapun makalah ini akan membahas qiyas sebagai salah satu
metode istinbāṭ hukum dalam koridor usul fikih dengan mengulas berbagai
unsur dan aspeknya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Qiyas serta rukun Qiyas ?
3. Apa saja yang terbagi dalam Qiyas itu sendiri beserta contohnya?
C. Tujuan
A. Definisi Qiyas
Secara etimologi, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qâsa-
yaqîsu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu Secara etimologi,
qiyas berarti mengira-ngirakan atau menyamakan. Meng-qiyas-kan, berarti
mengira-ngirakan atau menyamakan sesuatu terhadap sesuatu yang lain.
Sedangkan secara terminologis, menurut ulama usul fikih, qiyas adalah
menyamakan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dengan sesuatu yang
ada nas hukumnya karena adanya persamaan illat hukum. Dalam redaksi
yang lain, qiyas adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang
tidak memiliki nas hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nas
hukum, sebab adanya persamaan dalam illat hukumnya.
Qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada nas
hukumnya dengan hal lain yang ada nas hukumnya karena ada persamaan
illat hukum. Dengan demikian, qiyas merupakan penerapan hukum
analogis terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan
illat akan melahirkan hukum yang sama pula. Oleh karenanya,
sebagaimana yang diungkapkan Abu Zahrah, asas qiyas adalah
menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan
sebab dan sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan analogis itu
menemukan titik persamaan antara sebab-sebab dan sifat-sifat antara dua
masalah tersebut, maka konsekuensinya harus sama pula hukum yang
ditetapkan.
Qiyas merupakan salah satu medote istinbāṭ yang dapat
dipertanggungjawabkan karena ia melalui penalaran yang disandarkan
kepada nas. Ada beberapa ayat Al-Qur‟an yang dijadikan landasan bagi
berlakunya qiyas di dalam menggali hukum, di antaranya:
هّٰللا
ُٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا َ َواَ ِط ْيعُوا ال َّرسُوْ َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۚ فَاِ ْن تَنَازَ ْعتُ ْم فِ ْي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوْ ه
ࣖ ك خَ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَأْ ِو ْياًل َ ِم ااْل ٰ ِخ ِر ۗ ٰذلtِ ْل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوtِ ْاِلَى هّٰللا ِ َوال َّرسُو
﴿۵۹ : ﴾النساء
1. Al-Aṣl
yaitu merupakan hukum pokok yang diambil persamaan
atau sesuatu yang ada nash hukumnya. Syarat-syarat ashl:
a. Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang
masih ada pada pokok. Kalau sudah tidak ada
misalnya, sudah dihapuskan (mansukh) maka tidak
mungkin terdapat perpindahan hukum.
b. Hukum yang ada dalam pokok harus hukum Syara’
bukan hukum akal atau hukum bahasa.
2. Far’un
yaitu merupakan hukum cabang yang dipersamakan atau
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Syarat-syarat:
a. Hukum cabang tidak lebih dulu adanya daripada
hukum pokok.
b. Cabang tidak mempunyai kekuatan sendiri.
c. llat yang terdapat pada hukum cabang harus sama
dengan ‘Illat yang terdapat pada pokok.
d. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
3. Illat
yaitu sifat yang menjadi dasar persamaan antara hukum
cabang dengan hukum pokok. Syarat-syaratnya:
a. Illat harus berupa sesuatu yang terang dan tertentu.
b. Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila
berlawanan maka nash yang didahulukan.
4. Hukum
yaitu merupakan hasil dari qiyas tersebut.
Lebih jelasnya biasa dicontohkan bahwa Allah telah
mengharamkan arak, karena merusak akal, membinasakan badan,
menghabiskan harta. Maka segala minuman yang memabukkan
dihukumi haram. Dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Zakky al-Din Sya’ban, Ushul al- Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar al-Ta’lif,
1964)
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh