Anda di halaman 1dari 9

LEMBAR JAWABAN PRA-UTS QAWAID FIQHIYYAH

Diajukan Sebagai Tugas Pra-UTS mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah kelas B


Yang Diampu Oleh : Bapak Dr. Drs. Asmuni, M.A.
Oleh : Arlansyah Harahap (20421128)

SOAL DAN JAWABAN


1. URAIKAN SECARA CERMAT, MASING-MASING DENGAN CONTOH
PERBEDAAN ANTARA :
a. QO’IDAH FIQHIYAH
JAWABAN :
Kaidah (Qawaid/qo’idah) fiqhiyyah adalah suatu ketentuan hukum yang bersifat
umum dan didalamnya mencakup hukum-hukum derifasinya karena sifat keumumannya
dan atau totalitas nya. Dalam pandangan para fuqaha kaidah fiqhiyyah itu adalah ranah
ijtihad dalam menerapkan‘illat hukum yang digali dari permasalahan-permasalahan hukum
cabang berdasarkan hasil ijtihad mujtahid mutlak. Kaidah Fiqhiyah ini juga sering sekali
disimpulkan secara general dari materi-materi fiqih, kemudian digunakan pula untuk
menentukan suatu hukum dari kasus-kasus yang baru timbul, yang tidak jelas hukumnya di
dalam nash. Objek dari ushul fiqhiyah itu adalah Masalah-masalah fiqh yang menyangkut
perbuatan mukallaf.
b. QO’IDAH USHULIYAH
JAWABAN :
Kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang
digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan
kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan arab. Dengan demikian kaidah ushuliyah
itu berkaitan dengan bahasa. Oleh karena itu, sumber hukum adalah wahyu yang berupa
bahasa. Jadi, kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum
yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Dengan mempelajari dan menguasai kaidah
ushuliyah dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap
peristiwa hukum yang dihadapinya. Kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk
mengistinbatkan hukum syara‟ furu‟iyyah dari dari dalil-dalil yang jelas dan terperinci,
kaidah ushuliyyah itu punya objek bisa berupa Dalil-dalil syar‟i dan bagaimana metode
mengistinbath hukum dari dalil tersebut
c. NAZARIYAT FIQHIYAH
JAWABAN :
Nazariyat Fiqhiyah adalah satu kajian yang mencoba untuk menghubungkan
permasalahan-permasalahan cabang fiqh dengan ushulnya. Dengan kata lain nazariyat
fiqhiyah adalah satu bentuk kajian yang menggabungkan keseluruhan cabang-cabang ilmu
yang terdapat dalam Kaedah- kaedah Hukum Islam. Hakikat perbincangannya adalah
tertumpu kepada rukun-rukun, syarat-syarat dan hukum-hukum yang saling berkait
berasaskan jalinan disiplin Ilmu Fiqh. Asas penggabungan-nya adalah kesatuan topik yang
amat berpengaruh terhadap status hukum keseluruhan komponen-komponennya.
d. QO’IDAH TASYRI’IYAH
JAWABAN :
Qo’idah Tasyri’iyah adalah kaidah tasyri‟iyah adalah kaidah-kaidah yang bertalian dengan
tujuan dan dasar-dasar syara‟ dalam menetapkan hukum. Al-tasyri‟iyah bisa diartikan
sebagai kekuasaan Pemerintah Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Dengan
kata lain yaitu salah satu kewenangan atau kekuasaan Pemerintah Islam untuk mengatur
terhadap persoalan yang menyangkut tentang kenegaraan yang meliputi persoalan ahlul
halli wa al-aqdi. Hal yang ketentuannya sudah terdapat di dalam nash al-Qur`an dan
Sunnah, Undang-Undang yang dikeluarkan oleh al-sulthah al-tasyri‟iyah adalah Undang-
Undang Ilahiyah yang diisyaratkan oleh Allah Swt serta dijelaskan oleh Nabi Saw dalam
Hadits.
e. DHAWABITH FIQHIYAH
JAWABAN :
Al-Burnu mengklasifikasin al-dawabith sebagai qa’idah peringkat ketiga yang memiliki
cakupan yang sangat sempit, terbatas pada topic tertentu atau sub topic tertentu.
Pendapatnya ini mengacu pada pendapat Ibn al-Subki yang menyatakan bahwa qawa’id
ada yang mencakup banyak tema, dan ada yang mencakup beberapa tema, dan ada pula
yang khusus pada tema tertentu. Al-qawa’id al-fiqhiyah adalah refleksitas dari sebuah
pemahaman dalam fiqh dan dalam hal ini berbeda dengan apa yang dikenal sebagai ad-
dawabith jamak dari ad-dabitah, yang terbatas pada bidang tertentu, dan mengontrol
masalah-masalah dalam sebuah tema atau bab tertentu pada fiqh, seperti topik tentang
taharah (hukum bersuci), nafaqah (biaya rumah tangga), ar-rida’ (pemeliharaan anak),
hutang piutang, wakalah (mewakilkan suatu perbuatan pada orang lain), wasiat dan
sebagainya.

2. TERDAPAT LIMA QAWA’ID FIQHIYAH YANG POKOK. SEBUTKAN?


JAWABAN:
a. AL-UMURU BI-MAQASIDIHA (Perbuatan dinilai dari niat di belakangnya).
b. AL-DARARU YUZAL (Kerugian harus dihilangkan).
c. AL-YAQINU LA YAZULU BIL-SHAKK (Kepastian tidak dikalahkan oleh keraguan).
d. AL-MASHAQQATU TAJLIBU AL-TAYSIR (Kesulitan melahirkan kemudahan).
e. AL-ADATU MUHAKKAMAH (Adat dapat menjadi dasar penilaian).

3. FUNGSI QAWA’ID FIQHIYAH TERHADAP HUKUM-HUKUM FIQH ADALAH


SEBAGAI AL-RAWABITH ATAU RABITHAH. JELASKAN?
JAWABAN:
a. Menertibkan dan menggabungkan hukum-hukum yang bertebaran, yang mempunyai
hubungan erat, serta mempunyai sifat-sifat yang layak untuk dikumpulkan menjadi satu
pintu.
b. Untuk mempermudah menghafal berbagai macam furu’ serta tidak butuh untuk
memnghafal beraneka ragam hukum juziyyat.
c. Dengan menghafal satu kaidah fikih akan mengetahui berbagai macam hukum yang
include di dalamnya.
d. Untuk menyatakan hukum-hukum juz’iy yang I’llat-nya sama (padahal hukumnya berbeda)
adalah jenis illat dan sejenis dalam maslahat.
Selain empat kedudukan dan fungsi kaidah fikih tersebut, posisi kaidah fikih juga
dapat sejajar dengan nash-nash syar’iy, yaitu manakala kaidah fikih tersebut merupakan
manifestasi langsung dari nash syar’iy.
4. JELASKAN PENGERTIAN, SUMBER, RUANG LINGKUP KAIDAH FIQH: ‫األمور‬
‫ بمقاصدها‬DAN SEBUTKAN MINIMAL TIGA KAIDAH TURUNAN DARI KAIDAH
TERSEBUT?
JAWABAN:
• PENGERTIAN
Arti niat secara umum sebagaimana dikemukakan Al-Baidhâwî adalah dorongan hati yang
dilihat sesuai dengan suatu tujuan, berupa mendatangkan manfaat atau mendatangkan
mudharat dari sisi kondisi atau tempat, dan syari’at mengkhususkannya dengan kehendak
yang diarahkan pada perbuatan tertentu semata-mata untuk mencari ridha Allah SWT dan
mematuhi hukumnya. Sedang secara khusus adalah menuju ketaatan dan mendekatkan diri
kepada Allah SWT dengan melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukannya.
• SUMBER ATAU DALIL ATAU DASAR HUKUM
Al Umuru Bi Maqaashidihaa bermakna “Segala Sesuatu Didasarkan Pada Niatnya”.
Kaidah ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW. yang menyatakan bahwa,
“Innamal A’malu bin Niyaat“ Segala amal perbuatan tergantung niatnya. Kaidah ini
menganjurkan bahwa ketika menilai keabsahan dan akibat hukum suatu perbuatan, niat
untuk melakukan perbuatan tersebut harus diperhitungkan terlebih dahulu.
• RUANG LINGKUP
Masalah-masalah fiqhiyah yang ada dibawah pembahasan Qaidah Al-Umuru Bi
Maqashidiha sangat beragam sekali. Sehingga menyebabkan perselisihan dikalangan
ulama’ dalam membatasi kuantitas ruang lingkupnya. Bahkan Ibnu Ubaidah pernah
mengatakan bahwa tidak ada dari sekian banyak hadits nabi yang lebih luas cakupannya
dan lebih baik faidahnya dari pada hadits yang menjelaskan tentang niat, sehingga para
ulama’ dalam menyikapi permasalahan ini juga baraneka ragam ada yang berpendapat
bahwa kaidah tersebut meliputi ⅓ dari permasalahan fiqhiyah ada yang mengatakan
mencakup terhadap 70 bab bahkan ada ulama’ yang membatasi hanya 30 bab dari seluruh
sub pembahasan ilmu fiqh.
• KAIDAH TURUNAN
• Orang yang berniat melakukan perbuatan untuk tujuan ibadah makhdhoh dan jelas
tidak bercampur dengan perbuatan Adat, walaupun terkadang perbuatan ibadah
tersebut mirip dengan perbuatan Adat.
• Pendekatan atau Ibadah yang sudah pasti untuk mendekatkan diri pada Alloh swt,
tidak perlu untuk diniatkan kembali, misalnya Baca Al-Qur'an, Tahlil dan Tasbih serta
dzikir-dzikir yang lainnya.
• Kesalahan yang tidak memiliki syarat ketentuan, maka tidak ada pengaruh
terhadapnya (asal ibadah).
• Barang siapa yang mendahulukan sesuatu yang masih belum waktunya, maka
dihukumi sesuai dengan yang diharamkan.
• Tidak ada pahala dan hukuman tanpa adanya niat
• Baik atau tidaknya sebuah perbuatan tergantung pada niat awal.

5. URAIKAN MAKNA KAIDAH ‫األمور بمقاصدها‬ KEMUDIAN SEBUTKAN

SUMBERNYA DAN RELEVANSINYA DENGAN TEORI MOTIF (‫الباعث‬ ‫)نظرية‬


JAWABAN:
a. PENGERTIAN
Lafadh “al-umuru” bermakna umum karena kemasukan alif lam jinsiyah demikian pula
dengan lafadh “al-maqoshid” di idafahkan dhamirnya kepada lafadh umum. Maka makna
dari kaidah ini adalah segala perbuatan dan tingkah laku mukallaf yang datang dari
perkataan maupun perbuatan memiliki hasil hukum yang berbeda sesuai dengan
berbedanya maksud tujuan seseorang, dan hukum syariah itu disesuaikan dengan perbuatan
dan tingkah laku, jika suatu hukum berlaku terhadap suatu perkara maka perlu melihat
kepada niat untuk memberlakukan hukum tersebut. Menghadirkan niat dalam segala
tingkah laku perbuatan yang berkaitan dengan urusan dunia dan akhirat. Adapun segala
perbuatan itu meliputi perkatan, perbuatan, gerakan, diam, mencari nafkah, berzikir, adat
istiadat serta ibadah. Maka niat menjadi penentu berlakunya hukum. Barangsiapa
mengerjakan suatu perbuatan tanpa disertai niat disebabkan lupa dan sebagainya maka
perbuatan itu tidak dapat diberlakukan hukum yang sama karena tidak sama antara niat dan
perbuatan tersebut.
b. SUMBER KAIDAH
• Sabda Nabi SAW “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung dengan niatnya, dan
sesungguhnya setiap orang akan memperoleh dari apa yang ia niatkan...” (hadits ini
menjadi asal kaidah ini.)
• Hadits yang datang dari bukhari dan muslim dari sa'ad bin abi waqash R.A
“sesungguhya manusia itu dibangkitkan sesuai dengan niatnya”.
• hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrânî dari Sahl ibn Sa’d :“Niat
seorang mukmin itu lebih baik daripada amalnya (yang tanpa niat)”.
c. RELEVANSI DENGAN TEORI MOTIF (PENERAPANNYA)
“SEGALA URUSAN TERGANTUNG KEPADA TUJUANNYA”
Contoh penerapannya:
• Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau menjual maka
hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat menjadikan khamr,
atau menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya
haram.
• Apabila seseorang menemukan di jalan sebuah dompet yang berisi sejumlah uang lalu
mengambilnya dengan tujuan/niat mengembalikan kepada pemiliknya, maka hal itu tidak
mengganti jika dompet itu hilang tanpa sengaja. Akan tetapi jika ia mengambilnya dengan
tujuan/niat untuk memilikinya, maka ia dihukumkan sama dengan ghashib (orang yang
merampas harta orang). Jika dompet itu hilang, maka ia harus menggantinya secara mutlak.
• Apabila seseorang menabung di Bank Konvensional dengan tujuan/niat untuk
mengamankan uangnya karena belum ada bank syariah di daerahnya, maka ia dibolehkan
karena dharurat. Akan tetapi jika ia menyimpan uang di Bank konvensional itu dengan
tujuan/niat memperoleh bunga dari bank itu, maka hukumnya haram.

6. PARA ULAMA’ MENYATAKAN BAHWA MEMAHAMI KAIDAH ‫األمور بمقاصدها‬


SEPADAN DENGAN PENGUASAAN 80 % HUKUM-HUKUM FIKIH. JELASKAN
RUANG LINGKUP KAIDAH TERSEBUT DAN SEBUTKAN CONTOH
PENGGUNAANNYA DALAM HUKUM KELUARGA?
JAWABAN :
• RUANG LINGKUP
Masalah-masalah fiqhiyah yang ada dibawah pembahasan Qaidah Al-Umuru Bi
Maqashidiha sangat beragam sekali. Sehingga menyebabkan perselisihan dikalangan
ulama’ dalam membatasi kuantitas ruang lingkupnya. Bahkan Ibnu Ubaidah pernah
mengatakan bahwa tidak ada dari sekian banyak hadits nabi yang lebih luas cakupannya
dan lebih baik faidahnya dari pada hadits yang menjelaskan tentang niat. Menurut Imam
Syafi’i, imam Ahmad bin Hambal, Abu Daud dan Addaru Qutni menyatakan bahwa hadits
tersebut mencakup terhadap ⅓ dari permasalahan fiqhiyah. Dan pendapat ini diperjelas
oleh Imam Baihaqi bahwa segala perbuatan manusia tidak pernah terlepas dari salah satu
dari tiga unsur diantaranya adalah Hati, lidah dan anggota badan. Sehingga beliau sangat
antusias ketika hadits tersebut dikatakan mencakup terhadap ⅓ dari permasalahan fiqhiyah,
karena memang niat (hati) termasuk salah satu dari ketiga unsur instrumen manusia dalam
menjalani kehidupannya. Sedangkan menurut Ibn Muhdi hadits tersebut meliputi 30 bab
akan tetapi ada ulama’ yang mengatakan bahwa hadits tersebut meliputi 70 bab dari
permasalah ilmu fiqh.
• CONTOH DALAM HUKUM KELUARGA
a. Orang yang memberi wasiat atas sesuatu untuk ditukarkan dengan harta benda tertentu
dengan cara jual beli, atau pemindahan, atau cara-cara sejenis lainnya yang terkait
dengan harta benda yang diwasiatkan, maka pertukaran ini tidak mensyaratkan adanya
niat terperinci, tetapi hanya disyaratkan niat kehendak/maksud.
b. seseorang yang memberi wasiat atau wakil yang melakukan pertukaran lebih dari satu
jenis, seperti wasiat atas harta anak yatim atau wakaf kepada si Fulan, tetapi dalam
pelaksanaannya diwakilkan oleh orang yang memberi wasiat kepada wakil, maka
sesungguhnya wasiat itu berasal dari orang yang memberi wasiat atau yang
mewakilkan, dan bukan dari orang yang mewakili, kecuali adanya niat yang terperinci
dari pemberi wasiat bahwa wasiat yang diwakilkan itu untuk diri orang yang
mewakilkan.
c. Dalam masalah waris, karena ahli waris tergesa-gesa untuk mendapatkan harta waris
sehingga ia membunuh ’amdan orang yang mewariskan dengan harapan mempercepat
pembagian harta warisan, maka akibatnya si pembunuh haram hukumnya untuk
mendapatkan bagian warisannya;
d. Orang yang melakukan pernikahan dengan wanita yang masih dalam ‘iddahnya, maka -
menurut pendapat sebagian fuqaha’- lelaki tersebut tidak boleh mengawininya untuk
selama-lamanya.

7. SEORANG SUAMI MENGATAKAN KEPADA ISTERINYA ”PULANGLAH KAMU


KE RUMAH ORANG TUAMU” DENGAN NIAT CERAI/TALAQ. DARI KASUS INI
JELASKAN:
A. Bagaimana status pernikahan mereka berdasarkan kaidah al-umur bimaqashidiha
dan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974?
JAWABAN :
• Status pernikahan menurut kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha
JAWABAN : Apabila si suami mengatakan itu dengan niat yang tulus dari hati maka
sudah jelas dan dapat dipastikan bahwa perceraian atau talaq sudah terjadi atau sudah
jatuh kepada istri pada saat itu juga, karena menurut kaidah Al-Umuru
Bimaqashidiha itu apabila sudah ada niat yang mendasarinya maka kata kata atau
lafadz yang dikeluarkan oleh suami itu bisa dijatuhkan talaq. Atau seorang suami
mentalak isterinya berturut-turut sampai tiga kali tanpa memakai kalimat penghubung
antara talak yang satu denga lainnya, maka jika masing-masing kalimat itu diniatkan
sebagai awal kalimat (isti’nâf) jatuhlah talak tiga sekaligus
• Status pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
JAWABAN :
“Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
(Pasal 39 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974) ; ”Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri” (Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam pasal 1 dan 2
sudah dijelaskan dengan baik tentang permasalahan talaq atau cerai menurut hukum
Nasional (Hukum Positif), disitu dijelaskan bahwa talaq yang sah menurut negara itu
adalah ”Perkataan atau lafadz suami yang hanya bisa dilakukan di depan sidang
pengadilan, maka dari itu saya dapat simpulkan bahwa status pernikahan tersebut
masih berjalan dan tidak berhenti dikarenakan talaq yang dijatuhkan suami kepada
istri itu tidak berlaku karena tidak diungkapkan secara langsung di hadapan
pengadilan.
B. Bagaimana metode mengkompromikan hukum menurut kaidah al-umur dan
Undang-undang perkawinan tersebut?
JAWABAN :
Umat Islam tunduk pada pengaturan dalam hukum Islam perihal talak, yang mana hukum
tersebut juga diatur dalam KHI. Lalu, bagaimana kedudukan hukum Islam (KHI) terhadap
hukum negara (hukum positif) dalam hal talak itu? talak yang diatur dalam KHI itu
bersumber dari hukum Islam dan pemberlakuan KHI itu sendiri itu ditegaskan
berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan KHI (“Inpres
1/1991”). Pengaturan dalam hukum Islam sudah sejalan dengan pengaturan dalam hukum
positif yang mengatur mengenai talak, yakni pengaturan dalam KHI. Hal ini disebabkan
karena KHI itu bersumber dari hukum Islam. Hanya saja, tidak adanya legalitas berupa
bukti perceraian (dengan tidak dijatuhkannya talak di muka pengadilan) memang akan
berdampak pada permasalahan status perkawinan dan masalah-masalah hukum lain yang
mungkin timbul sehingga umat Islam juga perlu tunduk pada hukum negara, yakni hukum
positif.

Anda mungkin juga menyukai