Anda di halaman 1dari 28

KAIDAH-KAIDAH TURUNAN DARI KAIDAH NIAT

Oleh: Asmuni Mth

1. Pendahuluan
Niat merupakan rahasia dan ruh ibadah, eksistensi niat bagi perbuatan seperti
eksistensi ruh bagi jasad, perbuatan yang tidak disertai dengan niat ibarat sesosok mayat
tanpa ruh di dalamnya. Niat adalah bagian dari ibadah yang disyariatkan yang
berpengaruh terhadap perbuatan dan berimplikasi pada hukumnya. Niat merupakan
asas dan kaidah perbuatan yang karenanya perbuatan akan dikategorikan sah, rusak,
diterima atau ditolak. Suatu perbuatan akan dinilai benar bila niatnya benar, dan
sebaliknya.1 Niat yang benar akan mendatangkan taufik, dan niat pula yang menjadikan
derajat manusia bertingkat-tingkat baik dalam kehidupan di dunia maupun di akherat.
Menilik eksistensi niat yang begitu penting bagi perbuatan manusia dan berbagai
implikasi (yuridis)nya, maka sebagai ijtihad akademis, makalah ini akan menguraikan
persoalan seputar niat dan kaidah-kaidah turunan dari kaidah niat, khususnya dalam
bidang mu’amalah.

Pengertian Niat Secara Bahasa Dan Istilah


Ia berasal dari kata kerja Nawa – Yanwi. Asalnya adalah Nauyatun atas wazan
Fa'latun yang berarti Kehendak terhadap sesuatu (Azam). Ia memiliki makna Umum dan
makna khusus. Makna umumnya seperti yang telah dikatakan Baidhowy " Hati menjadi hidup
ketika ia melihat sesuatu yang cocok dengan tujuannya dari bagian kemanfaatan atau menolak
kemudhorotan suatu keadaan atau harta. Syariat dikhususkan dengan irodah/ kehendak yang terarah,
misalnya perbuatan yang mengharapkan ridho Alloh swt dan melaksanakan perintah-Nya"2.
Sedangkan niat dengan makna khusus adalah " bertujuan untuk taat dan mendekatkan diri
kepada Alloh swt dengan melakukan perbutan yang diperintah-Nya dan menjauhi perbuatn
yang dilarang-Nya.3

1
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah al-Kubrâ, (Riyadh: Dâr Balinsiyyah, 1417 H), hal. 46;
Abdul Malik Ghazali, “ Niat dan Perbuatan Manusia” dalam
http://groups.yahoo.com/group/pesantren/message/152, accessed on 18 Maret 2008.
2
Al-asybah wa an-nadhoir oleh Suyuti hal; 30 dan fiydhul qodir oleh Manawy Juz 1/30
3
Al-asybah wa an-nadhoir oleh Ibnu Nujaim hal 29 tanpa kata " atau menghindari larangan-Nya"
1|Page
Sedangkan pengertian Niat secara istilah adalah menyengaja terhadap keseluruhan
perbuatan yang meliputi kehendak, tujuan yang akan datang atas suatu pekerjaan atau
membantu pekerjaan dalam beberapa saat (situai dan kondisi).4

Niat Adalah Pondasi Perbuatan


Niat masuk dalam bab-bab penting dalam ilmu fikih, tetapi oleh Ibnu Nujaim, niat
dijadikan pada perbuatan ukhrowyah sebagi kaidh pertama dari beberapa kaidah-kaedah
fikih besar lainnya, yakni kaedah "la tsawaba illa bi niyyatin" (tidak ada pahala kecuali
dengan niat).5 Dan jika terdapat hukum-hukum kebiasaan adat (gholibul Adaat) semuanya
tergantung pada niatnya, sehingga niat sangat penting untuk diutamakan dalam segala
perbuatan dan menjadikannya sebagai rukun pertama.

Pandangan Al-Qur'an Tentang Niat


Dalam al-qur'an banyak disinggung masalah niat dalam beberapa redaksi lafadz yang
berbeda, walaupun niat tidak disebutkan secara langsung, tetapi substansinya adalah niat ,
tujuan dan keikhlasan.
Firman Alloh swt dalam al-quran surat al-Bayyinah ayat ke-5
"Dan mereka tidak diperintahkan keculai untuk beribadah kepada Alloh swt dengan memurnikn
ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus".
"Maka sembahlah Alloh swt dengan memurnikan ketaan dalam menjalankan agama yang lurus" QS.
Al-Zumar :2 dll, mislnya dalam QS Al- Zumar : 11, Al-A'raf: 29, Lukman: 32, Ghofir: 14, 65.

Pandangan Sunnah Tentang Niat


Rolullah saw menjadikan niat sebagai salah satu syarat sahnya suatu perbuatan,
perbuatan tiada nilainya jika tanpa disertai dengan niat, sebagaimana yang telah
diriwayatkan oleh Umar Bin Khattab, Nabi bersabda " Inna maa al-a'maalu bin
niyat….."(perbuatan itu tergantung pada niatnya…….). 6 serta hadits yang diriwayatkan oleh
Aisyah ra, Nabi bersabda " Inna maa yaba'tsu an-naasa ala niyyatihim" (manusia dinilai

4
lihat "An-Niyyat wa atsaruha fil ahkami asy-Syar'iyyah oleh Dr Sholih Sadlan Juz 1/96
5
liaht Al-asybah wa an-nadhoir oleh Ibnu Nujaim al-mishro al-hanafy hal 34.
6
HR. Bukhori 1, Muslim 1908 dan di didalam kutubus sittah dan al-Muwatta'
2|Page
dengan niatnya"7 dan masih banyak hadits yang lain yang membicarakan tentang pentingnya
niat.

Syarat Diterimanya Perbuatan


Ada dua syarat yang harus dipenuhi supaya amal perbuatan diterima oleh Alloh swt,
yang pertama adalah dengan adanya niat yang ikhlas dan benar. Dan yang kedua adalah
perbuatan atau pekerjaan tersebut harus nampak jelas, yakni sesuai dengan yang
disyariatkan oleh-Nya, bukan bid'ah. Ibnu mas'ud berkata " Perkataan tidak akan berguna
tanpa adanya perbuatan, perkataan dan perbuatan tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya
niat, dan perkataan perbuatan serta niat tidak akan bermanfaat jika bertentangan dengan
Sunnah Rosulullah yang Shohihah.8

Keadaan (Mahall) Niat


Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Taimiyyah, beliau menukilkan pada
para ulama Syariat yang mengatakan bahwa niat tempatnya berada di dalam hati, tidak
cukup hanya diucapkan di lisan. Sedangkan waktu niat itu sendiri adalah diawal ibadah. 9

Tujuan Dari Niat Dalam Ibadah


Tujuan dari niat ibadah ada dua perkara, yang pertama adalah membedakan antara
ibadah dengan perbuatan Adat, misalnya duduk dimasjid untuk istirahat atau I'tikaf, hal ini
dapat dibedakan dengan niatnya.
Yang kedua adalah membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya,
misalnya dengan adanya perbedaan ibadah yang wajib, sunnah dll yang disyariatkan dalam
agama.

Kaedah-Kaedah Dalam Niat


Kaedah-kaedah yang berkaitan dengan niat sangat banyak diantaranya adalah
1-Orang yang berniat melakukan perbuatan untuk tujuan ibadah makhdhoh dan jelas tidak
7
HR. Baihaqi dalam Syi'bil Iman dan lainnya mengatkan ini Dhoif, lihat pula dalam kitab Fathul Baari 1/11
8
Jamiul ulum wal hukmi fi syarhi khomsina haditsan min jawamiil kalim oleh Ibnu Rojab al-Hambali ra, hal; 9
9
Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah Juz 26/21,22,23 dan setelahnya
3|Page
bercampur dengan perbuatan Adat, walaupun terkadang perbuatan ibadah tersebut mirip
dengan perbuatan Adat.
Perbuatan ini dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama; sholat, haji, puasa dan
seluruh ibadah yang tidak sama dengan Adat. Ibadah –ibadah tersebut tidak wajib di
sandarkan kembali niat kepada-Nya, karena jenis ibadah ini jelas Kepada Alloh swt. Tetapi
yang kedua; jika ibadah tersebut sama atau mirip dengan perbatan Adat, misalnya memberi
harta, bisa jadi memberi untuk sadaqoh atau bisa jadi memberi untuk hadiyah, atau zakat
wajib atau hanya sodakoh sunnah, maka ibadah jenis ini wajib untuk diniatkan kepada Alloh
swt sesuai dengan ibadah yang dikehendaki.10
2-Pendekatan atau Ibadah yang sudah pasti untuk mendekatkan diri pada Alloh swt, tidak
perlu untuk diniatkan kembali, misalnya Baca Al-Qur'an, Tahlil dan Tasbih serta dzikir-
dzikir yang lainnya. Karena ibadah jenis ini jelas berbeda dengan ibadah-ibadah yang
lainnya, yakni dzikir hanya kepada Alloh swt saja. 11 Tetapi ia butuh tujuan yang lebih
spesifik, misalnya dengan dzikir tersebut seorang hamba berniat ikhlas kepada Alloh swt,
atauy karena cinta kepada-Nya, atau kerena ada Harapan kepadanya atau ingin
mendapatkan pahala serta ingin meminta ampunan kepada-Nya. Dengan demikian ia butuh
niat yang lebih khusus dan tertentu.
3-Kesalahan yang tidak memiliki syarat ketentuan, maka tidak ada pengaruh terhadapnya
(asal ibadah).
Makna kaedah ini ditentukn oleh 3 ketentun pembagian. Pertama; adanya ketentuna yang
pasti (ta'yin lazim) sehingga jika ia tiada, maka tidaklah sah ibadah tersebut. Misalnya berniat
sholat dhuhur, maka ia harus niat sholat dhuhur. Jika ibadah tersebut adalah wajib, maka ia
harus berniat melakukan ibadah wajib dsb. Jika niat-niat yang pasti tersebut tidak dilakukan
maka ibadah yang telah dilakukan tidak sah.
Yang kedua; adanya ketentuan yang wajib dari ketentuan itu sendiri (ta'yin ma la yalzimu
ta'yinuhu). Misalnya niat sholat dhuhur wajib atau bilangan sholat rakaat sholat dsb.
Mukallaf harus memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut, sehingga bila ditemui niat sholat
Dhuhur sunnah atau dengan bilangan rakaat dhuhur hanya tiga rakaat, maka jelas ibadah
shalatnya tidak sah. Kesalahan-kesalahan seperti di atas tidak mempengaruhi Asal dari

10
Fatawa Ibnu Taimiyyah Juz 26/23 dan al-asybah wa an-nadhoir oleh Suyuti hal 14
11
al-amniyyah fi idrokin niyyah oleh al-Qurofy hal; 5
4|Page
ibadah tersebut.
4-Barang siapa yang mendahulukan sesuatu yang masih belum waktunya, maka dihukumi
sesuai dengan yang diharamkan.
Cabang dari kaedah ini adalah pemecahan masalah haram dan halal. Barang siapa
yang melakukan yang haram tersebut, maka ia mendapatkan hukuman (sanksi), misalnya
kaum yahudi yang dihukumi haram untuk memakan binatang buruan pada hari sabtu,
ternyata mereka menjaring dengan perangkap pada hari minggu. Perbuatan ini jelas untuk
memperbolehkan diri mereka untuk menangkap hewan buruan dan menghindari dari
hukum yang telah ditetapkan oleh Alloh swt. 12 Rosulullah saw bersabda " Alloh swt telah
melaknat kaum yahudi ketika mereka diharamkan untuk mengambil lemak (minyak) bangkai, tetapi
mereka tetap mengambil dan mengumpulkannya dan mengambil otaknya kemudian mereka
menjualnya serta memakan hasil dari harga penjualannya".
Dengan demikian kaum yahudi yang melakukan tindak penangkapan binatang buruan pada
hari yang bukan diharamkanpun tetap dilaknat oleh Alloh swt karena perbuatannya sama
dengan yang telah diharamkan.
5-tidak ada pahala dan hukuman tanpa adanya niat
Pahala dan sanksi di dunia dan di akhirat tergantung pada niatnya yang secara global
dan terperinci. Pahala yang diberikan Alloh pada seorang mukmin disebabkan oleh
keihklasannya.13 Sebagaimana firman-Nya
"masuklah kalian ke surga disebabkan oleh perbuatanmu"14 "Maka barang siapa yang be4rtaubat dan
beriman serta beramal saleh, maka boleh jadi ia termasuk dalam golongan orang-oranmg yang
beruntung"15
Adapun pahala dan sanksi duniawi tidak lepas dari dua perkara, yakni; Pertama;
seorang Mukallaf atau tidak Mukallaf. Jika seorang Mukallaf maka ia wajib menegakkan
kewajiban untuk taat kepada Alloh swt dalam kehidupannya secara baik, baik laki-laki
maupun perempuan. Seperti firman-Nya "Barang siapa yang bermal saleh dari golongan laki-laki
dn perempuan dan dia adalah seorang mukmin, maka sesungguhnya kami akan memberikannya
kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya kami akan memberikan balasan yang baik kepada mereka

12
al-jami'u liahkamil qur'an oleh al-qurtubi Juz 7/306
13
al-asybah wa an-nadhoir oleh Ibnu Nujaim hal 166
14
QS.An-Nahl; 32
15
QS. Al-Qoshos; 67
5|Page
dari apa-apa yang telah mereka kerjakan"16
Sedangkan jika ia bukanlah seorang mukallaf, misalnya anak yang masih kecil, maka
ketika ia berbuat maksiat, maka tidak ditulis mendapatkan dosa, tetapi hendaknya diarahkan
agar tidak melakukan kemaksiatan. Sebagaimana sabda Rosulullah saw " Perintahkan sholat
pada anak-anakmu yang telah berumur tujuh tahun dan pukullah ia jika membantah sedangkan ia
telah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara laki-laki dn perempuan).17
Begitu juga sebaliknya, seorang anak yang telah melakukan kebaikan, maka ia tetap
mendapatkan pahala yang diberika kepada orang tuanya, sebagaimana yang telah
diriwayatkan dalam peristiwa hajinya seorang ibu-ibu yang membawa anaknya. Mereka
bertanya kepada Rosulullah saw "apakah ia sudah haji?. Jawab rosul "ya, dan kamu
mendapatkan satu pahala"18
6-baiknya perbuatan tergantung pada baiknya niat, begitu juga sebaliknya.dll.
Perbuatan jelek itu tergantung pada niatnya, jika niatnya jelek dan tidak ikhlas karena
Alloh swt, maka amal perbuatan tersebut rusak (fasid) dan masuk dalam kategori batilul
amal di dunia. Perbuatn ini tidak akan mendapatkan pahala disisi Alloh swt (di Akhirat),
sebagaimana firman-Nya "Dan amal-amal orang kafir adalah laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, maka bila didatanginya air itu ia tidak
mendapatinya sedikitpun. Dan didapatinya ketetapan Allo swt disisinya, lalu Alloh memberikan
kepada perhitungan amal-amal dengan cukup dan Alloh adalah sangat cepat hisabnya
(perhitungannya)".19
Rusaknya amal perbuatan karena niatnya yang salah (rusak), misalnya perbuatn
syirik. Syirik merupakan perbuatn dosa yang paling besar dan tak dapat diampuni oleh
Alloh swt. Misalnya perkataan Fira'un yang mengatakan "wa maa Robbul A'lamin" (Alloh
swt bukan Tuhan seluruh alam). Jenis syirik ini sangat parah, dll.
"Alloh-lah yang telah menciptakan langit dn bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya dalam
enam hari, kemudian ia duduk di atas arsy-Nya, maka tidak patutlah bagimu untuk mengambil
penolong dan pembela selain-Nya, apakah kamu tidak berfikir?"20

16
QS.An-Nahl; 97
17
HR Abu Daud 495 dengan sanad Hasan
18
HR.Muslim 1336, Abu daud 1736, Ahmad 1/219,244. hadits dari Ibnu Abbas
19
QS.An-Nuur; 39
20
QS. Al-Sajadah; 4
6|Page
2. Pengertian Niat
Dalam Lisân al-’Arab dan Mu’jam al-Wasîth, niat adalah bentuk masdar dari kata
kerja ”nawâ-yanwî” berati kehendak hati untuk mengerjakan suatu perkara.
21
‫ب َعلَى أَ ْم ٍر ِمنَ األَ ُموْ ِر‬
ِ ‫ يَ ْن ِويْ نِيَّةً َو هُ َو ع َْز ُم القَ ْل‬- ‫ن ََوى‬

Dalam Kamus Al Munawwir, berarti maksud hati; hajat; berniat sungguh-sungguh;


menjaga; melindungi; berpindah tempat alias hijrah; pergi jauh; menyampaikan;
melemparkan.22 Sedang Dalam Ensiklopedi Al Qur’an diuraikan kata ”an-nawa” pada
ayat 95 Q.S. al-An’âm, menurut Ibnu Faris, seorang ahli bahasa kenamaan, menjelaskan
bahwa an nawa mempunyai dua arti; at-tahawwul min dârin ilâ dârin, dan at-tamar. Dalam
istilah sehari-hari an nawa banyak digunakan untuk pengertian maksud atau tujuan.
Hasil perubahan arti kata ini menjadi maksud dan tujuan lebih dekat kepada arti pertama
karena bepergian ke suatu negeri tertentu tidak terlepas dari tujuannya.
Arti niat secara umum sebagaimana dikemukakan al-Baidhâwî adalah dorongan
hati yang dilihat sesuai dengan suatu tujuan, berupa mendatangkan manfaat atau
mendatangkan mudharat dari sisi kondisi atau tempat, dan syari’at mengkhususkannya
dengan kehendak yang diarahkan pada perbuatan tertentu semata-mata untuk mencari
ridha Allah SWT dan mematuhi hukumnya.23 Sedang secara khusus adalah menuju
ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melakukan suatu perbuatan
atau tidak melakukannya.24

3. Niat Sebagai Landasan Perbuatan


Para ulama telah bersepakat bahwa segala amal yang dilakukan seorang mukallaf
mukmin tidak dianggap sah secara syar’i dan tidak berpahala jika ia mengerjakannya
kecuali dengan disertai niat.25 Bahkan, Ibnu Nujaim menjadikan niat dalam amalan-
21
Ibn Manzhur, Lisanul 'Arab, (Beirut: Daar Ihya at Turats al-'Arabi), 14 : 343; Mu'jam al-Wasith, 2 : 965.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawwir Arab Indonesia, cet. XIV (Yogyakarta: Pustaka
22

Progresif, 1997).
23
Jalâluddîn as-Suyûtî, al-Asybâh wa an-Nazâir, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413 H), hal. 30.
24
as-Suyûtî, al-Asybâh…, hal. 29.
25
Abul Abbas Kholid Syamhudi, “Peran Niat Dalam Amal” dalam http://muslim. or.id/artikel/fiqh-dan-muamalah/peran-
niat-dalam-amal-2.html, acessed on 18 Maret 2008.
7|Page
amalan ukhrawiyyah sebagai kaidah utama dari kaidah-kaidah pokok fiqh, yaitu ”tidak
ada pahala kecuali dengan disertai niat”. Karena semua hukum dan ibadah didasarkan pada
niat, maka niat wajib didahulukan atas setiap amal perbuatan, dan dijadikan sebagai
rukun pertama.26
Pegangan ulama yang menjadikan niat sebagai rukun perbuatan adalah analisa
mereka bahwa huruf jarr (preposition) ”‫ ”ب‬dalam sabda Nabi SAW : ‫إنما األعمال بالنيات‬
mengandung makna lil mushâhabah atau ma’iyyah (menyertai). Tetapi ada yang
berpendapat bahwa niat sebagai syarat ibadah dan perbuatan, karena huruf jarr ”‫”ب‬
adalah bâ sababiyyah (dengan sebab adanya). Karena itu niat tidak harus menyertai dari
permulaan sampai akhir perbuatan, tetapi cukup sekiranya sudah ada niat, terutama di
awal perbuatan itu dilakukan.27

4. Niat Yang Ikhlas Dasar Diterimanya Amal


Keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala keburukan, nafsu,
dan keduniaan. Niat itu harus ikhlas karena Allah dalam setiap amal, agar amal itu
diterima di sisi Allah. Ibnu Rajab mengemukakan bahwa setiap amal shalih mempunyai
dua syarat, yang tidak akan diterima kecuali dengan keduanya; pertama, niat yang ikhlas
dan benar. Kedua, sesuai dengan sunnah, mengikuti contoh Nabi SAW.28
Dengan syarat pertama, kebenaran batin akan terwujud, sebagaimana disebutkan
dalam sabda Nabi SAW. "Sesungguhnya amal-amal itu hanya tergantung pada niatnya."
Inilah yang menjadi timbangan batin. Dan dengan syarat kedua, kebenaran lahir akan
terwujud, sebagaimana disebutkan dalam sabda beliau :
29
‫ْس َعلَ ْي ِه أَ ْم ُرنَا فَه َُو َر ٌّد‬
َ ‫َم ْن َع ِم َل َع َمالً لَي‬

Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.

Allah telah menyebutkan dua syarat ini dalam beberapa ayat, di antaranya:

26
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah al-Kubrâ, (Riyadh: Dar Balinsiyyah, 1417 H), hal. 48.
27
Marwan Ibnu Marghani, Majmuk Fiqih Indonesia, (Banyumas: Pesantren Wathoniyyah Islamiyyah, 2007), hal. 25.
28
Lihat Ibnu Rajab, Jâmi’ al-’Ulûm wa al-Hikam, tahqiq oleh Syu'aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, (Mu'assassah ar-
Risalah, 1419H), h. 12.
29
(Hadist riwayat Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718, Abu Dawud no. 4606 dan Ibnu Majah no. 14 dari hadits Aisyah)
dalam Al-Kutub at-Tis’ah, (Syirkah ash-Shahr li Barâmij al-Hâsib, 1996).
8|Page
30 ً‫َو َم ْن أَحْ َسنُ ِدينا ً ِّم َّم ْن أَ ْسلَ َم َوجْ هَهُ هلل َوه َُو ُمحْ ِس ٌن واتَّبَ َع ِملَّةَ إِب َْرا ِهي َم َحنِيفا ً َواتَّخَ َذ هّللا ُ إِب َْرا ِهي َم َخلِيال‬

Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada
Allah, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus.

Menyerahkan dirinya kepada Allah artinya, mengikhlaskan amal kepada Allah,


mengamalkan dengan iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah. Sedangkan berbuat
baik berarti dalam beramal mengikuti apa yang disyariatkan Allah, dan apa yang dibawa
oleh Rasul-Nya berupa petunjuk dan agama yang haq.31
Dua syarat ini, bila salah satunya tidak terpenuhi, maka amal ini tidak sah. Jadi
harus ikhlas dan benar. Ikhlas karena Allah, dan benar mengikuti petunjuk Nabi SAW.
Lahirnya ittiba', dan batinnya ikhlas. Bila salah satu syarat ini hilang, maka amal itu akan
rusak. Bila hilang keikhlasan, maka orang itu akan jadi munafik dan riya' kepada
manusia. Sedangkan bila hilang ittiba', artinya tidak mengikuti contoh Nabi SAW maka
orang itu sesat dan bodoh (jahil).32
Dari uraian di atas, jelaslah betapa pentingnya peran niat dalam amal. Niat itu
harus ikhlas, tetapi ikhlas semata tidak cukup menjamin diterimanya amal, selagi tidak
sesuai dengan ketetapan syariat dan dibenarkan Sunnah. Sebagaimana tidak akan
diterimanya amal yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat, selagi tidak disertai
dengan ikhlas; sama sekali tidak ada bobotnya dalam timbangan amal.

5. Waktu Niat dan Tempatnya


Menukil kesepakatan ulama, Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa waktu niat itu
di awal melakukan ibadah atau perbuatan. Niat tempatnya di hati, bukan diucapkan
dengan lisan. Bila yang diucapkan lisan seseorang berbeda dengan apa yang ia niatkan
dalam hati, maka yang diperhitungkan ialah yang diniatkan, bukan yang dilafadzkan.
Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, sedangkan niat belum sampai
ke dalam hatinya, maka hal itu tidak cukup. Demikian menurut kesepakatan para imam
kaum Muslimin, karena sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan dan kehendak yang

30
Q.S. An Nisa' : 125.
31
Ibnu Rajab, Jâmi’ al-’Ulûm…, hal. 13.
32
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azîm, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1992), I : 616.
9|Page
pasti.33 Orang Arab biasa mengatakan:
‫ك هللاُ بِ َخي ٍْر‬
َ ‫نَ َوا‬

)Allah menunjukkan kepada kamu kebaikan (

Talafudz (melafadzkan) niat tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW, juga tidak
pernah diriwayatkan oleh seorangpun, baik melalui periwayatan yang shahih, dhaif,
maupun mursal. Tidak seorangpun sahabat yang meriwayatkan, dan tidak ada seorang
tabi'in pun yang menganggap baik masalah ini, dan tidak pula dilakukan oleh empat
Imam Madzhab yang mashur.

6. Kaidah-kaidah Niat

‫ئ َما‬ ِ Ž‫لِّ ا ْم‬ŽŽ‫ا َ لِ ُك‬Ž‫ت َو إِنَّم‬


ٍ ‫ر‬Ž ِ َ ‫ا‬Ž‫ا ُل بِالنِّي‬ŽŽ‫ إِنَّ َما األَ ْع َم‬: ‫وْ ُل‬ŽŽُ‫وْ َل هللاِ يَق‬Ž‫ْت َر ُس‬
ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ب قَا َل‬ِ ‫ص ُع َم َر ب ِْن الخَطَّا‬ ٍ ‫ع َْن أَ ِمي ِْر ال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ أَبِ ْي َح ْف‬
ُ‫ أَ ِو ا ْم َرأَ ٍة يَ ْن ِك ُحهَا فَ ِهجْ َرتُه‬،‫ُص ْيبُهَا‬
ِ ‫َت ِهجْ َرتُهُ لِ ُد ْنيَا ي‬ ْ ‫َت ِهجْ َرتُهُ إِلَى هللاِ َو َرسُوْ لِ ِه فَ ِهجْ َرتُهُ إِلَى هللاِ َو َرسُوْ لِ ِه َو َم ْن َكان‬ ْ ‫ن ََوى فَ َم ْن َكان‬
34
ِ‫إِلَى َما هَا َج َر إِلَيْه‬

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu, ia berkata:
Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya amal-amal itu
tergantung dengan niat, dan sesungguhnya seseorang itu hanya akan mendapatkan balasan
sebagaimana niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka
(pahala) hijrahnya (dinilai) kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya
diniatkan untuk kepentingan harta dunia yang hendak dicapainya, atau karena seorang wanita
yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya akan dibalas sebagaimana yang ia niatkan."

Tidak diragukan lagi, niat itu merupakan neraca bagi sahnya suatu perbuatan. Niat
merupakan kehendak yang pasti, sekalipun tidak disertai dengan amal. Maka dari itu,
kadang-kadang kehendak ini merupakan niat yang baik lagi terpuji, dan kadang
33
Syaikh al-Islâm Ibn Taimiyyah, Majmû’ Fatâwâ, Juz XXVI : 21-24.
34
Hadist ini di riwayatkan oleh Bukhari, Kitab Bad'ul Wahyu no. 1, dalam Kitabul Iman no. 54, ada beberapa tempat
dalam Shahih-nya, seperti kitab Al-'Itq, dan lainnya; Muslim, Kitabul Imarah, Bab Innamal A'malu bin Niyyat,
no. 1907; Abu Dawud dalam Sunan-nya, Kitabut Thalaq, Bab Fi Ma 'Uniya Bihi at Thalaq wan Niyat, no.
2201; At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab Fadha-ilul Jihad, Bab Man Ja'a fi Man Yuqatilu Riya'an Wa
liddunya, no. 1647; An Nasa-i dalam Sunan-nya, Kitab Ath-Thaharah, Bab An-Niyyah fil Wudhu' no. 59-60; Ibnu
Majah dalam Sunan-nya, Kitab Az-Zuhd, Bab An-Niyyah, no. 4227 dan sebagainya. Selengkapnya lihat Al-Kutub at-
Tis’ah, (Syirkah ash-Shahr li Barâmij al-Hâsib, 1996).
10 | P a g e
merupakan niat yang buruk lagi tercela. Hal ini tergantung dari apa yang diniatkan, dan
juga tergantung kepada pendorong dan pemicunya; apakah untuk dunia ataukah untuk
akhirat? Apakah untuk mencari keridhaan Allah, ataukah untuk mencari keridhaan
manusia? Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

35
…‫…ثُ َّم يُ ْب َعثُوْ نَ َعلَى نِيَّاتِ ِه ْم‬

(...kemudian mereka dibangkitkan menurut niat mereka...)


Karena peranan niat dalam mengarahkan amal menentukan bentuk dan bobotnya,
maka para ulama menyimpulkan banyak kaidah fiqh yang diambil dari hadits ini, yang
merupakan kaidah yang luas. Kaidah umum dari hadist di atas adalah yang berbunyi :

‫األمـور بمقـاصدها‬

(Segala perkara tergantung dari tujuan niatnya)


2. Uraian Kata-kata
a) Kata “al-umuru” menurut bahasa dan istilah
“al-umuru” jama' dari kata “amru” yaitu suatu perkara yang memerlukan pada perkataan
dan perbuatan dari sisi segi penguasaannya. Sebagaimana perkara yang datang dalam
situasi, keadaan,urusan dan perbuatan. Firman Allah swt: “padahal perintah fir'aun bukanlah
(perintah) yang benar” Q.S.Hud:97. Artinya keadaan. Firman Allah swt: “itu bukan menjadi
urusanmu” Q.S Al-Imran:128. Artinya urusan dan keadaan. Sebagaimana yang telah
dikemukakan dalam kitab “Darsu Hukam Syarah Majalatul Ahkam al-Adiliyah” si fulan
mengerjakan segala perbuatan slalu di iringi dengan niat yang lurus, artinya keadaan.
Adapun maksud dengan perkara disini adalah perbuatan seluruh anggota badan diantaranya
perkataan dan perbuatan.
b) pengertian “al-maqoshid” menurut bahasa dan istilah.
“al-maqoshid” jama' dari kata maqshadu dengan fathah shad, dari asal kata “al-qoshdu”
yaitu hadirnya sesuatu. Seperti kata: niat, orang yang memilki niat, apa yang menjadi niat.
Adanya niat dalam suatu perkara akan mendorong seseorang untuk mengerjakannya tanpa
adanya batasan. Kata : al-qoshdu, Niat, Iradah, I'timad, Ammu, Itiqomah, Wijhah,

35

11 | P a g e
mempunyai makna yang sama. Yaitu keinginan (niat) untuk mencapai tujuan. Kata “Al-
Qoshdu” lebih kuat dari kata “Irodah” karena lafadhnya mengisyaratkan pada kebulatan niat
dan keinginan yang benar.

3. Konsepsi kaidah dan Pengertiannya.


Bahwa kaidah “Al-Umuru bi Maqoshidihaa” dengan redaksi yang singkat namun
mengandung makna komprehensif. Kaidah ini mengandung makna yang umum, luas, dan
mencakup seluruh perkara manusia baik berupa perkataan maupun perbuatan. Jika lafadh
“al-umuru” bermakna umum karena kemasukan alif lam jinsiyah demikian pula dengan
lafadh “al-maqoshid” di idafahkan dhamirnya kepada lafadh umum. Maka makna dari
kaidah ini adalah segala perbuatan dan tingkah laku mukallaf yang datang dari perkataan
maupun perbuatan memiliki hasil hukum yang berbedasesuai dengan berbedanya maksud
tujuan seseorang, dan hukum syariah itu disesuaikan dengan perbuatan dan tingkah laku,
jika suatu hukum berlaku terhadap suatu perkara maka perlu melihat kepada niat untuk
memberlakukan hukum tersebut. Menghadirkan niat dalam segala tingkah laku perbuatan
yang berkaitan dengan urusan dunia dan akhirat. Adapun segala perbuatan itu meliputi
perkatan, perbuatan, gerakan, diam, mencari nafkah, berfikir, berzikir, adat istiadat serta
ibadah. Maka niat menjadi penentu berlakunya hukum. Barangsiapa mengerjakan suatu
perbuatan tanpa disertai niat disebabkan lupa dan sebagainya maka perbuatan itu tidak
dapat diberlakukan hukum yang sama karena tidak sama antara niat dan perbuatan tersebut.
Contohnya, bahwa setiap orang yang membunuh tidak dibenarkan dalam syariat, jika ia
membunuh dengan sengaja maka berlakulah hukum, jika ia membunuh tanpa sengaja maka
akan berlaku hukum yang lain baginya.

4. Landasan Hukum (Dalil).


Diantara dalil yang dipakai dalam kaidah ini:
sabda nabi saw “sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung dengan niatnya, dan
sesungguhnya setiap orang akan memperoleh dari apa yang ia niatkan...”
hadits ini menjadi asal kaidah ini.

Hadits yang datang dari bukhari dan muslim dari sa'ad bin abi waqash R.A “sesungguhya
12 | P a g e
manusia itu dibangkitkan sesuai dengan niatnya”.
Hadits-hadits lain banyak yang berkaitan dengan kaidah ini menjelaskan bahwa segala
perbuatan itu di ukur dari niatnya, karna niat mempengaruhi perbuatan.
Setiap amal perbuatan, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan
sesama makhluk, nilainya ditentukan oleh niat serta tujuan dilakukannya. Dalam perbuatan
ibadah misalnya, niat karena dan untuk Allah adalah merupakan inti yang menentukan sah
atau tidaknya suatu ibadah, di samping merupakan pembeda tingkatan suatu ibadah, apakah
ibadah fardu, sunat, atau mubah, juga dapat merupakan pembeda antara satu ibadah dengan
ibadah yang lain dan anatara ibadah dan bukan ibadah atau amal kebiasaan.
Sedangkan dalam perbuatan yang hubungannya dengan makhluk, seperti mu’amalah,
munakahat, jinayah dan sebagainya, niat adalah merupakan penentu; apakah perbuatan
tersebut mempunyai nilai ibadah atau sebaliknya tidak bermuatan ibadah. Dalam amal
kemasyarakatan dapat diketahui dengan tanda-tanda, petunjuk-petunjuk (qarînah) yang ada,
apakah perbuatan tersebut karena Allah atau karena manusia.
Niat di samping sebagai alat penilai perbuatan, juga dapat merupakan ibadah tersendiri
seperti dapat dipahami dari hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrânî dari
Sahl ibn Sa’d :

‫نية المؤمن خير من عمله‬

(Niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalnya (yang tanpa niat)

Dari kaidah umum di atas, para ulama menderivasinya menjadi banyak kaidah-
kaidah turunannya, yaitu sebagai berikut :
‫ وإما أن يك&&ون‬،‫إن المنوي من العمل إما أن يكون عبادة محضة ال يلتبس بالع&&ادات‬ .8
36
‫جنسه مما يشبه العادات‬

(Niat perbuatan sebagai ibadah mahdhah dan jenis ibadah yang menyerupai adat kebiasaan,
tidak boleh dicampuradukkan dengan adat kebiasaan)
Terkait dengan statemen kaidah di atas, maka niat disyariatkan untuk beberapa
hal berikut :
Pertama, untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain. Misalnya
36
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 54.
13 | P a g e
seseorang yang memerdekakan seorang hamba, apakah ia niatkan untuk membayar kafarah
(tebusan), ataukah ia niatkan untuk nadzar, atau yang lainnya? Atau seseorang mengerjakan
shalat 4 rakaat; apakah diniatkan shalat dhuhur, shalat sunnat atau shalat Ashar? yang
membedakannya adalah niatnya. Jadi yang penting, untuk membedakan dua ibadah yang
sama adalah niat.
Kedua, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat). Misalnya duduk di
masjid; apakah duduk istirahat, apakah untuk i'tikaf, Menafkahkan harta dapat
dikategorikan sebagai nafkah wajib, hadiah atau tali asih, dan bisa juga sebagai zakat wajib
atau sedekah sunat. Begitu juga dengan penyembelihan hewan yang dapat dikategorikan
sebagai kurban, sembelihan, pesta, atau jamuan untuk para tamu, kesemuanya sangat
bergantung pada niatnya. Yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan adalah niat.37
‫القربات اليت ال بأس فيها ال حتتاج إىل نية اإلضافة إىل اهلل تعاىل‬ .9

(Perbuatan-perbuatan (mubah) untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak membutuhkan


adanya niat tambahan karena Allah)
Perkara mubah ialah segala hal yang tidak diganjar pelakunya dan tidak
mendapat siksa bagi yang meninggalkannya, maka hukum melakukannya atau
meninggalkannya adalah sama.38 Tetapi, karena besarnya pengaruh niat, maka
perbuatan yang mubah dan menjadi kebiasaan sehari-hari, dapat bernilai ibadah dan
amalan qurbah (amal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah) dan pelakunya
mendapatkan pahala.
Dalam perbuatan yang mubah, niat yang dibutuhkan adalah niat kehendak atau maksud dari
perbuatan mubah tersebut, yakni mengharap ridha Allah, bukan selain-Nya dengan
dilandasi keikhlasan, kecintaan kapdada-Nya, dan pengharapan akan pahala dan khawatir
terhadap dosa, tanpa perlu merinci atau menunjuk secara khusus perbuatan-perbuatan
mubah apa saja yang hendak dikerjakannya.
Pekerjaan mencari rezeki, bercocok tanam, berkarya, berdagang, mengajar dan profesi
lainnya, dapat menjadi ibadah dan jihad fi sabilillah selagi pekerjaan itu dimaksudkan untuk

37
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 54; Lihat juga Imam Nawawi, Syarah Arba'in, hal. 8;
Abul Abbas Kholid Syamhudi, “Peran Niat Dalam Amal” dalam http://muslim.or.id/artikel/fiqh-dan-
muamalah/peran-niat-dalam-amal-2.html, acessed on 18 Maret 2008.
38
Yusuf Al Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, terjemahan (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), hal. 34.
14 | P a g e
menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan dan mencari yang halal, serta tidak
bertentangan dengan perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya.
Begitu pula makan minum, berpakaian, jika dikerjakan dengan niat untuk ketaatan kepada
Allah dan melaksanakan kewajiban kepada Rabb, maka akan diganjar berdasarkan niatnya.
Orang yang mencari nafkah untuk menjaga dirinya agar tidak meminta-minta kepada orang
lain, untuk membiayai dirinya dan keluarganya, akan diganjar atas niatnya. 39
Imam Suyuthi menjelaskan, dalil yang tepat yang dijadikan dasar (oleh para ulama), bahwa
seorang hamba akan mendapat ganjaran dengan niat yang baik dalam perbuatan yang
mubah dan kebiasaan ialah sabda Nabi SAW; ”dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia
niatkan”.40 Dengan perkataan lain, niat ini akan diganjar apabila dimasudkan untuk taqarrub
kepada Allah, sehingga bila tidak dengan tujuan itu, tidak akan diberi pahala.
‫األلفاط إذا ك&ان نصوصا في ش&يء غ&ير م&&تردد لم تجتج إلى نية تع&يين الم&دلول‬ .10
41
‫النصرافها بصراحتها لمدلولها‬

(Lafadz apabila berbentuk perkataan yang terang dan jelas kepada suatu perkara yang tidak
diragukan (pasti), tidak membutuhkan adanya niat terperinci, karena kejelasan lafadz tersebut
semata tertuju pada sesuatu yang maksud)
Seperti lafadz yang jelas dan terang dalam akad-akad di bidang muamalah;
lafadz jual beli, ijârah, muzâra’ah, mughârasah, salam, ju’âlah, hibah dan
sebagainya,42 dengan sendirinya menunjuk kepada akad-akad yang ditunjuk,
sehingga dalam konteks ini hanya diperlukan niat kehendak atau maksud
pelaksanaannya dan tidak membutuhkan niat perinciannya.
‫ المعقود عليها إذا كانت متعينة استغنت عن التعيين‬،‫المقاصد من منافع األعيان‬
43
.11

(Maksud dari pemanfaatan barang yang menjadi obyek akad apabila telah jelas, tidak
membutuhkan perinciannya)
39
Seperti hadits Sa'ad bin Abi Waqqash Bahwa Nabi SAW bersabda:
َ‫ق نَفَقَةً تَ ْبت َِغ ْي بِهَا َوجْ هَ هللاِ إِالَّ أُ ِجرْ تَ َعلَ ْيهَا َحتَّى تَجْ َع َل فِ ْي فِي ا ْم َرأَتِك‬
َ ِ‫إِنَّكَ لَ ْن تُ ْنف‬
Sesungguhnya jika engkau menafkahkan hartamu yang dengannya engkau mengharapkan wajah Allah, maka
engkau akan diberi pahala lantaran nafkahmu sampai apa yang engkau suapkan ke mulut isterimu. (HR. Bukhari, no. 56;
Al-’Asqalâni, Fat-hul Bâri, I : 136 dan Muslim no. 1628).
40
as-Suyûtî, al-Asybâh…, hal. 30.
41
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 55.
42
Asy-Syaikh Ahmad ibn asy-Syaikh Muhammad az-Zarqâ, Syarh al-Qaqâ’id al-Fiqhiyyah, cetakan ketiga, (Damaskus:
Dâr al-Qolam, 1993 M/1414 H), hal. 47.
43
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 56.
15 | P a g e
Pada barang yang menjadi obyek akad ijârah atau i’ârah misalnya, tidak
dibutuhkan pembatasan pemanfaatannya dalam akad apabila manfaat tersebut
secara umum telah diketahui, sesuai dengan ’urf dan adat yang berlaku. Orang yang
menyewa cangkul, kapak, pakaian atau serban tidak disyaratkan untuk merinci
pemanfaatan barang-barang tersebut, karena jenis dan sifat barang-barang itu
dengan sendirinya menunjukkan maksud dan kegunaannya. Tetapi, bila obyek akad
mempunyai beberapa kegunaan atau manfaat, seperti binatang untuk angkutan dan
tunggangan, tanah untuk didirikan gedung, persawahan, atau perkebunan, maka
disyaratkan perincian pemanfaatannya untuk menghindari timbulnya konflik dan
sengketa di kemudian hari.
44
‫النقود إذا كان نوعها غالبا لم تحتج إلى بيانها في العقد‬ .12

(Mata uang apabila jenisnya umum digunakan, tidak dibutuhkan penjelasannya dalam akad)
Maksud dari kaidah ini adalah apabila dalam suatu negara terdapat beberapa
jenis mata uang, sebagian dikenal secara luas dan sebagian lainnya hanya diketahui
oleh orang-orang atau kalangan tertentu saja, apabila dilakukan suatu akad (seperti
akad jual beli, ijarah atau nikah) dan nilai akad ditentukan dengan mata uang
tersebut, maka hanya ada dua kemungkinan mata uang yang dimaksud; apakah
mata uang yang telah dikenal secara luas oleh mayoritas penduduk negeri, ataukah
mata uang yang dikenal oleh minoritas dan kalangan tertentu. Apabila yang
dimaksud dalam akad adalah mata uang jenis pertama yang dikenal secara luas,
cukup menyebutkan kuantitas dan namanya saja, tetapi bila yang dimaksud adalah
jenis mata uang kedua, maka disyaratkan menyebut kuantitas, nama dan jenis mata
uang tersebut.
‫الحقوق إذا تعينت لمستحقها كالحق المنفرد فإنه يتعين لربه بغير نية‬
45
.13

(Hak apabila pasti mustahikknya seperti hak perorangan, maka ia adalah hak si (E)mpunya,
tanpa perlu adanya niat)
Maksud dari kaidah ini adalah apabila hak Allah telah pasti atas seorang
hamba, maka dalam pelaksanaannya tidak disyaratkan adanya perincian niatnya.
Misalnya, seseorang yang melaksanakan suatu nazar, zakat, atau kaffârah cukup
44
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 57.
45
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 58.
16 | P a g e
baginya meniatkan maksud dan kehendak pelaksanaannya, tanpa niat tambahan
atau rinciannya. Tetapi bila hak-hak tersebut bermacam-macam jenis dan sifatnya,
seperti jenis-jenis nazar, zakat atau kaffârât, maka saat pelaksanaannya perlu
ditentukan maksud dan detail niatnya.
Apabila yang dimaksud adalah hak hamba (adamiy) yang satu jenis, tidak beragam baik
bentuk maupun jenisnya, maka ia cukup meniatkan kehendak atau maksud pelaksanaannya
dan niat melepaskan beban tanggung jawab darinya. Tetapi, bila beragam, seperti seseorang
yang menanggung dua jenis hutang dalam waktu yang bersamaan, satunya dengan jaminan
sedang hutang yang lainnya tanpa jaminan, atau hak qard, salam, maskawin, hibah atau
pemberian cinderamata, maka disyaratkan niat kehendak/maksud dan niat rincian
pelaksanaannya agar tidak samar dan untuk membedakan jenis yang satu dari yang lainnya.
46
‫التصرفات إذا كانت دائرة بين جهات شتى ال تنصرف ألحدهما إال بنية‬ .14

(Pertukaran apabila terjadi antara beberapa pihak, tidak sah pelaksanaannya kecuali disertai
niat)
Dalam pertukaran yang dilakukan antara dua belah pihak yang terbatas
diperlukan niat kehendak/maksud dari pertukaran itu, tetapi bila yang
melakukannya antara banyak pihak, maka dibutuhkan niat kehendak/maksud dan
niat perincian dari pertukaran itu.
Contoh pertama adalah orang yang memberi wasiat atas sesuatu untuk ditukarkan dengan
harta benda tertentu dengan cara jual beli, atau pemindahan, atau cara-cara sejenis lainnya
yang terkait dengan harta benda yang diwasiatkan, maka pertukaran ini tidak mensyaratkan
adanya niat terperinci, tetapi hanya disyaratkan niat kehendak/maksud.
Contoh kedua adalah seseorang yang memberi wasiat atau wakil yang melakukan
pertukaran lebih dari satu jenis, seperti wasiat atas harta anak yatim atau wakaf kepada si
Fulan, tetapi dalam pelaksanaannya diwakilkan oleh orang yang memberi wasiat kepada
wakil, maka sesungguhnya wasiat itu berasal dari orang yang memberi wasiat atau yang
mewakilkan, dan bukan dari orang yang mewakili,47 kecuali adanya niat yang terperinci dari
pemberi wasiat bahwa wasiat yang diwakilkan itu untuk diri orang yang mewakilkan.

46
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 59.
47
Asy-Syaikh Ahmad ibn asy-Syaikh Muhammad az-Zarqâ, Syarh al-Qaqâ’id…, hal. 48-49.
17 | P a g e
48
‫ال بد في النية أن تكون مستندة إلى علم جازم أو ظن راجح‬ .15

(Niat harus disandarkan pada pengetahuan yang pasti atau sangkaan yang kuat)
Niat berbuat sesuatu merupakan kehendak yang dapat direalisasikan atas dasar
pengetahuan yang pasti, yang bersih dari tendensi keraguan dan persangkaan
(wahm), dan dapat pula didasarkan pada persangkaan yang kuat (dzann râjih)
bahwa yang dilakukannya itu sesuai dengan yang dikehendaki. Sebagaimana
maklum, bahwa dzann adalah persangkaan yang kuat atau pendapat yang lebih
cenderung kepada tepat atau benarnya daripada kepada tidak tepat atau tidak
benarnya. Kaidah ini berlaku untuk semua jenis perbuatan dalam kategori ibadah
dan mu’amalah.
Sebagai contoh, seseorang yang mengeluarkan zakat kepada orang yang disangkanya sebagai
mustahik zakat, dan kemudian diketahui bahwa orang tersebut memang benar-benar sebagai
mustahiknya, maka zakat yang dikeluarkan muzakki tersebut adalah sah. Sebaliknya, jika
kemudian diketahui bahwa orang yang menerima zakat itu bukan mustahiknya, maka tidak
sah zakatnya. Atau seseorang yang menyangka bahwa dirinya mempunyai hutang kepada
orang lain, oleh sebab itu ia melunasi hutang tersebut. Namun kenyataannya hutang tersebut
telah dibayar sebelumnya dengan ditemukannya bukti pelunasan yang sebelumnya hilang
atau tercecer, maka ia berhak mengambil kembali uangnya. Atau seorang bekas suami yang
memberi nafkah kepada bekas isterinya yang telah ditalak bain, karena persangkaan bekas
suami bahwa bekas isterinya itu sedang hamil, akan tetapi kenyataannya tidak hamil maka
bekas suami berhak menarik kembali uang nafkah tersebut.49
50
‫الخطأ فيما ال يشترط التعيين له ال يؤثر‬ .16

(Kesalahan dalam pelaksanaan perbuatan yang tidak disyaratkan untuk dirinci niatnya
(kemudian dirinci dan ternyata salah), maka kesalahan tersebut tidak berpengaruh atau tidak
membatalkan perbuatan itu)
Dalam konteks mu’amalah, merinci niat yang tidak ada kaitannya dengan
substansi akad, kemudian dalam pelaksanaannya ternyata salah, maka tidak akan
membatalkan akad tersebut.
48
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 60.
49
Lihat H. Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih, cet. Keenam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), hal. 94.
50
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 62.
18 | P a g e
51
‫من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه‬ .17

(Barangsiapa mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka ia menanggung akibat


(diharamkan) untuk mendapatkannya)
Kaidah di atas lebih bersifat sebagai peringatan agar orang tidak tergesa-gesa
melakukan perbuatan/tindakan dalam rangka untuk mendapatkan haknya sebelum
waktunya. Kaidah di atas merupakan pengecualian dari kaidah ‫األم&&ور بمقاص&&دها‬,
karena pelaku di sini melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tujuannya.
Adapun hikmah yang dapat dipetik di balik itu adalah: saddu thuruq al-fasad,
shiyânatul huqûq, man’u at-ta’addî ‘alaihâ. Di antara contohnya adalah :
Dalam masalah waris, karena ahli waris tergesa-gesa untuk mendapatkan harta
waris sehingga ia membunuh ’amdan orang yang mewariskan dengan harapan
mempercepat pembagian harta warisan, maka akibatnya si pembunuh haram
hukumnya untuk mendapatkan bagian warisannya;
Pembunuhan terhadap seorang yang berwasiat (al-mûshî) oleh orang yang
menerima wasiat (al-mushâ lahû) agar segera mendapatkan harta wasiat, maka
pelaku pembunuhan tersebut diharamkan untuk mendapatkan warisan tersebut;
Pencurian atas harta rampasan sebelum dibagi-bagi oleh pelaku yang mulanya
menperoleh bagian dari harta rampasan tersebut, maka hak si pelaku pencurian
yang semula mendapatkan menjadi gugur (diharamkan);
Orang yang melakukan pernikahan dengan wanita yang masih dalam ‘iddahnya,
maka -menurut pendapat sebagian fuqaha’- lelaki tersebut tidak boleh
mengawininya untuk selama-lamanya.52
Sebagian ulama menyempurnakan susunan kaidah di atas sehingga berbunyi :
53
‫من استعجل شيئا قبل أوانه ولم يكن لمصلحة فى ثبوته عوقب بحرمانه‬
(Barangsiapa yang berusaha menyegerakan sesuatu yang belum waktunya, dan tidak untuk
kemaslahatan terhadap kekalnya sesuatu itu, akan menerima akibat tidak mendapatkan
sesuatu itu)

51
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 63.
52
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 64-5; lihat juga Bahan Ajar Fiqh Muamalah MSI UII,
’’Kaidah-kaidah tentang Wasilah , Dosen Pengampu Drs. Asmuni, MA.
53
Lihat H. Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih…, hal. 91.
19 | P a g e
54
‫يغتفر في الوسائل ما ال يغتفر في المقاصد‬ .18

(Dimaafkan pada perbuatan atau sarana (wasail), tidak dimaafkan pada maksud atau tujuan
perbuatan itu)
Maksud kaidah ini adalah bahwa sesuatu (niat) yang harus ada pada apa yang
menjadi maksud haruslah dipenuhi, sedangkan pada cara untuk mencapai maksud
itu (wasilah) dapat dimaafkan atau dilonggarkan dengan menghilangkan atau
menguranginya. Dibolehkannya berbohong sebagai upaya rekonsiliasi (ishlâh) antara
suami-isteri yang akan bercerai guna merealisasikan maslahah bagi keluarganya atau
melanggengkan tali perkawinan, padahal hukum asal dari bohong adalah dilarang.
Dibolehkan membakar harta kekayaan pihak musuh dalam situasi perang sebagai
wasilah menakut-nakuti musuh dan menteror mereka. Juga dibolehkan menghukum
terdakwa guna mendapatkan bukti atau kebenaran otentik, padahal hukum asalnya
tidak dibolehkan, kecuali setelah terdakwa terbukti bersalah.
55
‫هل العبرة بصيغ العقود أو بمعانيها‬ .19

(Apakah yang dimaksud dalam akad adalah sighat akad atau maknanya)
Dalam kaidah ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha manakala
terjadi perbedaan antara sighat akad yang diucapkan dengan niat atau maksud si
pembuatnya. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa yang dipegang adalah sighat
akadnya, sementara sebagian fuqaha lainnya berpandangan sebaliknya.
Sebagai contoh, seseorang yang berkata: ”Saya beli baju dari kamu dengan syarat-syarat demikian,
dan uangnya sekian”, kemudian penjual mengatakan: ”oke, deal”, maka menurut lafadznya
dianggap akad jual beli, tetapi menurut maknanya adalah akad salam.
Apabila seseorang memberi dengan syarat meminta imbalan; apakah itu
termasuk akad jual beli berdasarkan makna ataukah hibah berdasarkan lafadz?
Dalam hal ini maka yang lebih sah adalah jual beli.
Apabila seseorang berkata: ”Saya jual barang ini kepadamu”, dengan tidak
menyebutkan harganya. Apabila dilihat dari maknanya maka berarti hibah, tetapi
dari segi lafadz maka berarti akad jual beli, tetapi jual beli yang fasid.

54
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 66.
55
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 67; lihat juga H. Muhlish Usman, Kaidah-kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hal. 113.
20 | P a g e
Menurut Dr. Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, memang lebih afdzol menguatkan akad dengan
sighat khusus, tetapi bila suatu masyarakat saling mengenal penggunaan sighat dan lafadz
tertentu dan mereka kesulitan meninggalkannya, atau tidak tahu sighat khusus untuk
masing-masing akad yang berbeda, sedangkan sighat yang dikenal oleh mereka telah
menjadi ’urf yang berlaku dan jamak diketahui, maka fleksibilitas seperti itu sah adanya,
apalagi tidak adanya suatu larangan yang jelas.56
Bagi kalangan yang berpegang pada pendapat yang terakhir disebutkan di atas karena
menganggap kaidah ini sebagai bagian (juz’iy) dari kaidah umum ”al-umûru bi maqâsidihâ”.
Sehingga bagi kalangan ini berlaku kaidah :
57
‫ ال لأللفاظ والمباني‬،‫العبرة في العقود للمقاصد والمعاني‬
(Yang dipegang dalam akad adalah maksud dan makna akad, dan bukan sighat atau struktur
kata akad)
‫ فإنه على نية‬،‫مقاصد اللفظ على نية الالفظ إال في موضع واحد وهو الحل&&&&&&&&&&ف‬ .20
‫المستحلف‬
58

(Maksud dari lafadz menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu hal yaitu
sumpah. Dalam keadaan demikian maksud lafadz menurut niat orang yang menyumpah)
Sebagai contoh, seorang suami memanggil isterinya yang bernama Thâliq
(artinya yang ditalak), atau seorang tuan memanggil budaknya yang bernama Hurrah
(artinya yang dimerdekakan). Maka apabila memanggilnya itu bermaksud mentalak
isterinya atau memerdekakan budaknya, maka tercapailah maksud suami dan tuan
tersebut, yakni terjadi perceraian suami dengan isterinya dan terjadi pembebasan
budak oleh tuannya. Atau seorang suami mentalak isterinya berturut-turut sampai
tiga kali tanpa memakai kalimat penghubung antara talak yang satu denga lainnya,
maka jika masing-masing kalimat itu diniatkan sebagai awal kalimat (isti’nâf)
jatuhlah talak tiga sekaligus. Akan tetapi kalau maksudnya hanya sebagai penguat
saja, maka hanya jatuh talak satu.59
Yang dikecualikan dari kaidah di atas adalah sumpah (al-half, al-yamîn), maka maksud
ucapan orang yang bersumpah adalah menurut maksud orang yang menyumpah (hakim
56
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah..., hal. 68.
57
Asy-Syaikh Ahmad ibn asy-Syaikh Muhammad az-Zarqâ, Syarh al-Qaqâ’id…, hal. 55.
58
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 71.
59
H. Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih..., hal. 17-18.
21 | P a g e
atau qadhi jika sumpahnya di depan sidang pengadilan). Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Hurairah RA :
،‫اليمين على نية المستحلف‬
‫ميينك على ما يصدقك عليه صاحبك‬
60
‫صالح العمل بصالح النية وفساده بفسادها‬ .21

(Sahnya perbuatan bergantung pada baiknya niat, dan rusaknya perbuatan bergantung pada
rusaknya niat)
Kaidah ini adalah kaidah yang paling bermanfaat dan paling besar
pengaruhnya, termasuk dalam seluruh bab bab ilmu. Baiknya amalan badaniyyah
(amalan badan yang bukan termasuk ibadah) dan milaliyyah (amalan yang termasuk
ibadah), yang berupa amalan hati ataupun amalan anggota badan hanyalah dengan
niat (yang baik pula). Dan rusaknya amalan amalan tersebut adalah karena niat (yang
rusak pula).61

62
‫النية داخلة تحت االختيار‬ .22

(Niat masuk dalam kategori ikhtiyar)


Niat sangat berpengaruh terhadap perbuatan, baik dari aspek sah tidaknya,
diterima atau ditolaknya. Sehingga timbul pertanyaan; Apakah seorang mukallaf
mampu mengarahkan niat dan membatasinya? Ataukah niat merupakan perkara
yang dipaksakan oleh asy-Syâri? Niat merupakan pekerjaan hati, dan pekerjaan hati
mampu dilakukan oleh setiap mukallaf dan ia bebas memilih niat perbuatannya,
tetapi yang diperintahkan syara’ adalah agar mengikhlaskan niat semua amal
perbuatan hanya untuk Allah SWT saja, bukan yang selain-Nya. 63 Kaidah ini untuk
menentukan apakah suatu amal perbuatan itu diterima oleh Allah atau tidak.

64
‫ أعمال التروك‬:‫ما ال تدخله النية من األعمال‬ .23
60
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 72.
61
Al-’Allâmah ar-Rabbâni Abdurrahman ibn Nâshir as-Sa’dî, ”Al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah li Fahmi an- Nushshûs asy-
Syar’iyyah” dalam www.alwajiz.wordpress.com. Accessed on 28 maret 2008.
62
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 81.
63
Lihat Q.S. al-Bayyinah (5); an-Nisâ (28); al-Hajj (78).
64
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 84.
22 | P a g e
(Perbuatan yang tidak memerlukan niat adalah perbuatan meninggalkan)
Perkara yang dikehendaki untuk ditinggalkan yang dalam kacamata syara
termasuk dalam kategori larangan (an-nawâhî), seperti meninggalkan riba dengan
tidak mendepositokan uang di bank konvensional, meninggalkan najis pada pakaian
dan badan, atau meninggalkan kebiasaan merokok tidaklah memerlukan syarat
untuk berniat.

‫المتعين من العبادات والحق&&وق ال يحت&&اج إلى نية التع&&يين وأداء الحق&&وق ال يحت&&اج‬ .24
65
.‫إلى نية‬

(Jenis ibadah dan kewajiban yang telah jelas atau terperinci tidak membutuhkan niat
perinciannya (cukup niat maksud dan tujuan), dan melaksanakan hak tidak membutuhkan
adanya niat).
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa kewajiban agama yang telah ditentukan
syara yang dibebankan atas seorang mukallaf tidak disyaratkan niat merincinya,
sebab dengan ia telah menunaikan kewajiban tersebut berarti telah bebas atau lepas
tanggungannya. Demikian pula sebaliknya, bila ia meninggalkan sesuatu yang
dilarang (yang wajib ditinggalkan), tanpa terlebih dahulu berniat meninggalkan
larangan-larangan tersebut.
Berikut ini skema dan kategorisasi dari kaidah-kaidah di atas:

Niat Kehendak,
Klasifikasi
Kaidah-kaidah Tujuan/Qasdh,dan Niat
Perbuatan
Perincian/Ta’yîn)

‫األمـور بمقـاصدها‬
Seluruh Niat kehendak, tujuan
perbuatan baik pelaku
(ibadah
maupun
‫النية داخلة حتت االختيار‬ muamalah)

65
Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 67.
23 | P a g e
‫‪Pelaku bebas‬‬
‫صالح العمل بصالح النية وفساده‬ ‫‪menentukan niatnya‬‬
‫‪Seluruh‬‬ ‫)‪(baik atau buruk‬‬
‫بفسادها‬
‫‪perbuatan‬‬

‫‪Niat kehendak/maksud‬‬
‫ال بد يف النية أن تكون مستندة إىل‬
‫‪baik pelaku‬‬
‫علم جازم أو ظن راجح‬

‫‪Seluruh‬‬
‫‪perbuatan baik‬‬

‫إن املنوي من العمل إما أن يكون‬ ‫‪Niat didasarkan pada‬‬

‫عبادة حمضة ال يلتبس بالعادات‪،‬‬ ‫‪pengetahuan yang pasti‬‬


‫‪atau persangkaan yang‬‬
‫وإما أن يكون جنسه مما يشبه‬
‫‪Seluruh perbuatan‬‬ ‫‪kuat pelaku.‬‬
‫العادات‬

‫املتعني من العبادات واحلقوق ال‬

‫حيتاج إىل نية التعيني وأداء احلقوق‬


‫‪Niat kehendak, tujuan‬‬
‫ال حيتاج إىل نية‬
‫‪pelaku‬‬

‫‪- Pembeda‬‬
‫‪ibadah satu‬‬
‫احلقوق إذا تعينت ملستحقها كاحلق‬
‫‪dengan ibadah‬‬
‫املنفرد فإنه يتعني لربه بغري نية‬ ‫‪yang lain‬‬
‫)‪(wajib, sunat‬‬

‫‪- Pembeda‬‬
‫‪24 | P a g e‬‬
‫القربات اليت ال بأس فيها ال حتتاج‬ antara ibadah
dan kebiasaan
‫إىل نية اإلضافة إىل اهلل تعاىل‬
Niat
kehendak/maksud, dan
tidak perlu niat
perincian

Jenis ibadah
‫ما ال تدخله النية من‬
dan kewajiban
‫ أعمال التروك‬:‫األعمال‬
yang telah pasti
atau terperinci,
seperti sholat
dhuhur, ashar
dst, atau
‫هل العربة بصيغ العقود أو مبعانيها‬
membayar Tidak disyaratkan niat
hutang kepada (baik niat kehendak
si Fulan maupun niat perincian)

‫األلفاط إذا كان نصوصا يف شيء‬

‫غري مرتدد مل جتتج إىل نية تعيني‬ Pelaksanaan

‫املدلول النصرافها بصراحتها ملدلوهلا‬ hak seseorang Niat kehendak, tujuan


(qurbah ilâ allâh)

‫يغتفر يف الوسائل ما ال يغتفر يف‬

‫املقاصد‬ Perbuatan
mubah (seperti
mencari rezeki,
bercocok tanam,
25 | P a g e
berkarya,
berdagang,
mengajar dan Tidak disyaratkan niat
‫مقاصد اللفظ على نية الالفظ إال‬ profes) dapat (baik niat kehendak
dinilai sebagai maupun niat
‫ فإنه‬،‫يف موضع واحد وهو احللف‬
ibadah perincian)nya
‫على نية املستحلف‬

‫ املعقود‬،‫املقاصد من منافع األعيان‬ Perbuatan


‫عليها إذا كانت متعينة استغنت عن‬ meninggalkan yang Ada 2 pendapat : 1)

‫التعيني‬ dilarang syara yang dipegang adalah


(memakan harta lafadz dan struktur kata
anak yatim, riba, dalam akad, dan 2)
zina) yang dipegang adalah
maksud dan maknanya.
Apakah yang
dimaksud
dalam akah
adalah sighat Niat kehendak saja,
atau lafadz tidak disyaratkan niat
akad atau perincian akad-akad
maksud dan terssebut.
makna dari
akad tersebut

Lafadz yang
jelas dalam
jenis-jenis akad
26 | P a g e
(seperti lafad
jual beli, ijârah,
muzâra’ah, Harus ada niat dalam
mughârasah, perbuatan yang
salam, ju’âlah, dimaksud/dituju, tetapi
hibah, wasiat tidak disyaratkan
dsb) berniat untuk perbuatan
yang menjadi wasilah
tercapainya maksud
perbuatan

Maksud dan
tujuan Tidak memerlukan niat
perbuatan perincian
pemantaatannya

Sumpah
Pada umumnya, niat
tergantung pada
kehendak dan maksud
orang yang
mengucapkan.
Pengecualian dalam
sumpah; niat
27 | P a g e
bergantung kepada
kehendak dan maksud
Pemanfaatan orang yang
benda tertentu menyumpah (bukan
dan terperinci orang yang bersumpah)
yang menjadi
obyek akad

28 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai