Anda di halaman 1dari 31

Materi Qawaid Fiqhiyah

:‫القاعدة األولى‬
‫األمور بمقاصدها‬
Sitti Suryani Syarifuddin, Lc. MA
‫ِد‬ ‫ِص‬
‫اُألُموُر ِبَم َق ا َه ا‬
Segala perkara tergantung dengan
maksud (tujuan)nya
Maksud qaidah: setiap perbuatan akan
bernilai ibadah jika ditujukan
(diniatkan) sebagai ibadah, jika
dimaksudkan untuk tujuan lain selain
ibadah maka ia hanya akan
mendapatkan yang ditujunya tersebut.
Dasar Qaidah
 Firman Allah Ta’ala:
‫ِص‬‫ِل‬ ‫ِل‬ ‫َّال‬‫ِإ‬ ‫ِم‬
‫َو َمآ ُأ ُروا َيْع ُبُد وا اَهلل ُمُخ يَن َلُه‬
‫الِّد ين‬
Padahal mereka hanya diperintah
menyembah Allah dengan ikhlas
menaati-Nya semata-mata karena
(menjalankan) agama...
Firman Allah Ta’ala:

‫ا‬ ‫ِم‬ ‫ِه‬‫ِت‬ ‫ا‬ ‫ُّد‬ ‫ال‬ ‫ا‬ ‫ِر‬


‫َو َمْن ُي ْد َثَو َب ْنَي ُنْؤ ْنَه َو َمْن‬
‫ِم‬ ‫ِه‬‫ِت‬ ‫ِة‬ ‫ِخ‬
‫ُيِرْد َثَو اَب اآل َر ُنْؤ ْنَه ا‬
...Barang siapa menghendaki pahala
dunia, niscaya Kami berikan kepadanya
pahala dunia itu, dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, Kami
berikan (pula) kepadanya pahala
akhirat itu... (Ali ‘Imran: 145)
Hadits dari Umar bin Khaththab,
Rasulullah saw bersabda:
‫ٍئ‬‫ِر‬ ‫ِاِل‬ ‫َّن‬‫ِإ‬ ‫ِة‬
‫ِإَّنَم ا اَألْع َم اُل ِبالِّنَّي َو َم ا ْم َم ا َنَو ى‬
Hanya saja segala perbuatan tergantung
dengan niat, dan hanya saja setiap orang
mendapatkan apa yang ia niatkan... (HR.
Al-Bukhari & Muslim)
Hukum-hukum syariat ‘amaliyah
yang berkenaan dgn niat,
diantaranya: wudhuk, mandi wajib
atau sunat, tayamum, shalat dengan
berbagai bentuknya (fardhu ‘ain,
fardhu kifayah, sunat, qashar, jama’,
menjadi imam atau makmum), sujud
syukur, sujud tilawah, zakat dan
sedekah, puasa wajib atau sunat,
i’tikaf, haji, ‘umrah, thawaf (fardhu,
wajib, atau sunat), qurban wajib atau
sunat, nazar, kafarat, wasiat, waqaf,
nikah, dan semua bentuk ibadah
dimana mendapatkan pahala
tergantung dengan tujuan untuk
taqarrub kepada Allah. Bahkan segala
perbuatan yang pada dasarnya
mubah akan memperoleh pahala jika
ditujukan untuk ibadah, seperti
makan, tidur, bekerja mencari rezeki,
dan lainnya.
Niat juga diperhitungkan dan
menjadi ketergantungan hukum pada
masalah muamalah seperti jual beli,
hibah, hutang, hiwalah, wikalah,
ijarah dan lainnya jika diucapkan
dengan lafaz kinayah. Demikian pula
waqaf, wasiat, thalaq, khulu’, ruju’,
sumpah hukumnya tergantung
dengan niat orang yang
mengucapkannya jika diucapkan
dengan lafaz kinayah.
Fungsi Niat
Niat berfungsi untuk membedakan
antara ibadah dan kebiasaan,
misalnya mandi apakah ibadah atau
karena kepanasan dan kebiasaan,
duduk di mesjid apakah untuk
ibadah atau bertujuan istirahat,
tidak makan dan minum (puasa)
apakah untuk ibadah atau diet atau
pengobatan, dan sebagainya.
memberikan harta (uang) kepada
orang lain bisa jadi berupa hibah,
hubungan sosial, atau sebagai
ibadah berupa sedekah, zakat, atau
kafarat.
Niat berfungsi untuk membedakan
tingkatan ibadah, apakah ibadah
tersebut tergolong wajib atau sunat
seperti shalat, puasa dan lainnya,
tayamum bisa jadi disebabkan hadas
kecil atau besar.
Berdasarkan fungsi niat ini maka terdapat
beberapa hal terkait:
 Tidak disyaratkan niat pada ibadah-
ibadah yang tidak dapat terhitung sebagai
al-’adah (kebiasaan) atau akan bercampur
dengan lainnya, seperti beriman,
membaca Al-Qur’an, berzikir, demikian
pula azan menurut pendapat yang
masyhur tidak mesti ada niat.
 Disyaratkan adanya Ta’yin dalam niat
dengan lainnya, seperti shalat, disyaratkan
adanya ta’yin pada shalat fardhu karena
sama antara shalat Zuhur dan ‘Ashar
hingga harus dibedakan dengan ta’yin
saat niat. Demikian pula pada shalat
sunnat selain sunat mutlaq, seperti
rawatib apakah qabla Zuhur atau ba’da
Zuhur, ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha,
Tarawih, Dhuha, Witir, Kusuf, Istisqa’,
dan sebagainya.
Menyatakan Fardhu.
 Disyaratkannya menyatakan ‫ األداء‬atau
‫ القضاء‬pada shalat terdapat beberapa
pendapat: Imam Al-Haramain
mensyaratkannya, pendapat lain
menyatakan disyaratkan untuk shalat
qadha tidak disyaratkan untuk shalat ada’
(shalat yang dikerjakan di waktu yang
ditentukan), karena shalat ada’ dapat
dibedakan dengan waktu pelaksanaan
berbeda halnya dengan shalat qadha.
Adapun Imam Al-Mawardi menyatakan
bagi seseorang yang memiliki shalat yang
ditinggalkan maka ia wajib menyatakan
ada’ saat melaksanakan shalat tunai.
Sedangkan pendapat yang ashah
menyatakan tidak disyaratkan
menyebutkannya dalam niat, baik ada’
ataupun qadha’.
 Ikhlas dalam niat, yaitu semata-mata
menyandarkan setiap perbuatan hanya
karena Allah.
Terkait Tasyrik (penggabungan) dalam
niat, terdapat beberapa hal:
 Meniatkan untuk ibadah sekaligus yang
bukan ibadah, ini bisa jadi akan
membatalkan seperti saat berqurban
berniat karena Allah juga karena yang lain
selain Allah. Namun bisa jadi tidak
membatalkannya seperti saat wudhuk
meniatkannya karena Allah dan untuk
mendinginkan diri dengan air, atau saat
berpuasa meniatkan karena Allah dan
untuk pengobatan. Hal ini terdapat
perbedaan pendapat ulama, pendapat
yang ashah menyatakan sah perbuatannya
meski diragukan terkait mendapatkan
pahala. Jika seseorang melakukan
perjalanan untuk ibadah haji juga
bertujuan untuk berdagang; menurut
Imam Izzuddin ibni Abdissalam bahwa
perbuatan ini sama sekali tidak
mendapatkan pahala, baik sama tingkat
tujuannya ataupun tidak.
Adapun Imam Al-Ghazali melihat
dorongan yang lebih besar atas
perbuatan tersebut, jika tujuan dunia
(berdagang) lebih besar maka ia tidak
memperoleh pahala, namun jika tujuan
ibadah lebih dominan maka ia
mendapatkan pahala sesuai kadar
tersebut, bila sama tingkat tujuannya
maka ia tidak memperolehnya.
Dalam suatu ibadah fardhu seseorang
juga meniatkan ibadah sunat, ini
terdapat beberapa gambaran; tidak
membatalkan ia mendapatkan kedua
amal tersebut, ada pula yang hanya
terhitung ibadah fardhunya saja, ada
pula yang hanya terhitung ibadah
sunatnya saja, namun ada pula yang
batal keduanya, ia tidak memperoleh
baik ibadah fardhu juga yang sunat.
Bagian pertama, yaitu seseorang
mengabungkan niat ibadah fardhu dan
sunat, maka mendapatkan keduanya,
seperti saat takbiratul ihram seseorang
meniatkan shalat fardhu dan sunat
Tahiyyatul masjid, shalatnya sah dan ia
mendapatkan keduanya. Seseorang niat
mandi junub dan sunat Jum’at, atau saat
hari Arafah seseorang berniat puasa Arafah
dan puasa qadha atau puasa nazar, maka ia
memperoleh keduanya.
Bagian kedua, yaitu seseorang
mengabungkan niat ibadah fardhu dan
sunat, maka ia mendapatkan ibadah
fardhunya saja, seperti seseorang ketika
melaksanakan haji kali pertama ia
meniatkan haji fardhu dan haji sunat, maka
ini hanya terhitung fardhu saja. Seseorang
mengqadha shalat di malam Ramadhan, ia
juga meniatkan shalat Taraweh, maka
shalat tersebut terhitung shalat qadha tidak
terhitung shalat tarawehnya.
Bagian ketiga, yaitu seseorang
mengabungkan niat ibadah fardhu dan
sunat, maka ia mendapatkan ibadah
sunatnya saja, seperti seseorang
mengeluarkan sejumlah uang ia
meniatkannya sebagai zakat dan sedekah
maka perbuatan ini hanya terhitung sebagai
sedekah sunat tidak sah zakatnya.
Seseorang meniatkan khutbah Jumat dan
gerhana matahari, tidak sah khutbah
Jumatnya.
Bagian keempat, yaitu seseorang
mengabungkan niat ibadah fardhu dan
sunat, maka ibadahnya batal dan ia tidak
mendapatkan keduanya, seperti seorang
masbuq takbiratul ihram saat imam sedang
ruku’, masbuq tersebut menggabungkan
takbiratul ihram dan takbiratul intiqal,
maka shalatnya batal. Seseorang meniatkan
shalat fardhu dan shalat rawatib maka
shalatnya tidak sah.
Dalam suatu ibadah fardhu juga
diniatkan ibadah fardhu lain, ini tidak sah
selain pada haji dan umrah.
 Dalam suatu ibadah sunat diniatkan
ibadah sunat lain, misal saat mandi sunat
‘Id juga meniatkan mandi Jumat, atau
meniatkan puasa ‘Arafah dan sunat hari
Senin, maka ia memperoleh keduanya.
Namun jika terjadi gerhana matahari saat
hari ‘Id khatib harus melakukan 2 kali
khutbah untuk masing-masingnya.
Waktu Niat
Pada dasarnya waktu niat adalah di awal
pelaksanaan ibadah. Namun ini tidak
berlaku bagi niat puasa, karena sulit
memantau awal waktu puasa yaitu terbit
fajar, maka niat puasa boleh didahulukan,
bahkan wajib didahulukan dari terbit
fajar pada niat puasa fardhu. Jika
seseorang berniat puasa fardhu saat terbit
fajar maka tidak sah puasanya.
Demikian pula halnya waktu niat saat
menunaikan zakat, menurut pendapat
yang ashah boleh didahulukan niat
sebelum menyerahkannya karena sulit.
Begitu pula niat dalam ibadah Qurban
boleh didahulukan sebelum
penyembelihan, boleh meniatkannya saat
menyerahkannya kepada seseorang yang
bertindak sebagai wakil.
Tempat Niat
Tempat niat adalah di dalam hati, karena
hakikat niat adalah al-qashdu
(menyengaja suatu perbuatan). Tidak
disyaratkan melafazkannya dengan lisan,
jika hanya dilafazkan dengan lisan tanpa
terbersit di hati maka tidak sah niatnya.
Sunat melafazkan niat dengan lisan untuk
membantu dan mempermudah hati
mengqashad perbuatan tersebut.
Jika berbeda antara lafaz di lisan dan di hati
maka yang diperhitungkan adalah yang
terbersit di hati, misal seseorang meniatkan
di hatinya shalat fardhu Zhuhur sedangkan
di lisannya terucap shalat ‘Ashar, atau di
hatinya meniatkan haji sedangkan di
lisannya mengucapkan umrah, maka niat
yang sah adalah yang terucap di dalam hati.
Syarat–Syarat Niat
 Islam, tidak sah ibadah yang dilakukan
oleh non muslim.
 Mumayyiz, tidak sah ibadah yang
dilakukan oleh anak-anak yang belum
mumayyiz juga orang yang tidak berakal.
 Mengetahui dan mengerti apa yang ia
niatkan. Imam Al-Baghawi mengatakan
siapa yang tidak mengetahui fardhu
wudhuk atau shalat maka ia tidak sah
mengerjakannya. Imam Al-Ghazali
berpendapat siapa yang tidak dapat
membedakan antara yang fardhu dan
yang sunat ibadahnya sah selama ia tidak
memaksudkan sesuatu yang fardhu
sebagai sunat.
Tidak ada sesuatu yang membatalkannya,
seperti murtad, jika seseorang murtad saat
melaksanakan shalat, puasa, atau haji
maka niat dan ibadahnya menjadi batal.
Selain murtad hal lain yang dapat
membatalkan niat ialah niat memutuskan,
jika seseorang berniat memutuskan iman
maka saat itu juga ia menjadi murtad. Jika
seseorang berniat memutuskan shalat saat ia
melaksanakannya maka shalatnya batal.
Selain itu taraddud dan tidak jazam dalam
niat juga dapat membatalkannya, seperti
seseorang ragu-ragu apakah menghentikan
shalatnya atau tidak, atau ia mengaitkan
akan membatalkan shalat dengan sesuatu
maka batal shalatnya. Seseorang ragu-ragu
untuk berniat qashar shalat atau tidak maka ia
tidak boleh mengqashar shalatnya. Jika pada
malam 30 Sya’ban seseorang berniat berpuasa
Ramadhan esok hari jika esok masuk bulan
Ramadhan, maka niat dan puasanya tidak sah
meskipun esok hari bulan Ramadhan karena
ia tidak jazam dalam niatnya. Seseorang yang
akan mengerjakan shalat ragu akan masuknya
waktu, shalatnya tidak sah meski saat ia shalat
sudah masuk waktu.

Anda mungkin juga menyukai