Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH SHALAT DALAM PERSPEKTIF

ISLAM

Mata Kuliah : Agama Islam

Kelas : D3 Analis Farmasi dan Makanan

Anggota :

1. KHOLIFAH IKHTARI
2. NINDIA AGUSTIN
3. SALIMAH
4. PEBI . P
5. NASWA KAMLA. H
6. FITRAH ELFA . D
7. AHMAD BAIHAKI

T.A 2016/2017
SHOLAT

PENGERTIAN SHOLAT
Sholat berasal dari bahasa Arab As-Sholah, sholat menurut Bahasa
(Etimologi) berarti Do'a dan secara terminology / istilah, para ahli fiqih mengartikan
secara lahir dan hakiki.
Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan
takbir dan yang telah ditentukan (Sidi Gazalba,88).
Adapun scara hakikinya ialah” berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, secara
yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan didalam jiwa rasa
kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya”atau” mendahirkan hajat dan
keperluan kita kepada Allah
yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua-
duanya. (Hasbi AsySyidiqi, 59).
Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba
dengan Tuhannya sebagai bentuk, ibadah yang di dalamnya merupakan amalan yang
tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul
ikhram dan diakhiri
dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’.[1]
(Imam Bashari Assayuthi, 30).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah
merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali
dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah
ditentukan syara”. Juga shalat merupakan penyerahan diri (lahir dan bathin) kepada
Allah dalam rangka ibadah dan memohon rido-Nya. Sholat dalam agama islam
menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh ibadat manapun juga, ia
merupakan tiang agama dimana ia tak dapat tegak kecuali dengan itu.

MACAM-MACAM SHOLAT WAJIB DAN SHOLAT SUNNAH

Macam-macam sholat wajib:


1) Sholat Isya' yaitu sholat yang dikerjakan 4 (empat) raka'at dengan dua kali tasyahud dan satu
kali salam. Waktu pelaksanaannya dilakukan menjelang malam (+ pukul 19:00 s/d menjelang
fajar)yang diiringi dengan sholat sunnah qobliyah (sebelum) dan ba'diyah (sesudah) sholat
isya.
2) Sholat Subuh yaitu sholat yang dikerjakan 2 (dua) raka'at dengan satu kali salam. Adapaun
waktu pelaksanaannya dilakukan setelah fajar (+ pukul 04:10) yang hanya diiringi dengan
sholat sunnah qobliyah saja, sedang ba'diyah dilarang.

3) Sholat Lohor (Dhuhur) yaitu sholat yang dikerjakan 4 (empat) raka'at dengan dua kali
tasyahud dan satu kali salam. Adapun waktu pelaksaannya dilakukan sa'at matahari tepat di
atas kepala (tegak lurus) + pukul 12:00 siang, yang diiringi dengan sholat sunnah qobliyah
dan sholat sunnah ba'diyah (dua raka'at-dua raka'at atau empat raka'at-empat raka'at dengan
satu kali salam).

4) Sholat Ashar yaitu sholat yang dikerjakan 4 (empat) raka'at dengan dua kali tasyahud dan
satu kali salam. Adapun waktu pelaksanaannya dilakukan setelah matahari tergelincir (+
pukul 15:15 sore atau sebatas pandangan mata) yang hanya diiringi oleh sholat sunnah
qobliyah dengan dua raka'at atau empat raka'at (satu kali salam).

5) Sholat Maghrib yaitu sholat yang dikerjakan 3 (tiga) raka'at dengan dua kali tasyahud dan
satu kali salam. Adapun waktu pelaksanaanya dilakukan setelah matahari terbenam (+ pukul
18:00) yang diiringi oleh sholat sunnah ba'diyah dua raka'at atau empat raka'at dengan satu
kali salam, sedang sholat sunnah qobliyah hanya dianjurkan saja bila mungkin : lakukan, tapi
bila tidak : jangan (karena akan kehabisan waktu).

Macam-macam sholat sunah:


1. Shalat Sunah Tahajud
Shalat sunah tahajud adalah shalat yang dikerjakan pada waktu tengah malam di
antara shalat isya’ dan Shalat shubuh setelah bangun tidur. Jumlah rokaat shalat tahajud
minimal dua rokaat hingga tidak terbatas. Saat hendak kembali tidur sebaiknya membaca
ayat kursi, surat al-ikhlas, surat al-falaq dan surat an-nas.

2. Shalat Sunah Dhuha


Shalat Dhuha adalah shalat sunah yang dilakukan pada pagi hari antara pukul 07.00
hingga jam 10.00 waktu setempat. Jumlah roka'atshalat dhuha minimal dua rokaat dan
maksimal dua belas roka'at dengan satu salam setiap dua roka'at. Manfaat dari shalat dhuha
adalah supaya dilapangkan dada dalam segala hal, terutama rejeki. Saat
melakukan sholat dhuha sebaiknya membaca ayat-ayat surat al-waqi'ah, adh-dhuha, al-
quraisy, asy-syamsi, al-kafirun dan al-ikhlas.

3. Shalat Sunah Istikharah


Shalat istikharah adalah shalat yang tujuannya adalah untuk mendapatkan petunjuk
dari Allah SWT dalam menentukan pilihan hidup baik yang terdiri dari dua hal/perkara
maupun lebih dari dua. Hasil dari petunjuk Allah SWT akan menghilangkan kebimbangan
dan kekecewaan di kemudian hari. Setiap kegagalan akan memberikan pelajaran dan
pengalaman yang kelak akan berguna di masa yang akan datang. Contoh kasus penentuan
pilihan:
- memilih jodoh suami/istri
- memilih pekerjaan
- memutuskan suatu perkara
- memilih tempat tinggal, dan lain sebagainya
Dalam melakukan shalat istikharah sebaiknya juga melakukan, puasa sunah, shodaqoh, zikir,
dan amalan baik lainnya.

4. Shalat Sunah Tasbih


Shalat tasbih adalah solat yang bertujuan untuk memperbanyak memahasucikan Allah
SWT. Waktu pengerjaan shalat bebas. Setiap rokaat dibarengi dengan 75 kali bacaan tasbih.
Jika shalat dilakukan siang hari, jumlah rokaatnya adalah empat rokaat salam salam,
sedangkan jika malam hari dengan dua salam.

5. Shalat Sunah Taubat


Shalat taubat adalah shalat dua roka'at yang dikerjakan bagi orang yang ingin bertaubat,
insyaf atau menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukannya dengan bersumpah tidak akan
melakukan serta mengulangi perbuatan dosanya tersebut. Sebaiknya shalat sunah taubat
dibarengi dengan puasa, shodaqoh dan sholat.

6. Shalat Sunah Hajat


Shalat Hajat adalah shalat agar hajat atau cita-citanya dikabulkan oleh Allah
SWT. Shalat hajat dikerjakan bersamaan dengan ikhtiar atau usaha untuk mencapai hajat atau
cita-cita. Shalat sunah hajat dilakukan minimal dua rokaat dan maksimal dua belas bisa kapan
saja dengan satu salam setiap dua roka'at, namun lebih baik dilakukan pada sepertiga terakhir
waktu malam.

7. Shalat Sunah Safar


Shalat safar adalah sholat yang dilakukan oleh orang yang sebelum bepergian atau
melakukan perjalanan selama tidak bertujuan untuk maksiat seperti pergi haji, mencari ilmu,
mencari kerja, berdagang, dan sebagainya. Tujuan utamanya adalah supaya mendapat
keridhoan, keselamatan dan perlindungan dari Allah SWT.

8. Shalat Sunah Rawatib.


Shalat sunah rawatib dilakukan sebelum dan setelah shalat fardhu. Yang
sebelum Shalat Fardhu disebut shalat qobliyah, dan yang setelahshalat fardhu di
sebut shalat Ba'diyah. Keutamaannya adalah sebagai pelengkap dan penambal shalat fardhu
yang mungkin kurang khusu atau tidak tumaninah.

9. Shalat Sunah Istisqho’


Shalat sunah ini di lakukan untuk memohon turunnya hujan. dilakukan secara
berjamaah saat musim kemarau.

10. Shalat Sunah Witir.


Shalat sunah witir dilakukan setelah sampai sebelum fajar. bagi yang yakin akan
bangun malam diutamakan dilakukan saat sepertiga malam
setelah shalat Tahajud. Shalat witir disebut juga shalat penutup. biasa dilakukan sebanyak
tiga rakaat dalam dua kali salam, dua rakaat pertama salam dan dilanjutkan satu rakaat
lagi[3].

11. Shalat Tahiyatul Masjid.


Shalat tahiyatul masjid ialah shalat untuk menghormati masjid. Disunnahkan shalat
tahiyatul masjid bagi orang yang masuk ke masjid, sebelum ia duduk. Shalat tahiyatul masjid
itu dua raka’at.

12. Shalat Tarawih.


Shalat Tarawih yaitu shalat malam pada bulan ramadhan hukumnya sunnah muakad
atau penting bagi laki-laki atau perempuan, boleh dikerjakan sendiri-sendiri dan boleh pula
berjama’ah.

13. Shalat Hari Raya (Idul Adha dan Idul Fitri).


Sebagaimana telah diterangkan bahwa waktu shalat hari raya idul fitri adalah tanggal
1 syawal mulai dari terbit matahari sampai tergeincirnya. Akan tetapi, jika diketahui sesudah
tergelincirnya matahari bahwa hari itu tanggal 1 syawal jadi waktu shalat telah habis, maka
hendaklah shalat di hari kedua atau tanggal 2 saja. Sedangkan untuk shalat hari raya Idul
Adha tanggal 10 Dzulhijjah.

14. Shalat Dua Gerhana.


Kusuf adalah gerhana matahari dan khusuf adalah gerhana bulan[4]. Shalat kusuf dan
khusuf hukumnya sunnah muakaddah berdasarkan sabda Nabi saw. Yang artinya :
“Sesungguhnya matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian
seseorang maupun kehidupannya. Maka apabila kalian menyaksikan itu, hendaklah kalian
shalat dan berdoa kepada Allah Ta’ala.” (H.R. Syaikhain).
15. Sholat Rawatib.
Sholat rawatib adalah sholat sunnah yang dikerjakan sebelum dan sesudah dholat
fardu. Seluruh dari sholat rawatib ini yaitu ada 22 rakaat, yaitu :
2 rakaat sebelum sholat subuh (sesudah sholat subuh tidak ada sholat sunah ba’diyah).
2 rakaat sebelum sholat zuhur. 2 atau 4 rakaat sesudah zuhur.
2 rakaat atau 4 rakaat sebelum sholat ashar, (sesudah sholat ashar tidak ada sholat ba’diyah).
2 rakaat sesudah sholat maghrib.
2 rakaat sebelum sholat isya.
2 rakaat sesudah sholat isya.
Sholat-sholat tersebut yang dikerjakan sebelum sholat fardhu, dinamakan “qobliyah” dan
sesudahnya disebut “ ba’diyah”.

2.3. KEDUDUKAN SHALAT DALAM ISLAM


Shalat sebenarnya telah dipersintahkan Allah kepada umat terdahulu sebelum umat
nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Wahai
Bani Isra’il ingatlah nikmat yang telah Aku berikan kepada kalian …… tegakkanlah shalat,
keluarkanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku. [Al Baqarah: 40-43].
Allah juga berfirman (artinya), “Dan tidaklah mereka (ahlul kitab dan musyrikin) diperintah
kecuali agar mereka beribadah kepada Allah semata, menegakkan shalat dan mengeluarkan
zakat. Demikianlah agama yang lurus.”[Al Bayyinah: 5].
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Islam dibangun atas lima
(perkara): kesaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad
adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke baitullah, dan puasa
Ramadhan.[5]
Adapun kedudukan sholat dalam islam yaitu:
1. Shalat sebagai sebab seseorang ditolong oleh Allah. Hal ini karena Allah sendiri berfirman
(artinya), “ Wahai orang-orang yang beriman mintalah pertolongan kepada Allah dengan
kesabaran dan shalat” [Al Baqarah 153]. Shalat bila ditunaikan sebagaimana mestinya
niscaya akan menyebabkan seseorang ditolong oleh Allah dalam setiap urusannya.
2. Shalat merupakan sebab seseorang tercegah dari kekejian dan kemungkaran. Allah
berfirman (artinya), “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan
kemungkaran.” [Al Ankabuut 45]. Jika shalat dikerjakan dengan semestinya pasti akan
mencegah pelakunya dari kekejian dan kemungkaran dengan ijin Allah.
3. Shalat merupakan salah satu rukun islam. [H.R Al bukhari 8 dan Muslim 16].
4. Shalat merupakan amalan yang pertama kali dihisab/ dihitung di hari kiamat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya), “Sesungguhnya amalan seorang
hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik
maka ia akan beruntung dan selamat. Namun bila shalatnya jelek maka ia akan merugi dan
celaka..” [H.R At Tirmidzi 413 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani]. Yang dimaksud
shalat merupakan amalan pertama kali yang dihisab di hari kiamat adalah shalat wajib,
sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang lain (artinya), “Sesungguhnya
yang pertama kali dihisab dari seorang muslim pada hari kiamat adalah shalat wajib…” [H.R
ibnu Majah 1425 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani]. Telah dimaklumi bahwa shalat
yang diwajibkan kepada kita adalah shalat 5 waktu (Zhuhur, ‘Ashr, Maghib, Isya’ dan
Subuh). Demikian pula shalat Jum’at bagi pria. Inilah yang disepakati seluruh ulama.
5. Keutamaan shalat dapat dilihat dari awal perintah untuk mengerjakannya yaitu
diperintahkan langsung kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tanpa melalui
perantara Jibril “alaihis Salaam, di tempat yang tertinggi yang pernah dicapai manusia yaitu
langit ketujuh, di malam yang paling utama bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam yaitu
malam Isra’ Mi’raj dan diwajibkan disetiap hari sepanjang hidup seorang muslim.

Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat


Seluruh ummat Islam sepakat bahwa orang yang mengingkari wajibnya shalat, maka
dia kafir dan keluar dari Islam. Tetapi mereka berselisih tentang orang yang meninggalkan
shalat dengan tetap meyakini kewajiban hukumnya. Sebab perselisihan mereka adalah adanya
sejumlah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menamakan orang yang
meninggalkan shalat sebagai orang kafir, tanpa membedakan antara orang yang mengingkari
dan yang bermalas-malasan mengerjakannya.
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah
meninggalkan shalat.”
Dari Buraidah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda yang artinya : Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Barangsiapa
meninggalkannya, maka ia telah kafir.’” [6]
Namun yang rajih dari pendapat-pendapat para ulama’, bahwa yang dimaksud dengan
kufur di sini adalah kufur kecil yang tidak mengeluarkan dari agama. Ini adalah hasil
kompromi antara hadits-hadits tersebut dengan beberapa hadits lain, di antaranya:
Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya :
‘Lima shalat diwajibkan Allah atas para hamba. Barangsiapa mengerjakannya dan
tidak menyia-nyiakannya sedikit pun karena menganggap enteng, maka dia memiliki
perjanjian de-ngan Allah untuk memasukkannya ke Surga. Dan barangsiapa tidak
mengerjakannya, maka dia tidak memiliki perjanjian dengan Allah. Jika Dia berkehendak,
maka Dia mengadzabnya. Atau jika Dia berkehendak, maka Dia mengampuninya.’”[7]
Kita menyimpulkan bahwa hukum meninggalkan shalat masih di bawah derajat
kekufuran dan kesyirikan. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan
perkara orang yang tidak mengerjakannya kepada kehendak Allah.
Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
õ `tBur 4 âä!$t±o„ `yJÏ9 y7Ï9ºsŒ tbrߊ $tB ã•Ïÿøótƒur ¾ÏmÎ/ x8uŽô³ç„ br& ã•Ïÿøótƒ Ÿw !$# bÎ‫ا‬
$¸JŠÏàtãÇÍÑÈ $¸JøOÎ) #“uŽtIøù$# ωs)sù «!$$Î/ 8ÎŽô³ç„
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa’: 48]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari
seorang hamba yang muslim pada hari Kiamat adalah shalat wajib. Jika dia mengerjakannya
dengan sempurna (maka ia selamat). Jika tidak, maka dikatakan: Lihatlah, apakah dia
memiliki shalat sunnah? Jika dia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya
disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian seluruh amalan wajibnya dihisab seperti
halnya shalat tadi.’”
Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Islam akan lenyap sebagaimana lenyapnya warna pada baju yang
luntur. Hingga tidak lagi diketahui apa itu puasa, shalat, qurban, dan shadaqah. Kitabullah
akan diangkat dalam satu malam, hingga tidak tersisalah satu ayat pun di bumi. Tinggallah
segolongan manusia yang terdiri dari orang tua dan renta. Mereka berkata, ‘Kami dapati
bapak-bapak kami mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallaah dan kami pun
mengucapkannya.’” Shilah berkata kepadanya, “Bukankah kalimat laa ilaaha illallaah tidak
bermanfaat untuk mereka, jika mereka tidak tahu apa itu shalat, puasa, qurban, dan
shadaqah?”
Lalu Hudzaifah berpaling darinya. Shilah mengulangi pertanyaannya tiga kali. Setiap
kali itu pula Hudzaifah berpaling darinya. Pada kali yang ketiga, Hudzaifah menoleh dan
berkata, “Wahai Shilah, kalimat itulah yang akan menyelamatkan mereka dari Neraka. Dia
mengulanginya tiga kali.

LANDASAN HUKUM SHALAT WJIB DAN SUNNAH

a. Landasan hukum sholat wajib


a.1. Landasan Al qur’an
Kewajiban shalat dapat dilihat dalam (Q.S:Al Baqarah 2:110)
Yang artinya: Dan dirikanlah sholat tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanyapada sisi Allah. Sesungguhnya
Allah maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
Kemudian dalam (Q.S:An Nisa 4:103)
Yang artinya: Maka apabila kamu telah menyelesaikan sholat (mu), ingat Allah diwaktu
berdiri, diwaktu duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman,
maka dirikanlah sholat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban
yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.[9]
Dan banyak lagi seperti dalam surat-surat berikut ini:
2:277, 4:103, 4:162, 5:12, 6:72, 6:92, 7:29, 8:3, 9:11, 9:18, 9:71, 13:22, 14:31, 14:37, 14:40,
20:132, 22:78, 24:56, 30:31, 33:33, 58:13.[10]

a. Landasan hadits
landasan hukum bagi sholat wajib termuat dalam Hadist Shahih Bukhari No. 211 Jilid
I yakni isinya tentang proses terjadinya isra’ wal mi’raj dimana pada peristiwa dimana nabi
diberikan perintah sholat yang awalnya 50 rakaat di perkecil menjadi 5 rakaat.[11]
b. Landasan hukum sholat sunnah
Shalat Idul Fitri
Shalat Idul Adha
Hadist mengenai Shalat Sunnah di atas Ibnu Abbas Ra. berkata: “Aku shalat Idul Fithri
bersama Rasulullah SAW dan Abu bakar dan Umar, beliau semua melakukan shalat tersebut
sebelum khutbah.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Shalat Kusuf (Gerhana Matahari)
Shalat Khusuf (Gerhana Bulan)
Hadist tentang Shalat Kusuf dan Shalat Khusuf :
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda (kebesaran) Allah
SWT. Tidak terjadi gerhana karena kematian seseorang, tidak juga karena kehidupan
(kelahiran) seseorang. Apabila kalian mengalaminya (gerhana), maka shalatlah dan
berdoalah, sehingga (gerhana itu) berakhir.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Shalat Istisqo’
Dari Ibnu Abbas Ra., bahwasannya Nabi SAW shalat istisqo’ dua raka’at, seperti shalat ‘Id.
(HR Imam Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Shalat Sunnah Sendiri


Shalat Rawatib (Shalat yang mengiringi Shalat Fardlu)
Hadist yang menjelaskan tentang ini Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW senantiasa
menjaga (melakukan) 10 rakaat (rawatib), yaitu: 2 raka’at sebelum Dzuhur dan 2 raka’at
sesudahnya, 2 raka’at sesudah Maghrib di rumah beliau, 2 raka’at sesudah Isya’ di rumah
beliau, dan 2 raka’at sebelum Shubuh … (HR Imam Bukhari dan Muslim).
Shalat Tahajjud (Qiyamullail)
Al-Qur’an surah Al-Israa’ ayat 79, As-Sajdah ayat 16 – 17, dan Al-Furqaan ayat 64.
Dilakukan dua raka’at-dua raka’at dengan jumlah raka’at tidak dibatasi.
Shalat Dhuha
Dari A’isyah Rda., adalah Nabi SAW shalat Dhuha 4 raka’at, tidak dipisah keduanya (tiap
shalat 2 raka’at) dengan pembicaraan.” (HR Abu Ya’la)
Shalat Tahiyyatul Masjid
Dari Abu Qatadah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian
masuk masjid, janganlah duduk sehingga shalat dua raka’at.” (HR Jama’ah Ahli Hadits)
Shalat Taubat
Nabi SAW bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang berdosa, kemudian ia bangun berwudhu
kemudian shalat dua raka’at dan memohon ampunan kepada Allah, kecuali ia akan
diampuni.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan lain-lain)
Shalat Istikharah
Dari Jabir bin Abdillah berkata: “Adalah Rasulullah SAW mengajari kami Istikharah dalam
segala hal … beliau SAW bersabda: ‘apabila salah seorang dari kalian berhasrat pada sesuatu,
maka shalatlah dua rakaat di luar shalat fardhu …dan menyebutkan perlunya’ …” (HR
Jama’ah Ahli Hadits kecuali Imam Muslim)

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PENDAPAT 4 MAZHAB MENGENAI SHOLAT


1. Niat : semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan
kata-kata tidaklah diminta. (Mughniyah; 2001)
Ibnu Qayyim berpendapat dalam bukunya Zadul Ma’ad, sebagaimana yang dijelaskan
dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi
Muhammad saw bila menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan “Allahu akbar” dan
beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali.
(Mughniyah; 2001)
2. Takbiratul Ihram : shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram.
Nama takbiratul ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah saw : (Mughniyah; 2001)
“Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu
selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.”
Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar)
tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya. (Mughniyah; 2001) Syafi’i : boleh mengganti
“Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata
“Akbar”. (Mughniyah; 2001) Hanafi : boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama
artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah
Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah
wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). (Mughniyah;
2001) Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa
bahasa Arab. (Mughniyah; 2001) Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul
ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri;
dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar
secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. (Mughniyah; 2001)
Berdiri : semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib
sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat
dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan,
seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya,
menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi berpendapat : siapa
yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya
sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat. (Mughniyah; 2001)
Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia boleh
shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus
mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat
baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang
sesuatu yang menghalanginya. (Mughniyah; 2001) Maliki : bila sampai seperti ini, maka
gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya. (Mughniyah;
2001) Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila
tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat
dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak
mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan
shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi. (Mughniyah; 2001)
3. Bacaan : ulama mazhab berbeda pendapat.
Hanafi : membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca
bacaan apa saja dari Al-Quran itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20 :
(Mughniyah; 2001)
”Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman
122, dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus shalah). Boleh meninggalkan basmalah,
karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras
atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri
(membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan
bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak
ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan aalah sunnah bukan
wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas
belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih
utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada
dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat
sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam
keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat
pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pad
shlat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat
kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah
pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib,
hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak
tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas
pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001) Maliki : membaca Al-Fatihah itu harus
pada setipa rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-
rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i,
dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang
pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk
ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama
pada shalat maghrib dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan
kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat
fardhu. (Mughniyah; 2001) Hambali : wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan
sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada
shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan
membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara
membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada
shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan
disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak
tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah
pusar. (Mughniyah; 2001).
Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : (Mughniyah; 2001) ”kalau ingin
mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan
amin.”
4. Ruku’ : semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam
shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-
thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam,
tidak bergerak. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan
tidak wajib thuma’ninah. Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua telapak
tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-
thuma’ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’. (Mughniyah; 2001) Syafi’i,
Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja
mengucapkan : (Mughniyah; 2001) Subhaana rabbiyal ’adziim ”Maha Suci Tuhanku Yang
Maha Agung”
Hambali : membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. (Mughniyah; 2001)Kalimatnya
menurut Hambali : Subhaana rabbiyal ’adziim”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri).
(Mughniyah; 2001) Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Mazhab-
mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan
membaca tasmi’, yaitu mengucapkan : Sami’allahuliman hamidah ”Allah mendengar orang
yang memuji-Nya”
5. Sujud : semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada
setipa rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. (Mughniyah; 2001)
Maliki, Syafi’i, dan Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-
lainnya adalah sunnah. (Mughniyah; 2001) Hambali : yang diwajibkan itu semua anggota
yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna.
Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan. (Mughniyah; 2001)
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam
ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam
sujud. Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain :
wajib duduk di antara dua sujud. (Mughniyah; 2001)
6. Tahiyyat : tahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian : pertama
yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’,
dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang
diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat.
(Mughniyah; 2001)
Hambali : tahiyyat pertama itu wajib. Mazhab-mazhab lain : hanya sunnah.
Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi : hanya sunnah,
bukan wajib. (Mughniyah; 2001) Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi : Attahiyatu
lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu ”Kehormatan itu kepunyaan Allah,
shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera” ’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi
wabarakaatuh ”Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin ”Semoga kesejahteraan tercurah
kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh” Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah” Waasyhadu anna muhammadan
’abduhu warosuuluh ”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-
Nya” Menurut Maliki (Mughniyah; 2001) Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu lillaahi
aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah ”Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi
Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah” Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu
warahmatullahi wabarakaatuh ”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah
serta barakah-Nya” Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin ”Semoga
kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh” Asyhadu
anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah ”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya” Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu
warosuuluh ”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Syafi’i : (Mughniyah; 2001) Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatuth
thoyyibaatu lillaah ”Kehormatan, barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah
kepunyaan Allah” Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin ”Semoga kesejahteraan tercurah
kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh” Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah” Waasyhadu anna muhammadan
’abduhu warosuuluh ”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-
Nya” Menurut Hambali : (Mughniyah; 2001) Attahiyyatu lillahi washsholawaatu
waththoyyibaatu ”Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh ”Salam sejahtera
kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya” Assalaamu’alainaa wa ’alaa
’ibaadillahishshoolihiin ”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-
hamba Allah yang saleh” Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-
Nya” Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh ”Dan aku bersaksi bahwa
muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya” Allahumma sholli ’alaa Muhammad ”Ya
Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad”
7. Mengucapkan salam (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki, dan Hambali : mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi : tidak wajib.
(Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 126). Menurut empat mazhab, kalimatnya sama
yaitu Assalaamu’alaikum warahmatullaah ”Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah
tercurah kepada kalian” Hambali : wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang
lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib. (Mughniyah; 2001)
8. Tertib : diwajibkan tertib antara bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib
didahulukan dari bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah
wajib didahulukan dari ruku’, dan ruku’ didahulukan daru sujud, begitu seterusnya.
(Mughniyah; 2001)
9. Berturut-turut : diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan
dan langsung, juga antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-
Fatihah langsung setelah bertakbir tanpa ada selingan. Dan mulai ruku’ setelah
membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga
tidak boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf.
(Mughniyah; 2001)[12]
Penutup

Kesimpulan

Sholat merupakan inti (kunci) dari segala ibadah juga merupakan tiang
agama,dengannya agama bisa tegak dengannya pula agama bisa runtuh. Sholat mempunyai
dua unsuryaitu dzohiriyah dan batiniyah. Unsur dzohiriyah adalah yang menyangkut perilaku
berdasarpada gerakan sholat itu sendiri, sedangkan unsur yang bersifat batiniyah adalah
sifatnyatersembunyi dalam hati karena hanya Allah-lah yang dapat menilainya. Shalat banyak
macamnya ada shalat sunnah, ada juga sholat fardhu yang telah ditentukan waktunya.
Khilafiyyah kaum muslimin tentang shalat adalah hal yang biasa karena rujukan
danpengkajiannya semuanya bersumber dari Al-Qur‟an dan hadis, hendaknya perbedaan
tersebutmenjadi hikmah keberagaman umat islam. Shalat banyak macamnya ada shalat
sunnah, ada juga sholat fardhu yang telah ditentukan waktunya.

3.2. Saran
Sebaiknya sebagai umat islam yang baik kita senantiasa mendirikan solat,
dan menghidupkan sunah rosul dan dilakukan sesuai yang dicontohkan rosul.

Anda mungkin juga menyukai