Anda di halaman 1dari 7

Nama : Haslinda

Hadist tentang “Setiap amalan tergantung atas niat” Kajian Syaikh ‘Abdus
Salam Asy-Syuwai’ir di Masjid Jaami’ Ibnu Taimiyah, 7 Sya’ban 1433 H

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia


berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,yang
artinya “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan
mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-
Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena
mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia
tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907]Hadits ini
menjelaskan bahwa setiap amalan benar-benar tergantung pada niat. Dan setiap
orang akan mendapatkan balasan dari apa yang ia niatkan. Balasannya sangat mulia
ketika seseorang berniat ikhlas karena Allah, berbeda dengan seseorang yang
berniat beramal hanya karena mengejar dunia seperti karena mengejar wanita.
Dalam hadits disebutkan contoh amalannya yaitu hijrah, ada yang berhijrah karena
Allah dan ada yang berhijrah karena mengejar dunia.

Niat secara bahasa berarti al-qashd (keinginan). Sedangkan niat secara istilah
syar’i, yang dimaksud adalah berazam (bertedak) mengerjakan suatu ibadah ikhlas
karena Allah, letak niat dalam batin (hati). Kalimat “Sesungguhnya setiap amalan
tergantung pada niatnya”, ini dilihat dari sudut pandang al-manwi, yaitu amalan.
Sedangkan kalimat “Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, ini dilihat
dari sudut pandang al-manwi lahu, yaitu kepada siapakah amalan tersebut
ditujukan, ikhlas lillah ataukah ditujukan kepada selainnya.

 Sedangkan niat amalan itu ada dua fungsi:

Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah


ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan
pembatal lainnya. Namun terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum
karena kebiasaan, tanpa ada niat mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula
maksudnya adalah ibadah. Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dibedakan dengan
niat.

Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah lainnya. Ada
ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang termasuk
rawatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar shalat sunnah saja
(shalat sunnah mutlak). Semuanya ini dibedakan dengan niat.

Fungsi ketiga adalah Hijrah itu berarti meninggalkan. Secara istilah, hijrah adalah
berpindah dari negeri kafir ke negeri Islam. Hijrah itu hukumnya wajib bagi muslim
ketika ia tidak mampu menampakkan lagi syiar agamanya di negeri kafir. Hijrah
juga bisa berarti berpindah dari maksiat kepada ketaatan.

Fungsi keempat adalah Dalam beramal butuh niat ikhlas. Karena dalam hadits
disebutkan amalan hijrah yang ikhlas dan amalan hijrah yang tujuannya untuk
mengejar dunia. Hijrah pertama terpuji, hijrah kedua tercela.
Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa ada seseorang yang ingin melamar seorang
wanita. Wanita itu bernama Ummu Qais. Wanita itu enggan untuk menikah dengan
pria tersebut, sampai laki-laki itu berhijrah dan akhirnya menikahi Ummu Qais.
Maka orang-orang pun menyebutnya Muhajir Ummu Qais. Lantas Ibnu Mas’ud
mengatakan, “Siapa yang berhijrah karena sesuatu, fahuwa lahu (maka ia akan
mendapatkannya, pen.).” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:74-75. Perawinya tsiqah
sebagaimana disebutkan dalam Tharh At-Tatsrib, 2:25. Namun Ibnu Rajab tidak
menyetujui kalau cerita Ummu Qais jadi landasan asal cerita dari hadits innamal
a’malu bin niyyat yang dibahas). Namun tentu hijrah bukan karena lillah, cari ridha-
Nya, maka tidak dibalas oleh Allah.

Dalam kitab Qawa’id Muhimmah wa Fawaid Jammah, Syaikh As-


Sa’di rahimahullah mengatakan dalam kaedah ketujuh:

Jika ada dua ibadah yang (1) jenisnya sama, (2) cara pengerjaannya sama, maka
sudah mencukupi bila hanya mengerjakan salah satunya.

Kasus ini ada dua macam:

Pertama:

Cukup mengerjakan salah satu dari dua macam ibadah tadi dan menurut pendapat
yang masyhur dalam madzhab Hambali disyaratkan meniatkan keduanya bersama-
sama.

Contoh:

– Siapa yang memiliki hadats besar dan kecil sekaligus, dalam madzhab Hambali
cukup bersuci hadats besar saja untuk mensucikan kedua hadats tersebut.

– Jama’ah haji yang mengambil manasik qiran yang berniat haji dan umrah
sekaligus, cukup baginya mengerjakan satu thawaf dan satu sa’i. Demikian menurut
pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali.

Kedua:

Cukup dengan mengerjakan satu ibadah, maka ibadah yang lain gugur (tanpa
diniatkan).

Contoh:

– Jika seseorang masuk masjid saat iqamah sudah dikumandangkan, maka gugur
baginya tahiyyatul masjid jika ia mengerjakan shalat jama’ah.

– Jika orang yang berumrah masuk Makkah, maka ia langsung melaksanakan


thawaf umrah dan gugur baginya thawaf qudum.
– Jika seseorang mendapati imam sedang ruku’, lalu ia bertakbir untuk takbiratul
ihram dan ia gugur takbir ruku’ menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab
Hambali.

– Jika Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, maka cukup menghadiri salah
satunya.

Ada penjelasan yang bagus dari Syaikh Prof. Dr. ‘Abdussalam Asy-Syuwai’ir (Dosen
di Ma’had ‘Ali lil Qadha’ Riyadh KSA) hafizahullah, ketika menjelaskan kaedah Syaikh
As-Sa’di di atas, beliau simpulkan kaedah sebagai berikut:

Jika ada dua ibadah, keduanya sama dalam (1) jenis dan (2) tata cara pelaksanaan,
maka asalnya keduanya bisa cukup dengan satu niat KECUALI pada dua keadaan:

1- Ibadah yang bisa diqadha’ (memiliki qadha’). Contoh: Shalat Zhuhur dan shalat
Ashar sama-sama shalat wajib dan jumlah raka’atnya empat, tidak bisa dengan satu
shalat saja lalu mencukupi yang lain. Sedangkan, aqiqah dan qurban bisa cukup
dengan satu niat karena keduanya tidak ada kewajiban qadha’, menurut jumhur
ulama keduanya adalah sunnah.

2- Ia mengikuti ibadah yang lainnya. Contoh: Puasa Syawal dan puasa sunnah yang
lain yang sama-sama sunnah. Keduanya tidak bisa cukup dengan satu niat untuk
kedua ibadah karena puasa Syawal adalah ikutan dari puasa Ramadhan (ikutan dari
ibadah yang lain). Karena dalam hadits disebutkan, “Barangsiapa berpuasa
Ramadhan kemudian ia ikutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal
….” Adapun shalat rawatib dan shalat sunnah tahiyatul masjid, keduanya bisa cukup
dengan satu niat karena shalat tahiyatul masjid tidak ada kaitan dengan shalat yang
lain.

Syaikh ‘Abdussalam Asy-Syuwai’ir juga menyampaikan bahwa ulama Hanafiyah


membawa kaidah:

Jika suatu ibadah yang dimaksudkan adalah zatnya, maka ia tidak bisa masuk dalam
ibadah lainnya, ia mesti dikerjakan untuk maksud itu. Namun jika suatu ibadah yang
dimaksudkan adalah yang penting ibadah itu dilaksanakan, bukan secara zat yang
dimaksud, maka ia bisa dimaksudkan dalam ibadah lainnya.

Contoh:

Shalat rawatib dan tahiyyatul masjid. Shalat tahiyyatul masjid bisa dimasukkan di
dalam shalat rawatib. Cukup dengan niatan shalat rawatib, maka shalat tahiyyatul
masjid sudah termasuk. Karena perintah untuk shalat tahiyyatul masjid yang
penting ibadah itu dilaksanakan, yaitu ketika masuk masjid sebelum duduk,
lakukanlah shalat sunnah dua raka’at. Jika kita masuk masjid dengan niatan
langsung shalat rawatib, berarti telah melaksanakan maksud tersebut.
  Bagaimana jika amalan tercampur riya’?

1. Jika riya’ ada dalam semua ibadah, riya’ seperti ini hanya ditemukan pada orang
munafik dan orang kafir.
2. Jika ibadah dari awalnya tidak ikhlas, maka ibadahnya tidak sah dan tidak
diterima.
3. Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tujukan ibadahnya
pada makhluk, maka pada saat ini ibadahnya juga batal.
4. Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tambahkan dari
amalan awalnya tadi kepada selain Allah –misalnya dengan ia perpanjang bacaan
qur’annya dari biasanya karena ada temannya-, maka tambahannya ini yang
dinilai batal. Namun niat awalnya tetap ada dan tidak batal. Inilah amalan yang
tercampur riya.
5. Jika niat awalnya sudah ikhas, namun setelah ia lakukan ibadah muncul pujian
dari orang lain tanpa ia cari-cari, maka ini adalah berita gembira berupa kebaikan
yang disegerakan bagi orang beriman (tilka ‘aajil busyra lil mu’min, HR. Muslim,
no. 2642 dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu


peperangan berkata, “Sesungguhnya ada beberapa orang di Madinah yang ditinggalkan
tidak ikut peperangan. Namun mereka bersama kita ketika melewati suatu lereng dan
lembah. Padahal mereka terhalang uzur sakit ketika itu.” (HR. Bukhari, no. 2839).

Contoh dalam hal ini adalah orang yang sudah punya kebiasaan shalat jama’ah di masjid
akan tetapi ia memiliki uzur atau halangan seperti karena tertidur atau sakit, maka ia
dicatat mendapatkan pahala shalat berjama’ah secara sempurna dan tidak berkurang.

b- Jika amalan tersebut bukan menjadi kebiasaan, maka jika sudah berniat
mengamalkannya namun terhalang, akan diperoleh pahala niatnya (saja). Dalilnya
adalah seperti hadits yang kita bahas kali ini. Begitu pula hadits  mengenai seseorang
yang  diberikan harta lantas ia gunakan dalam hal kebaikan, di mana ada seorang
miskin yang berkeinginan yang sama jika ia diberi harta. Orang miskin ini berkata bahwa
jika ia diberi harta seperti si fulan, maka ia akan beramal baik

Dalam beramal butuh niat ikhlas. Karena dalam hadits disebutkan amalan hijrah yang
ikhlas dan amalan hijrah yang tujuannya untuk mengejar dunia. Hijrah pertama terpuji,
hijrah kedua tercela.

Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa ada seseorang yang ingin melamar seorang wanita.
Wanita itu bernama Ummu Qais. Wanita itu enggan untuk menikah dengan pria
tersebut, sampai laki-laki itu berhijrah dan akhirnya menikahi Ummu Qais. Maka orang-
orang pun menyebutnya Muhajir Ummu Qais. Lantas Ibnu Mas’ud mengatakan, “Siapa
yang berhijrah karena sesuatu, fahuwa lahu (maka ia akan mendapatkannya, pen.).”
(Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:74-75. Perawinya tsiqah sebagaimana disebutkan
dalam Tharh At-Tatsrib, 2:25. Namun Ibnu Rajab tidak menyetujui kalau cerita Ummu
Qais jadi landasan asal cerita dari hadits innamal a’malu bin niyyat yang dibahas).
Namun tentu hijrah bukan karena lillah, cari ridha-Nya, maka tidak dibalas oleh Allah.

Amalan lainnya sama dengan hijrah, benar dan rusaknya amal tersebut tergantung pada
niat. Demikian kata Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:75.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Barangsiapa menuntut ilmu hanya ingin digelari ulama, untuk berdebat dengan orang
bodoh, supaya dipandang manusia, Allah akan memasukkannya dalam neraka.” (HR.
Tirmidzi, no. 2654 dan Ibnu Majah, no. 253. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan.)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, di mana ia berkata, “Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami dan kami sedang mengingatkan akan
(bahaya) Al-Masih Ad Dajjal. Lantas beliau bersabda, “Maukah kukabarkan pada kalian
apa yang lebih samar bagi kalian menurutku dibanding dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal?”
“Iya”, para sahabat berujar demikian kata Abu Sa’id l- Khudri. Beliau pun bersabda,
“Syirik khafi (syirik yang samar) di mana seseorang shalat lalu ia perbagus shalatnya
agar dilihat orang lain.” (HR. Ibnu Majah, no. 4204. Al-Hafiz Abu Thahir mengatakan
bahwa hadits ini hasan.)

- Manusia diganjar bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan niatnya. Ada yang sama-
sama shalat, namun ganjarannya jauh berbeda. Ada yang sama-sama sedekah, namun
pahalanya jauh berbeda karena dilihat dari niatnya. Makanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyatakan tentang para sahabat yang hidup bersamanya,

“Janganlah kalian mencela sahabatku. Seandainya salah seorang di antara kalian


menginfakkan emas semisal gunung Uhud, maka itu tidak bisa menandingi satu mud
infak sahabat, bahkan tidak pula separuhnya.” (HR. Bukhari, no. 3673 dan Muslim, no.
2540)

Sebagian ulama menyatakan, “Niat itu bertingkat-tingkat. Bertingkat-tingkatnya


ganjaran dilihat dari niatnya, bukan dilihat dari puasa atau shalatnya.” (Jami’ Al-‘Ulum
wa Al-Hikam, 1:72)
9- Orang yang berniat melakukan amalan shalih namun terhalang melakukannya bisa
dibagi menjadi dua:

a- Amalan yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan atau rutinitas (rajin untuk dijaga).
Lalu amalan ini ditinggalkan karena ada uzur, maka orang seperti ini dicatat mendapat
pahala amalan tersebut secara sempurna. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

“Jika salah seorang sakit atau bersafar, maka ia dicatat mendapat pahala seperti ketika
ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar) atau ketika sehat.” (HR. Bukhari,no. 2996).

Juga kesimpulan dari hadits berikut.

Dari Jabir, ia berkata, dalam suatu peperangan (perang tabuk) kami pernah bersama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya di Madinah ada
beberapa orang yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga tidak menyeberangi
suatu lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala). Padahal mereka tidak
ikut berperang karena kedapatan uzur sakit.” (HR. Muslim, no. 1911).

Dalam lafazh lain disebutkan,

“Melainkan mereka yang terhalang sakit akan dicatat ikut serta bersama kalian dalam
pahala.”

Juga ada hadits, Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam dalam suatu peperangan berkata, “Sesungguhnya ada beberapa orang di
Madinah yang ditinggalkan tidak ikut peperangan. Namun mereka bersama kita ketika
melewati suatu lereng dan lembah. Padahal mereka terhalang uzur sakit ketika itu.”
(HR. Bukhari, no. 2839).

Contoh dalam hal ini adalah orang yang sudah punya kebiasaan shalat jama’ah di masjid
akan tetapi ia memiliki uzur atau halangan seperti karena tertidur atau sakit, maka ia
dicatat mendapatkan pahala shalat berjama’ah secara sempurna dan tidak berkurang.

b- Jika amalan tersebut bukan menjadi kebiasaan, maka jika sudah berniat
mengamalkannya namun terhalang, akan diperoleh pahala niatnya (saja). Dalilnya
adalah seperti hadits yang kita bahas kali ini. Begitu pula hadits  mengenai seseorang
yang  diberikan harta lantas ia gunakan dalam hal kebaikan, di mana ada seorang
miskin yang berkeinginan yang sama jika ia diberi harta. Orang miskin ini berkata bahwa
jika ia diberi harta seperti si fulan, maka ia akan beramal baik semisal dia. Maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda“Ia sesuai niatannya dan akan sama dalam
pahala niatnya.” (HR. Tirmidzi no. 2325. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).  (Lihat pembahasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin dalam Syarh
Riyadh Ash-Shalihin, 1:36-37).

Anda mungkin juga menyukai