Anda di halaman 1dari 27

A.

TATA CARA SHALAT LIMA WAKTU DALAM PRESPEKTIF


IMAM SYAFI’I

Sholat sebagai rukun iman kedua semestinya difokuskan dalam peribadatanya,


karena hal itu akan ditanya tentang pertanggungjawaban saat di alam barzakh.
Sholat adalah tiang agama yang menjadi benteng kokoh bagaimana kualitas iman
seorang hamba. Apakah sholatnya baik maka baik pula iman dan perangainya,
namun bila sholatnya tidak baik atau sering bolong bahkan menganggap remeh
maka jelek iman dan perangainya. Rasulullah SAW dalam hidupnya
mendedikasikan hidupnya untuk beribah pada Allah seperti contoh melaksanakan
kewajiban sholat yang mana dibebankan kepada umat islam sejumlah lima waktu.
Meliputi sholat waktu dhuhur, ashar, magrib, isya dan shubuh, lima hal itu adalah
kewajiban sehari – hari mesti dilakukan umat islam di berbagai kondisipun,
karena walaupun dalam perjalanan ada tata cara sholat yang dikhususkanya yang
disebut musafir dengan persyaratanya. Atau ketika seseorang sakit ada cara
bagaimana bisa melaksanakan sholat seperti sholat duduk, berbaring dan sampai
sebisanya.

Dalam islam sholat sebagai bagian dari fan fiqh terdapat macam melaksanakan
sesuai menurut imam yang empat yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Umat Indonesia yang diketahui menggunakan madzab Syafi’i dalam
melaksanakan ibadah pastinya melaksanakanya ketentuan – ketentuanya dengan
tidak mencampuri berbagai madzab yang tidak ada alasan untuk melaksanakanya.
Madzab Syafi’i di gunakan sampai sekarang karena dari dahulu ulama – ulama
nusantara menggunakanya. Terutama perihal sholat bagaimana terlampir di kitab
– kitab turats bagaimana melaksanakan sholat sesuai madzab Syafi’i. Namun,
dalam prakteknya terkadang muncul permasalahan baru dalam dinamika
pelaksanaan sholat yang membutuhkan keabsahan yang absolut bagaimana
mengatasinya sesuai panduan istinbathul hukmi menurut imam Syafi’i. Itu pasti
terjadi mengingat fiqh sebagai rumpun hukum islam bersifat dinamis yang
konteksnya mengikuti konteks zaman. Ambil contoh bagaiman masa dulu dalam
penentuan waktu sholat masih terpusat matahari sedangkan masa sekarang
menggunakan jam yang mana efektif dengan perhitungan falaknya.
Oleh karena itu akan diuraikan dan dijabarkan bagaimana tata cara sholat lima
waktu sesuai madzab imam Syaf’i dengan kasus permasalahan yang sering terjadi
dalam sholat. Penting diketahui dan dipahami agar dalam pelaksanaan sholat tidak
terjadinya salah kaprah.

a. Syarat Wajib Sholat

Syarat adalah hal yang harus dilakukan dan dipenuhi oleh orang mukallaf
( terebani syariat agama ) untuk melaksanakn kewajiban shalat. Karena syarat
wajib adalah langkah pertama sebelum langkah menunaikan ibadah sholat lima
waktu. Karena bila tidak terpenuhi dalam pelaksanan sholat maka sholatnya tidak
sah. Berikut syarat wajib sholat yang harus terpenuhi yaitu ;

1. Beragama islam

Orang melaksanakan sholat harus islam, dimana orang tersebut telah


bersyahadat masuk islam. Tidak diterima amal seseorang dalam beribadah bila
belum masuk islam. Karena islam adalah agama yang diridhai Allah SWT
seperti termaktub di surat Al Baqarah. Sedangkan tentang dalil harus
beragama islam seperti termaktub pada hadist diriwayatkan Ibnu Umar RA.
Bahwa Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : Abdullah putra Umar berkata berkata, bahwa Rasulullah SAW


bersabda: aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka
bersyahadat bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu
Rasul Allah, dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka
telah melakukan itu, maka berarti mereka elah memelihara jiwa dan harta
mereka dasriku, selain karena hak islam, sedang hisab mereka terserah Allah.
(HR. Bukhari Muslim).

2. Berakal

Orang sholat harus berakal karena disebut mukalaf ialah yang sudah pubertas
dengan mengetahui kewajiban syariat harus di lakukan. Tidak wajib sholat
orang sedang sakit ayan atau orang gila. Tapi ketika sembuh dan sadar wajib
mengqodo’ nya. Seperti ada maqolah “ la sholata liman la aqla lahu (tidak
wajib sholat bagi siapa tak berakal ).
3. Baligh

Adalah waktu harus dipenuhi bagi laiki – laki ataupun perempuan. Dimana
kadar waktu baligh keduanya tidak bersaman. Ketika seseorang baligh maka
beban syariat tidak ditangguhkan kepada orang tuanya, melainkan kepadanya.
Sebagaimana hadist nabi yaitu :

Artinya: Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, nahwa
Rasulullah SAW bersabda, Perintahkan Anak- anak kalian mengerjakan shalat
jika mereka mencapai usia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak
mengerjakan pada usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.
(HR. Abu Daud dan Ahmad).

b. Syarat Sah Sholat

Syarat sah sholat adalah hal harus terpenuhi oleh orang mukallaf sebelum
melaksanakan sholat. Percuma seseorang beragama islam dan mengerjakan
rukun sholat dengan semestinya namun tidak memenuhi syarat – syarat sahnya
sholat maka sholanya dipastikan tidak sah. Oleh sebab itu akan dijelaskan
syarat-syarat sahnya sholat.

1. Mengetahui Waktu Sholat

Seseorang harus tahu kapan waktuya sholat lima itu, karena bila belum
saatnya waktu sholat maka sholatnya tidak sah atas yang dikerjakan.
Penetapan waktu sudah ditentukan dimana para ulama telah berijma’ bahwa
sholat yang lima itu memiliki waktu- waktu yang khusus dan terbatas.1

2. Suci Dari Hadast kecil dan Besar

Keadaan dimana seseorang bersih dan tak terkena hadast kecil seperti
kotoran dari dua jalan, sedangkan hadast besar ialah suci dengan
melaksanakan mandi besar setelah junub, haid, nifas dan bersetubuh.
Sebagaimana hadist nabi sebagai penjelasan yaitu :

1
Fathul Qorib Al Mujib, 1/16
Artinya : Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda. Allah
idak menerima sholat salah seorang dari kalian, apabila berhadast. (HR. Abu
Daud).

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a, beliau berkata, “Rasulullah SAW telah
bersabda, “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian, apabila
ia berhadats (tidak mempunyai wudhu) sampai dia berwudhu”. (HR. Abu
Daud).

3. Menutup Aurat

Menutup aurat adalah sebuah keharusan seorang muslim dalam


menunaikan sholat. Aurat laki – laki antara pusar sampai lututnya, sedangkan
perempuan semua tubuhnya kecuali wajah, telapak tangannya. Al Qur’an
menjelaskan dalil kewajiban menutup aurat yaitu :

Artinya : Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap


(memasuki) masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang – orang yang berlebihan. ( QS. Al
A’raf 31 ).

4. Menghadap Kiblat

Tidak sah seorang muslim melaksanakan sholat dengan tidak mengetahui


arah dimana kiblat sholatnya. Sebagaimana keterangan Al Qur’an surat Al
Baqarah ayat 144.

5. Tempat dan pakaian yang suci

c. Rukun – Rukun Sholat

Rukun sholat adalah hal mesti dilakukan ketika melaksanakan shlat. Dalam
madzab Syafi’i rukun sholat berjumlah 13 atau 18 sesuai hitungan dengan
tuma’ninahnya. Yang tahap pelaksanaanya harus berurutan sesuai urutan
bilanganya. Berikut urutan rukun rukun – sholat harus dikerjakan secara urut
sesuai madzab fiqh Syafi’i yaitu :

1. Niat
Adalah hal mesti dilakukan dengan dibarengin pekerjaanya, tempatnya di
hati dan harus disengaja dan berbarengan pekerjaan. Kalau tidak maka bukan
disebut niat, melainkan azam ( Niat tanpa melakukan bersama ).

2. Berdiri bagi yang mampu (kalau tidak bisa bisa duduk , bahkan bisa
berbaring)

3. Takbiratul Ihram

4. Membaca Al Fatihah ( Sesuai Makhroj dan sifatul hurufnya )

5. Ruku ( Dengan Tuma’ninah )

6. I’tidal ( Dengan Tuma’ninah )

7. Sujud 2 kali dalam setiap rakaat

8. Duduk diantara dua sujud

9. Duduk Tasyahud Akhir

10. Membaca Tasyahud Akhir

11. Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW

12. Salam Pertama

13. Berurutan.

d. Permasalahan Fiqh

Setelah mengetahui bagaimana tata cara sholat sesuai madzb fiqh syafi’i
yang berisikan syarat wajib, sah dan rukunya. Maka sepatutnya mengkaji
permasalahan – permasalahan terjadi di kehidupan sehari – hari orang muslim
dalam melaksanakan sholatnya. Disini akan dipaparkan bagaimana kasus itu
ada dan terjadi dan bagaimana jawaban dari tokoh – tokoh fiqh menjawabnya
sesuai ketentuan madzab fiqih tersebut.

1. Tidak membaca lafads “al” pada salam awal tasyahud akhir

Terkadang dalam rutinitas beribadah masyarakat dalam pelaksanaan sholat


teruntuk saat tasyahud akhir seorang imam hanya membaca ‘ salamualaikun
warohmatullahi wa barakatuh “. Yang Mana seharusnya “Assalamualaikum
warohmatullahi wabarakatuh “. Kebiasaan tersebut terkadang menjadi sering
dilakukan terutama diwaktu sholat shubuh dimana terkadang masih ada
kantuk dalam pelaksanaan sholat shubuh tersebut.

Maka dalam melakukan hal tersebut kondisi sholatnya tidak sah,


dikarenakan sebagaimana kelengkapan membaca lafal al fatihah yang
diwajibkan, ada keterangan yaitu :

) ‫فال بجوز إسقط حرف من هذا وال إبدال حرف منه بغيره (حاشية البيجوري‬

Tidak boleh menggugurkan huruf dari lafads( salam tersebut) dan tidak pula
mengganti hurufnya dengan merubahnya2. Juga sebagaimana keterangan
dalam kitab kifayatul akhyar yaitu :

‫ ألن األحديث قد‬: ‫ قال النووي‬:‫ثم أقله السالم عليكم فال يجزي سال م عليكم وال سال مي وال سالم عليهم‬
‫دا‬uu‫ك متعم‬uu‫يأ من ذل‬uu‫ال ش‬uu‫صحت بأنه صلى هللا عليه وسلم كان يقول السالم عليكم ينقل عنه خال فه فلو ق‬
)‫بطلت صالته (كفاية األخيار في حل غا ية اإلختصار‬

Menukil dari ceramah KH. Marzuki Mustamar bahwa masyarakat


melaksanakan sholat, dan imam membaca salam awal salamu alaikum itu
sholatnya tidak sah, karena lafads al tersebut wajib diucapkan dan jelas
didengarkan makmum.

2. Kentut setelah salam pertama tasyahud akhir

Terkadang dalam sholat terutama di pesantren dengan kegiatan all day,


santri dengan padatnya kegiatan pesantren tidak bisa mengatur waktu. Mereka
kadang mendekati waktu kegiatan wajib makan dulu sehingga menghasilkan
angin hasil pencernaan makanan di perut saat kegiatan terutama sholat
berjamaah di masjid. Tidak jarang waktu sholat di tahan dan setelah baca
salam awal tasyahud akhir mereka keluarkan kentutnya. Lalu bagaimana
hukumnya dengan demikian itu dan apakah sholatnya sah?.

Menyikapi hal itu para ulama berbeda pendapat, mayoritas ulama


mengatakan bahwa orang yang sholat dan ditutup dengan satu salam maka

2
Hasyiyah Al Bayjuri 1/235
sholatnya sah, dikarenakan hukum salam pertama adalah wajib, sedangkan
salam kedua tidak wajib. Namun, sebagian ulama menyatakan bahwa sholat
dengan salam pertama tidak sah karena salam kedua adalah wajib juga seperti
salam pertama. Intinya ijma ulama cukup salam pertama dan telah
dilaksanakan rukun – rukunya tersebut. Sebagaimana definisi sholat itu sendiri
yaitu :

)‫و شرعا كما قال الرفعي أقوال وأ فعال مفتتحة بالتكبير مختتمة بالتسليم (حاشية البيحور‬

3. Tidak Tuma’ninah

Dalam keseharian terkadang timbul masalah bagaimana thuma’ninah dan


kadarnya dalam sholat. Itu sering terjadi bagaimana seorang menegur kepada
orang yang lain sebagai imam ambil contohnya. Dimana ia menyalahkan
bagaimana thuma’ ninahnya. Seperti kurang lama durasinya, padahal kadar
dan bagaimana thuma’ninah itu sendiri dijelaskan dalam kitab – kitab fiqh da
kadar durasinya bisa dinilai singkat. Seperti keterangan pada kitab nihayatuz
zain ini.

‫وس‬u‫جود ان والجل‬u‫دال و الس‬uu‫ واإلعت‬،‫وع‬uu‫تي الرك‬u‫ة ال‬uu‫ان األربع‬uu‫ل)من األرك‬uu‫ةفي ك‬uu‫ (طمأنين‬: ‫و تا سعها‬
‫وض‬uu‫ و من نه‬، ‫جود‬u‫وع وا لس‬uu‫وي من الرك‬uu‫بينهما ولو في نقل وهي سكون األعضاء بعد حركتها من ه‬
)‫إلى اال عتدال والجلوس بحيث يستقر كل عضو محله بمقدارالتلفظ بسبحان هللا (نهاية الزين‬

Intinya gerakan thuma’ninah harus diamnya anggota tubuh dengan durasi


berpatokan membaca subhanaallah3.

4. Banyak gerakan ketika sholat

Mungkin ini salah satu permasalahan yang sering terjadi, banyaknya


gerakan tak sepatutnya dilakukan dan di teruskan, seperti menggaruk–garuk,
memijit–mijit jari. Mayoritas ulama berpendapat gerakan yang boleh
dilakukan tidak melebihi 3 gerakan, jika lebih dapat membatalkan sholat. itu
mafhum diketahui dan diakui, namun bila dikerjakan secara terpisah atau jeda
lama sebagian ulama membolehkanya. Juga terdapat gerakan ringan yang
diperbolehkan namun makruh hukum mengerjakanya seperti mengedipkan

3
Nihayatuz zain, 78 dan Kifayatul Akhyar, 186
mata berkali-kali. Penjelasan ini di temukan pada kitab fathul mu’in dan fathul
qorib yaitu :

‫ وإال فكل مرة‬، ‫ إن اتصل أحد هما باآلخر‬: ‫ أي‬، ‫وإمرار اليد وردها على التوالى بالحك مرة واحدة‬
)‫ (فتح المعين‬.‫على ما استظهر ه شيهنا‬

)‫ المتولى كثالث خطواة عمد أو سهوا (فتح القريب المجيب‬، ‫العمل الكثير‬

B. KETENTUAN – KETENTUAN WAKTU SHOLAT LIMA WAKTU

Dalam syarat wajib sholat terdapat mengetahui waktu sholat untuk


melaksanakan sholat sesuai waktu. Dimana waktu sholat diketahui dengan ciri –
ciri yang dinukil dari kitab – kitab fiqh yaitu menggunakan sinar cahaya matahari.
Sedangkan cara sekarang tinggal berpatokan pada jam yang mana telah di dikaji
oleh lembaga falakiyah pemerintah. Namun, dalam pelaksanaanya sholat itu ada
beberapa waktu didalamnya yang bila melaksanakan sholat berbeda derajat,
pahala antara mengerjakan di awal waktu maupun di akhir. Mungkin bisa
diketahui contoh seperti makruh tahrim atau makruh tanzih dalam pelaksanaan
sholat ashar. Dan bagaimana asal penamaan sholat itu dinamakan. Oleh sebab itu
akan dijelaskan ketentuan – ketentuan waktu sholat dan penamaanya.

a. Dhuhur

Dinamakan sholat dhuhur menurut imam Nawawi karena tampaknya di tengah


hari atau siang hari. Dimana tergelincirnya matahari, waktu zawal adalah waktu
ketika posisi matahari berada di atas kepala. Namun sedikit bergerak ke arah
barat, yang mana membuat bayangan bayangan benda sama denganya. Sholat
dhuhur di sebutkan dalam Al Qur’an seperti firman Allah :

‫َاِقِم الَّص ٰل وَة ِلُد ُلْو ِك الَّش ْم ِس ِاٰل ى َغ َس ِق اَّلْيِل َو ُقْر ٰا َن اْلَفْج ِۗر ِاَّن ُقْر ٰا َن اْلَفْج ِر َك اَن‬
‫َم ْش ُهْو ًدا‬

Artinya : Laksanakan Sholat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam


dan ( laksanakan pula shlat ) Shubuh. Sungguh sholat shubuh disaksikan ( Para
malaikat).

Sedangkan waktu berakhirnya keika panjang bayangan benda sama dengan


panjang benda tersebut. Dan saat itulah waktu masuk sholat ashar, namun ada
waktu dimana ditangguhnya menyegerakan sholat saat panas – panasnya . Disebut
waktu ibrad , dimana tujuanya untuk meringankan dan bisa menambah khusu.
Dalil atas waktu ini berdasarkan hadist nabi yaitu :

Artinya : Dari Anas bin Malik RA. Bahwa Nabi SAW bersabda “ Bila dingin
menyengat, menyegerakan sholat. Tapi bila panas menyengat, beliau
mengunduran shalat. (HR. Bukhari ).

2. Ashar

Sholat ashar adalah sholat wajib dikerjakan setelah shola dhuhur, dinamakan
sholat ashar karena dekatnya waku kepada waktu maghrib. Awal waktunya ketika
panjang bayangan sama dengan bendanya. Sedangkan akhirnya ketika matahari
tenggelam di ufuk barat, sebagaimana hadist nabi :

Artinya : Dan orang – rang yang mendapatkan satu rakaat sholat ashar sebelum
matahari terbenam, maka ia termasuk memperoleh sholat ashar. (HR. Muttafaq
‘alaih).

Terdapat perincian waktu dalam pelaksanaan sholat ashar yaitu :

 Waktu Fadhilah ( Dikerjakan diawal waktu )


 Waktu Ikhtiyar ( Lebih dikerjakan ketimbang waktu setelahnya )
 Waktu Jawaz (Setelah waktu iktiyar sampai terbenam )
 Waktu Jawaz Bi La Karohah ( Memanjangnya bayangan dari benda dan
menguningnya matahari ).
 Waktu Tahrim ( Waktu dimana cukup mengerjakan sholat ashar dan tidak
boleh di tunda).

3. Maghrib
Dinamakan sholat maghrib karena waktunya dimulai dari terbenamnya
matahari, dan itulah awal waktu yang tepat dikerjakan. Sedangkan berakhirnya
waktu maghrib terdapat pendapat berikut :
a. Berakhir menurut jumhur ulama ketika hilangnya mega merah yang disebut
syafaq. Dr. Wahbah Zuhaili menyatakan yang disebut jumhur ulama adalah
madzab hanafi, qoul qodim Syafi’i dan madzab Hambali. Dalilnya adalah :
Artinya : Dari Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, Waktu
magrib sampai hilangnya syafaq. (HR. Muslim )
b. Menurut madzab Maliki dan Qoul Jadid madzab Syafi’i berakhir cepat lebih
awal , sekedar berwudhu, ,menutup aurat , adzan, iqomah dan sholat lima waktu
( sholat ba’diyah magrib ).
Magrib termasuk dari perincian keutamaan waktu selain shubuh dan dhuhur
yang mempunyai tujuh waktu yaitu :

1. Waktu Fadhilah

2. Waktu Ikhtiyar

3. Waktu jawaz bila karohah

4. Waktu jawaz bi karohah

5. Waktu hurmah

6. Waktu dhorurot

7. Waktu udzur

4. Isya

Isya adalah waktu panjang dimana dinamakan demikian karena awalnya


kegelapan. Waktunya panjang hingga mejelang fajar shadiq terbit. Sama dengan
maghrib memilki perincian waktu berjumlah tujuh waktu. Dalam kitab safinatun
najah dijelaskan bahwa terkadang nabi mengakhirkan sholat isya seperti
keterangan:

Dan waktu Isya’ kadang-kadang, bila beliau SAW melihat mereka (para
shahabat) telah berkumpul, maka dipercepat. Namun bila beliau melihat mereka
berlambat-lambat, maka beliau undurkan. (HR. Bukhari Muslim

Dinamakan sholat shubuh karena awalnya waktu sholat dengan terbitnya fajar
shadiq ( cahaya putih menyebar di ufuk timur ). Disebut sholat fajr di jazirah
Arab yang esensinya sama dengan sholat shubuh di Indonesia. Perincian waktu
sama dengan sholat Ashar yang berjumlah lima yaitu :

 Waktu Fadilah ( Awal Waktu )


 Waktu Ikhtiyar ( Adanya kekuningan )
 Waktu Jawaz bi karohah ( Sampai terbinya matahari )
 Waktu jawaz bi la karohah ( muncul kemerahan )
 Waktu tahrim ( waktu berakhir, cukupnya mengerjakan sholat shubuh )

C. KETENTUAN SHALAT BERJAMAAH


1. Pengertian Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah secara umum adalah shalat yang mana dilakukan oleh
dua orang atau lebih, yang salah satunya menjadi imam dan yang lainnya
menjadi makmum dengan memenuhi semua syarat yang menjadikan sah
nya salat. Hukum melaksanakan ibadah shalat wajib secara berjamaah
adalah sunnah muakkad, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan.

Banyak sekali dalil-dalil yang menganjukan untuk melaksanakan sholat


secara berjamaah. Banyak keutamaan-keutamaan yang akan didapat jika
kita melakukan sholat berjamaah salah satunya adalah mendapatkan pahala
yang berlipat ganda. Selain akan mendapatkan pahala berkali kali lipat,
orang yang rajib berjamaah akan didoakan oleh malaikat, mendaptkan
naungan di hari kiamat, terhindar sifat munafik, diampuni dosanya, dan
terhindar dari siksa kubur. Seperti yang terkandung dalam HR. Muslim No
1038 dari Sahabat Ibu Umar RA , Rasulullah SAW Bersabda:

‫َص َالُةاْلَج َم اَع ِةَٔاْفَض ُل ْالَفّذ ِبَسْبِع َو ِع ْش ِر ْيَن َد َر َج ًة‬

“Shalat jama’ah itu lebih baik dari sendirian dengan dua puluh tujuh
derajat”

2. Hukum Berjama’ah Dalam Shalat

Di dalam sholat ada yang mewajibkan untuk berjamaah, dan ada pula yang
sebaiknya dilakukan sendiri. Para ulama membagi beberapa hukum dalam
shalat jama’ah :

a Dianjurkan Berjamaah
Di antara syarat-syarat shalat yang sangat dianjurkan berjamaah adalah
sholat Jum'at, sholat Idul Fitri dan Idul Adha.

 Shalat Jum’at

Mayoritas ulama mengatakan bahwa sholat jum’at dilakukan oleh


40 orang mukallaf, yang mana beragama islam, laki-laki, dan
berakal.

Madzhab Imam Hanafi mengatakan bahwa sholat jum’at boleh


dilakukan hanya 3 orang melainkan tidak boleh sendiri.

Madzhab imam malik mengatakan bahwa sholat jum’at minimal


dikerjakan oleh 12 orang ,melainkan tidak boleh dilakukan sendiri
dan menyebabkan tidak sah nya sholat.

 Dua Shalat Ied

Dalam Madzhab imam hanafi dan hanbali, yang menjadi syarat sah
nya shalat idul fitri dan idul adha adalah berjama’ah.

Sedangkan, dalam pandangan mazhab imam syafi’i dan maliki,


Berjama’ah dalam sholat idul fitri dan idul adha adalah hukumnya
sunnah dan tidak menjadi penghalang syarat sah shalat.

b Disunnahkan Berjama’ah
 Shalat Tarawih dan Witir
Para ulama bersepakat bahwa shalat tarawig dan witir boleh
dilakukan sendiri, melainkan lebih baik dilakukan berjama’ah
dan hukumnya sunnah.
 Shalat Khusuf dan Kusuf
Pada zaman nabi kedua sholat ini tidak pernah dilakukan kecuali
dengan berjama’ah, Karena menurut pandangan imam syafi’i
dianjurkan untuk menambahkan khutbah didalamnya yang mana
seperti khutbah idul fitri maupun idul adha.
 Shalat Istisqa’
Para ulama berpendapat bahwa sholat istisqa’ sunnah dilakukan
berjama’ah. yang mana menurut madzhab imam maliki, syafi’i,
dan hanbali juga mengatakan sunnah dilakukan berjama’ah.
c Dibolehkan Berjama’ah

Berikut ini merupakan sholat yang boleh dilakuka berjama’ah tetapi


lebih baik dilakukan sendiri, yaitu:

 Shalat Tahajjud
Menurut madzhab imam hanafi dan syafi’i sholat malam
yang dianjurkan berjama’ah adalah sholat tarawih karena untuk
menghidupkan malam pada saat bulan ramadhan. Selain itu
hukumnya sunnah.
Imam hambali mengatakan sholat tahajjud makruh apabila
dilakukan dengan berjama’ah. Sedangkan imam hanbali
membolehkan berjam’ah dalam sholat tahajjud apabila tidak
terlalu banyak jama’ah.
 Shalat Sunnah Qabliyah dan Ba’diyah
Dua shalat ini merupakan sholat yang mana lebih utama
dilakukan sendiri, melainkan menurut madzhab imam syafi’i
membolehkan apabila ada seseorang yang melakukan sholat
ba’diyah kemudian ada yang ikut dengannya (menjadi makmum)
meskipun niatnya tidak sama itu diperbolehkan.
 Shalat Tahiyyatul Masjid
Pada zaman Rasulullah SAW sholat ini lebih sering
dilakukan sendiri oleh beliau. Sehingga para ulama mengatakan
untuk tidak menganjurkan berjamaah dalam sholat ini.4
3. Pendapat Jumhur Ulama
 Imam Hanafi
Menurut imam hanafi sholat berjamaah hukumnya wajib dan
makruh apabila sholat jamaah gelombang kedua lebih banyak

4
Ahmad Sarwati, Halaman 1 Dari 67 Muka | Daftar Isi, ed. Fatih, Buku, Cet 1 (Jakarta Selatan:
Rumah Fiqih, 2018).
daripada gelombang pertama. Tetapi jika hanya dilakukan oleh dua
orang saja itu dibolehkan.
 Imam Maliki
Menurut imam malik hukum shalat berjamaah adalah sunnah
muakkad. Dan memakruhkan pengulangan shalaat berjaamaah
dalam masjid yang punya imam rawatib tetap.
 Imam Syafi’i
Menurut imam syafi’i sholat berjamaah hukumnya adalah sunnah
muakkad. Menurut pandangan beliau apabila ada dua gelombang
mengenai sholat berjamaah dalam satu masjid yang mana
mempunyai imam rawatib itu hukumnya makruh kecuali apabila
ada orang yang tertinggal dan semuanya telah ikut berjamaah maka
dianjurkan salah satu dari mereka yang ikut jamaah untuk
menemaninya shalat agar mendapat pahala dari berjamaah.
 Imam Hanbali
Imam hanbali mewajibkan shalat berjamaah bahkan
memperbolehkan berjamaah sekaligus dalam satu masjid yang
mana meskipun dalam satu masjid itu akan terjadi beberapa
gelombang sholat berjamaah yang berulang-ulang.
4. Syarat Sah Shalat Berjama’ah

Seperti shalat-shalat yang lainnya, shalat berjamaah pun memiliki


syaratsyarat yang harus dipenuhi agar shalat jamaah tersebut dihukumi
sah. Syaratsyaratnya yaitu:

 Ada Imam
 Ada makmum yang berniat mengikuti imam
 Shalatnya dilakukan didalam satu tempat atau satu majelis
 Shalat makmum sesuai dengn shalat imamnya.5

D. KETENTUAN SHALAT SUNNAH MUAKKAD DAN GHAIRU


MUAKKAD

5
Dzamawy, Keutamaan Sholat Jama’ah, (Jawa Tengah: INTERA), 2021. Hlm 22-23.
Didalam kitab turots istilah sholat sunnah sering dijumpai dengan makna
salat an-nawâfil atau at-tatawwu’. Yang dimaksud dengan an-nawâfil ialah
semua perbuatan yang tidak termasuk dalam fardhu. Disebut an-nawâfil karena
amalan-amalan tersebut menjadi tambahan atas amalan-amalan shalat fardhu.
Sementara tawattu’ merupakan salat yang dianjurkan oleh syariat untuk
dilakukan sebagai tambahan dan penyempurna salat fardu jika memang ada salat
yang tidak sempurna. Salat sunah sebagaimana ta’rif dari sunnah itu sendiri
adalah salat yang apabila dilaksanakan mendapat pahala, sedangkan

jika tidak melaksanakan tidak apa-apa. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa orang yang melaksanakan salat sunah akan memperoleh pahala
sedangkan orang yang tidak melaksanakannya tergolong orang kurang
beruntung karena tidak mendapat tambahan pahala dari Allah Swt.

Salat sunah menurut hukumnya terdiri atas dua macam, yaitu:

1. Sholat sunnah muakkad


Sholat sunnah muakkad adalah salat sunah yang dianjurkan dengan
penekanan yang kuat (hampir mendekati wajib), seperti: sholat dua hari
raya yaitu idul fitri dan idul adha, sholat witir, sholat tarawih, sholat
tahajjud, sebagian sholat rowatib, sholat gerhana, sholat istisqo’. Hal ini
sebagaimana yang tertera dalam kitab Fathul Muin Syarh Qurrotil ‘Ain bi
Muhimmatid Din karya Syekh Zainuddin Al-Malibary.
‫َو ُهَو الِذ ْي َيُك ْو ُن ِفْع ُلُه ُم َك ِّم ًال َو ُم َتِّمًم ا ِللَو اِج َباِت الِّدْيِنَّيِة‬
2. Sholat sunnah ghoiru muakkad
Sholat sunnah ghoiru muakkad adalah salat sunah yang dianjurkan tanpa
penekanan yang kuat, seperti: Sebagian sholat sunnah rowatib, sholat
dhuha, sholat taubah, sholat tasbih, sholat sesudah wudhu’, sholat sunnah
hajat. Dalam kitab Fathul Muin Syarh Qurrotil ‘Ain bi Muhimmatid Din
hal ini juga telah dijelaskan oleh Syekh Zainuddin Al-Malibary.

‫َو َم ْنُد ْو ٌب َغ ْيُر ُم َؤ َّك ٍد ُهَو اّلِذ ْي َلْم ُيَو اِظ ْب َع َلْيِه الَّنِبُّي َو ِإَّنَم ا ِفْع ُلُه ِفي َبْع ِض اَألْح َياِن‬
‫ َو َص ْو ُم َيْو ِم‬، ‫ َص اَل ُة َأِلْر َبِع َر َك َع اٍت َفْبَل الِع َش اِء‬:‫ َو َذ ِلَك ِم ْثُل‬، ‫َو َتْر ُك ُه ِفي َبْع ِض اَآلَخ ِر‬
‫اِإل ْثَنْيِن َو الَخ ِم ْيِس ِم ْن ُك ِّل ُأْس ُبْو ٍع َو َغ ْيُر َذ ِلَك‬.
“Sunah yang tidak muakkad adalah amalan yang nabi tidak selalu nabi
laksanakan tiap saat, namun kadang-kadang melaksanakannya, kadang-
kadang juga meninggalkannya. Contohnya shalat qabliyyah isya empat
rakaat, puasa senin Kamis di setiap minggunya dan lain-lain”

Diantara sholat sunnah muakkad dan ghoiru muakkad itu ada yang
memang dainjurkan berjamaah, dianjurkan untuk dilakukan sendiri atau
keduanya. sholat sunnah yang dilakukan secara berjamaah seperti sholat dua hari
raya, idul fitri dan idul adha, sholat istisqo’, dan sholat khusuf, sementara itu
sholat sunnah yang dilakukan secara munfarid antara lain: sholat rowattib, sholat
istiskhoro, dan sholat takhiyatul masjid. Sedangkan sholat sunnah yang bisa
dilakukan untuk berjamaah maupun munfarid seperti: sholat duha, sholat witir,
sholat tahajjud, sholat tasbih, serta sholat tarawih.
Sementara jika dilihat secara pelaksanaan dan waktu pengerjaanya sholat
sunnah adalah sebagai berikut:
1. Sholat Tahajjud
Sholat tahajjud merupakan sholat sunnah muakkad yang
dilaksanakan Ketika malam hari. Waktu malam paling utama dalam
pelaksanaan shoalat tahajjud adalah sepertiga malam terakhir, waktu
inilah yang sering digunakan oleh para salafus sholihin dalam mencari
fadhilah dan keutamaan-keutamaan. Sholat tahajjud sendiri di sangat
dianjurkan sebagaimana firman Allah swt:
‫َو ِم َن اَّلْيِل َفَتَهَّج ْد ِبٖه َناِفَلًة َّلَۖك َع ٰٓس ى َاْن َّيْبَع َثَك َر ُّبَك َم َقاًم ا َّم ْح ُم ْو ًدا‬
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu
sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu
mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji).
2. Sholat witir
Shalat Witir merupakan shalat sunnah muakkadah menurut
mayoritas ulama. Shalat ini dikerjakan antara setelah shalat Isyâ` hingga
terbit fajar Subuh sebagai penutup shalat malam. Paling sedikit shalat witir
dilakukan satu rakaat, dan paling banyak sebelas rakaat, atau tiga belas
rakaat, dilakukan dua-dua, dan berwitir satu rakat.
Hal ini didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya sebagai berikut:
‫ متفق عليه‬.‫َع ِن الَّنِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ؛ َقاَل اْج َع ُلْو ا آِخَر َص َالِتُك ْم ِبالَّلْيِل ِو ْترًا‬
Dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , beliau berkata: “Jadikanlah akhir
shalat kalian di malam hari dengan Witir”. [Muttafaqun ‘alaihi)
Begitu juga hadits Abu Ayyûb al-Anshâri yang berbunyi:

‫َقاَل َر ُسوُل َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اْلِو ْتُر َح ٌّق َع َلى ُك ِّل ُم ْس ِلٍم َفَم ْن َأَح َّب َأْن ُيوِتَر ِبَخ ْم ٍس‬
‫َفْلَيْفَع ْل َو َم ْن َأَح َّب َأْن ُيوِتَر ِبَثاَل ٍث َفْلَيْفَع ْل َو َم ْن َأَح َّب َأْن ُيوِتَر ِبَو اِح َدٍة َفْلَيْفَع ْل‬
Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam bersabda: “Shalat Witir wajib
bagi setiap muslim. Barang siapa yang ingin berwitir dengan lima rakaat,
maka kerjakanlah; yang ingin berwitir tiga rakaat, maka kerjkanlah; dan
yang ingin berwitir satu rakaat, maka kerjakanlah!”
3. Sholat tarawih
Syekh Taqiyuddin al-Hishni dalam karyanya yaitu Kifayatul
Akhyar menegaskan bahwa kesunnahan shalat tarawih merupakan
kesepakatan seluruh ulama dari berbagai madzhab. Terdapat beberapa
hadits yang menjelaskan tentang keutamaan tarawih. Di antaranya hadits
Nabi riwayat Imam al-Bukhari, Muslim dan lainnya:
‫َم ْن َقاَم َر َم َض اَن إيَم اًنا َو اْح ِتَس اًبا ُغ ِفَر َلُه َم ا َتَقَّد َم ِم ْن َذْنِبِه‬
“Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan
ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau” (HR al-Bukhari,
Muslim, dan lainnya).
Ulama sepakat bahwa redaksi “qâma ramadlâna” di dalam hadits
tersebut diarahkan pada shalat tarawih.

E. KETENTUAN MAKMUM MASBUQ

Sholat berjamaah merupakah sholat yang paling utama karena memiliki


fadhilah yang lebih dari pada sholat munfarid. Dalam sholat berjamaah terdapat
banyak ketentuan dan syarat, salah satu syarat Mutlaq bisa dikatakan sholat
berjamaah adalah adanya Imam dan makmum. Dalam haliahnya menurut
pandangan para fukoha(ahli fiqih) ada beberapa istilah terkait makmum yang
perlu dipahami, diantaranya adalah makmum muwaffiq dan makmum masbuq.
Istilah makmum masbuq sendiri pasti telah banyak kita dengar, mengingat dalam
praktek sholat berjamaah tidak semua makmum bisa mengikuti takbirotul ihram
dari awal, adal alasan lain atau udzur yang membuat seorang makmum hanya
mendapati rokaat dalam sholat tanpa mengikuti imam dari awal.

Sebelum kita membahas makmum masbuq lebih jauh, alangkah lebih


baiknya kita mengetahui pengertian dari maskmum mabuq itu, mengingat dalam
prakteknya makmum masbuq adalah keadaan dimana seorang itu terlambat
dalam mengikuti sholat berjamaah. Kata ‘masbuq’ memiliki arti tertinggal atau
terlewatkan. Merujuk pada pengertian tersebut dapat dipahami bahwa makmum
masbuq adalah orang yang ketinggalan imam dalam sebagian raka'at shalat atau
seluruhnya atau mendapati imam setelah satu raka'at atau lebih. Inilah yang
dimaksud masbuq dalam istilah para ulama ahli fiqih. Dalam rangka
mendapatkan fadhilah sholat jamaah, ini bisa didapat dengan cara makmum
mengikuti imam dalam sholatnya meskipun seorang makmum hanya mendapati
duduk terakhir sebelum salam, hal ini berdasarkan hadits nabi:

‫ ِاَذ ا َسِم ْع ُتْم ااِل َقاَم َة َفاْم ُش ْو ا ِاَلى الَّص اَل ِة‬: ‫َع ْن َاِبْي ُهَر ْيَر َة َع ِن الَّنِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬
156 :1 ‫ البخاري‬.‫ َفَم ا َاْد َر ْك ُتْم َفَص ُّلْو ا َو َم ا َفاَتُك ْم َفَأِّتُّم ْو ا‬,‫َو َع َلْيُك ْم ِبالَّس ِكْيَنِة َو الَو َقاِر َو اَل ُتْس ِر ُع ْو ا‬

“Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda; Jika kalian mendengar iqamat
dikumandangkan, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah kalian berjalan
dengan tenang berwibawa dan jangan tergesa-gesa. Apa yang kalian dapatkan
dari shalat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah.”
(HR. al-Bukhari)

Mengenai kategori seorang dikatakan makmum masbuq dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat:

1. Tertinggal Takbirotul Ihram


Seseorang dikatakan masbuk jika terlambat dari bacaan atau gerakan
sholat setelah takbiratul ihram. Hal ini pernah dijelaskan imam Nawawi
dalam kitab Minhaj atThalibin di atas. Bahwa masbuk yang dimaksud imam
Nawawi adalah mereka yang telat dari takbiratul ihram. Beliau mengatakan,
Yang dimaksud masbuk disini adalah makmum yang tidak mendapati
takbiratul ihramnya imam.
2. Tak sempat menyempurnakan Al Fatihah
Makmum yang masih sempat membaca Al Fatihah meski hanya
beberapa ayat saja juga bisa disebut sebagai masbuk. Al Imam An Nawawi
mengatakan para ulama syafi’iyyah mengatakan jika ada masbuk yang
hadir berjamaah dan mendapati imam sedang membaca surat, dan ia
khawatir imam akan segera rukuk sebelum ia selesai membaca Al Fatihah,
maka sebaiknya dia segera langsung membaca Al Fatihah tanpa membaca
iftitah dan ta’awudz terlebih dahulu.
3. Sempat mendapati rukuk imam
Makmum masbuk adalah mereka yang masih sempat mendapati
rukuk imam. Meski tidak ada kewajiban menyempurnakan raka’at atau
tidak dianggap tertinggal raka’at, akan tetapi dalam istilah para ulama,
mereka tetap disebut sebagai masbuk. Mengutip dari Imam As Syafi’i,
Imam An Nawawi menuliskan, “Jika makmum masbuk mendapati imam
dalam kondisi rukuk”.
Imam Syafi’i dan para ulama suafi’iyyah mengatakan jika masbuk
saat imam sudah dalam kondisi rukuk, dan dia kemudian takbiratul ihram
dalam kondisi berdiri dan langsung ikut rukuk imam, maka jika dia benar-
benar telah sampai pada batasan rukuk minimal, yaitu bertemunya dua
telapak tangan pada dua lututnya, dan pada saat yang sama imam juga
masih belum bangun (dalam kondisi rukuk) dalam batasnya yang minimal,
maka masbuk ini telah mendapati satu rakaat dan dihitung untuknya.
4. Tertinggal rukuk bersama Imam
Kategori makmum masbuq yang selanjutnya adalah mereka yang
tidak mendapati rukuk bersama imam atau mereka mendapati imam telah
bangkit dari rukuk maupun imam sedang sujud, dalam kondisi ini
makmum masbuq harus menyempurnakan sholatnya diakhir tanpa
mengikuti imam salam. Dan pendapat iniliah yang banyak dipilih oleh
para ulama, ini merujuk pada sebuah hadits nabi:
‫ َم ْن َاْد َر َك َر ْك َع ًة ِم َن الَّص َالِة‬: ‫َع ْن َاِبْي ُهَر ْيَر َة َاَّن َر ُسْو َل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬
‫ َفَقْد َاْد َر َك َها َقْبَل َأْن ُيِقْيَم اِأل َم اُم ُص ْلَبُه‬.
“Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda; Siapa yang mendapati ruku'
shalat maka ia mendapati shalat sebelum imam meluruskan tulang
punggungnya."

Dalam kondisi tertinggal satu raka'at dari imam, maka makmum


masbuq hendaknya menyempurnakannya setelah imam salam dan tidak
menjahrkan bacaannya walaupun dalam shalat jahriyah, karena itu adalah
akhir shalatnya. Apabila tertinggal dari imam sebanyak dua raka'at, maka
dia menunaikannya setelah imam salam. Apabila shalatnya empat raka'at
maka dua raka'at tersisa dilakukan sesuai dengan tata cara shalat pada
raka'at ketiga dan keempat tanpa mengeraskan bacaan. Apabila pada shalat
tiga raka'at seperti shalat Magrib disunnahkan mengeraskan bacaan al-
Fatihah dan surat di raka'at yang dilakukan setelah imam salam, karena itu
dianggap raka'at yang kedua bagi masbuq tersebut dan duduk tahiyat awal.
Kemudian shalat untuk raka'at ketiga seperti biasanya dan salam.
Sementara itu terkait hukum bermakmum terhadap makmum masbuq,
dalam hal ini ulama fikh berbeda pendapat, dalam hal ini ada dua pendapat
berbeda:
1) Tidak boleh bermakmum kepada orang yang masbuq dan shalatnya
tidak sah. Inilah pendapat mazhab Hanafiyah dan Malikiyah. 6
Malikiyah memberikan perincian, yaitu tidak sah, apabila
makmum yang dijadikan imam itu masbuqnya mendapatkan satu
raka'at atau lebih bersama imam. Apabila mendapatkan kurang dari
satu raka'at, maka shalatnya sah. Dasar pendapat ini adalah hadits
nabi:
‫ِاَّنَم ا ُج ِع َل اِأل َم اُم ِلُيْؤ َتَّم ِبِه َفاَل َتْخ َتِلُفْو ا َع َلْيِه‬
Imam dijadikan untuk diikuti maka jangan kalian menyelisihinya
(Muttafaqun 'alaihi).

6
Asy-Syarhu al-Kabir ad-Dardiri, 1/327 dan Mawahib al-Jalil 4/489.
Makmum mengikuti imam, bukan diikuti. Seandainya makmum
menjadi imam atau dijadikan imam, maka apa yang disebutkan
dalam hadits di atas tidak terwujudkan. Karena Nabi menjadikan
satu shalat antara makmum dan imam, sehingga makmum tidak
bisa menjadi imam dan makmum sekaligus dalam satu waktu.
2) Boleh bermakmum kepada orang yang masbuq dan sah shalatnya.
Inilah satu pendapat dalam madzhab asy-Syafi'iyah 7 dan pendapat
yang paling sah dalam madzhab hanabilah serta dirajihkan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.8
Hal ini disandarkan juga pada hadits nabi:

‫ِنْم ُت ِع ْنَد َم ْيُم ْو َنَة َو الَّنِبُّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِع ْنَدَها ِتْلَك اَّللْيَلُة َفَتَو َّض َأ ُثَّم َقاَم‬
‫ ُيَص ِّلي َفُقْم ُت َع َلى َيَس اِر ِه َفَأَخ َذ ِنْي َفَجَع َلِنْي َع ْن َيِم ْيِنِه‬.
Aku tidur dirumah Maimunah dan Nabi sedang berada
bersamanya malam tersebut, lalu Beliau berwudhu kemudian
bangun shalat. Kemudian aku berdiri disebelah kiri Beliau namun
Beliau menarikku dan menjadikan ku di sebelah kanan Beliau
(Muttafaqun 'alaihi).
Hadits itu berisi dalil tentang orang yang shalat sendirian
itu sah bila berubah statusnya menjadi imam. Ini sama dengan
orang yang masbuq ketika menyempurnakan kekurangan
shalatnya. Ketika itu ia berada pada hukum orang yang shalat
sendirian, sehingga kalau dijadikan imam, maka keimamannya sah.

Setelah melihat dalil-dalil yang mendasari pendapat-pendapat di atas,


didapatkan dasar pendapat pertama adalah keterkaitan shalat masbuq dengan
shalat imamnya dan makmum tidak bisa jadi imam. Padahal jelas bahwa
makmum setelah imam selesai dihukumi sebagai orang yang shalat sendirian.
Dengan demikian maka pendapat kedua yang membolehkan lebih kuat.

F. KETENTUAN SUJUD SAHWI

7
Tuhfatul Muhtaj al-Haitsami 8/361 dan Nihayatul Muhtaj 2/233.
8
Al-Mubdi', 1/424 dan Majmu' al-Fatawa 23/382.
Sujud sahwi adalah Gerakan sujud yang dilakukan sebab adanya
penambahan atau pengurangan, atau keragu-raguan dalam hal penambahan
atau pengurangan yang dilakukan dalam shalat. Seseorang yang tidak sengaja
melakukan perbuatan tambahan dalam shalat karena lupa (seperti berdiri atau
rukuk atau sujud atau duduk meskipun hanya sebentar) ia harus melakukan
sujud sahwi. Atau apabila ia melakukan tambahan berupa bacaan karena lupa
(seperti membaca suatu bacaan yang tidak sesuai atau ia salam tidak pada
tempatnya) makai a juga harus melakukan sujud sahwi.

1. Dalil Tentang Waktu Melaksanakan Sujud Sahwi


Adapun dalil tentang sujud sahwi yang dilakukan sebelum salam,
ialah;
‫ِّلَم‬ ‫َل َأْن ُيَس‬ ‫اِلٌس َقْب‬ ‫َو َج‬ ‫ْج َدٍة َو ُه‬ ‫ِّل َس‬ ‫َر ِفي ُك‬ ‫ْج َدَتْي ِن َفَك َّب‬ ‫َج َد َس‬ ‫اَل َتُه َس‬ ‫ا َأَتَّم َص‬ ‫َفَلَّم‬

Artinya:
“Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali. Ketika
itu beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau
lakukan sujud sahwi ini sebelum salam”. (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim
no. 570).9
Jadi hadist ini menunjukkan bahwa sujud sahwi dilakukan sebelum salam,
sedangkan hadist lain juga menyebutkan bahwa sujud sahwi dilakukan setelah
salam. Yakni yang artinya sebagai berikut;
“Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah rakaat yang kurang
tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan
dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi”. (HR. Muslim).10

2. Sebab-Sebab yang Menuntut Dilaksanakannya Sujud Sahwi


 Salam sebelum selesai shalat
 Menambah jumlah rakaat
 Ketika lupa mengerjakan tasyahud pertama atau lupa mengerjakan
salah satu sunnah shalat

9
HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570
10
HR. Muslim (No 574)
 Melakukan sujud sahwi ketika ada keraguan bacaan, jumlah rakaat,
atau gerakan dalam shalat

3. Cara Mengerjakan Sujud Sahwi

Cara mengerjakan sujud sahwi yaitu setelah bacaan tahiyatul akhir


sebelum salam sujud dua kali dengan didahului takbir, sesudah itu salam.
Abu Sa’id Al-Khaudriy mengemukakan Rasulullah SAW. bersabda yang
artinya;

Diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata: Rasulullah


bersabda: “Jika seseorang di antara kalian ragu dalam shalatnya, dia tidak
tahu berapa rakaat dia shalat, apakah tiga atau empat rakaat, maka
hilangkanlah keraguan itu dan tetapkan hitungan rakaat yang diyakini,
kemudian sujud dua kali sebelum salam. Jika dia yakin shalat 5 rakaat
maka genapkan shalatnya. Jika dia shalat sempurna empat rakaat maka dua
sujud sahwi itu sebagai penghinaan terhadap syetan”. (HR. Muslim).11

Bacaan dalam sujud sahwi:

‫ُسْب َح اَن َم ْن اَل َي َن اُم َو اَل َي ْس ُهو‬

Artinya: “Maha suci Allah yang tidak tidur dan tidak lupa”.12

Bacaan sujud sahwi itulah yang sampai saat ini sering digunakan
meskipun beberapa ulama mengatakan bahwa bacaan tersebut tidak
berdasarkan dari dalil. Ibnu Hajar mengatakan bahwa “Aku telah
mendengar sebagian ulama yang menceritakan tentang dianjurkannya
bacaan Subhana man laa yanaamu wa laa yashuu ketika sujud sahwi
(pada kedua sujudnya). Maka aku katakana. Aku tidak mendapat asalnya
sama sekali”.13

4. Persamaan Pendapat Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki


Tentang Sujud Sahwi
11
Imam Al-Mundziri, Op.cit.,hal 144
12
Syamsul Rijal Hamid Buku Pintar Agama Islam (Jakarta: Cahaya Islam, 2005), hlm. 341
13
Imam Pamungkas, dan Maman Surahman, Fiqh 4 Mazhab (Jakarta: Al-Makmur, 2015), hlm. 138
Imam Hanafi dan Imam Maliki berpendepat sama bahwa bila
seseorang ragu (jumlah rakaat) dalam shalatnya, maka yang dipilih
adalah yang paling diyakini jumlahnya, yakni yang paling sedikit
jumlah rakaatnya. Contohnya bila ada seseorang yang ragu apakah
sudah shalat dua rakaat atau sudah tiga rakaat, maka yang dipilih
adalah yang paling sedikit rakaatnya, yaitu dua rakaat. Kemudian
melakukan sujud sahwi dengan dua kal sujud yang dilakukan di akhir
shalat setelah menyempernukan shalatnya.
Dan empat Imam madzhab juga telah sepakat bahwa sujud sahwi
dalam shalat telah disyariatkan. Ketika seseorang lupa dengan salah
satu perbuatan dalam shalatnya, makai a harus menggantiakan yang
terlupa itu dengan sujud sahwi.14

5. Perbedaan Pendapat Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki


Tentang Sujud Sahwi

Menurut madzhab Imam Hanafi, sujud sahwi ialah sujud yang


dilakukan seseorang sebanyak dua kali sujud karena lupa yang
menyebabkan seseorang itu meninggalkan salah satu rukun atau kewajiban
dalam shalat. Bila seseorang tersebut tidak melakukan sujud sahwi, makai
a telah meninggalkan salah satu kewajiban dalam shalat, walaupun
shalatnya tetap dianggap sah.

Tata cara pelaksanaannya ialah, sujud sahwi dilakukan setelah


tasyahud dan satu kali ucapan salam dengan menoleh kearah kanan,
kemudian setelah selesai dari kedua sujudnya ia melakukan tasyahud
kembali dan mengucapkan salam. Karena bila ia tidak mengucapkan salam
setelahnya, maka dianggap telah meninggalkan salah satu kewajibannya
walaupun shalatnya dianggap sah. Ucapan salam yang pertama tidak
cukup untuk mewakili keluarnya seseorang dari shalatnya, sebagaimana
tasyahud setelah sujud sahwi juga telah mengembalikannya dalam
rangkaian shalat tersebut.

14
yaikh Al-„Allamah Muhammad, Op.cit., hal 68
Sedangkan mengenai shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. dan
doa yang biasanya dilakukan setelah membaca tasyahud, keduanya
dilakukan pada tasyahud sebelum pelaksanaan sujud sahwi, bukan pada
tasyahud setelah sujud sahwi. Namun beberapa ulama madzhab ini juga
yang berpendapat bahwa shalawat dan doa juga dilakukan setelah
melakukan sujud sahwi untuk sekedar berhatih-hati sehingga tidak
meninggalkan sesuatu yang diperintahkan.

Menurut madzhab Imam Maliki, sujud sahwi adalah dua sujud yang
diikuti dengan tasyahud setelahnya tanpa shalawat dan doa. Apabila sujud
ini dilakukan setelah mengucapkan salam maka dia harus bertasyahud
kembali dan mengulang ucapan salamnya, namun jika pun ia tidak
mengulangnya maka shalatnya tetap dianggap sah. Sedikit berbeda dengan
pendapat Imam Asy-Syafi’I yang mengatakan bahwa sujud sahwi
dilakukan sebelum salam, maka ucapan salam setelah dua sujud adalah
keharusan. Sedangkan dari sudut madzhab Imam Hanafi dikatakan bahwa
mengucapkan salam setelah sujud sahwi itu wajib, walaupun jika tidak
dilakukan maka shalatnya tetap sah, meskipun ia termasuk telah
melakukan perbuatan dosa.

Madzhab Maliki juga berpendapat bahwa jika sujud itu dilakukan


sebelum mengucapkan salam, maka sujud tersebut tidak perlu diniatkan,
sebab dengan begitu sujud sahwi masuk dalam rangkaian shalat dan niat
shalat diawal sekali sudah cukup mewakilinya. Sedangkan jika sujud
sahwi dilakukan setelah salam, maka niat menjadi keharusan, sebab sujud
tersebut sudah berada di luar dari rangkaian shalat. Oleh sebab itu, dapat
dikatakan bahwa madzhab Maliki sependapat dengan madzhab Hanafi
yang mengharuskan niat untuk sujud sahwi setelah mengucapkan salam,
dan tentu hal ini berbeda dengan madzhab Asy-Syafi’I yang sama sekali
tidak mengisyaratkan sujud sahwi dilakukan setelah salam.

Menurut madzhab Hanafi, sujud sahwi disebabkan oleh lima hal, yaitu:

a. Menambah atau mengurangi satu atau beberapa rakaat.


b. Lupa duduk terakhir yang menjadi fardhu dan berdiri
c. Lupa duduk pertama yang merupakan kewajiban, bukan fardhu
d. Mendahulukan rukun atas rukun lainnya atau mendahulukan rukun
atas wajib
e. Meninggalkan perkara wajib dalam shalat.

Jadi berdasarkan kesepakatan ulama, diperbolehkan hukumnya sujud


sahwi sebelum atau sesudah salam. Yang menjadi persoalan adalah
manakah diantara keduanya yang lebih utama.15

DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dardiri, Asy-Syarhu al-Kabir. 1/327 dan Mawahib al-Jalil 4/489.

Al-Ghaziy, Syaikh Muhammad bin Qasim. Fathul Qorib Al Mujib

Dzamawy. Keutamaan Sholat Jama’ah, (Jawa Tengah: INTERA), 2021.

Hamid, Syamsul Rijal. Buku Pintar Agama Islam (Jakarta: Cahaya Islam, 2005).

HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570

HR. Muslim (No 574)

Muhammad, Syaikh Al-„Allamah, Fiqih Empat Mazhab (Bandung: Hasyimi,


2013).

Pamungkas, Imam dan Maman Surahman. Fiqh 4 Mazhab (Jakarta: Al-Makmur,


2015).

Sarwati, Ahmad. Fatih, Buku, Cet 1 (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih, 2018).

Yusuf, Ali Anwar, Studi Agama Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2003).

Zain, Nihayatuz. 78 dan Kifayatul Akhyar.

15
Hassan Ayyub, Op.cit., hal 207

Anda mungkin juga menyukai