Dalam islam sholat sebagai bagian dari fan fiqh terdapat macam melaksanakan
sesuai menurut imam yang empat yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Umat Indonesia yang diketahui menggunakan madzab Syafi’i dalam
melaksanakan ibadah pastinya melaksanakanya ketentuan – ketentuanya dengan
tidak mencampuri berbagai madzab yang tidak ada alasan untuk melaksanakanya.
Madzab Syafi’i di gunakan sampai sekarang karena dari dahulu ulama – ulama
nusantara menggunakanya. Terutama perihal sholat bagaimana terlampir di kitab
– kitab turats bagaimana melaksanakan sholat sesuai madzab Syafi’i. Namun,
dalam prakteknya terkadang muncul permasalahan baru dalam dinamika
pelaksanaan sholat yang membutuhkan keabsahan yang absolut bagaimana
mengatasinya sesuai panduan istinbathul hukmi menurut imam Syafi’i. Itu pasti
terjadi mengingat fiqh sebagai rumpun hukum islam bersifat dinamis yang
konteksnya mengikuti konteks zaman. Ambil contoh bagaiman masa dulu dalam
penentuan waktu sholat masih terpusat matahari sedangkan masa sekarang
menggunakan jam yang mana efektif dengan perhitungan falaknya.
Oleh karena itu akan diuraikan dan dijabarkan bagaimana tata cara sholat lima
waktu sesuai madzab imam Syaf’i dengan kasus permasalahan yang sering terjadi
dalam sholat. Penting diketahui dan dipahami agar dalam pelaksanaan sholat tidak
terjadinya salah kaprah.
Syarat adalah hal yang harus dilakukan dan dipenuhi oleh orang mukallaf
( terebani syariat agama ) untuk melaksanakn kewajiban shalat. Karena syarat
wajib adalah langkah pertama sebelum langkah menunaikan ibadah sholat lima
waktu. Karena bila tidak terpenuhi dalam pelaksanan sholat maka sholatnya tidak
sah. Berikut syarat wajib sholat yang harus terpenuhi yaitu ;
1. Beragama islam
2. Berakal
Orang sholat harus berakal karena disebut mukalaf ialah yang sudah pubertas
dengan mengetahui kewajiban syariat harus di lakukan. Tidak wajib sholat
orang sedang sakit ayan atau orang gila. Tapi ketika sembuh dan sadar wajib
mengqodo’ nya. Seperti ada maqolah “ la sholata liman la aqla lahu (tidak
wajib sholat bagi siapa tak berakal ).
3. Baligh
Adalah waktu harus dipenuhi bagi laiki – laki ataupun perempuan. Dimana
kadar waktu baligh keduanya tidak bersaman. Ketika seseorang baligh maka
beban syariat tidak ditangguhkan kepada orang tuanya, melainkan kepadanya.
Sebagaimana hadist nabi yaitu :
Artinya: Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, nahwa
Rasulullah SAW bersabda, Perintahkan Anak- anak kalian mengerjakan shalat
jika mereka mencapai usia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak
mengerjakan pada usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.
(HR. Abu Daud dan Ahmad).
Syarat sah sholat adalah hal harus terpenuhi oleh orang mukallaf sebelum
melaksanakan sholat. Percuma seseorang beragama islam dan mengerjakan
rukun sholat dengan semestinya namun tidak memenuhi syarat – syarat sahnya
sholat maka sholanya dipastikan tidak sah. Oleh sebab itu akan dijelaskan
syarat-syarat sahnya sholat.
Seseorang harus tahu kapan waktuya sholat lima itu, karena bila belum
saatnya waktu sholat maka sholatnya tidak sah atas yang dikerjakan.
Penetapan waktu sudah ditentukan dimana para ulama telah berijma’ bahwa
sholat yang lima itu memiliki waktu- waktu yang khusus dan terbatas.1
Keadaan dimana seseorang bersih dan tak terkena hadast kecil seperti
kotoran dari dua jalan, sedangkan hadast besar ialah suci dengan
melaksanakan mandi besar setelah junub, haid, nifas dan bersetubuh.
Sebagaimana hadist nabi sebagai penjelasan yaitu :
1
Fathul Qorib Al Mujib, 1/16
Artinya : Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda. Allah
idak menerima sholat salah seorang dari kalian, apabila berhadast. (HR. Abu
Daud).
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a, beliau berkata, “Rasulullah SAW telah
bersabda, “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian, apabila
ia berhadats (tidak mempunyai wudhu) sampai dia berwudhu”. (HR. Abu
Daud).
3. Menutup Aurat
4. Menghadap Kiblat
Rukun sholat adalah hal mesti dilakukan ketika melaksanakan shlat. Dalam
madzab Syafi’i rukun sholat berjumlah 13 atau 18 sesuai hitungan dengan
tuma’ninahnya. Yang tahap pelaksanaanya harus berurutan sesuai urutan
bilanganya. Berikut urutan rukun rukun – sholat harus dikerjakan secara urut
sesuai madzab fiqh Syafi’i yaitu :
1. Niat
Adalah hal mesti dilakukan dengan dibarengin pekerjaanya, tempatnya di
hati dan harus disengaja dan berbarengan pekerjaan. Kalau tidak maka bukan
disebut niat, melainkan azam ( Niat tanpa melakukan bersama ).
2. Berdiri bagi yang mampu (kalau tidak bisa bisa duduk , bahkan bisa
berbaring)
3. Takbiratul Ihram
13. Berurutan.
d. Permasalahan Fiqh
Setelah mengetahui bagaimana tata cara sholat sesuai madzb fiqh syafi’i
yang berisikan syarat wajib, sah dan rukunya. Maka sepatutnya mengkaji
permasalahan – permasalahan terjadi di kehidupan sehari – hari orang muslim
dalam melaksanakan sholatnya. Disini akan dipaparkan bagaimana kasus itu
ada dan terjadi dan bagaimana jawaban dari tokoh – tokoh fiqh menjawabnya
sesuai ketentuan madzab fiqih tersebut.
) فال بجوز إسقط حرف من هذا وال إبدال حرف منه بغيره (حاشية البيجوري
Tidak boleh menggugurkan huruf dari lafads( salam tersebut) dan tidak pula
mengganti hurufnya dengan merubahnya2. Juga sebagaimana keterangan
dalam kitab kifayatul akhyar yaitu :
ألن األحديث قد: قال النووي:ثم أقله السالم عليكم فال يجزي سال م عليكم وال سال مي وال سالم عليهم
داuuك متعمuuيأ من ذلuuال شuuصحت بأنه صلى هللا عليه وسلم كان يقول السالم عليكم ينقل عنه خال فه فلو ق
)بطلت صالته (كفاية األخيار في حل غا ية اإلختصار
2
Hasyiyah Al Bayjuri 1/235
sholatnya sah, dikarenakan hukum salam pertama adalah wajib, sedangkan
salam kedua tidak wajib. Namun, sebagian ulama menyatakan bahwa sholat
dengan salam pertama tidak sah karena salam kedua adalah wajib juga seperti
salam pertama. Intinya ijma ulama cukup salam pertama dan telah
dilaksanakan rukun – rukunya tersebut. Sebagaimana definisi sholat itu sendiri
yaitu :
)و شرعا كما قال الرفعي أقوال وأ فعال مفتتحة بالتكبير مختتمة بالتسليم (حاشية البيحور
3. Tidak Tuma’ninah
وسuجود ان والجلuدال و السuu واإلعت،وعuuتي الركuة الuuان األربعuuل)من األركuuةفي كuu (طمأنين: و تا سعها
وضuu و من نه، جودuوع وا لسuuوي من الركuuبينهما ولو في نقل وهي سكون األعضاء بعد حركتها من ه
)إلى اال عتدال والجلوس بحيث يستقر كل عضو محله بمقدارالتلفظ بسبحان هللا (نهاية الزين
3
Nihayatuz zain, 78 dan Kifayatul Akhyar, 186
mata berkali-kali. Penjelasan ini di temukan pada kitab fathul mu’in dan fathul
qorib yaitu :
وإال فكل مرة، إن اتصل أحد هما باآلخر: أي، وإمرار اليد وردها على التوالى بالحك مرة واحدة
) (فتح المعين.على ما استظهر ه شيهنا
) المتولى كثالث خطواة عمد أو سهوا (فتح القريب المجيب، العمل الكثير
a. Dhuhur
َاِقِم الَّص ٰل وَة ِلُد ُلْو ِك الَّش ْم ِس ِاٰل ى َغ َس ِق اَّلْيِل َو ُقْر ٰا َن اْلَفْج ِۗر ِاَّن ُقْر ٰا َن اْلَفْج ِر َك اَن
َم ْش ُهْو ًدا
Artinya : Dari Anas bin Malik RA. Bahwa Nabi SAW bersabda “ Bila dingin
menyengat, menyegerakan sholat. Tapi bila panas menyengat, beliau
mengunduran shalat. (HR. Bukhari ).
2. Ashar
Sholat ashar adalah sholat wajib dikerjakan setelah shola dhuhur, dinamakan
sholat ashar karena dekatnya waku kepada waktu maghrib. Awal waktunya ketika
panjang bayangan sama dengan bendanya. Sedangkan akhirnya ketika matahari
tenggelam di ufuk barat, sebagaimana hadist nabi :
Artinya : Dan orang – rang yang mendapatkan satu rakaat sholat ashar sebelum
matahari terbenam, maka ia termasuk memperoleh sholat ashar. (HR. Muttafaq
‘alaih).
3. Maghrib
Dinamakan sholat maghrib karena waktunya dimulai dari terbenamnya
matahari, dan itulah awal waktu yang tepat dikerjakan. Sedangkan berakhirnya
waktu maghrib terdapat pendapat berikut :
a. Berakhir menurut jumhur ulama ketika hilangnya mega merah yang disebut
syafaq. Dr. Wahbah Zuhaili menyatakan yang disebut jumhur ulama adalah
madzab hanafi, qoul qodim Syafi’i dan madzab Hambali. Dalilnya adalah :
Artinya : Dari Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, Waktu
magrib sampai hilangnya syafaq. (HR. Muslim )
b. Menurut madzab Maliki dan Qoul Jadid madzab Syafi’i berakhir cepat lebih
awal , sekedar berwudhu, ,menutup aurat , adzan, iqomah dan sholat lima waktu
( sholat ba’diyah magrib ).
Magrib termasuk dari perincian keutamaan waktu selain shubuh dan dhuhur
yang mempunyai tujuh waktu yaitu :
1. Waktu Fadhilah
2. Waktu Ikhtiyar
5. Waktu hurmah
6. Waktu dhorurot
7. Waktu udzur
4. Isya
Dan waktu Isya’ kadang-kadang, bila beliau SAW melihat mereka (para
shahabat) telah berkumpul, maka dipercepat. Namun bila beliau melihat mereka
berlambat-lambat, maka beliau undurkan. (HR. Bukhari Muslim
Dinamakan sholat shubuh karena awalnya waktu sholat dengan terbitnya fajar
shadiq ( cahaya putih menyebar di ufuk timur ). Disebut sholat fajr di jazirah
Arab yang esensinya sama dengan sholat shubuh di Indonesia. Perincian waktu
sama dengan sholat Ashar yang berjumlah lima yaitu :
“Shalat jama’ah itu lebih baik dari sendirian dengan dua puluh tujuh
derajat”
Di dalam sholat ada yang mewajibkan untuk berjamaah, dan ada pula yang
sebaiknya dilakukan sendiri. Para ulama membagi beberapa hukum dalam
shalat jama’ah :
a Dianjurkan Berjamaah
Di antara syarat-syarat shalat yang sangat dianjurkan berjamaah adalah
sholat Jum'at, sholat Idul Fitri dan Idul Adha.
Shalat Jum’at
Dalam Madzhab imam hanafi dan hanbali, yang menjadi syarat sah
nya shalat idul fitri dan idul adha adalah berjama’ah.
b Disunnahkan Berjama’ah
Shalat Tarawih dan Witir
Para ulama bersepakat bahwa shalat tarawig dan witir boleh
dilakukan sendiri, melainkan lebih baik dilakukan berjama’ah
dan hukumnya sunnah.
Shalat Khusuf dan Kusuf
Pada zaman nabi kedua sholat ini tidak pernah dilakukan kecuali
dengan berjama’ah, Karena menurut pandangan imam syafi’i
dianjurkan untuk menambahkan khutbah didalamnya yang mana
seperti khutbah idul fitri maupun idul adha.
Shalat Istisqa’
Para ulama berpendapat bahwa sholat istisqa’ sunnah dilakukan
berjama’ah. yang mana menurut madzhab imam maliki, syafi’i,
dan hanbali juga mengatakan sunnah dilakukan berjama’ah.
c Dibolehkan Berjama’ah
Shalat Tahajjud
Menurut madzhab imam hanafi dan syafi’i sholat malam
yang dianjurkan berjama’ah adalah sholat tarawih karena untuk
menghidupkan malam pada saat bulan ramadhan. Selain itu
hukumnya sunnah.
Imam hambali mengatakan sholat tahajjud makruh apabila
dilakukan dengan berjama’ah. Sedangkan imam hanbali
membolehkan berjam’ah dalam sholat tahajjud apabila tidak
terlalu banyak jama’ah.
Shalat Sunnah Qabliyah dan Ba’diyah
Dua shalat ini merupakan sholat yang mana lebih utama
dilakukan sendiri, melainkan menurut madzhab imam syafi’i
membolehkan apabila ada seseorang yang melakukan sholat
ba’diyah kemudian ada yang ikut dengannya (menjadi makmum)
meskipun niatnya tidak sama itu diperbolehkan.
Shalat Tahiyyatul Masjid
Pada zaman Rasulullah SAW sholat ini lebih sering
dilakukan sendiri oleh beliau. Sehingga para ulama mengatakan
untuk tidak menganjurkan berjamaah dalam sholat ini.4
3. Pendapat Jumhur Ulama
Imam Hanafi
Menurut imam hanafi sholat berjamaah hukumnya wajib dan
makruh apabila sholat jamaah gelombang kedua lebih banyak
4
Ahmad Sarwati, Halaman 1 Dari 67 Muka | Daftar Isi, ed. Fatih, Buku, Cet 1 (Jakarta Selatan:
Rumah Fiqih, 2018).
daripada gelombang pertama. Tetapi jika hanya dilakukan oleh dua
orang saja itu dibolehkan.
Imam Maliki
Menurut imam malik hukum shalat berjamaah adalah sunnah
muakkad. Dan memakruhkan pengulangan shalaat berjaamaah
dalam masjid yang punya imam rawatib tetap.
Imam Syafi’i
Menurut imam syafi’i sholat berjamaah hukumnya adalah sunnah
muakkad. Menurut pandangan beliau apabila ada dua gelombang
mengenai sholat berjamaah dalam satu masjid yang mana
mempunyai imam rawatib itu hukumnya makruh kecuali apabila
ada orang yang tertinggal dan semuanya telah ikut berjamaah maka
dianjurkan salah satu dari mereka yang ikut jamaah untuk
menemaninya shalat agar mendapat pahala dari berjamaah.
Imam Hanbali
Imam hanbali mewajibkan shalat berjamaah bahkan
memperbolehkan berjamaah sekaligus dalam satu masjid yang
mana meskipun dalam satu masjid itu akan terjadi beberapa
gelombang sholat berjamaah yang berulang-ulang.
4. Syarat Sah Shalat Berjama’ah
Ada Imam
Ada makmum yang berniat mengikuti imam
Shalatnya dilakukan didalam satu tempat atau satu majelis
Shalat makmum sesuai dengn shalat imamnya.5
5
Dzamawy, Keutamaan Sholat Jama’ah, (Jawa Tengah: INTERA), 2021. Hlm 22-23.
Didalam kitab turots istilah sholat sunnah sering dijumpai dengan makna
salat an-nawâfil atau at-tatawwu’. Yang dimaksud dengan an-nawâfil ialah
semua perbuatan yang tidak termasuk dalam fardhu. Disebut an-nawâfil karena
amalan-amalan tersebut menjadi tambahan atas amalan-amalan shalat fardhu.
Sementara tawattu’ merupakan salat yang dianjurkan oleh syariat untuk
dilakukan sebagai tambahan dan penyempurna salat fardu jika memang ada salat
yang tidak sempurna. Salat sunah sebagaimana ta’rif dari sunnah itu sendiri
adalah salat yang apabila dilaksanakan mendapat pahala, sedangkan
jika tidak melaksanakan tidak apa-apa. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa orang yang melaksanakan salat sunah akan memperoleh pahala
sedangkan orang yang tidak melaksanakannya tergolong orang kurang
beruntung karena tidak mendapat tambahan pahala dari Allah Swt.
َو َم ْنُد ْو ٌب َغ ْيُر ُم َؤ َّك ٍد ُهَو اّلِذ ْي َلْم ُيَو اِظ ْب َع َلْيِه الَّنِبُّي َو ِإَّنَم ا ِفْع ُلُه ِفي َبْع ِض اَألْح َياِن
َو َص ْو ُم َيْو ِم، َص اَل ُة َأِلْر َبِع َر َك َع اٍت َفْبَل الِع َش اِء: َو َذ ِلَك ِم ْثُل، َو َتْر ُك ُه ِفي َبْع ِض اَآلَخ ِر
اِإل ْثَنْيِن َو الَخ ِم ْيِس ِم ْن ُك ِّل ُأْس ُبْو ٍع َو َغ ْيُر َذ ِلَك.
“Sunah yang tidak muakkad adalah amalan yang nabi tidak selalu nabi
laksanakan tiap saat, namun kadang-kadang melaksanakannya, kadang-
kadang juga meninggalkannya. Contohnya shalat qabliyyah isya empat
rakaat, puasa senin Kamis di setiap minggunya dan lain-lain”
Diantara sholat sunnah muakkad dan ghoiru muakkad itu ada yang
memang dainjurkan berjamaah, dianjurkan untuk dilakukan sendiri atau
keduanya. sholat sunnah yang dilakukan secara berjamaah seperti sholat dua hari
raya, idul fitri dan idul adha, sholat istisqo’, dan sholat khusuf, sementara itu
sholat sunnah yang dilakukan secara munfarid antara lain: sholat rowattib, sholat
istiskhoro, dan sholat takhiyatul masjid. Sedangkan sholat sunnah yang bisa
dilakukan untuk berjamaah maupun munfarid seperti: sholat duha, sholat witir,
sholat tahajjud, sholat tasbih, serta sholat tarawih.
Sementara jika dilihat secara pelaksanaan dan waktu pengerjaanya sholat
sunnah adalah sebagai berikut:
1. Sholat Tahajjud
Sholat tahajjud merupakan sholat sunnah muakkad yang
dilaksanakan Ketika malam hari. Waktu malam paling utama dalam
pelaksanaan shoalat tahajjud adalah sepertiga malam terakhir, waktu
inilah yang sering digunakan oleh para salafus sholihin dalam mencari
fadhilah dan keutamaan-keutamaan. Sholat tahajjud sendiri di sangat
dianjurkan sebagaimana firman Allah swt:
َو ِم َن اَّلْيِل َفَتَهَّج ْد ِبٖه َناِفَلًة َّلَۖك َع ٰٓس ى َاْن َّيْبَع َثَك َر ُّبَك َم َقاًم ا َّم ْح ُم ْو ًدا
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu
sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu
mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji).
2. Sholat witir
Shalat Witir merupakan shalat sunnah muakkadah menurut
mayoritas ulama. Shalat ini dikerjakan antara setelah shalat Isyâ` hingga
terbit fajar Subuh sebagai penutup shalat malam. Paling sedikit shalat witir
dilakukan satu rakaat, dan paling banyak sebelas rakaat, atau tiga belas
rakaat, dilakukan dua-dua, dan berwitir satu rakat.
Hal ini didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya sebagai berikut:
متفق عليه.َع ِن الَّنِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ؛ َقاَل اْج َع ُلْو ا آِخَر َص َالِتُك ْم ِبالَّلْيِل ِو ْترًا
Dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , beliau berkata: “Jadikanlah akhir
shalat kalian di malam hari dengan Witir”. [Muttafaqun ‘alaihi)
Begitu juga hadits Abu Ayyûb al-Anshâri yang berbunyi:
َقاَل َر ُسوُل َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اْلِو ْتُر َح ٌّق َع َلى ُك ِّل ُم ْس ِلٍم َفَم ْن َأَح َّب َأْن ُيوِتَر ِبَخ ْم ٍس
َفْلَيْفَع ْل َو َم ْن َأَح َّب َأْن ُيوِتَر ِبَثاَل ٍث َفْلَيْفَع ْل َو َم ْن َأَح َّب َأْن ُيوِتَر ِبَو اِح َدٍة َفْلَيْفَع ْل
Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam bersabda: “Shalat Witir wajib
bagi setiap muslim. Barang siapa yang ingin berwitir dengan lima rakaat,
maka kerjakanlah; yang ingin berwitir tiga rakaat, maka kerjkanlah; dan
yang ingin berwitir satu rakaat, maka kerjakanlah!”
3. Sholat tarawih
Syekh Taqiyuddin al-Hishni dalam karyanya yaitu Kifayatul
Akhyar menegaskan bahwa kesunnahan shalat tarawih merupakan
kesepakatan seluruh ulama dari berbagai madzhab. Terdapat beberapa
hadits yang menjelaskan tentang keutamaan tarawih. Di antaranya hadits
Nabi riwayat Imam al-Bukhari, Muslim dan lainnya:
َم ْن َقاَم َر َم َض اَن إيَم اًنا َو اْح ِتَس اًبا ُغ ِفَر َلُه َم ا َتَقَّد َم ِم ْن َذْنِبِه
“Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan
ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau” (HR al-Bukhari,
Muslim, dan lainnya).
Ulama sepakat bahwa redaksi “qâma ramadlâna” di dalam hadits
tersebut diarahkan pada shalat tarawih.
ِاَذ ا َسِم ْع ُتْم ااِل َقاَم َة َفاْم ُش ْو ا ِاَلى الَّص اَل ِة: َع ْن َاِبْي ُهَر ْيَر َة َع ِن الَّنِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل
156 :1 البخاري. َفَم ا َاْد َر ْك ُتْم َفَص ُّلْو ا َو َم ا َفاَتُك ْم َفَأِّتُّم ْو ا,َو َع َلْيُك ْم ِبالَّس ِكْيَنِة َو الَو َقاِر َو اَل ُتْس ِر ُع ْو ا
“Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda; Jika kalian mendengar iqamat
dikumandangkan, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah kalian berjalan
dengan tenang berwibawa dan jangan tergesa-gesa. Apa yang kalian dapatkan
dari shalat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah.”
(HR. al-Bukhari)
Mengenai kategori seorang dikatakan makmum masbuq dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat:
6
Asy-Syarhu al-Kabir ad-Dardiri, 1/327 dan Mawahib al-Jalil 4/489.
Makmum mengikuti imam, bukan diikuti. Seandainya makmum
menjadi imam atau dijadikan imam, maka apa yang disebutkan
dalam hadits di atas tidak terwujudkan. Karena Nabi menjadikan
satu shalat antara makmum dan imam, sehingga makmum tidak
bisa menjadi imam dan makmum sekaligus dalam satu waktu.
2) Boleh bermakmum kepada orang yang masbuq dan sah shalatnya.
Inilah satu pendapat dalam madzhab asy-Syafi'iyah 7 dan pendapat
yang paling sah dalam madzhab hanabilah serta dirajihkan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.8
Hal ini disandarkan juga pada hadits nabi:
ِنْم ُت ِع ْنَد َم ْيُم ْو َنَة َو الَّنِبُّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِع ْنَدَها ِتْلَك اَّللْيَلُة َفَتَو َّض َأ ُثَّم َقاَم
ُيَص ِّلي َفُقْم ُت َع َلى َيَس اِر ِه َفَأَخ َذ ِنْي َفَجَع َلِنْي َع ْن َيِم ْيِنِه.
Aku tidur dirumah Maimunah dan Nabi sedang berada
bersamanya malam tersebut, lalu Beliau berwudhu kemudian
bangun shalat. Kemudian aku berdiri disebelah kiri Beliau namun
Beliau menarikku dan menjadikan ku di sebelah kanan Beliau
(Muttafaqun 'alaihi).
Hadits itu berisi dalil tentang orang yang shalat sendirian
itu sah bila berubah statusnya menjadi imam. Ini sama dengan
orang yang masbuq ketika menyempurnakan kekurangan
shalatnya. Ketika itu ia berada pada hukum orang yang shalat
sendirian, sehingga kalau dijadikan imam, maka keimamannya sah.
7
Tuhfatul Muhtaj al-Haitsami 8/361 dan Nihayatul Muhtaj 2/233.
8
Al-Mubdi', 1/424 dan Majmu' al-Fatawa 23/382.
Sujud sahwi adalah Gerakan sujud yang dilakukan sebab adanya
penambahan atau pengurangan, atau keragu-raguan dalam hal penambahan
atau pengurangan yang dilakukan dalam shalat. Seseorang yang tidak sengaja
melakukan perbuatan tambahan dalam shalat karena lupa (seperti berdiri atau
rukuk atau sujud atau duduk meskipun hanya sebentar) ia harus melakukan
sujud sahwi. Atau apabila ia melakukan tambahan berupa bacaan karena lupa
(seperti membaca suatu bacaan yang tidak sesuai atau ia salam tidak pada
tempatnya) makai a juga harus melakukan sujud sahwi.
Artinya:
“Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali. Ketika
itu beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau
lakukan sujud sahwi ini sebelum salam”. (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim
no. 570).9
Jadi hadist ini menunjukkan bahwa sujud sahwi dilakukan sebelum salam,
sedangkan hadist lain juga menyebutkan bahwa sujud sahwi dilakukan setelah
salam. Yakni yang artinya sebagai berikut;
“Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah rakaat yang kurang
tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan
dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi”. (HR. Muslim).10
9
HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570
10
HR. Muslim (No 574)
Melakukan sujud sahwi ketika ada keraguan bacaan, jumlah rakaat,
atau gerakan dalam shalat
Artinya: “Maha suci Allah yang tidak tidur dan tidak lupa”.12
Bacaan sujud sahwi itulah yang sampai saat ini sering digunakan
meskipun beberapa ulama mengatakan bahwa bacaan tersebut tidak
berdasarkan dari dalil. Ibnu Hajar mengatakan bahwa “Aku telah
mendengar sebagian ulama yang menceritakan tentang dianjurkannya
bacaan Subhana man laa yanaamu wa laa yashuu ketika sujud sahwi
(pada kedua sujudnya). Maka aku katakana. Aku tidak mendapat asalnya
sama sekali”.13
14
yaikh Al-„Allamah Muhammad, Op.cit., hal 68
Sedangkan mengenai shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. dan
doa yang biasanya dilakukan setelah membaca tasyahud, keduanya
dilakukan pada tasyahud sebelum pelaksanaan sujud sahwi, bukan pada
tasyahud setelah sujud sahwi. Namun beberapa ulama madzhab ini juga
yang berpendapat bahwa shalawat dan doa juga dilakukan setelah
melakukan sujud sahwi untuk sekedar berhatih-hati sehingga tidak
meninggalkan sesuatu yang diperintahkan.
Menurut madzhab Imam Maliki, sujud sahwi adalah dua sujud yang
diikuti dengan tasyahud setelahnya tanpa shalawat dan doa. Apabila sujud
ini dilakukan setelah mengucapkan salam maka dia harus bertasyahud
kembali dan mengulang ucapan salamnya, namun jika pun ia tidak
mengulangnya maka shalatnya tetap dianggap sah. Sedikit berbeda dengan
pendapat Imam Asy-Syafi’I yang mengatakan bahwa sujud sahwi
dilakukan sebelum salam, maka ucapan salam setelah dua sujud adalah
keharusan. Sedangkan dari sudut madzhab Imam Hanafi dikatakan bahwa
mengucapkan salam setelah sujud sahwi itu wajib, walaupun jika tidak
dilakukan maka shalatnya tetap sah, meskipun ia termasuk telah
melakukan perbuatan dosa.
Menurut madzhab Hanafi, sujud sahwi disebabkan oleh lima hal, yaitu:
DAFTAR PUSTAKA
Hamid, Syamsul Rijal. Buku Pintar Agama Islam (Jakarta: Cahaya Islam, 2005).
Sarwati, Ahmad. Fatih, Buku, Cet 1 (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih, 2018).
Yusuf, Ali Anwar, Studi Agama Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2003).
15
Hassan Ayyub, Op.cit., hal 207