Maksudnya ketika keadaan menyulitkan karena suatu sebab secara syar’i maka hukum ibadah
menjadi dimudahkan (luas) mendapatkan keringanan
Takhfif Tanqis, yaitu keringanan dengan mengurangi. Seperti diperbolehkannya menqashar shalat.
Takhfif Ibdal, yaitu keringanan dengan mengganti. Seperti mengganti wudhu dan mandi dengan
tayammum, berdiri dengan duduk, tidur terlentang dan memberi isyarat dalam shalat dan
mengganti puasa dengan memberi makanan.
Takhfif Taqdim, yaitu keringanan dengan mendahulukan waktu pelaksanaan. Seperti dalam shalat
jama' taqdim, mendahulukan zakat sebelum khaul (satu tahun), mendahulukan zakat fitrah sebelum
akhir Ramadhan.
Takhfif Takhir, yaitu keringanan dengan mengakhirkan waktu pelaksanaan. Seperti dalam shalat
jama' ta’khir, mengakhirkan puasa Ramadhan bagi yang sakit dan orang dalam perjalanan dan
mengakhirkan shalat karena menolong orang yang tenggelam.
Takhfif Tarkhis, yaitu keringanan dengan kemurahan Seperti diperbolehkannya menggunakan khamr
(arak) untuk berobat.
Takhfif Taghyir, yaitu keringanan dengan perubahan. Seperti merubah urutan shalat dalam keadaan
takut (khauf).
Kaidah ke-12
maksudnya adalah ketika keadaan lapang, tidak ada hambatan suatu apapun maka hukum ibadah
menjadi sempit apa adanya Dalam keadaan Selo..santai maka sholat harus lengkap...tidak boleh
jamak atau qosor
Contoh kaidah :
Sedikit gerakan dalam shalat karena adanya gangguan masih ditoleransi, sedangkan banyak bergerak
tanpa adanya kebutuhan tidak diperbolehkan.
Dari dua kaidah sebelumnya (kaidah ke-11 dan ke-12) Al-Gazali membuat sintesa (perpaduan)
menjadi satu kaidah berikut ini:
Diantara amalan yang tingkat kewajibannya sangat kuat adalah shalat. Karena itu, shalat hukumnya
wajib dikerjakan oleh semua orang yang telah baligh, selagi dia masih berakal. Namun sayang,
perhatian kaum muslimin terhadap shalatnya, tidak sekuat tingkat kewajibannya. Ada diantara
mereka yang meninggalkan sama sekali, ada yang bolong-bolong, ada yang suka telat, hingga ada
yang sengaja telat. Jika sudah telat, dia mulai resah, bagaimana cara mengqadha’nya.
Ada batas awal dan ada batas akhir untuk shalat wajib. Orang yang mengerjakan shalat setelah batas
akhir statusnya batal, sebagaimana orang yang mengerjakan shalat sebelum masuk waktu, juga
batal. Dengan demikian, hukum asal shalat, harus dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan. Dan
tidak boleh keluar dari hukum asal ini, kecuali karena ada sebab yang diizinkan oleh syariat, seperti
alasan bolehnya menjamak shalat.
Kedua, pelaksanaan shalat wajib ada 4 bentuk: ada’, qadha, I’adah, dan
dijamak.
1. Ada’ [arab: ]أداء: melaksanakan shalat pada waktu yang telah ditentukan. Inilah cara
mengerjakan shalat dalam kondisi normal, sebagaimana jadwal shalat yang telah dimaklumi
bersama.
2. Qadha [arab: ]قضاء: melaksanakan shalat setelah batas waktu yang ditetapkan. Ini hanya boleh
dikerjakan dalam kondisi tertentu, yang nanti akan dibahas.
3. I’adah [arab: ُ ]إعادة: Mengulangi shalat wajib, karena shalat sebelumnya dinilai batal dengan
sebab tertentu, namun masih dalam rentang waktu shalat. Misal, orang shalat dzuhur tanpa bersuci
karena lupa, kemudian dia mengulangi shalat tersebut sebelum waktu dzuhur selesai.
4. Jamak : melaksanakan shalat yang digabungkan dengan shalat sebelumnya atau sesudahnya.
Jamak hanya boleh dilakukan dengan syarat dan ketentuan tertentu, sebagaimana yang pernah
dibahas di: https://konsultasisyariah.com/tentang-menjamak-qashar-shalat/
“Barang siapa yang kelupaan shalat atau tertidur sehingga terlewat waktu shalat maka
penebusnya adalah dia segera shalat ketika ia ingat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Disebutkan dalam hadis yang lain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melakukan suatu perjalanan bersama para shahabat. Di malam harinya, mereka singgah di
sebuah tempat untuk beristirahat. Namun mereka kesiangan dan yang pertama bangun
adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sinar matahari.
Kemudian, beliau berwudhu dan beliau memerintahkan agar azan dikumandangkan. Lalu,
beliau melaksanakan shalat qabliyah subuh, kemudian beliau perintahkan agar seseorang
beriqamah, dan beliau melaksanakan shalat subuh berjemaah. Para sahabatpun saling
berbisik, ‘Apa penebus untuk kesalahan yang kita lakukan karena telat shalat?’ Mendengar
komentar mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Namun perlu diingat, makna hadis ini tidak berlaku untuk orang yang sengaja tidur ketika datang
waktu shalat, dan tidak bangun sampai waktu shalat selesai. Kemudian dia beralasan ketiduran,
padahal tidak ada usaha darinya untuk bangun ketika waktu shalat.
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Mayoritas ulama berpendapat, dia tetap wajib
mengqadha shalatnya dan dia berdosa karena perbuatannya, selama belum sungguh-sungguh
bertaubat. Sementara pendapat yang dikuatkan syaikhul islam, qadha shalat yang dia kerjakan tidak
sah, karena berarti dia melaksanakan shalat di luar waktu tanpa udzur (alasan) yang dibolehkan.
Syaikhul Islam mengatakan,
Ada beberapa waktu yang terlarang untuk shalat, diantaranya: ketika matahari terbit, atau matahari
tenggelam. Ketika ada orang yang ketiduran shalat subuh dan baru bangun ketika matahari terbit,
atau ketiduran shalat asar, dan baru bangun ketika matahari terbenam, bolehkah dia mengqadha?
Dalam fatwa islam dinyatakan,
Jika seorang muslim memiliki udzur, seperti ketiduran atau kelupaan, sehingga tidak memungkinkan
untuk melakukan shalat pada waktunya, maka wajib baginya untuk mengqadha shalat ketika sudah
sadar, meskipun di waktu yang terlarang. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Simak Al-
Mughni (2/515). (Fatawa Islam, no. 20013)
Orang yang lupa shalat, dan baru teringat setelah melewati beberapa shalat maka dia wajib
mengqadha shalat tersebut dan beberapa shalat yang dilewati. Misalnya, orang lupa shalat dzuhur
dan baru ingat setelah maghrib. Dia wajib mengqadha shalat dzuhur, asar, kemudian maghrib.
Demikian yang difatwakan oleh Imam Malik. Keterangan selengkapnya tentang ini, telah dibahas
di: https://konsultasisyariah.com/cara-mengganti-shalat-yang-terlupa/
Shalat tanpa bersuci, baik dengan wudhu maupun tayammum, hukumnya batal. Kecuali jika dia tidak
mampu melakukan keduanya. Namun jika ada orang yang shalat tanpa berwudhu karena lupa,
padahal normalnya dia mampu berwudhu, maka status shalatnya batal dan wajib diulangi, ketika
ingat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ضَأ َ ْال يقبَ ُل هللاُ صالةَ أح ِدكم إذا َأح
َّ دث حتى يتو
“Allah tidak menerima shalat kalian ketika dalam kondisi hadats, sampai dia berwudhu.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Karena statusnya batal, shalat yang dikerjakan tanpa berwudhu, tidak dinilai sebagai shalat. Dan jika
dia baru ingat setelah keluar waktu shalat maka wajib diqadha.
ثم تذكر ذلك ولو بعد خروج وقت،ًفمن صلى بغير وضوء ناسيا
،ً توضأ وأعاد صالته وال إثم عليه ما دام فعل ذلك نسيانا،الصالة
لقوله صلى هللا عليه وسلم ” إن هللا تجاوز عن أمتي الخطأ
والنسيان وما استكرهوا عليه ” رواه ابن ماجه والبيهقي وغيرهما
“Orang yang shalat tanpa wudhu karena lupa, kemudian dia baru teringat, meskipun sudah keluar
waktu shalat, dia harus berwudhu dan mengulangi shalatnya. Dia tidak berdosa, selama itu dilakukan
karena lupa. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah
meangampuni kesalahan umatku karena keliru, lupa, atau dipaksa.” HR. Ibnu Majah, Baihaqi dan
yang lainnya. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 27116)
Allahu a’lam