Anda di halaman 1dari 22

List pertanyaan jawaban materi sholat A

2. Saya Rizki Eka Pujinovita (934201019)

Dalam suatu masyarakat ada adat atau kebiasaan melakukan sholat rawatib secara berjamaah
dan seperti yang kita ketahui bahwa sholat rawatib itu lebih baik dilakukan secara munfarid.
Namun dalam qaidah fiqh ada kaidah berbunyi ‫ العادة محكمات‬yang artinya adat dapat dijadikan
sebagai landasan hukum. Lantas, saya sebagai masyarakat tersebut solusinya bagaimana?
Meniatkan sholat rawatib tersebut dengan niat sholat berjamaah atau niat sholat bersama-
sama?

Jawab :

M Bahrul Anam

Dalam kitab-kitab fiqih disebutkan bahwa shalat rawatib termasuk shalat sunnah yang tidak
disunnahkan untuk dikerjakan secara berjemaah. Shalat rawatib sebaiknya dilakukan
sendirian, terutama di rumah. Namun jika dilakukan secara berjemaah menurut adat tersebut,
maka hukumnya boleh dan tetap dinilai sah namun tidak mendapatkan pahala shalat
berjemaah.

Tambahan dari Dosen

Ya diperbolehkan gerakan jamaah dg niat munfarid. Boleh berniat berjamaah dan berniat
makmum, meski sunnahnya munfarid. Jadi shalat jamaahnya di sini memang untuk
mengambil nilai positif, yakni agar istiqomah shalat sunnah. Al adah muhakkamah disini sdh
bisa diamalkan, nanun tetap harus menggunakan dasar yg lbh kuat, misal hadis.

4. Saya Juwita Apritia (934207319)

Bagaimana hukum mengqodho salat saat sakit?

Jawab :

Aurel Alvia Metha Setyoni(934207919)


Sholat adalah ibadah wajib yang sangat penting bagi umat Islam. Karena amalan yang
pertama kali dihisab adalah sholat. orang sakit tidak dicabut kewajiban sholatnya. Namun
mendapatkan beberapa keringanan Untuk itu dalam menetapkan bentuk-bentuk keringanan
sholat ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan

- Sakit tidak menggugurkan kewajiban sholat

Ini adalah prinsip yang paling dasar dan sangat penting. Sebab banyak sekali orang yang
keliru dalam memahami bentuk-bentuk keringanan. Sehingga terlalu memudah-mudahkan
sampai keluar batas. Artinya tidak mentang-mentang seseorang menderita suatu penyakit,
lantas boleh meninggalkan sholat seenaknya.

- Lakukan yang bisa dilakukan, Seseorang yang sakit tetap diwajibkan untuk mendirikan
sholat. Caranya dengan melakukan gerakan dan posisi-posisi sholat semampu yang bisa
dilakukan, meskipun tidak sampai sempurna. Hal ini ditegaskan dalam Alquran dan hadits.

- Keringanan sholat tidak boleh mengarang sendiri, Tidak mentang-mentang mendapatkan


keringanan sholat, lantas seseorang boleh mengarang-ngarang sendiri bentuk keringanan
sholat seenak seleranya. Keringanan yang Allah SWT berikan kepada orang sakit bukanlah
cek kosong yang boleh diisi seenaknya. Karena tetap ada banyak batasan syariah yang
mengiringinya.

Misalnya, orang sakit tetap wajib sholat sejumlah rakaat yang telah ditetapkan dan tidak
boleh mengurangi jumlah rakaat. Maka yang tadinya sholat Zhuhur empat rakaat, tidak boleh
tiba-tiba dikurangi jadi tinggal satu rakaat dengan alasan sedang sakit.

Begitu juga yang seharusnya sholat lima waktu dalam sehari semalam, tidak boleh diubah
jadi cuma tiga waktu saja. Maka keringanan sholat yang dijalankan harus bentuk-bentuk
keringanan yang ada dalilnya dan tidak boleh keringanan yang seenaknya sendiri.

Keringanan yang ada dalilnya di antaranya, wudhu atau mandi janabah boleh diganti dengan
tayamum, dan bila tidak bisa berdiri maka boleh sholat sambil duduk atau berbaring.
Kemudian keringanan sholat lainnya bisa tidak menghadap ke kiblat, gugur kewajiban sholat
berjamahnya dan gugur kewajiban sholat Jumat.
6. Syavika Azka Vinnia (934208019)

Kenapa ketika mau Shalat Sunah Rawatib mesti bergeser dari tempat Shalat Fardhu?

Jawab :

Nurisma Rosida Putri (934209719)

Alasan dianjurkannya pindah tempat ketika shalat sunah adalah memperbanyak tempat
pelaksanaan ibadah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Bukhari dan al-Baghawi. Karena
tempat yang digunakan untuk sujud, akan menjadi saksi baginya, sebagaimana Allah
berfirman,

‫ِّث أَ ْخبَا َرهَا‬


ُ ‫يَوْ َمئِ ٍذ تُ َحد‬

“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.”

Maksudnya adalah mengabarkan semua amalan yang dilakukan di atas bumi. (Nailul Authar,
3:235).

Aurel Alvia Metha Setyoni(934207919)

Hal ini bertujuan untuk memisahkan/membedakan antara shalat wajib dan shalat sunnah,
sehingga tidak terkesan bersambung dari shalat wajib ke shalat sunnah.

Nuke Wilanda Salsabila

Kenapa kita disarankan untuk bergeser ke tempat ketika melakukan shalat sunah selepas
shalat fardhu. Atau juga bisa menandainya dengan Berbicara seperti doa-doa selepas shalat.
Makna dari perintah itu adalah untuk memperbanyak tempat sujud yang mana diakhirat
belakangan (bumi tempat sujud kita itu) akan memberitahukan kepada Allah bahwa dirinya
(bumi) dijadikan tempat menyembah kepada Sangpencipta. Selain itu kalau dikerjakan di
rumah, justru itu lebih baik. Sebab rumah tersebut akan diterangi dan dipenuhi cahaya dan
kebahagian. Rahman rohim Allah mengalir di rumah tersebut.

Devi aprilia w.a (934212719)


Bergeser sedikit dari tempat shalat shalat kita, baik itu maju sedikit atau mundur sedikit
karena maksud dari sunnah ini adalah agar kita membedakan (memisahkan) antara shalat
wajib dan shalat sunnah yaitu dipisah dengan gerakan walaupun sedikit.

M. Nashrul Mu'iz 934202619

Jadi disini sebagai saksi tempat mengenai ibadah sholat. Yang mana Kelak tempat tersebut
menjadi saksi. tidak hanya satu tempat sehingga dapat memperkuat persaksiannya. Untuk itu
dianjurkan untuk berpindah tempat.

Itatul Munawaroh (934215019)

Hukum bergeser dari tempat shalat fardu untuk mengerjakan shalat sunah itu adalah sunah
atau dianjurkan. Hal ini dikarenakan bumi sangat mencintai orang-orang yang
menjadikannya tempat sujud. Hal ini diterangkan oleh Imam Nawawi bahwa salah satu
alasan disunahkan bergeser itu adalah untuk memperbanyak tempat sujud-tempat ibadah,
dikarenakan bumi menjadi saksi atas kebaikan orang tersebut di akhirat kelak. Alasannya
untuk memperbanyak tempat sujud. Karena pada hari penentuan bumi akan menceritakan
perlakuan manusia terhadap dirinya.

Aurel Alvia Metha Setyoni(934207919)

Hal ini bertujuan untuk memisahkan/membedakan antara shalat wajib dan shalat sunnah,
sehingga tidak terkesan bersambung dari shalat wajib ke shalat sunnah.

Tambahan dari Dosen

Disunnahkan untuk aktsarul atsar, memperbanyak bekas tempat ibadah.

8. M.Nazry Qomarul Islam (934208619)

Bagaimana hukum menjamak sholat Jum'at dan sholat ashar? Jelaskan alasannya!

Jawab :

Risma Aulia (934200819)


Menurut referensi yang saya baca jika seseorang sedang bepergian jauh/ musafir maka
diperbolehkan menjamak sholat jum'at dengan sholat ashar. Para ulama menegaskan bahwa
secara umum, Jumat memiliki kedudukan yang sama dengan shalat Zuhur. Ada banyak
hukum-hukum yang berlaku di dalam shalat Zuhur, juga berlaku untuk shalat Jumat,
termasuk di antaranya kebolehan mengumpulkannya dengan shalat Ashar dengan teori jamak
taqdim. Dalam praktik pelaksanaan menjamak taqdim Jumat dan Ashar, saat niat shalat
Jumat, diniati

pula mengumpulkannya dengan shalat Ashar dengan niat jamak taqdim.

M. Nashrul Mu'iz 934202619

Para ulama menegaskan bahwa secara umum, Jumat memiliki kedudukan yang sama dengan
shalat Zuhur. Ada banyak hukum-hukum yang berlaku di dalam shalat Zuhur, juga berlaku
untuk shalat Jumat, termasuk di antaranya kebolehan mengumpulkannya dengan shalat Ashar
dengan teori jamak taqdim. Dalam praktik pelaksanaan menjamak taqdim Jumat dan Ashar,
saat niat shalat Jumat, diniati pula mengumpulkannya dengan shalat Ashar dengan niat jamak
taqdim. Berikut ini contoh niatnya: ِ ‫ض ْال ُج ُم َع ِة َر ْك َعتَي ِْن َمجْ ُموْ عًا بِ ْال َعصْ ِر ُم ْستَ ْقبِ َل ْالقِ ْبلَ ِة أَدَا ُء َمأْ ُموْ ًما هلِل‬ َ ُ‫أ‬
َ ْ‫صلِّ ْي فَر‬
‫الَى‬pp‫ تَ َع‬Setelah selesai salam, disyaratkan untuk bergegas melanjutkan shalat Ashar, sebab
dalam jamak taqdim wajib sambung menyambung antara shalat pertama dan kedua, tanpa
ada pemisah yang lama. Dalam konteks ini, shalat ba’diyyah Jumat dilakukan setelah shalat
Ashar. Untuk contoh niat shalat Ashar yang dijamak taqdim dengan Jumat adalah sebagai
berikut: ‫ت َمجْ ُموْ عًا إِلَ ْي ِه ْال ُج ُم َعةُ ُم ْستَ ْقبِ َل ْالقِ ْبلَ ِة أَدَا ًء هلِل ِ تَ َعالَى‬
ٍ ‫ض ْال َعصْ ِر أَرْ بَ َع َر َك َعا‬ َ ُ‫ أ‬Bila shalat Asharnya
َ ْ‫صلِّ ْي فَر‬
diqashar, maka redaksi “arba’a raka’atin” diganti dengan “maqshuratan”. Bila shalat Ashar
dilakukan berjamaah, maka ditambahkan kata “jama’atan/ ma’muman” sebelum redaksi
“Lillahi Ta’ala”. Sedangkan untuk jamak ta’khir, tidak diperbolehkan dilakukan dalam
permasalahan ini. Teori jamak ta’khir tidak berlaku dalam kasus mengumpulkan shalat Jumat
dan Ashar, sebab Jumat wajib dikerjakan di waktu Zuhur.

Putri Novia

Para ulama menegaskan bahwa secara umum, Jumat memiliki kedudukan yang sama dengan
shalat Zuhur. Ada banyak hukum-hukum yang berlaku di dalam shalat Zuhur, juga berlaku
untuk shalat Jumat, termasuk di antaranya kebolehan mengumpulkannya dengan shalat Ashar
dengan teori jamak taqdim. Dalam praktik pelaksanaan menjamak taqdim Jumat dan Ashar,
saat niat shalat Jumat, diniati pula mengumpulkannya dengan shalat Ashar dengan niat jamak
taqdim.

bagi musafir yang sebelum hari Jumat sudah bepergian, saat hari Jumat tiba, yang lebih lebih
utama baginya adalah shalat Zuhur, bukan shalat Jumat. Namun bila ia menghendaki shalat
Jumat, maka ia tetap diperbolehkan menjamak taqdim dengan shalat Ashar.

Tambahan dari Dosen

Bagaimanapun jg, sebtulnya rukhshah itu pilihan, maka bisa dilakukan dan bisa tdk.

Shalat Jumat itu menjadi boleh ditinggalkan salah satunya karena musafir fi sabilillah, meski
menurut saya tetap diutamakan shalat jumat ketika memungkinkan.

Jika tdk memungkinkan maka akan diganti dg shalat dzuhur 4 rakaat. Dalam hal ini tentu
kemudian kmbali ke hukum asal, boleh menjamak dg shalat ashar.

Yg jelas bepergian pagi hari sebelum shalat jumat itu hukumnya Makruh, krn mengikuti shlat
jumat tetap diutamakan meskipun ada rukhshahnya.

Wallahu a'lam

10. Nurul Indrawatiningsih (934209019)

Jika kita sedang sholat jamaah shubuh disuatu tempat , di tempat tersebut tidak ada doa qunut
nya,sedangkan kita terbiasa melakukan doa qunut. Apa yang harus kita lakukan?

Jawab :

Ilham Fanani

Dalam doa qunut dalam subuh Hukumnya sunnah hai’ah (kalau lupa tertingal tidak
disunatkan bersujud sahwi). Jadi apa bila kita meninggalkan itu gak papa. Tapi kalau
mbaknya kurang yakin sholat mbak kurang sempurna karena faktor dari mathab ajaran mbak.
Maka di ulang lagi gak papa.

Tambahan dari Dosen


Ini menurut madzhab lain, kalo di madzhab syafi'i qunut termasuk sunnah ab'ad, jika lupa
disunnahkan sujud sahwi. Tdk perlu sampai 2x shalat, meski diperbolehkan.

Tetap mengikuti imam berjamaah, setelah imam salam, disunahkan sujud sahwi.

16. Vidia miftakhul janah (934211919)

Bagaimana hukum sholat yang dilakukan oleh orang yang bertato, apakah masih sah atau
tidak ?

Jawab :

Dewi Rismaya

Umumnya tato menyatu dengan kulit sehingga ketika salat akan tetap sah. Kecuali
menghalangi wudhu itu membuat salat tidak sah. Ustaz Nababan menerangkan, antara salat
dengan tato dua hukum yang berbeda. Hukum salat wajib kalau ditinggal kan berdosa.
Hukum tato haram.

Sehingga salat dengan menggunakan tato salatnya tetap sah. Tapi hukum membuat tato itu
haram berdosa.

Putri Novia

Penggunaan tato dengan kulit sehingga ketika salat akan tetap sah. Kecuali yang
menghalangi wudhu itu membuat salat tidak sah. antara shalat dengan tato dua hukum yang
berbeda. Hukum salat wajib kalau ditinggal kan berdosa. Hukum tato haram. Sehingga salat
dengan menggunakan tato salatnya tetap sah. Tapi hukum membuat tato itu haram berdosa.

Itatul Munawaroh (934215019)

Hukumnya tidak sah. Karena tato saja hukumnya haram. Kecuali ia menyesali perbuatan
yang telah dilakukannya dan bertobat memohon maaf kepada Allah. Solusinya bagi mereka
yang terlanjur bertato, adalah tato tersebut wajib dihilangkan meski harus melukai kulit.
Kecuali jika dikhawatirkan mengakibatkan kerusakan atau kecacatan anggota tubuh, maka
dalam kondisi demikian, tato boleh tidak dihilangkan, dan cukup dengan bertobat.
Aurel Alvia Metha Setyoni(934207919)

Shalat Hukum membuat tato sendiri adalah haram.bagi mereka yang terlanjur bertato, adalah
tato tersebut wajib dihilangkan meski harus melukai kulit. Kecuali jika dikhawatirkan
mengakibatkan kerusakan atau kecacatan anggota tubuh, maka dalam kondisi demikian, tato
boleh tidak dihilangkan, dan cukup dengan bertobat.

Rafita Trisna Mukti (934209119)

Kemudian, hukum membuat tato sendiri adalah haram. Dalam sebuah hadits dikatakan:

"Allah melaknat para perempuan bertato dan para perempuan yang meminta ditato."
(Muttafaq 'Alaih).

Lantas, kenapa tato diharamkan? Karena tato di dalamnya mengandung najis dan mengubah
ciptaan Allah SWT.

"Dan haram mentato wajah, bahkan haram juga semua bagian tubuh yang lain karena di
dalam tato mengandung najis yang menggumpal begitu juga karena mengubah ciptaaan
Allah." 2

Nah, bagaimanakah salat orang yang bertato?

"Kemudian tato tersebut wajib dihilangkan apabila orang yang bertato tidak khawatir
menghilangkannya akan menimbulkan bahaya sampai tingkat yang memperbolehkan
tayammum, jika tidak khawatir maka tidak wajib menghilangkannya dan tidak ada dosa
baginya setelah ia bertaubat. Hal ini mesti dibaca dalam konteks ketika ia membuat tato
dengan sukarela setelah dewasa, jika tidak demikian, maka tidak wajib menghilangkanya.
Shalat dan menjadikannya imam shalat adalah sah. Dan tidak najis misalnya anggota tubuh
yang bertato disentuh tangan."

Sah tidak.nya itu urusan Allah yang penting orang tersebut sudah bertaubat

Tambahan dari Dosen


Tidak sah, karena menghalangi air masuk tubuh, baik saat mandi wajib maupun berwudlu.

18.

20. M Ibrahim Nuril Anwar

Seberapa jauh jarak safar (bepergian) sehingga diperbolehkan untuk melakukan jamak dan
qashar?

Jawab :

Nurisma Rosida Putri (934209719)

Jarak disebut safar jika telah mencapai 48 mil atau 85 km. Inilah pendapat dari mayoritas
ulama dari kalangan Syafi’i, Hambali dan Maliki. Dalil mereka adalah hadits,

‫ان َويُ ْف ِط َرا ِن فِى أَرْ بَ َع ِة بُ ُر ٍد َو ْه َى ِستَّةَ َع َش َر فَرْ َس ًخا‬ ُ ‫س – رضى هللا عنهم – يَ ْق‬
ِ ‫ص َر‬ ٍ ‫َو َكانَ ابْنُ ُع َم َر َوابْنُ َعبَّا‬

“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak
berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara
mu’allaq –tanpa sanad-. Diwasholkan oleh Al Baihaqi 3: 137. Lihat Al Irwa’ 565)

Nancy Ailien (934216019)

Jarak disebut safar jika telah mencapai 48 mil atau 85 km.

Inilah pendapat dari mayoritas ulama dari kalangan Syafi’i, Hambali dan Maliki.

Disebut safar jika telah melakukan perjalanan dengan berjalan selama tiga hari tiga malam.

Inilah pendapat ulama Hanafiyah.

Ilma Nofita Sari

Sebagian ulama fiqih menetapkan kebolehan jamak dan qashar shalat untuk perjalanan
minimal dua marhalah/16 farsakh (48 mil)/4 barid/perjalanan 2 hari.

Meskipun demikian, ulama berbeda pendapat perihal jarak konkretnya. Sebagian ulama
mengatakan, dua marhalah berjarak 80,64 km. Sebagian ulama mengatakan, dua marhalah
berjarak 88, 704 km. Ulama Hanafiyah menyebut jarak tempuh 96 km untuk dua marhalah.
Sementara mayoritas ulama mengatakan, dua marhalah berjarak 119,9 km.

Rafita trisna mukti (934209119)

Dalam penjelasan lain, oleh Ibnu Abbas mengenai jarak dibolehkannya salat Jamak dan
Qashar, yakni 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5.541 meter hingga 16 farsakh = 88,656
kilometer

Aurel Alvia Metha Setyoni(934207919)

Allah SWT kepada kaum Muslimin adalah dalam melaksanakan kewajiban shalat lima
waktu, dibolehkan bagi umat Islam yang sedang melakukan perjalanan (menurut jumhur
ulama, perjalanan lebih kurang 83 km) untuk mengqashar shalat yang empat rakaat menjadi
dua rakaat. Allah SWT berfirman, “Dan apabila ka mu bepergian di muka bumi, maka
tidaklah mengapa kamu mengqashar sembahyang(mu)...” (QS an-Nisa [4]: 101).

Dewi Rismaya

Tentang jamak dan qashar shalat itu berlaku kepada orang yang safar (bepergian) sesuai
dengan analisa dalam surah an-Nisa ayat 101. Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat bahwa
jamak dan qashar shalat boleh dilakukan apabila jarak perjalanan sudah mencapai tiga mil.

Tambahan dari Dosen

Bermacam", ada yg 83 km, 90 km, 93 km, sesuai ijtihad masing2 ulama.

22. Saya Muhammad Choirul Anash (934214319)

Bagaimana jika kita mendapati suatu halangan dan akhirnya melaksanakan sholat di akhir
waktu? Sedangkan ketika kita belum selesai sholat, adzan sholat berikutnya sudah
berkumandang. Terima kasih

Jawab :

Aurel Alvia Metha Setyoni(934207919)


Didalam sholat terdapat istilah ada' dan qadha. Istilah ada' maksudnya melaksanakan sholat
dalam waktu yang ditentukan, sedangkan qadha yaitu menjalankan sholat di luar waktunya.

Sholat ada' berarti dilaksanakan sesuai ketentuan syariat. Sebaliknya, sholat qadha berarti
dilaksanakan dengan melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan.

Orang yang melaksanakan qadha dihukumi berdosa. Kecuali jika qadha-nya karena uzur
seperti lupa, tertidur, atau yang lainnya. Sementara jika baru dapat satu rakaat tapi sudah
masuk waktu sholat lain, sholat tersebut tergolong ada'. Meski demikian, orang yang
bersangkutan tetap dihukumi berdosa.

Tambahan dari Dosen

Shalatnya tetap sah, yg penting tdk ada unsur sengaja melalaikan shalat.

24. Khusnul Khotimah (934214719)

Bagaimana hukumnya ketika sholat memakai mukenah terusan, lalu pada saat bangun
setelah sujud mukenahnya terbelit kaki sehingga dibagian kepala yang seharusnya menutupi
bagian rambut kelihatan? yang ingin saya tanyakan bagaimana hukumnya jika membenarkan
mukenah agar tidak kelihatan rambutnya sah atau tidak sholatnya karena pada saat
membenarkan lebih dari 3 gerakan ? atau sebaiknya tidak dibenarkan saja ?

Jawab :

Nurisma Rosida Putri (934209719)

Shalatnya masih sah dan tetap melanjutkan sholat karena hal itu bersifat darurat.

26. Saya Erica Pramesti

Apakah dalam safar dianjurkan untuk sholat rawatib ?Terimakasih

Jawab :

Nurisma Rosida Putri (934209719)


Shalat sunnah dianjurkan ketika safar akan tetapi ada shalat sunnah yang Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tinggalkan yaitu shalat sunnah rawatib. Hanya shalat sunnah fajar (shalat
sunnah qabliyah Shubuh) saja yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap jaga.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memberi keringanan bagi musafir
dengan menjadikan shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Seandainya shalat sunnah
rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu disyari’atkan ketika safar, tentu mengerjakan
shalat fardhu dengan sempurna (empat raka’at) lebih utama.” (Zaadul Ma’ad, 1: 298)

Risma Aulia (934200819)

Ketika safar (berpergian) maka seseorang diperbolehkan menjamak atau meng-qashar


sholatnya. Seandainya shalat sunnah rawatib dilakukan pun tidak masalah, jadi shalat sunnah
rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu disyari’atkan ketika safar, tentu mengerjakan
shalat fardhu dengan sempurna (empat raka’at) lebih utama.

Dewi Nindah Sari (934215819)

Namun ada shalat sunnah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggalkan yaitu shalat
sunnah rawatib. Hanya shalat sunnah fajar (shalat sunnah qabliyah Shubuh) saja yang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap jaga.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memberi keringanan bagi musafir
dengan menjadikan shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Seandainya shalat sunnah
rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu disyari’atkan ketika safar, tentu mengerjakan
shalat fardhu dengan sempurna (empat raka’at) lebih utama.” (Zaadul Ma’ad, 1: 298)

Yang membuktikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menjaga shalat sunnah
fajar dapat dilihat pada perkataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, di mana ia berkata,

‫لَ ْم يَ ُك ِن النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم – َعلَى َش ْى ٍء ِمنَ النَّ َوافِ ِل أَ َش َّد ِم ْنهُ تَ َعاهُدًا َعلَى َر ْك َعت َِى ْالفَجْ ِر‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memiliki perhatian yang luar biasa untuk shalat
sunnah selain shalat sunnah fajar.” (HR. Bukhari no. 1169)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu perhatian pada shalat sunnah fajar karena
keutamaannya yang luar biasa. Adapun dalil yang menunjukkan keutamaan shalat sunnah
qabliyah Shubuh adalah hadits dari ‘Aisyah di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫َر ْك َعتَا ْالفَجْ ِر َخ ْي ٌر ِمنَ ال ُّد ْنيَا َو َما فِيهَا‬

“Dua raka’at fajar (shalat sunnah qabliyah shubuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.”
(HR. Muslim no. 725).

Dalam lafazh lain, ‘Aisyah berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara
mengenai dua raka’at ketika telah terbih fajar shubuh,

َّ َ‫لَهُ َما أَ َحبُّ إِل‬


‫ى ِمنَ ال ُّد ْنيَا َج ِميعًا‬

“Dua raka’at shalat sunnah fajar lebih kucintai daripada dunia seluruhnya” (HR. Muslim no.
725).

Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika bersafar adalah mengqashar shalat fardhu dan beliau tidak mengerjakan shalat sunnah
rawatib qabliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat
sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua
shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar” (Zaadul Ma’ad, 1: 456).

Adapun shalat malam (tahajud), shalat Dhuha, shalat tahiyyatul masjid dan shalat sunnah
mutlak lainnya, masih boleh dilakukan ketika safar. Sebagaimana penjelasan Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam Majmu’ Fatawanya (15: 258).

Meskipun orang yang bersafar mendapatkan keringanan seperti di atas, namun ia akan dicatat
mendapatkan pahala seperti ia mukim. Ketika safar ia mengerjakan shalat 2 raka’at secara
qashar, maka itu dicatat seperti mengerjakannya sempurna 4 raka’at. Itulah kemudahan yang
Allah berikan bagi hamba-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫ب لَهُ ِم ْث ُل َما َكانَ يَ ْع َم ُل ُمقِي ًما‬


‫ص ِحيحًا‬ َ ِ‫ ُكت‬، ‫ض ْال َع ْب ُد أَوْ َسافَ َر‬
َ ‫إِ َذا َم ِر‬
“Jika seseorang sakit atau bersafar, maka dicatat baginya pahala sebagaimana ia mukim atau
ketika ia sehat.” (HR. Bukhari no. 2996)

Tambahan dosen

Iya, tetap dianjurkan.

28. Saya Evita Sulistyorini (934215619)

Ketika gerakan hendak sujud, bagian manakah yang dianjurkan terlebih dahulu untuk
menyentuh lantai, telapak tangan ataukah lutut terlebih dahulu?

Jawab :

Nurisma Rosida Putri (934209719)

Perbedaan dari kedua hadis

"Apabila beliau sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan
apabila bangkit, beliau mengangkat kedua tanggannya sebelum kedua lututnya" (H.R. Al-
Tirmidzi 2/256: 268, Al-Nasai 2/206: 1089, Abu Dawud 1/222: 838)

Apabila salah seorang kalian sujud, maka janganlah mendekam seperti mendekamnya onta,
hendaklah meletakkan tangan lebih dahulu sebelum kedua lutut." (H.R. Abu Dawud: 840, al-
Nasai: 1091, Ahmad: 8732, dan al-Darimi: 1321)

Memang bisa jadi Nabi SAW melakukan keduanya, misal: beliau mendahulukan lututnya d

aripada tangannya ketika masih muda dan kuat bertumpu pada lututnya. Namun ketika sudah
mulai tua, dan tidak lagi kuat bertumpu pada lututnya, maka beliau mendahulukan kedua
tangannya dari pada kedua lututnya.

Syekh Bin Baz -mufti Saudi- menganjurkan meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu
sebelum kedua tangan jika hal tersebut memungkinkan. Namun jika tidak memungkinkan
-misal: karena sakit lutut- maka dalam keadaan darurat seperti ini, boleh meletakkan kedua
tangan lebih dahulu dari pada lutut. Inilah pendapat yang tengah-tengah dan moderat tentang
sujud yang proporsional.
M Bahrul Anam

Para ulama sendiri terbagi dalam dua kelompok, antara yang mendahulukan tangan dan yang
mengakhirkannya setelah meletakkan lutut. Keduanya memiliki dasar masing-masing. Kalau
ditelusuri perbedaan pendapat tersebut berpangkal pada dua hadits yang termaktub dalam
Bulughul Maram, karangan Ibnu Hajar al-Asqalani.Hadits pertama riwayat dari sahabat Abu
Hurairah ra yang menyatakan bahwasannya Rasulullah saw bersabda; ‫برك‬pp‫دكم فالي‬pp‫إذا سجد أح‬
‫ رواه أبوداود والترمذي والنسائي‬- ‫ كمايبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه‬Artinya: jika salah satu dari kalian
bersujud, janganlah menderum seperti unta menderum, letakkanlah kedua tangan sebelum
lutut. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i) Dalam hadits tersebut jelas kita diperintahkan
untuk mendahulukan tangan. Sebuah pengertian yang berlawanan dengan hadits kedua
riwayat sahabat Wail bin Hajar ra yang mengatakan: ‫ع‬pp‫رأيت النبي صلى هللا عليه وسلم إذا سجد وض‬
‫رواه أبوداود والترمذي والنسائي وابن ماجه‬- ‫ ركبتيه‬p‫ركبتيه قبل يديه‬

Artinya: saya melihat Rasulullah saw ketika sujud meletakkan (menjatuhkan) lutut sebelum
tangannya. (HR. abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah)

Pada kasus sujud Imam Malik dan Imam Auzai memilih hadits yang pertama. Sedangkan
mazhab Syafi’I dan Hanafi cenderung mengamalkan hadits kedua.

Jadi kita tinggal pilih sesuai dengan kemantapan dan keyakinan masing-masing. Di kalangan
pesantren yang akrab dengan kitab-kitab Imam syafi’I dalam hal sujud mungkin
mendahulukan lutut. Tetapi kalangan yang lain bisa saja mendahulukan tangan.

Ade Prabu Arya (934215519)

Sujud merupakan salah satu gerakan shalat yang dicontohkan Rasulullah. Ada tujuh tumpuan
seseorang saat bersujud. Tujuh anggota tubuh itu sesuai dengan apa yang diajarkan
Rasulullah SAW.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Aku diperintahkan untuk bersujud dengan
bertumpu pada tujuh anggota badan: Dahi –dan beliau berisyarat dengan me nyentuhkan
tangan ke hidung beliau, dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung-ujung dua kaki." (HR al-
Bukhari dan Muslim).
Hadis tentang sujud yang diriwayatkan Abu Hurairah pun datang saat Nabi SAW beranjak
sepuh. Kalimat yang keluar ibil pada masa Wail berubah menjadi ba'ir. Artinya unta yang
sudah ada beban. Berbeda dengan Ibil yang mendahulukan tangan saat duduk, unta dengan
beban (ba'ir) mendahulukan kaki kemudian tangan saat hendak duduk. Karena itu, sujud yang
di contohkan berdasarkan hadis ini mestilah sebaliknya, yakni mendahulukan tangan
kemudian lutut.

30. Bintan Kholisna Milamalhag (934215919)

Bagaimana jika pada saat kita dalam perjalanan dan kita niat sholat jamak ta'khir namun
karena beberapa alasan (tidak disengaja) sampai ditempat tujuan kita belum melakukan
sholat?

Jawab :

Sesegera mungkin untuk sholat jama' ta'khir Di lokasi terdekat

32. Diyah Ayu Lestari

Apa yang harus makmum lakukan jika imam sudah menyelesaikan bacaannya dan
melanjutkan ke gerakan berikutnya sedangkan makmum masih belum menyelesaikan
bacaan?

Jawab :

Nurisma Rosida Putri (934209719)

Orang yang menjadi makmum dalam shalat jamaah, diwajibkan untuk mengikuti imam
dalam setiap gerakannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫إِنَّ َما ُج ِع َل‬


‫ َوإِ َذا َرفَ َع فَارْ فَعُوا‬، ‫ فَإ ِ َذا َر َك َع فَارْ َكعُوا‬، ‫اإل َما ُم لِي ُْؤتَ َّم بِ ِه‬

“Sesungguhnya imam ditunjuk untuk diikuti. Jika dia rukuk maka ikutlah rukuk, dan jika dia
bangkit maka ikutlah bangkit.” (Muttafaq ‘alaihi)

Karena itu, dalam posisi sebagai makmum, apapun keadaannya, seseorang harus mengikuti
semua gerakan imam, meskipun bisa jadi, dia belum menyelesaikan bacaannya. Kecuali, jika
imam melakukan pembatal shalat dan makmum mengetahuinya. Misalnya: Imam kentut dan
didengar makmum, atau imam tidak thumakninah (gerakannya terlalu cepat), sehingga ruas-
ruas tulang belum menempati posisi yang sempurna untuk masing-masing rukun. Dalam
kondisi semacam ini, makmum disyariatkan untuk mufaraqah (memisahkan diri dari jamaah),
kemudian shalat sendiri.

M Bahrul Anam

Orang yang menjadi makmum dalam shalat jamaah, diwajibkan untuk mengikuti imam
dalam setiap gerakannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫إِنَّ َما ُج ِع َل‬


‫ َوإِ َذا َرفَ َع فَارْ فَعُوا‬، ‫ فَإ ِ َذا َر َك َع فَارْ َكعُوا‬، ‫اإل َما ُم لِي ُْؤتَ َّم بِ ِه‬

“Sesungguhnya imam ditunjuk untuk diikuti. Jika dia rukuk maka ikutlah rukuk, dan jika dia
bangkit maka ikutlah bangkit.” (Muttafaq ‘alaihi)

Karena itu, dalam posisi sebagai makmum, apapun keadaannya, seseorang harus mengikuti
semua gerakan imam, meskipun bisa jadi, dia belum menyelesaikan bacaannya. Kecuali, jika
imam melakukan pembatal shalat dan makmum mengetahuinya. Misalnya: Imam kentut dan
didengar makmum, atau imam tidak thumakninah (gerakannya terlalu cepat), sehingga ruas-
ruas tulang belum menempati posisi yang sempurna untuk masing-masing rukun. Dalam
kondisi semacam ini, makmum disyariatkan untuk mufaraqah (memisahkan diri dari jamaah),
kemudian shalat sendiri.

Adelia septi dewi intani

Orang yang menjadi makmum dalam shalat jamaah, diwajibkan untuk mengikuti imam
dalam setiap gerakannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫إِنَّ َما ُج ِع َل‬


‫ َوإِ َذا َرفَ َع فَارْ فَعُوا‬، ‫ فَإ ِ َذا َر َك َع فَارْ َكعُوا‬، ‫اإل َما ُم لِي ُْؤتَ َّم بِ ِه‬

“Sesungguhnya imam ditunjuk untuk diikuti. Jika dia rukuk maka ikutlah rukuk, dan jika dia
bangkit maka ikutlah bangkit.” (Muttafaq ‘alaihi)[1]

Karena itu, dalam posisi sebagai makmum, apapun keadaannya, seseorang harus mengikuti
semua gerakan imam, meskipun bisa jadi, dia belum menyelesaikan bacaannya. Kecuali, jika
imam melakukan pembatal shalat dan makmum mengetahuinya. Misalnya: Imam kentut dan
didengar makmum, atau imam tidak thumakninah (gerakannya terlalu cepat), sehingga ruas-
ruas tulang belum menempati posisi yang sempurna untuk masing-masing rukun. Dalam
kondisi semacam ini, makmum disyariatkan untuk mufaraqah (memisahkan diri dari jamaah),
kemudian shalat sendiri.

Sementara, untuk kasus yang dialami Penanya, hal tersebut bukan termasuk pembatal shalat,
karena bisa jadi, bacaan imam benar, hanya saja lebih cepat dibandingkan bacaan
makmumnya. Meskipun demikian, makmum wajib mengikuti imam dan makmum tidak
boleh menyelesaikan bacaannya, karena itu akan menyebabkan makmum tertinggal dari
gerakan imam, sehingga makmum tidak dianggap mengikuti imam. Allahu a’lam.

Itatul Munawaroh (934215019)

Orang yang menjadi makmum dalam shalat jamaah, diwajibkan untuk mengikuti imam
dalam setiap gerakannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

ِ ‫إِنَّ َما ُج ِع َل‬


‫ َوإِ َذا َرفَ َع فَارْ فَعُوا‬، ‫ فَإ ِ َذا َر َك َع فَارْ َكعُوا‬، ‫اإل َما ُم لِي ُْؤتَ َّم بِ ِه‬

“Sesungguhnya imam ditunjuk untuk diikuti. Jika dia rukuk maka ikutlah rukuk, dan jika dia
bangkit maka ikutlah bangkit.” (Muttafaq ‘alaihi)

Karena itu, dalam posisi sebagai makmum, apapun keadaannya, seseorang harus mengikuti
semua gerakan imam, meskipun bisa jadi, dia belum menyelesaikan bacaannya. Kecuali, jika
imam melakukan pembatal shalat dan makmum mengetahuinya. Misalnya: Imam kentut dan
didengar makmum, atau imam tidak thumakninah (gerakannya terlalu cepat), sehingga ruas-
ruas tulang belum menempati posisi yang sempurna untuk masing-masing rukun. Dalam
kondisi semacam ini, makmum disyariatkan untuk mufaraqah (memisahkan diri dari jamaah),
kemudian shalat sendiri.

Rengga febri arianto (934219419)

Orang yang menjadi makmum dalam shalat jamaah, diwajibkan untuk mengikuti imam
dalam setiap gerakannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫إِنَّ َما ُج ِع َل‬
‫ َوإِ َذا َرفَ َع فَارْ فَعُوا‬، ‫ فَإ ِ َذا َر َك َع فَارْ َكعُوا‬، ‫اإل َما ُم لِي ُْؤتَ َّم بِ ِه‬

“Sesungguhnya imam ditunjuk untuk diikuti. Jika dia rukuk maka ikutlah rukuk, dan jika dia
bangkit maka ikutlah bangkit.” (Muttafaq ‘alaihi)[1]

Karena itu, dalam posisi sebagai makmum, apapun keadaannya, seseorang harus mengikuti
semua gerakan imam, meskipun bisa jadi, dia belum menyelesaikan bacaannya. Kecuali, jika
imam melakukan pembatal shalat dan makmum mengetahuinya.

34. Jihan Feby Az Zahra (934219019)

Bagaimana jika seseorang telah menyelesaikan sholat, tetapi baru sadar kalau terdapat najis
di pakaiannya, apakah wajib mengulang sholat tersebut?

Jawab :

Aurel Alvia Metha Setyoni(934207919)

Suci dari najis adalah termasuk bagian dari syarat sahnya shalat yang dilakukan oleh seorang
muslim. Maka baiknya sebelum melaksanakan shalat, seseorang meneliti terlebih dahulu
apakah pakaian, tubuh dan tempat yang dibuat shalat sudah benar-benar suci dari najis atau
justru masih terdapat najis. Sebab hal ini sangat berpengaruh terhadap keabsahan shalat yang
dilakukan. Mengenai kejadian ketika seseorang merasa yakin bahwa dirinya telah suci dari
najis, namun ternyata setelah selesai melaksanakan shalat, ia melihat bajunya terkena najis
yang tidak ma’fu (ditoleransi), seperti bajunya terkena kotoran hewan dalam keadaan basah.
Para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam menghukuminya.

Pendapat pertama, menghukumi wajib untuk mengulangi kembali shalat yang dilakukannya.
Pendapat ini merupakan pendapat dari Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanbali.

Sedangkan pendapat kedua berpandangan tidak wajib mengulangi shalatnya kembali.


Pendapat kedua ini adalah pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama mutaqaddimin
(terdahulu).

Perbedaan pendapat dalam menghukumi permasalahan ini, dijelaskan dalam kitab Al-
Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab:
“Cabang pembahasan dalam menjelaskan beberapa pendapat ulama tentang orang yang
shalat dengan membawa najis yang ia lupakan atau tidak diketahuinya. Kami menyebutkan
bahwa sesungguhnya qaul ashah (pendapat yang cenderung lebih benar) dalam mazhab kita
(Mazhab Syafi’i): wajib mengulangi shalatnya. Pendapat demikian diikuti oleh Abu Qalabah
dan Imam Ahmad. Mayoritas ulama berpendapat tidak wajib mengulangi shalatnya, pendapat
demikian diungkapkan oleh Imam Ibnu Mundzir dari riwayat Sahabat Ibnu ‘Umar, Ibnu al-
MusayyabThawus, Atha’, Salim bin ‘Abdullah, Mujahid, Sya’bi, Nukho’i, Zuhri,Yahya al-
Anshari,

Auza’i, Ishaq, dan Imam Abi Tsur.

Risma Aulia (934200819)

Berdasarkan pendapat jumhur ulama, siapa yang shalat dengan pakaian yang ter kena najis
dan ia mengetahuinya maka shalatnya batal dan ia wajib mengulangi lagi. Sedangkan, jika
dia shalat dengan pakaian yang bernajis tapi dia lupa atau tidak mengetahui keberadaan
najisnya dan baru mengetahui setelah selesai shalatnya maka shalatnya sah dan tidak perlu
mengulangi lagi.

Laeli Khulafaur Rochma(934219719)

Tidak wajib mengulangi sholat, jika baru mengetahui setelah selesainya sholat.
Kesimpulannya, jika ditemukan najis pada pakaian terjadi di waktu:

1. Sebelum sholat.

Najis dibersihkan atau mengganti pakaian lain, kemudian sholat.

2. Pertengahan sholat.

a. Jika memungkinkan untuk melepas pakaian tersebut, seperti berupa sandal atau kopiah,
maka lepaskanlah benda tersebut, kemudian melanjutkan sholat, tidak mengulang dari awal.

b. Jika pakaian itu tidak memungkinkan untuk dilepas, karena khawatir terlihat aurat
misalnya, maka ia batalkan sholat, melepas pakaian itu untuk dibersihkan dari najis atau
mengganti dengan pakaian lain, dan mulai sholat dari awal.
3. Selesai sholat. Tidak perlu mengulangi sholat.

(disarikan dari penjelasan Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dalam syarh Sunan Abi
Dawud(4/189-190))

36. Rimba Enggo Pratama (934219219),

Mengapa pandangan setiap ulama tentang sholat berbeda-beda?

Jawab :

Itatul Munawaroh (934215019)

Menurut saya Para ulama dalam masalah pandangan shalat ini tidak berbeda karena mereka
mengatakan bahwa shalatnya tetap sah, akan tetapi mereka berbeda pendapat mana yang
lebih utama untuk dilakukan terlebih dahulu.

Putri Novia

Menurut Quraish Shihab penyebabnya adalah Al-Quran dan sunah nabi. Pada saat Al-Quran
diibaratkan sebagai berlian, ia akan memancarkan cahaya di setiap sudutnya.

"Saat seseorang memandang dari sudut A, dia bisa melihat pancaran cahaya. Yang berbeda
saat dilihat oleh orang lain dari sudut yang lain," papar Quraish Shihab. Menurut dia, hal ini
bisa disebabkan karena kondisi sosial yang berkembang atau bisa juga karena firman Allah
diterjemahkan dengan cara melaksanakan tata cara ibadah yang berbeda-beda.

Dewi Rismaya (934208319)

Hal itu bisa disebabkan karena kondisi sosial yang berkembang atau bisa juga karena firman
Allah diterjemahkan dengan cara melaksanakan tata cara ibadah yang berbeda-beda.

Tambahan dari Dosen

Perbedaan itu karen ijtihadiyyah, memiliki landasan dan cara berpikir yg beda", namun
adanya perbedaan tersebut malah semakin menunjukkan fleksibilitas Islam yg tdk kaku, shg
bisa aplikatif di setiap situasi dan kondisi.
Wallahu a'lam

38. Binti Fadhilatur Rohmah (934219519)

Sebagai mana diketahui bahwa masjid atau musholla merupakan tempat untuk melakukan
sholat berjamaah. Lalu bagaimana jika ada masjid atau musholla yang mengumandangkan
adzan (menyerukan ajakan sholat) tetapi tidak di awal waktu. Semisal waktu dhuhur
seharusnya pukul 11.55 tetapi ada masjid atau musholla yang baru adzan pada pukul 12.30.
Apakah ini sama saja dengan mengajak jamaah melakukan sholat secara berjamaah tidak
diawal waktu? Tolong jelaskan pendapat pemateri. terimakasih

Jawab :

Nurisma Rosida Putri (934209719)

Sebaiknya di kerjakan di awal waktu seperti keterangan berikut

Musthofa Ar-Ruhaibani mengatakan,

‫ وظاهره أنه يجوز مطلقا ً ما دام الوقت‬،‫وسن أذان أول الوقت ليصلي المتعجل‬

“Dianjurkan agar adzan dilakukan di awal waktu, agar orang yang hendak memiliki acara, bisa
segera shalat. Zahirnya boleh adzan di waktu kapanpun, selama masih dalam rentang waktu
shalat.” (Mathalib Uli An-Nuha, 1/299).

Bapak Soleh

Menambahkan : Shalat adalah kewajiban yg terikat waktu ( _kitaban mauquta_). Masing2


waktu shalat ada batasnya sendiri". _Asshalatu 'ala waqtiha_ diutamakan di awal waktu
shalat tetapi tdk diwajibkan yg penting tdk sampai keluar waktu shalat. Dalam hal ini ulama
ada yg berpendapat bahwa shalat tdk di awal waktu (misal, adzan dhuhur pkl 12.30) demi
mengumpulkan jamaah lbh banyak lagi itu lbh diutamakan (maslahah) dari shalat dzuhur di
awal waktu (misal pkl.11.45) namun yg jamaah sedikit.

40

Anda mungkin juga menyukai