Anda di halaman 1dari 12

Jenis ibadah sejatinya terbagi menjadi berbagai macam pembagian yang variatif, tergantung dari

aspek apa kita menilainya. Ada sebagian pandangan yang mengelompokkan ibadah berdasarkan
bentuknya dalam dua kategori, yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.

Arti kata mahdhah sendiri adalah murni atau tak bercampur. Sedangkan ghairu mahdhah berarti tidak
murni atau bercampur hal lain. Lantas sebenarnya apakah perbedaan di antara keduanya dalam
tinjauan fiqih? Sudah benarkah pembagian ibadah dalam dua kategori tersebut?

Dalam literatur kitab salaf, khususnya dalam madzhab syafi’i, pembagian ibadah dari aspek bolehnya
diwakilkan pada orang lain atau tidak, terbagi menjadi tiga macam. Pertama, ibadah badaniyah
mahdhah, maksudnya adalah ibadah yang murni berupa gerakan fisik, tanpa dicampuri dengan
komponen lainnya, seperti shalat dan puasa. Maka jenis ibadah demikian, tidak boleh untuk
diwakilkan pada orang lain kecuali dalam satu permasalahan, yakni shalat sunnah thawaf, yang boleh
diwakilkan pada orang lain, atas jalan mengikut (tab’an) pada ibadah haji, yang boleh diwakilkan.

Kedua, ibadah maliyah mahdhah. Maksudnya adalah Ibadah yang murni hanya menyangkut urusan
harta, seperti sedekah dan zakat. Dalam ibadah jenis ini, para ulama menghukumi boleh mewakilkan
pada orang lain dalam pelaksanaannya.

Ketiga, ibadah maliyah ghairu mahdhah, maksudnya adalah Ibadah-ibadah yang terdapat kaitannya
dengan harta, namun juga terkandung gerakan-gerakan fisik (badaniyah) di dalamnya.

Contoh ibadah jenis ketiga ini seperti haji dan umrah, yang dalam pelaksanaannya membutuhkan
biaya dan terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang melibatkan gerakan fisik dalam melakukannya.

Ibadah jenis ketiga ini boleh untuk diwakilkan, namun dengan syarat-syarat tertentu yang dijelaskan
dalam literatur fiqih, seperti tidak mampu melaksanakan haji karena lumpuh, orang yang diwakili
sudah pernah melakukan haji dan syarat-syarat lainnya. Maka ibadah jenis ketiga ini tidak seluas dan
sebebas ibadah jenis kedua dalam hal bolehnya mewakilkan pada orang lain.

Pembagian ibadah dalam tiga kelompok ini, tercantum dalam Kitab Hasyiyah ‘Ianatut Thalibin berikut:

Artinya, “Simpulannya, ibadah terbagi atas tiga macam, ada kalanya berupa ibadah badaniyah
mahdhah, maka jenis ibadah demikian tidak bisa diwakilkan pada orang lain, kecuali shalat sunnah
tawaf dengan cara mewakilkan pula pelaksanaan tawaf. Ada kalanya ibadah maliyah mahdhah,
ibadah jenis ini boleh untuk diwakilkan pada orang lain secara mutlak. Ada kalanya ibadah maliyah
ghairu mahdhah, seperti ibadah haji, maka ibadah jenis ini boleh untuk diwakilkan pada orang lain
dengan syarat-syarat yang telah dijelaskan,” (Lihat Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah
‘Ianatut Thalibin, juz III, halaman 87).

Meski begitu, sebenarnya pembagian ibadah dalam tiga kategori di atas dapat dikerucutkan menjadi
dua kategori yakni ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang secara
umum tidak dapat diwakilkan, dalam hal ini adalah ibadah badaniyah mahdhah.

Adapun ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang secara umum dapat diwakilkan oleh orang lain,
yang meliputi ibadah maliyah mahdhah dan ibadah maliyah ghairu mahdhah.

Ibnu Rusydi, Ulama kenamaan Madzhab Maliki, memiliki sudut pandang lain dalam menilai ibadah
mahdhah dan ghairu mahdhah. Menurutnya, ibadah mahdhah adalah ibadah yang maksud
penerapannya tidak dapat dijangkau oleh akal manusia, misalnya seperti shalat.

Bagi Ibnu Rusyd, manusia tidak dapat memahami maksud di balik kewajiban melaksanakan ibadah
shalat oleh syariat. Maka dari itu, pensyariatan shalat dimaksudkan murni untuk mendekatkan diri
(qurbah) pada Allah subhanahu wa wa’ala. Selain dikenal dengan ibadah mahdhah, ibadah yang
masuk dalam kategori ini dikenal pula dengan nama ta’abbudi. Ibadah mahdhah ini, menurut Ibnu
Rusydi pasti membutuhkan niat dalam pelaksanaannya.
Sedangkan ibadah ghairu mahdhah, adalah ibadah yang maksud penerapannya dapat dijangkau oleh
akal. Seperti mensucikan sesuatu yang terkena najis sebelum melaksanakan ibadah shalat, tujuan
diwajibkannya hal tersebut dapat dijangkau oleh akal manusia. Sebab menghadap pada manusia saja
alangkah baiknya jika berada dalam kondisi yang bersih dan suci tubuh dan pakaiannya, termasuk dari
kotoran najis. Terlebih ketika menghadap pada Allah SWT saat melaksanakan ibadah shalat. Ibadah
jenis ini juga dikenal dengan sebutan ta’aqquli atau ma’qulatul ma’na.

Ibadah ghairu mahdhah ini, tidak membutuhkan niat dalam pelaksanaanya, cukup dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang telah digariskan oleh syariat.

Selain dua pembagian di atas, Ibnu Rusydi juga menyelipkan satu jenis ibadah lain, yakni ibadah yang
memiliki keserupaan dengan ibadah mahdhah dan Ibadah ghairu mahdhah. Ibadah yang termasuk
dari kategori ini adalah wudhu. Dalam wudhu terdapat keserupaan apakah lebih dominan nilai ibadah
saja sehingga termasuk ibadah mahdhah atau justru dalam wudhu lebih dominan nilai membersihkan
sebagian anggota tubuh, sehingga termasuk ibadah ghairu mahdhah.  Karena keserupaan inilah,
menurut Ibnu Rusyd, ulama madzahibul arba’ah berbeda pendapat terkait wajibnya melakukan niat
dalam melaksanakan wudhu.

Pandangan Ibnu Rusyd di atas dijelaskan dalam salah satu karyanya, Bidayatul Mujtahid:
Artinya, “Sebab perbedaan para ulama (Perihal niat dalam wudhu) adalah terkait kebimbangan
menstatuskan wudhu sebagai ibadah mahdhah, yakni ibadah yang tidak dijangkau maksudnya oleh
akal. Ibadah mahdhah ini hanya ditujukan untuk mendekatkan diri pada Allah, seperti shalat dan
ibadah lainnya. Atau distatuskan sebagai ibadah ma’qulatul ma’na (Ibadah yang dapat dijangkau akal
maksud pensyariatannya) seperti menghilangkan najis.

Mereka (para ulama) tidak berbeda pendapat bahwa Ibadah Mahdhah ini butuh terhadap niat dan
Ibadah yang al-mafhumatul ma’na tidak butuh terhadap niat. Sedangkan wudhu terdapat keserupaan
diantara dua jenis ibadah tersebut. Atas dasar inilah ulama’ berbeda pendapat dalam hal wajib
tidaknya niat dalam wudhu. Hal ini dikarenakan di dalam wudhu sejatinya terkumpul makna ibadah
dan makna membersihkan (tubuh), sedangkan fiqih lebih memandang makna mana yang lebih kuat di
antara keduanya, lalu wudhu disamakan dengan makna tersebut,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid, juz I, halaman 8).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menjelaskan perbedaan ibadah mahdhah dan
ghairu mahdhah, sebagian ulama (Syafi’iyah) mengarahkan pada bentuk pelaksanaan ibadahnya. Jika
bentuk ibadah hubungannya hanya dengan gerakan tubuh tanpa ada kaitannya dengan harta benda,
maka disebut ibadah mahdhah. Jika terdapat kaitannya dengan harta benda maka disebut ibadah
ghairu mahdhah.

Adapun Ibnu Rusyd lebih mengarahkan perbedaan antara ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah pada
aspek dapat dijangkau oleh akal atau tidak maksud pensyariatan suatu ibadah. Jika tidak dapat
dijangkau oleh akal, maka disebut ibadah mahdhah. Sedangkan jika dapat dijangkau oleh akal, maka
disebut ibadah ghairu mahdhah. Wallahu a’lam.

Ibadah merupakan salah satu tujuan penciptaan manusia. Dan untuk merealisasikan tujuan tersebut,
diutuslah para rasul dan kitab-kitab diturunkan. Orang yang betul-betul beriman kepada
Allah Ta’ala tentu akan berlomba-lomba dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi, karena
ketidaktahuan tentang pengertian atau jenis-jenis ibadah, sebagian mereka hanya fokus terhadap
ibadah tertentu saja, misalnya shalat, zakat, atau puasa. Padahal, jenis-jenis ibadah sangatlah banyak.
Luasnya cakupan ibadah dapat kita lihat dari definisi ibadah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala,
.
“Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup semua yang Allah cintai dan Allah ridhai, baik ucapan
atau perbuatan, yang lahir (tampak, bisa dilihat) maupun yang batin (tidak tampak, tidak bisa
dilihat).” (Al-‘Ubudiyyah, hal. 44)
Para ulama menjelaskan bahwa secara garis besar, ibadah dapat dibagi dalam dua kelompok besar,
yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Dalam tulisan singkat ini, penulis akan mencoba
untuk menjelaskan perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan antara ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah
Ibadah mahdhah (‫)العبادت المحضة‬
Adalah ibadah yang murni ibadah, ditunjukkan oleh tiga ciri berikut ini:
Pertama, ibadah mahdhah adalah amal dan ucapan yang merupakan jenis ibadah sejak asal
penetapannya dari dalil syariat. Artinya, perkataan atau ucapan tersebut tidaklah bernilai kecuali
ibadah. Dengan kata lain, tidak bisa bernilai netral (bisa jadi ibadah atau bukan ibadah).
Ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya ditujukan
kepada selain Allah Ta’ala, karena hal itu termasuk dalam kemusyrikan.
Kedua, ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan maksud pokok orang yang mengerjakannya, yaitu
dalam rangka meraih pahala di akhirat.
Ketiga, ibadah mahdhah hanya bisa diketahui melalui jalan wahyu, tidak ada jalan yang lainnya,
termasuk melalui akal atau budaya.
Contoh sederhana ibadah mahdhah adalah shalat. Shalat adalah ibadah mahdhah karena memang
ada perintah (dalil) khusus dari syariat. Sehingga sejak awal mulanya, shalat adalah aktivitas yang
diperintahkan (ciri yang pertama). Orang mengerjakan shalat, pastilah berharap pahala akhirat (ciri ke
dua). Ciri ketiga, ibadah shalat tidaklah mungkin kita ketahui selain melalui jalur wahyu. Rincian
berapa kali shalat, kapan saja, berapa raka’at, gerakan, bacaan, dan seterusnya, hanya bisa kita
ketahui melalui penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hasil dari kreativitas dan olah
pikiran kita sendiri.
Ibadah ghairu mahdhah (‫)العبادت غير المحضة‬
Ibadah yang tidak murni ibadah memiliki pengertian yang berkebalikan dari tiga ciri di atas. Sehingga
ibadah ghairu mahdhah dicirikan dengan:
Pertama, ibadah (perkataan atau perbuatan) tersebut pada asalnya bukanlah ibadah. Akan tetapi,
berubah status menjadi ibadah karena melihat dan menimbang niat pelakunya.
Kedua, maksud pokok perbuatan tersebut adalah untuk memenuhi urusan atau kebutuhan yang
bersifat duniawi, bukan untuk meraih pahala di akhirat.
Ketiga, amal perbuatan tersebut bisa diketahui dan dikenal meskipun tidak ada wahyu dari para rasul.
Contoh sederhana dari ibadah ghairu mahdhah adalah aktivitas makan. Makan pada asalnya bukanlah
ibadah khusus. Orang bebas mau makan kapan saja, baik ketika lapar ataupun tidak lapar, dan dengan
menu apa saja, kecuali yang Allah Ta’ala haramkan. Bisa jadi orang makan karena lapar, atau hanya
sekedar ingin mencicipi makanan. Akan tetapi, aktivitas makan tersebut bisa berpahala ketika
pelakunya meniatkan agar memiliki kekuatan (tidak lemas) untuk shalat atau berjalan menuju masjid.
Ini adalah ciri pertama.
Berdasarkan ciri kedua, kita pun mengetahui bahwa maksud pokok ketika orang makan adalah untuk
memenuhi kebutuhan pokok (primer) dalam hidupnya, sehingga dia bisa menjaga keberlangsungan
hidupnya. Selain itu, manusia tidak membutuhkan wahyu untuk bisa mengetahui pentingnya makan
dalam hidup ini, ini ciri yang ketiga. Tanpa wahyu, orang sudah mencari makan.
Ini adalah contoh sederhana untuk memahamkan pengertian ibadah ghairu mahdhah, dan akan kami
sebutkan lebih rinci lagi jenis-jenis ibadah ghairu mahdhah di serial selanjutnya dari tulisan ini.
Berdasarkan penjelasan di atas, ibadah mahdhah disebut juga dengan ad-diin (urusan agama),
sedangkan ibadah ghairu mahdhah disebut juga dengan ad-dunya (urusan duniawi).
Sebagaimana ibadah mahdhah disebut juga dengan al-‘ibadah (ibadah), sedangkan ibadah ghairu
mahdhah disebut juga dengan al-‘aadah (adat kebiasaan).
Kemudian untuk lebih memperjelas perbedaan antara ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah, berikut
kami sebutkan rincian contoh ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.
Rincian ibadah mahdhah
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang banyak kita kenal, bahkan sebagian kaum muslimin bisa jadi
menyangkan bahwa ibadah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah. Berikut ini beberapa rincian
ibadah mahdhah,
Ibadah hati (al-‘ibadah al-qalbiyyah) (‫)العبادت القلبية‬, bisa dirinci dalam dua jenis ibadah:
Pertama, ucapan hati (qaulul qalbi) (‫)قول القلب‬, yaitu berbagai perkara aqidah yang wajib untuk diyakini,
misalnya keyakinan bahwa tidak ada pencipta selain Allah Ta’ala (keimanan terhadap rububiyyah
Allah Ta’ala); tidak ada yang berhak disembah selain Allah Ta’ala (keimanan terhadap uluhiyyah
Allah Ta’ala); beriman terhadap semua nama dan sifat yang Allah Ta’ala tetapkan; beriman terhadap
malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan juga beriman terhadap taqdir
Kedua, perbuatan (amal) hati (‘amalul qalbi) (‫)عمل القلب‬, misalnya ikhlas; mencintai
Allah Ta’ala; berharap pahala dan ampunan Allah Ta’ala (raja’); takut akan siksa dan hukuman-
Nya (khauf); tawakkal hanya kepada Allah Ta’ala; sabar dalam melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan; dan yang lainnya.
Ibadah dalam bentuk ucapan lisan (al-‘ibadah al-qauliyyah) (‫)العبادت القولية‬, misalnya mengucapkan dua
kalimat syahadat dengan lisan; membaca Al-Qur’an; berdzikir kepada Allah Ta’ala dengan tasbih,
tahmid, dan takbir; mengajarkan ilmu agama; dan ibadah lisan lainnya.
Ibadah anggota badan (al-‘ibadah al-badaniyyah) (‫)العبادت البدنية‬, misalnya shalat; sujud; puasa; haji;
thawaf di baitullah (Ka’bah); jihad; belajar ilmu agama; dan yang lainnya.
Ibadah harta (al-‘ibadah al-maaliyyah) (‫)العبادت المالية‬, misalnya zakat; sedekah; menyembelih hewan
kurban; dan yang lainnya.
 
Perkara-perkara tersebut hanya mengandung dua kemungkinan: jika ditujukan hanya untuk
Allah Ta’ala, maka itulah tauhid. Namun jika ditujukan kepada selain Allah Ta’ala, itulah kemusyrikan.

Jenis-jenis ibadah ghairu mahdhah


Terdapat beberapa model ibadah ghairu mahdhah, di antaranya:
Pertama, melakukan berbagai macam kewajiban dan perkara yang dianjurkan yang pada asalnya
bukanlah termasuk dari ibadah.
Misalnya, memberikan nafkah kepada anak dan istri; melunasi hutang; menikah; menghutangi orang
lain; memberikan pinjaman barang kepada orang yang membutuhkan; memberikan hadiah; berbuat
baik kepada kedua orang tua; memuliakan tamu; dan yang lainnya.
Jika seorang muslim melaksanakan berbagai perkara tersebut -baik yang statusnya wajb maupun
sunnah- dalam rangka mencari ridha dan pahala dari Allah Ta’ala, maka perkara-perkara tersebut
statusnya adalah ibadah sehingga pelakunya berhak mendapatkan pahala karenanya.
Misalnya, seorang kepala rumah tangga yang memberikan nafkah kepada anak-anaknya dengan niat
untuk memenuhi perintah Allah Ta’ala dan dengan niat untuk mendidik anak-anaknya agar mereka
beribadah kepada Allah Ta’ala. Juga seseorang yang menikah dengan niat untuk menjaga dirinya dari
perbuatan zina.
Perhatian: Menikah dan jual beli termasuk perkara yang pada asalnya non-ibadah atau ibadah ghairu
mahdhah. Hal ini karena tanpa wahyu, manusia sudah biasa beraktivitas jual beli dan menikah. Dan
juga maksud pokok kedua aktivitas tersebut adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan duniawi.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, kedua perkara ini kemudian diatur dalam syariat.
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bisa berpahala adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dan kamu tidaklah menginfaqkan suatu nafkah yang hanya kamu niatkan untuk mencari ridha Allah,
kecuali pasti diberi balasan pahala atasnya, bahkan sekalipun nafkah yang kamu berikan untuk mulut
isterimu.” (HR. Bukhari no. 1295 dan Muslim no. 1628)
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Jika seorang muslim memberi nafkah pada keluarganya dengan niat mengharap pahala, maka
baginya hal itu adalah sedekah.” (HR. Bukhari no. 5351 dan Muslim no. 1002)
Karena pahala tersebut sesuai dengan niat pelakunya, maka bisa jadi seorang suami tidak
mendapatkan pahala ketika dia memberikan nafkah kepada anak dan istrinya. Misalnya, suami
memberikan nafkah karena itulah memang kewajiban suami menurut adat kebiasaan di masyarakat.
Kalau tidak memberikan nafkah, dia khawatir akan menjadi buah bibir di masyarakat. Atau tidak lebih
dari niat dan alasan semacam itu.
Ke dua, meninggalkan berbagai hal yang haram dalam rangka mencari ridha Allah Ta’ala.
Misalnya, meninggalkan riba; meninggalkan perbuatan mencuri; tidak melakukan penipuan;
meninggalkan minum khamr; dan perbuatan yang lainnya. Perbuatan meninggalkan yang haram
tersebut hanya akan berpahala jika pelakunya meniatkan dalam hati untuk mencari pahala dari Allah
Ta’ala, karena motivasi takut terhadap adzab dan hukuman-Nya.
Jadi, seseorang yang meninggalkan minum khamr, hanyalah akan berpahala jika dilandasi oleh niat
dan motivasi tersebut. Jika tidak ada, maka tidak berpahala. Misalnya, seseorang tidak minum khamr
karena memang tidak pernah terlintas dalam pikiran untuk minum khamr atau semata-mata karena
tidak suka dengan bau minuman khamr. Jika latar belakang meninggalkan minum khamr adalam
semacam ini, maka tidak berpahala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah berfirman, ‘Jika seorang hamba-Ku ingin melakukan kejahatan (keburukan), maka janganlah
kalian catat hingga dia melakukannya. Jika dia melakukannya, maka catatlah dengan yang semisalnya
(yaitu satu kejelekan, pent.). Dan jika dia meninggalkannya karena Aku, maka catatlah satu kebaikan
baginya. Adapun jika dia berniat melakukan kebaikan, meskipun dia belum melakukannya, maka
catatlah kebaikan baginya. Dan jika dia melakukannya, maka catatlah sepuluh kebaikan baginya,
bahkan hingga tujuh ratus kali lipat’.” (HR. Bukhari no. 7501 dan Muslim no. 128. Lafadz hadits ini
milik Bukhari)
Ke tiga, melakukan perkara yang pada asalnya mubah (bukan perkara wajib atau perkara sunnah),
dengan niat sebagai sarana untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala, maka perbuatan
tersebut berpahala.
Misalnya, seseorang makan, minum, dan tidur. Perkara-perkara tersebut pada asalnya adalah perkara
mubah, yang tidak bernilai ibadah. Akan tetapi, jika seseorang melaksanakan berbagai aktivitas
tersebut dengan niat untuk membantu melaksanakan ketaatan atau ibadah kepada Allah Ta’ala, maka
aktivitas dan perbuatan tersebut bisa mendatangkan pahala dari sisi Allah Ta’ala.
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah cakupan makna umum dari hadits yang telah kami
sebutkan sebelumnya berkaitan dengan memberikan nafkah kepada istri atau keluarga.
Juga dikuatkan oleh perkataan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, ketika ditanya oleh Abu
Musa Al-Asy’ari radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkaitan dengan aktivitasnya membaca Al-Qur’an. Maka
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata,
“Saya tidur diawal malam, kemudian bangun, kulaksanakan hak tidurku, dan aku baca apa yang Allah
tetapkan bagiku. Aku berharap pahala dari tidurku sebagaimana berharap pahala dari shalat
malamku.” (HR. Bukhari no. 4341)
Dalam hadits di atas, Mu’adz tidur di awal malam dengan niat agar bisa bangun di akhir malam untuk
membaca Al-Qur’an dan juga shalat malam. Jadi, Mu’adz menjadikan aktivitas tidurnya dalam rangka
membantunya untuk melaksanakan ibadah kepada Allah Ta’ala, yaitu membaca Al-Qur’an di akhir
malam (menjelang subuh).
Perhatian:
Perkara-perkara yang hukum asalnya mubah ini bisa mendatangkan pahala jika dijadikan sebagai
sarana untuk melaksanakan ibadah kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika perkara mubah itu sendiri
dijadikan sebagai ibadah yang diyakini bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka dalam kondisi
semacam ini, dia terjatuh ke dalam perbuatan bid’ah.
Contoh, makan daging hukum asalnya mubah. Jika seseorang makan daging, dan meyakini bahwa
makan daging itu sendiri adalah aktivitas yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka aktivitas
makan daging dalam kondisi itu adalah bid’ah. Hal ini karena seseorang menjadikan perkara tertentu
sebagai ritual ibadah, padahal tidak ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian juga berpakaian. Orang pada asalnya bebas berpakaian dengan bahan apa saja, kecuali jika
terdapat larangan dari syariat. Namun, jika seseorang meyakini bahwa memakai pakaian dari kain wol
itu memiliki nilai lebih atau keistimewaan tertentu sehingga dengan memakainya dia bisa lebih dekat
kepada Allah Ta’ala, maka keyakinan semacam ini adalah bid’ah, karena tidak ada dalil dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perkara ini haruslah dibedakan, sehingga seseorang dapat menjaga dirinya dari terjatuh ke dalam
bid’ah.
Dari penjelasan ini, dapat kita ketahui bahwa perkara ibadah adalah perkara yang sangat luas
cakupannya. Sehingga hendaknya setiap kita berlomba-lomba, siapakah di antara kita yang paling
bagus amal ibadahnya

Ahlussunnah wal Jama’ah berhaluan salah satu Madzhab yang empat. Seluruh ummat Islam di dunia
dan para ulamanya telah mengakui bahwa Imam yang empat ialah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hambal telah memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid. Hal itu
dikarenakan ilmu, amal dan akhlaq yang dimiliki oleh mereka. Maka ahli fiqih memfatwakan bagi
umat Islam wajib mengikuti salah satu madzhab yang empat tersebut.
Madzhab Hanafi
Dinamakan Hanafi, karena pendirinya Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir pada
tahun 80 H di Kufah dan wafat pada tahun 150 H. Madzhab ini dikenal madzhab Ahli Qiyas (akal)
karena hadits yang sampai ke Irak sedikit, sehingga beliau banyak mempergunakan Qiyas.
Beliau termasuk ulama yang cerdas, pengasih dan ahli tahajud dan fasih membaca Al-Qur’an. Beliau
ditawari untuk menjadi hakim pada zaman bani Umayyah yang terakhir, tetapi beliau menolak.
Madzhab ini berkembang karena menjadi madzhab pemerintah pada saat Khalifah Harun Al-Rasyid.
Kemudian pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur beliau diminta kembali untuk menjadi
Hakim tetapi beliau menolak, dan memilih hidup berdagang, madzhab ini lahir di Kufah.
Madzhab Maliki
Pendirinya adalah Al-Imam Maliki bin Anas Al-Ashbahy. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H dan
wafat pada tahun 179 H. Beliau sebagai ahli hadits di Madinah dimana Rasulullah SAW hidup di kota
tersebut.
Madzhab ini dikenal dengan madzhab Ahli Hadits, bahkan beliau mengutamakan perbuatan ahli
Madinah daripada Khabaril Wahid (Hadits yang diriwayatkan oleh perorangan). Karena bagi beliau
mustahil ahli Madinah akan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan Rasul, beliau lebih
banyak menitikberatkan kepada hadits, karena menurut beliau perbuatan ahli Madinah termasuk
hadits mutawatir.
Madzhab ini lahir di Madinah kemudian berkembang ke negara lain khususnya Maroko. Beliau sangat
hormat kepada Rasulullah dan cinta, sehingga beliau tidak pernah naik unta di kota Madinah karena
hormat kepada makam Rasul.
Madzhab Syafi’i
Tokoh utamanya adalah Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di
Ghuzzah pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.
Beliau belajar kepada Imam Malik yang dikenal dengan madzhabul hadits, kemudian beliau pergi ke
Irak dan belajar dari ulama Irak yang dikenal sebagai madzhabul qiyas. Beliau berikhtiar menyatukan
madzhab terpadu yaitu madzhab hadits dan madzhab qiyas. Itulah keistimewaan madzhab Syafi’i.
Di antara kelebihan asy-Syafi’i adalah beliau hafal Al-Qur’an umur 7 tahun, pandai diskusi dan selalu
menonjol. Madzhab ini lahir di Mesir kemudian berkembang ke negeri-negeri lain.
Madzhab Hanbali
Dinamakan Hanbali, karena pendirinya Al-Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaebani, lahir di Baghdad Th
164 H dan wafat Th 248 H. Beliau adalah murid Imam Syafi’i yang paling istimewa dan tidak pernah
pisah sampai Imam Syafi’i pergi ke Mesir.
Menurut beliau hadits dla’if dapat dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang afdal (fadlailul
a'mal) bukan untuk menentukan hukum. Beliau tidak mengaku adanya Ijma’ setelah sahabat karena
ulama sangat banyak dan tersebar luas.

Hukum-hukum islam diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Begitu banyaknya hukum islam,
sehingga banvak ulama yang memberikan penjelasan tentang hukum-hukum itu. Dalam perjalanan
waktu, hukum islam itu terbagi dalam beberapa mazhab fiqih.
Namun dari sekian banyak mazhab fiqih yang ada tersebut, hanya sedikit yang mampu bertahan dan
masih terus dijadikan panduan hingga saat ini. Ada 4 (empat) mazhab fiqih golongan Sunni (Ahlus-
sunnah wal Jamaah), sebagaiman yang kita kenal sekarang, mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali.

Mazhab secara bahasa berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang.
Sedangkan menurut para ulama dan ahli agama islam, mazhab adalah metode (manhaj) yang dibuat
setelah melalui pemikiran dan penelitian sebagai pedoman yang jelas untuk kehidupan umat.
Lain lagi menurat para ulama fiqih. Menurat mereka, yang dimaksud dengan mazhab adalah sebuah
metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih
lain, yang mengantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'.

Sebagai langkah awal untuk lebih mengetahui tentang 4 (empat) mazhab tersebut, ada baiknya kita
simak rangkuman berikut yang diambil dari sumber:
http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2013/05/empat-madzhab.html.

Pada zaman Rasulullah SAW, mazhab belum dikenal dan digunakan karena pada zaman itu Rasul
masih berada bersama sahabat, jadi jika mereka mendapatkan permasalahan maka Rasul akan
menjawab dengan wahyu yang diturunkan kepadanya.

Setelah Rasulullah meninggal dunia, para sahabat tersebar diseluruh penjuru negeri islam, sementara
itu umat islam dihadirkan dengan berbagai permasalahan yang menuntut para sahabat berfatwa
untuk menggantikan kedudukan Rasul. Tidak seluruh sahabat mampu berfatwa dan berijtihad, sebab
itulah dikalangan para sahabat dikenal beberapa sahabat yang mampu berfatwa, sehingga terciptanya
mazhab Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, dan yang lainnya. Sahabat-sahabat yang lain hanya mengikuti
sahabat yang telah sampai derajat mujtahid, karena tidak semua sahabat mendengar hadits Rasul
dengan jumlah yang banyak, dan derajat kefaqihan mereka yang berbeda-beda.

Pada zaman tabi'in timbul pula berbagai macam mazhab yang lebih dikenal dengan mazhab Fuqaha
Sab'ah (mazhab tujuh tokoh fiqih) di kota Madinah, setalah itu bermunculanlah mazhab yang lainnya
di negeri islam, sehingga timbulnya mazhab yang masyhur dan diikuti sampai sekarang yaitu mazhab
Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah, mazhab ini dibenarkan oleh ulama-ulama untuk diikuti
karena beberapa sebab:
Mazhab ini disebarkan turun-temurun dengan secara mutawatir.
Mazhab ini diturunkan dengan sanad yang shahih dan dapat dipegang.
Mazhab ini telah dibukukan sehingga aman dari penipuan dan perubahan.
Mazhab ini berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits, selainnya para empat mazhab berbeda pendapat
dalam menentukan dasar-dasar sumber dan pegangan.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang 4 (empat) Imam Mazhab, kita mulai dengan sejarah kehidupan
mereka.

1. Pada masa Nabi Muhammad Saw hidup, yang dituliskan hanyalah Al-Qur’an. Hadits tidak dituliskan.
Pada masa Khalifah yang ke III, Saidina Ustman bin Affan (23 -35H) ayat Al-Qur’an yang ditulis cerai
berai itu dikumpulkan menjadi satu mushaf yang sekarang dinamakan Mushaf ustman bin Affan.

2. Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw, yakni ucapan, perbuatan beliau yang dinamakan Sunnah
Rasul, semuanya tersimpan dalam dada para sahabat yang boleh dinamakan "Pemangku Hadits". Para
sahabat "Pemangku Hadits" ini, baik sebelum Nabi Muhammad wafat maupun sesudahnya, telah
mengembara ke seluruh pelosok negeri, sesuai dengan perkembangan daerah-daerah islam. Ada
diantara mereka yang tetap di Mekkah, di Madinah dan ada pula yang sudah pindah ke Mesir, Iraq,
Yaman, Persia, Hadharal-maut, Ethiopia, Sudan dan bahkan kabarnya ada yang sampai ke Timur jauh,
ke Tiongkok dan lain sebagainya. Hadits-hadits ketika itu belum terkumpul ke dalam satu atau dua
buku, tetapi tersimpan dalam ribuan dada dan hati sahabat-sahabat Nabi yang telah mengembara ke
sana-sini.

3. Pada zaman para sahabat Nabi, kira-kira dari tahun 13 H sampai 70 H (yakni 57 tahun) fatwa-fatwa
agama dan hukum-hukum dalam pengadilan dipegang oleh para sahabat Nabi.
Mereka tidak merasa banyak kesulitan dalam menghadapi masalah hukum sesuatu peristiwa, karena
mereka mempunyai kitab suci Al-Qur’an dan banyak pula diantara mereka yang hafal Sunnah Rasul di
luar kepala.

Sesuatu persoalan yang datang/timbul ditetapkan hukumnya sesuai dengan Al-Qur’an dan sesuai pula
dengan Hadits yang dihafalnya. Apabila ia tidak banyak menghafal Hadits, maka ditanyaklan kepada
kawannya sesama sahabat, kiranya diantara mereka ada yang menghafal Hadits yang dapat dipakai
dalam menghadapi persoalan yang baru timbul.
Masalah-masalah yang dihadapinya dalam soal-soal yang baru tidak banyak. Selain dari itu baik
diketahui bahwa para sahabat Nabi seakan-akan sudah menjadi dua golongan:
Golongan yang pertama dan jumlahnya banyak, ialah "Pemangku Hadits" saja dengan pekerjaannya
hanya menyampaikan hadits-hadits yang dihafalnya itu kepada pengikut-pengikutnya tanpa komentar
tentang isinya. Golongan ini dinamakan "Ahli Riwayah", yakni golongan yang
menyampaikan/merawikan hadits-hadits.
Golongan kedua yang jumlahnya lebih sedikit, selain "Pemangku Hadits", juga berfatwa dan
menghadapi hukum-hukum masalah yang ditanyakan kepada mereka. Golongan ini dinamakan
golongan "Mufti", "Fuqaha" atau "Pemberi Fatwa". Tidak banyak sahabat yang masuk golongan kedua
ini, hanya kira-kira 130 orang saja.

4. Kemudian tibalah masa tabi’in yaitu masa orang-orang berjumpa/berguru dengan/kepada sahabat
Nabi. Orang-orang ini tidak berjumpa dengan Nabi. Para tabi’in aktif sekali, selain mempelajari
bermacam-macam ilmu juga menerima hadits-hadits Nabi dari para sahabat.
Para tabi’in ini sudah besar jumlahnya dari jumlah sahabat karena setiap sahabat mengajar 10 sampai
50 orang Tabi’in.
Para tabi’in itu setelah belajar dari sahabat, lantas bertebaran keseluruh pelosok dunia untuk
mengajar, bertabligh dan menjadi hakim dalam pelbagai pengadilan.
Masa tabi’in ini dapat dikatakan dari tahun 70 H s/d 130 H (yaitu kira-kira 60 tahun).
Para tabi’in ini sama juga dengan para sahabat, terbagi dalam dua golongan tadi:
Golongan pertama, yaitu "Pemangku Hadits" saja (perawi).
Golongan kedua, selain "Pemangku Hadits", juga memberikan fatwa, menjadi Qadli, menjadi Mufti
dan menjadi Muballigh.
Diantara para tabi’in terdapat seorang ulama besar di Kufah (Iraq) namanya, Nu’man bin Tsabit.
Asalnya dari Persia dan kemudian menetap di Kufah dekat Bagdad (Lahir 80 H, Wafat 150H).
Beliau ini ulama besar sehingga sampai derajat ilmunya kepada bisa menjabat Imam Mujtahid.
Beliau melaksanakan istinbath (menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits) dan beliau menjadi Imam
Mujtahid dalam Ilmu Fiqih yang kemudian dinamai mazhab Abu Hanifah, Nu’man bin Tsabit atau
mazhab Hanafi.

Imam Abu Hanifah hanya berjumpa dengan 7 orang sahabat Nabi, yaitu: Anas bin Malik, Abdullah bin
Harits, Abdullah bin Abi Aufa, Wasnilan bi Al Asda, Maaqil bin Yasar, Abdullah bin Anis, Abu Thafail.
Guru-gurunya yang lain ialah para tabi'in.
Abu Hanifah menggali hukum dari Al-Qur’an dan Hadits, baik hukum yang ditanyakan kepada beliau
atau yang belum ditanyakan.

5. Pada waktu hampir bersamaan, muncul pula di Madinah seorang ulama besar dalam ilmu Fikih,
yaitu Malik bin Anas, pembangun mazhab Maliki (Lahir 93H – Wafat 179H).
Beliau hidup pada masa tabi’in dan tabi’ tabi’in (orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi dan orang
yang berjumpa dengan orang telah berjumpa dengan sahabat Nabi)
Perbedaan umur antara Imam Hanafi dan Imam Maliki hanya 13 tahun, karena Imam Maliki lahir
tahun 93H dan Imam Hanafi tahun 80H.

Walaupun pada zaman yang sama, tetapi keadaan tempat tinggal berbeda. Imam Hanafi di Kufah (Ibu
kerajaan Islam), tetapi Imam Maliki tinggal di Madinah, negeri yang pada waktu itu boleh dikatakan
tidak ramai, hanya didiami oleh pemangku-pemangku hadits, ulama ahli tasawuf, ahli tafsir, sedang
kota Kufah didiami oleh ahli-ahli politik dan ulama-ulama fungsinya.
Pemangku-pemangku hadits yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ tabi’in banyak tinggal di Madinah.
Hal ini sangat menolong Imam Maliki dengan mudahnya dalam mengumpulkan hadits-hadits Nabi,
Sunnah Rasul.

Imam Maliki sebelum menjadi Imam Mujtahid Muthlaq telah menghafal hadits-hadits sahih sejumlah
100.000 hadits yang dikumpulkan dari gurunya. Hadits yang 100.000 itu diteliti lagi oleh beliau, diteliti
matannya, diteliti pemangkunya, dicocokan isinya dengan Al-Qur’an dan kalau kedapatan agak lemah
maka hadits itu ditinggalkannya dan tidak pakai untuk dasar hukum.
Satu keistimewaan yang harus dicatat bahwa di kota Madinah waktu itu, boleh dikatakan hanya
didiami semula oleh nabi dan sahabat-sahabat beliau, kemudian oleh tabi’in dan sesudah itu tabi’
tabi’in. Orang yang tidak demikian halnya, seumpama orang yang datang dari luar daerah tetapi
bukan sahabat dan tidak pula berjumpa dengan Nabi, ataupun berjumpa tetapi tidak iman dengan
Nabi dan orang yang bukan tabi’in (orang yang berada di Madinah tetapi tidak berjumpa dengan
sahabat, karena berada tinggal di pinggir kota, sehingga tidak berjumpa dengan sahabat Nabi). Orang
yang demikian tidak ada di Madinah pada zaman Imam Maliki.
Hal ini penting untuk dimaklumi karena Imam Maliki memakai pula dasar “amalan orang Madinah”
sebagai dasar hukum.

6. Pada zaman Imam Maliki muncul pula di Mekkah seorang tabi’ tabi’in, yaitu Muhammad bin Idris
yang kemudian ternyata pembangun mazhab Syafi’i.
Imam Syafi’i sebagai dimaklumi adalah seorang yang sering pindah-pindah tempat tinggal dari satu
negeri ke negeri lain.
Beliau tinggal di Mekkah dan bergaul dengan seluruh tabi’in, kemudian pindah ke Madinah dan
bergaul juga dengan seluruh tabi’in, pndah lagi ke Yaman dan bergaul dengan seluruh tabi’in, pindah
ke Iraq dan bergaul dengan seluruh tabi’in, pindah ke Persia, kembali lagi ke Mekkah, dari sini pindah
lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir.

Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi
untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama.
Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i, lebih banyak mendapatkan hadits daripada tabi’in yang lain,
melebih dari yang didapat oleh Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Ilmu beliau pun lebih banyak dari kedua Imam sebelumnya karena beliau banyak melihat, banyak
mendengar, banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain bukan Arab (dari Persia, Turki dll).
Hadits-hadits dicari beliau kemana-mana. Para tabi’in yang telah berjauhan tempat tinggalnya
dijumpai dan ditemui beliau. Oleh karena itu beliau banyak sekali mendapat Hadits.

7. Pada tahun 164H, lahir di Bagdad (Iraq) seorang yang bernama Ahmad bin Hanbal. Beliau lebih
muda dari Imam Syafi’i 14 tahun. Beliau wafat tahun 214H, yaitu 37 tahun terkemudian dari Imam
Syafi’i.
Barang siapa yang mempelajari riwayat Imam Hanbali ini, ia akan kagum dengan ke’alimannya,
ketaqwaannya, ketabahannya menghadapi cobaan, kezuhudannya dengan harta dunia dan
kepintarannya yang luar biasa.
Beliau, Imam Hanbali belajar agama di Baghdad dengan ulama-ulama tabi’ tabi’in.
Imam Hanbali belajar Tafsir, Hadits, Tasauf dan lain-lain, yaitu kepada murid-murid Imam Abu Hanifah
dan lain-lain, juga kepada Imam Syafi’i, ketika beliau berada di Bagdad.
Imam Hanbali kemudian sampai derajat ilmunya kepada Mujtahid yang bisa berijtihad sendiri, lepas
dari ijtihad guru-gurunya. Sebagai bukti atas ke’aliman beliau adalah sebagai yang diceritakan oleh
anak beliau sendiri Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa, "ayahku telah menghafal
diluar kepala 10.000.000 (sepuluh juta)".
Di dalam kitab al Masnad karangan Imam Ahmad bin Hanbal yang kemudian terkenal dengan nama
Masnad Ahmad bin Hanbal dikumpulkannya empat puluh ribu (40.000) hadits, yaitu hadits-hadits
yang disaringnya dari yang 10.000.000 itu.

Di antara Imam Mujtahid yang empat ini terdapat persamaan dan perbedaan dalam cara-cara
mengagali hukum (istinbath) dalam menghadapi peristiwa-peristiwa/permasalahan yang terjadi.
Setiap beliau yang berempat ini dalam satu masalah yang terjadi, mula-mula sekali melihat dan
mencari hukum dalam Al-Qur’an. Kalau dalam satu masalah tersebut ada hukumnya dalam Al-Qur’an,
syukur, tetapi kalau tidak ada maka beliau-beliau itu pindah kepada yang kedua yaitu Hadits/Sunnah
Rasul.
Salah satu kenyataan dalam fiqh adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Adapun
sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah karena berbeda dalam memahami dan
mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam Al-Qur'an maupun hadits.
AQIDAH IMAM EMPAT
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al Atsari
“Bagilah masjid-masjid antara kami dengan Hanafiyah [1] karena Si Fulan, salah seorang ahli fiqih
mereka, menganggap kami sebagai ahli dzimmah! [2]” Usulan ini disampaikan oleh beberapa tokoh
Syafi’iyyah[3] kepada mufti Syam pada akhir abad 13 Hijriyah.
Selain itu, banyak ahli fiqih Hanafiyah memfatwakan batalnya shalat seorang Hanafi di belakang imam
seorang Syafi’i. Demikian juga sebaliknya, sebagian ahli fiqih Syafi’iyah memfatwakan batalnya shalat
seorang Syafi’i di belakang imam seorang Hanafi.
Ini di antara contoh sekian banyak kasus fanatisme madzhab yang menyebabkan perselisihan dan
perpecahan umat Islam [4]. Realita yang amat disayangkan, bahkan dilarang di dalam agama Islam.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
‫ت هللاِ َعلَ ْي ُك ْم إِ ْذ ُكنتُ ْم أَ ْعدَآ ًء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِ ُك ْم فَأَصْ بَحْ تُم بِنِ ْع َمتِ ِه إِ ْخ َوانًا‬
*َ ‫َص ُموا بِ َحب ِْل هللاِ َج ِميعًا َوالَ تَفَ َّرقُوا َو ْاذ ُكرُوا نِ ْع َم‬
ِ ‫َوا ْعت‬
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara. [Ali
‘Imran/3 : 103].
Mengapa orang-orang yang mengaku sebagi para pengikut Imam Empat itu saling bermusuhan?
Apakah mereka memiliki aqidah yang berbeda? Bagaimana dengan aqidah Imam Empat?
Benar, ternyata banyak di antara para pengikut Imam Empat memiliki aqidah yang menyimpang dari
aqidah imam mereka. Walaupun secara fiqih mereka mengaku mengikuti imam panutannya. Banyak
di antara para pengikut itu memiliki aqidah Asy’ariyah atau Maturidiyah atau Shufiyah atau lainnya,
aqidah-aqidah yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Padahal imam-imam mereka
memiliki aqidah yang sama, yakni aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, aqidah Ahli Hadits.
IMAM EMPAT
Istilah Imam Empat yang digunakan umat Islam pada zaman ini, mereka ialah:
1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit rahimahullah, dari Kufah, Irak (hidup th 80 H – 150 H).
2. Imam Malik bin Anas rahimahullah, dari Madinah (hidup th 93 H – 179 H)
3. Imam Syafi’i Muhammad bin Idris rahimahullah, lahir di Ghazza, ‘Asqalan, kemudian pindah ke
Mekkah. Beliau bersafar ke Madinah, Yaman dan Irak, lalu menetap dan wafat di Mesir (hidup th 150
H – 204 H).
4. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dari Baghdad, ‘Irak (hidup th 164 H – 241 H).
Empat ulama ini sangat masyhur di kalangan umat Islam. Kepada empat imam inilah, empat madzhab
fiqih dinisbatkan.
AQIDAH IMAM EMPAT
Siapapun yang meneliti aqidah para ulama Salafush Shalih, maka ia akan mendapatkan bahwa aqidah
mereka adalah satu, jalan mereka juga satu. Para ulama Salafush Shalih tidak berpaling dari nash-nash
Al Kitab dan Sunnah, dan tidak menentangnya dengan akal, perasaan, atau perkataan manusia.
Mereka mempunyai pandangan yang jernih, bahwa aqidah itu tidak diambil dari seorang ‘alim
tertentu, bagaimanapun tinggi kedudukannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun i’tiqad (aqidah, keyakinan), maka
tidaklah diambil dariku, atau dari orang yang dia lebih besar dariku. Tetapi diambil dari Allah dan
RasulNya, dan keyakinan yang disepakati oleh salaful ummah (umat Islam yang telah lalu, para
sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Maka apa yang ada di dalam Al Qur’an wajib diyakini.
Demikian juga yang hadits-hadits yang shahih telah pasti, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim”
[5]. Imam Al Ashfahani rahimahullah berkata: “Seandainya engkau meneliti seluruh kitab-kitab
mereka (Ahlu Sunnah) yang telah ditulis, dari awal mereka sampai yang akhir mereka, yang dahulu
dari mereka dan yang sekarang dari mereka, dengan perbedaan kota dan zaman mereka, dan jauhnya
negeri-negeri mereka, masing-masing tinggal di suatu daerah dari daerah-daerah (Islam); engkau
dapati mereka dalam menjelaskan aqidah di atas jalan yang satu, bentuk yang satu. Pendapat mereka
dalam hal itu (aqidah) satu. Penukilan mereka satu. Engkau tidak melihat perselisihan dan perbedaan
pada suatu masalah tertentu, walaupun sedikit. Bahkan seandainya engkau kumpulkan seluruh apa
yang lewat pada lidah mereka dan apa yang mereka nukilkan dari Salaf (orang-orang dahulu) mereka,
engkau mendapatinya seolah-olah itu datang dari satu hati dan melalui satu lidah”. [6]
Termasuk Imam Empat, mereka berada di atas satu aqidah. Para ulama terkenal dari berbagai
madzhab telah menulis aqidah Imam Empat ini, dan mereka semua memiliki aqidah yang sama.
Secara terperinci, aqidah Imam Empat ini antara lain dapat dilihat di dalam kitab Ushuluddin ‘Inda
Aimmatil Arba’ah Wahidah, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari, dosen aqidah Universitas Imam
Muhammad bin Sa’ud Qashim dan kitab Mujmal I’tiqad Aimmatis Salaf, karya Dr. Abdullah bin Abdul
Muhsin At Turki, Rektor Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud.
IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Aku berpegang kepada kitab Allah. Kemudian yang tidak
aku dapatkan (di dalam kitab Allah, aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Jika aku tidak mendapatkannya di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang
kepada perkataan-perkataan para sahabat Beliau. Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang
aku kehendaki, dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki di antara mereka. Dan aku
tidak akan meninggalkan perkataan mereka (dan) mengambil perkataan selain (dari) mereka”.
[Riwayat Ibnu Ma’in di dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh
Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim].
Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (wafat 321 H), salah seorang ulama Hanafiyah, menulis sebuah risalah
tentang aqidah, yang kemudian terkenal dengan nama “Aqidah Ath Thahawiyah”. Beliau
membukanya dengan perkataan: “Ini peringatan dan penjelasan aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah di
atas jalan ahli fiqih-ahli fiqih agama: Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin
Ibrahim Al Anshari, Abu Abdillah Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, dan yang mereka yakini,
berupa ushuluddin (pokok-pokok agama), dan cara beragamanya mereka (dengannya) kepada Rabbul
‘Alamin”. [Kitab Aqidah Ath Thahawiyah]
As Subki rahimahullah memberikan komentar terhadap “Aqidah Ath Thahawiyah” dengan perkataan :
“Madzhab yang empat ini –segala puji hanya bagi Allah- satu dalam aqidah, kecuali di antara mereka
yang mengikuti orang-orang Mu’tazilah dan orang-orang yang menganggap Allah berjisim [7], Namun
mayoritas (pengikut) madzhab empat ini, berada di atas al haq. Mereka mengakui aqidah Abu Ja’far
Ath Thahawi yang telah diterima secara utuh oleh para ulama dahulu dan generasi berikutnya”.
[Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 28, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari].
Penerimaan para ulama terhadap Aqidah Ath Thahawiyah adalah secara umum. Karena ada beberapa
perkara yang perlu dikoreksi, sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh pensyarah (pemberi
penjelasan) Aqidah Ath Thahawiyah, (yaitu) Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi. Demikian juga oleh para
ulama belakangan, seperti Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam ta’liq (komentar) beliau, Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam syarah dan ta’liq beliau, dan Syaikh Dr. Muhammad bin
Abdurrahman Al Khumais di dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah Al Muyassar. Namun secara
umum, para ulama menerima kebenaran aqidah tersebut.
IMAM MALIK BIN ANAS
Imam Malik bin Anas rahimahullah dikenal sebagai ulama yang tegas dalam menyikapi bid’ah. Di
antara perkataan beliau yang masyhur ialah: “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) di dalam
Islam (dan) ia menganggapnya sebagai kebaikan, maka ia telah menyangka bahwa (Nabi) Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah Ta’ala berfirman:
‫يت لَ ُك ُم ْا ِإل ْسالَ َم ِدينًا‬
ُ ‫ض‬ *ُ ‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم َوأَ ْت َم ْم‬
ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر‬ ُ ‫ْاليَوْ َم أَ ْك َم ْل‬
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. [Al Maidah:3]
Maka apa-apa yang pada hari itu bukan agama, pada hari ini pun tidak menjadi agama”. [8]
Imam Ibnu Abi Zaid Al Qairawani rahimahullah, (wafat 386 H), salah seorang ulama Malikiyah, menulis
sebuah risalah tentang aqidah, dan berisi aqidah Ahlu Sunnah, sama dengan aqidah ulama lainnya.
IMAM ASY SYAFI’I
Imam Syafi’i rahimahullah  berkata: “Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka (semua) alasan
tertolak atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu
tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
atau salah satu dari mereka”. [Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35.
Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36].
Dan telah masyhur perkataan Imam Syafi’i rahimahullah : “Aku beriman kepada Allah dan kepada apa
yang datang dari Allah (yakni Al Qur’an, Pen), sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Aku beriman
kepada utusan Allah dan kepada apa yang datang dari utusan Allah (yakni Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, -pen), sesuai dengan yang dikehendaki utusan Allah” [9]. Imam Abu
Bakar Al Isma’ili Al Jurjani rahimahullah, (wafat 371 H), salah seorang ulama Syafi’iyah, menulis
sebuah risalah tentang aqidah. Beliau membukanya dengan perkataan: “Ketahuilah, semoga Allah
memberikan rahmat kepada kami dan kalian, bahwa jalan Ahli Hadits, Ahli Sunnah wal Jama’ah, ialah
mengakui kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan menerima apa
yang dikatakan oleh kitab Allah Ta’ala, dan apa yang telah shahih riwayatnya dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam” [10].
IMAM AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Pokok-pokok Sunnah menurut kami ialah,
berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atasnya,
dan meneladani mereka … “ [Riwayat Al Lalikai]
Imam Abu Muhammad Al Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al Barbahari rahimahullah (wafat 329 H), salah
seorang ulama Hanbaliyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah; aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah,
yang bernama Syarhus Sunnah. Di antara yang beliau katakan di awal kitab ini ialah: “Ketahuilah,
semoga Allah memberikan rahmat kepadamu. Bahwa agama hanyalah yang datang dari Allah
Tabaraka wa Ta’ala (Yang Banyak Memberi Berkah dan Maha Tinggi), tidak diletakkan pada akal-akal
manusia dan fikiran-fikiran mereka. Dan ilmunya (agama) di sisi Allah dan di sisi RasulNya. Maka
janganlah engkau mengikuti sesuatu dengan hawa-nafsumu, sehingga engkau akan lepas dari agama
dan keluar dari Islam. Sesungguhnya tidak ada argumen bagimu, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah menjelaskan Sunnah (ajaran agama/aqidah) kepada umatnya, telah menerangkannya
kepada para sahabat Beliau, dan mereka adalah Al Jama’ah. Mereka adalah As Sawadul A’zham
(golongan mayoritas). Dan As Sawadul A’zham (yang dimaksudkan) adalah al haq dan pengikutnya.
Barangsiapa menyelisihi para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sesuatu dari
urusan agama, (maka) dia telah kafir”.[11]
KESALAHAN YANG WAJIB DILURUSKAN
Ada beberapa kesalahan yang harus dibenarkan seputar kesatuan aqidah para ulama. Di antaranya:
1. Anggapan bahwa beragamnya madzhab (pendapat yang diikuti) dalam masalah fiqih, berarti
beragamnya aqidah para imam.
Anggapan ini batil, sebagaimana telah kami sampaikan tentang kesatuan aqidah para ulama Ahlu
Sunnah. Nampaknya, anggapan ini sudah ada semenjak lama. Pada zaman Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah, beliau menampakkan aqidah Salafiyah Ahli Sunnah wal Jama’ah, (tetapi)
beliau dituduh menyebarkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kemudian beliau
menjawab: “Ini adalah aqidah seluruh imam-imam dan Salaf (para pendahulu) umat ini, yang mereka
mengambilnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah aqidah Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam“. Lihat Munazharah Aqidah Al Wasithiyah.
2. Anggapan bahwa perbedaan Ahlu Sunnah dengan firqah Syi’ah dan semacamnya dari kalangan Ahli
Bid’ah, seperti perbedaan di antara madzhab empat.
Bahkan saat sekarang ini, di negara Mesir muncul lembaga yang disebut Darut Taqrib, dengan
semboyan mendekatkan antara Madzhab Enam. Yaitu madzhab Hanafiyah, madzhab Malikiyah,
madzhab Syafi’iyah, madzhab Hanbaliyah, madzhab (Syi’ah) Zaidiyah, dan madzhab (Syi’ah) Al Itsna
‘Asyariyah. Lembaga ini menganggap, bahwa madzhab empat yang beraqidah Ahlu Sunnah, sama
seperti Syi’ah yang sesat. Padahal telah kita ketahui, sebagaimana kami sampaikan di atas, bahwa
aqidah seluruh imam itu satu, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun Syi’ah, Rafidhah, maka
para ulama telah sepakat bahwa mereka adalah ahli bid’ah.
Setelah kita mengetahui bahwa aqidah Imam Empat sama, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah,
bukan aqidah Asy’ariyah, bukan pula aqidah Maturidiyah, maka sepantasnya orang-orang yang
menyatakan mengikuti imam-imam tersebut dalam masalah fiqih, juga mengikuti imam mereka
dalam masalah aqidah. Dengan begitu mereka akan bersatu di atas al haq. Wallahul Musta’an.
[Disalin dari majalah As

Anda mungkin juga menyukai