Anda di halaman 1dari 9

PERT KOMPETENSI AKHIR INDIKATOR PENILAIAN BAHAN KAJIAN METODE PENGALAMAN BOBOT

. PEMBELAJARAN BELAJAR NILAI


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
14 Memahami dan mampu 1. Keaktifan dalam tanya Pengertian, tujuan, Ceramah dan Tugas 4%
menjelaskan mengenai jawab fungsi, dan maksud Tanya jawab
Ibadah 2. Kualitas pertanyaan dari
3. Sikap dalam diperintahkannya
berkomunikasi ibadah

PERTEMUAN KEEMPAT BELAS


IBADAH

1. TUJUAN PEMBELAJARAN
1.1. Memahami dan mampu menjelaskan mengenai definisi ibadah,
1.2. Memahami dan mampu menjelaskan apa maksud dari diperintahkannya umat Islam
beribadah kepada Allah,
1.3. Memahami dan mampu menjelaskan relevansi antara keshalihan individual dengan
keshalihan sosial.

2. URAIAN MATERI
Pendahuluan

Agama mengajarkan tentang prinsip-prinsip keimanan terhadap yang Gaib. Ajaran itu
disebut dengan Teologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang hakikat dan eksistensi Tuhan.
Yaitu menjelaskan hakikat keberadaan Tuhan sebagai pencipta dan penjaga makhluk (alam
semesta, termasuk manusia). Penjelasan teologis mengenai eksistensi Tuhan memang tidak
selalu memuaskan akal. Sebaliknya, akal pun tidak akan mampu secara paripurna
mendeskripsikan Tuhan dan di mana keberadaan-Nya. Dengan demikian, dalam teologi ada
hal yang hanya cukup diimani (dipercayai) dengan dihayati. Tapi tetap menyisakan ruang
untuk kebebasan berpikir. Hal yang dapat dijelaskan melalui akal kita itu adalah perihal
manusia tidak boleh menyembah kepada sesama makhluk, misalnya terhadap berhala, benda
atau makhluk hidup yang dikeramatkan dan lain sebagainya. Praktek syirk (politeisme) tidak
hanya bertentangan dengan dogma keagamaan, tapi juga mengingkari akal sehat manusia.
Ketundukan terhadap Tuhan harus dimanivestasikan dalam praktek kehidupan. Ia
tidak dapat diukur hanya berdasarkan penghayatan dan keyakinan yang masih tersembunyi
dalam sanubari manusia. Untuk menunjukkan bentuk ketaatannya, umat beragama
membangun beragam ritual sebagai bentuk penghayatan, keimanan, dan ketundukan sebagai

Ibadah 130
ungkapan rasa syukur atas limpahan karunia yang Tuhan gelar di alam jagad semesta.
Beragam ritual itu dimanivestasikan ke dalam pengorbanan (salvation), doa-doa (prayings),
dan bentuk-bentuk aktivitas lainnya. Keragaman ritual itu sudah pasti dipengaruhi oleh latar
belakang keyakinan keagamaan seseorang yang bersumber dari interpretasi pemuka dan umat
beragamanya, kultur, serta sosiologis.
Ritual dalam terminologi Islam disebut dengan ibadah. Ibadah memberikan
penjelasan tentang hakikat ketundukan manusia terhadap Allah dalam konteks hubungan
dengan Sang Pencipta (habl-un min-a ‘l-Lâh). Diskursus mengenai ibadah dalam Islam
mengandung pengertian yang cukup luas. Sebelum menjelaskannya lebih detail ke depan,
kiranya ada beberapa hal yang mesti dibahas juga tentang aspek ibadah dalam Islam.
pertama, apa makna ibadah dalam Islam? kedua, apa maksud dari diperintahkannya umat
Islam beribadah kepada Allah? ketiga, mengapa ada relevansi antara keshalihan individual
dengan keshalihan sosial?

Makna Ibadah

Di atas telah disinggung mengenai ibadah sebagai salah satu refleksi ketundukan umat
Islam terhadap Allah yang dikonotasikan sebagai intensitas hubungan manusia dengan Allah
(habl-un min-a ‘l-Lâh). Lalu apakah makna dari ibadah itu sendiri? Secara etimologis ibadah
diartikan dengan taat, tunduk, menuruti, mengikuti dan doa. Menurut ulama tauhid (ushul-u
‘l-dîn), ibadah disebut sebagai upaya mengesakan Allah dengan sungguh-sungguh dan
merendahkan diri serta menundukkan jiwa setunduk-tunduknya kepada Allah. Sedangkan
ibadah menurut ulama fiqh (syarî‘ah) adalah semua bentuk pekerjaan dan kegiatan yang
bertujuan memperoleh ridla Allah demi mendambakan pahala dari-Nya di akhirat.1 Dengan
demikian dapat disimpulkan, ibadah merupakan bentuk pengabdian dan dedikasi manusia
kepada Allah yang direfleksikan dalam beragam ritual. Pelaksanaan ibadah hanya dapat
dilakukan dengan ketaatan.2
Dari segi pelaksanaannya, ibadah dibagi dalam tiga bentuk. Pertama, adalah ibadah
yang bersifat jasmâniyyah-ruhâniyyah. Ibadah yang demikian terdapat dalam praktek shalat
dan puasa. Kedua, ibadah yang dilaksanakan berdasarkan ruhâniyyah-mâliyyah. Praktek
ibadah ini melibatkan aspek ruhani dan harta seseorang, contohnya adalah ketaatan
1
Ensikolopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1995), vol. 2, h. 143
2
Dalam hal ini Allah berfirman dalam Q.S. Yâsîn: 60 yang mengandung pengertian bahwa ibadah
sejatinya harus diselenggarakan dengan penuh ketaatan mutlak dan sepenuh hati. Di samping itu, ibadah tidak
boleh dilaksanakan kepada selain Allah. Adapun ayat tersebut berbunyi yang artinya, “ Bukankah Aku telah
memerintahkan kepada kamu wahai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan, sesungguhnya setan
itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

Ibadah 131
membayar zakat dan kerelaan memberikan sedekah. Ketiga, ibadah dalam kategori
jasmâniyyah-ruhâniyyah-mâliyyah. Ibadah ini melibatkan ketiga unsur penting dalam
manusia, yaitu selain harus melibatkan praktek jasmaniah, juga keikhlasan hati, serta kerelaan
mengorbankan harta benda. Contoh dari bentuk ibadah ini ditemukan dalam praktek ibadah
haji.3
Sementara itu, dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah terdiri dari lima macam: pertama,
ibadah yang dilakukan dalam bentuk lisan dan perkataan. Contohnya adalah membaca al-
Qur’an, berdzikir, bertutur kata yang baik dan berdoa. Kedua, ibadah yang dilakukan dalam
bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti menolong orang yang sedang
dalam kesulitan, menuntut ilmu, mengurus jenazah, berjihad dan lain sebagainya. Ketiga,
ibadah yang dilakukan berbadasarkan perbuatan yang telah ditentukan secara normatif dalam
syariat. Contohnya adalah shalat, puasa, zakat dan haji. Keempat, yang tata cara dan
pelaksanaannya berbentuk dan bersifat menahan diri seperti puasa, menahan amarah, i‘tikâf
(berdiam diri) dan lain sebagainya. Kelima, ibadah dalam bentuk menggugurkan hak, seperti
memaafkan orang yang melakukan kesalahan terhadap dirinya, membebaskan orang dari
hutang dan lain sebagainya.4
Adapun macam-macam ibadah secara garis besarnya dibedakan ke dalam dua
kategori. Pertama, ibadah khâshshah (khusus), biasa disebut dengan ibadah mahdlah (ibadah
yang telah ditentukan). Ibadah dalam kategori pertama ini ketentuan dan pelaksanaannya
telah ditentukan berdasarkan nash (petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis).
Contohnya adalah shalat, puasa, zakat, dan haji, di mana kewajiban untuk melaksanakannya
ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur’an, sementara tata caranya ditentukan berdasarkan
petunjuk yang disampaikan Rasulullah melalui hadis.
Kedua, ibadah âmmah (umum), yaitu suatu perbuatan yang akan mendatangkan
kebaikan, baik secara individu dan kepada orang lain, seperti makan dan minum yang halal
dan baik, bekerja mencari nafkah, menuntut ilmu dan lain sebagainya. Di samping bahwa
dalam ibadah âmmah akan mendatangkan kebaikan bagi individu dan orang lain, juga
dimaksudkan ibadah ini dilakukan untuk meraih ridlâ Ilâhi.5

Hakikat dan Tujuan Ibadah

3
Ensiklopedi Islam, op.cit., h. 143
4
Ibid, h. 143
5
Ibid, h. 144-145

Ibadah 132
Hakikat dan tujuan dari dilaksanakannya ibadah adalah untuk menyembah Allah.
Pernyataan ini didasarkan pada dalil al-Qur’an dalam Q.S. al-Dzâriyât: 56, yang artinya,
“Tidaklah Ku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi (beribadah) kepada-Ku.”
Namun ada pertanyaan kritis yang pernah disampaikan oleh Harun Nasution dalam konteks
memaknai tujuan dan hakikat ibadah, “apakah Allah membutuhkan untuk disembah dan
dipuja oleh manusia?” Berdasarkan hal itu, Harun menolak mengartikan kata ‫ ليعبدون‬sebagai
mengabdi, beribadah, memuja, apalagi menyembah. Kata tersebut lebih tepat diartikan
dengan tunduk atau patuh. Dengan demikian Q.S. al-Dzâriyât: 56, sebagaimana dijelaskan
oleh Harun dapat diartikan sebagai, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk
tunduk (patuh) kepada-Ku.”6
Berdasarkan bentuk pelaksanaan ibadah, ia tidak semata berupa aktivitas jasmaniah
yang dimanivestasikan ke dalam bentuk perbuatan-perbuatan, tapi juga peningkatan dan
pengembangan kepekaan (sensitivitas) ruhaniyah yang pada akhirnya akan terimplementasi
ke dalam peningkatan moralitas dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, Harun
Nasution berpendapat bahwa ibadah itu dilakukan dengan tujuan untuk mendekatkan diri
dengan Allah, agar dengan demikian ruh manusia diingatkan kepada hal-hal yang bersih lagi
suci. Dengan demikian, sensitivitas ruhani seseorang, dengan terus-menerus diasah melalui
ibadah akan menjadi lebih tajam dan kuat.7 Bagi para ulama sufi, ibadah tidak hanya sekedar
menunjukkan cara untuk berjumpa dan mendekatkan diri dengan Allah melalui jalan
spiritual, di samping itu juga sebagai sarana latihan moral.
Praktek ritual dalam agama Islam dimanivestasikan ke dalam beberapa aktivitas
berikut, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Shalat, merupakan ritual terpenting dalam
agama Islam. Hukum mengerjakannya adalah wajib. Bahkan hampir-hampir tidak ada alasan
bagi setiap muslim untuk dapat meninggalkannya. 8 Karenanya dalam kitab-kitab fiqh,
pembahasan tentang shalat sangat dominan. Perkara yang dibahas tidak sebatas tata cara,
bacaan dan doa-doa yang disampaikan melalui shalat. Tapi juga aktivitas sebelum dan
sesudah shalat itu pun juga menjadi perhaaptian.
Shalat, sebelum dilakukan harus dimulai dengan penyucian jasmaniyah dengan
berwudlu. Oleh sebab itu, air yang akan digunakan dalam berwudlu pun menjadi topik
6
Harun Nasution, Islam Ditijau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2015), Jil. 1, h. 32-33
7
Ibid, h. 34
8
Ada hadis yang menjelaskan tentang keadaan seseorang dapat meninggalkan kewajibannya, di
antaranya adalah shalat. Hadis itu berbunyi, “Dihapuskannya satu perkara disebabkan tiga hal: pertama,
seseorang yang tertidur sampai ia terbangun, kedua, anak kecil sampai dia menjadi dewasa, dan ketiga, adalah
orang yang hilang akal (gila) sampai dia kembali waras.” Dalam kasus shalat, jikalah seseorang itu berada
dalam ketiga keadaan tersebut, seperti tertidur, menurut beberapa ulama bukan berarti shalatnya dapat
ditinggalkan. Namun pelaksanaannya dapat diganti (qadlâ) di waktu yang lain. Lihat Fath-u ‘l-Mu‘în.

Ibadah 133
penting dalam pembahasan mengenai shalat. Hakikat dari wudlu adalah penyucian, oleh
sebab itu air yang digunakan mestilah yang suci dan menyucikan. Sudah barang tentu tidak
boleh sembarangan menggunakan air. Dalam konteks ini banyak ulama yang mendefinisikan
maksud dari air yang suci dan menyucikan itu, serta berapa takaran air yang dapat digunakan
untuk berwudlu. Di samping itu, jika air tidak ditemukan, shalat tetap harus dilaksanakan,
cara bersucinya adalah dengan tayamum. Dalam berwudlu, sekalipun yang dibersihkan
adalah muka, hidung, tangan, kuping, kepala dan kaki, tapi memiliki maksud utama bahwa
yang disucikan itu adalah hati kita sendiri.9
Shalat dimulai setelah prosesi penyucian jasmaniyah dan ruhaniyah tadi rampung,
dengan menghadapkan diri ke bayt-u ‘l-Lâh (Ka‘bah) di manapun kita berada. Selanjutnya,
prosesi shalat dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam. Harun Nasution berpendapat
bahwa aktivitas fisik dalam shalat jika dihayati dengan penuh kepasrahan dan ketundukan
maka akan berdampak pada peningkatan moral manusia. 10 Secara normatif dijelaskan dalam
al-Quran dan hadis bahwa shalat memang dimaksudkan untuk melatih moralitas umat Islam
menjadi lebih baik. Dalam Q.S. al-‘Ankabût: 45 dijelaskan, “Sesungguhnya shalat itu
mencegah perbuatan jahat (buruk) dan tidak baik (munkar).” Di samping itu ada hadis yang
berbunyi, “Tidaklah seseorang itu dapat dikatakan shalat jika tidak mampu mencegah
perbuatan buruk dan munkar.”
Ketaatan seorang Muslim akan tercermin dari praktek shalatnya. Seyyed Hossein
Nasr berpendapat bahwa pelaksanaan shalat yang lima waktu dalam sehari itu dimaksudkan
sebagai jalan kita untuk terus memperbaharui ruhani.11 Memperbaharui nurani yang dimaksud
adalah upaya menjaga kesucian hati serta terus meningkatkan kesucian ruhani tersebut untuk
dapat berjumpa dengan Allah. Selanjutnya Nasr menjelaskan, bahwa shalat adalah
penyegaran bagi jiwa, pencegahan dari tindakan merusak, dan tempat perlindungan bagi
orang-orang beriman dalam menghindari badai kehidupan.12
Pembaharuan ruhani sebagaimana dimaksud oleh Nasr di atas merupakan sebuah
tangga pendakian manusia berjumpa dengan Allah. Dalam pendakian itu sudah barang tentu
manusia akan menjumpai banyak pengalaman spiritual. Tapi tidak semua orang memiliki
pengalaman spiritual yang sama dalam shalat. Semakin tinggi maqam (kedudukan) seseorang
tentu semakin luas dan kaya dibandingkan dengan para pemula dan kaum awwam dalam
9
John L. Esposito, Islam Warna-Warni: Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus, terj., Arif Maftuhin,
(Jakarta: Paramadina, 2007), h. 111
10
Harun Nasution, op.cit., h. 34
11
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, terj.
Nurasiah Fakih Sultan Harahap, (Bandung: Mizan, 2003), h. 157
12
Ibid, h. 158

Ibadah 134
mengapresiasi pengalaman shalat tersebut. Namun semakin, rutinitas ibadah ini dilakukan
dengan penuh ketundukan dan kepasrahan, maka akan semakin kaya ragam pengalaman
spiritual yang akan dijumpainya.13
Ibadah mahdlah kedua adalah puasa. Puasa yang diwajibkan dalam Islam adalah
puasa satu bulan penuh di bulan Ramadlan. Kewajiban berpuasa dirujuk dari dalil al-Qur’an
pada Q.S. al-Baqarah: 183, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu untuk
berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, agar kamu sekalian
menjadi orang yang bertakwa.” Kegiatan ibadah puasa ini adalah menahan diri dari aktivitas
makan, minum dan berhubungan seksual mulai dari terbitnya fajar, hingga tenggelamnya
matahari. Secara sederhana kita sering menyebutnya mulai dari bedug subuh sampai bedug
maghrib.
Tujuan dari puasa adalah melatih diri menjadi manusia yang bertakwa. Secara
sederhana, Harun Nasution mendefinisikan takwa sebagai bentuk pengamalan atas perbuatan-
perbuatan yang baik dan menjauhkan diri dari perbuatan yang buruk. Banyak hadis yang
menyindir dari orang-orang melakukan puasa tapi tetap tidak mampu menahan dirinya dari
prilaku buruk, seperti tetap berkata yang menyakitkan orang, tidak mampu menahan amarah,
dan berlaku aniaya. Yang dengan itu dikatakan bahwa amalan puasanya hanya mendapatkan
lapar dan haus belaka. Bahkan bisa dikatakan puasanya tidak ada gunanya.14
Kiranya sebulan penuh melatih diri mengendalikan hawa nafsu dengan berpuasa
cukup untuk mendidik kita sebagai manusia yang bertakwa. Proses pelatihan itu dimulai dari
latihan fisik yaitu menahan lapar, dahaga dan hasrat seksual. Ketiganya, menurut ulama sufi,
merupakan pusat dari segala nafsu yang menguasai manusia. Jika manusia tidak mampu
mengendalikan nafsu dan memperturut hasrat untuk menguasai dunia serta biologisnya, maka
manusia pasti akan terjerembab ke dalam lembah kenistaan. Dalam bulan tersebut, selain
memang manusia melatih diri mengendalikan hawa nafsu, Ramadlan adalah bulan yang tepat
bagi kita untuk merenung dan menempa spiritualitas sebagai ekspresi rasa terima kasih atas
anugerah yang tiada tara, petunjuk yang telah diberikan dan memohon ampunan atas
kesalahan di masa lampau.15 Puasa menggambarkan bahwa betapa lemah dan tak berdayanya
manusia, karenanya ia amat sangat tergantung pada kasih-Nya Allah.
13
Dalam konteks itu yang dimaksud adalah, ada orang-orang tertentu ketika dalam shalat tidak
merasakan lagi dirinya berjejak di bumi. Kesadarannya hilang ditelan Kemahaagungan Allah. Secara nyata
dijabarkan dalam sebuah peristiwa di mana Ali Ibn Abi Thalib yang hampir meregang nyawa karena tertancap
panah dan dioperasi untuk mengambil anak panah tersebut dalam keadaan sedang melaksanakan shalat.
Dalam shalatnya, Ali tidak merasakan apapun ketika panah itu diambil dari badannya, selain kenikmatan tiada
tara larut dalam semesta Keagungan Allah.
14
Harun Nasution, op.cit., 36
15
John L. Esposito, op. cit., h. 113

Ibadah 135
Selanjutnya, menurut Seyyed Hossein Nasr, salah satu makna dalam berpuasa adalah
bahwa kita seolah memakai pakaian kematian dan menjauhkan diri dari nafsu yang mengikat
manusia pada dunia. Karenanya puasa adalah masa pelatihan disiplin diri yang kuat, praktek
kesabaran dan keteguhan menghadapi kesulitan demi meraih keridlaan Allah. Di samping itu,
puasa juga merupakan momentum untuk mengembangkan rasa belas kasih yang lebih besar
terhadap orang-orang yang tak berpunya dan ikut merasakan penderitaan mereka yang tidak
bisa mendapatkan makan dan minum.
Ibadah selanjutnya adalah zakat. Perintah membayar zakat terdapat dalam Q.S. al-
Tawbah: 103, “Ambillah zakat dari harta mereka, dengan demikian engkau akan
membersihkan dan menyucikan mereka.” Zakat adalah ibadah yang bertujuan untuk
membantu sesama dengan mendistribusikan kekayaan dari yang berpunya kepada yang tidak
berpunya. Di samping itu melalui zakat kesenjangan ekonomi dapat diantisipasi. Ada juga
amalan yang mirip dengan zakat. Ia disebut dengan sedekah, hibah, wakaf dan lain
sebagainya. Tapi hukum mempraktekkan amalan-amalan tersebut adalah sunnah, tidak wajib
seperti zakat.
Orang yang memberi sedekah disebut dengan dermawan, tapi tidak bisa disebutkan
kepada orang yang bayar zakat. Zakat adalah kewajiban bagi setiap Muslim untuk
mengeluarkan sebagian kecil hartanya untuk dibagikan kepada yang kurang beruntung.
Bagaimanapun dari harta yang kita miliki, ada hak orang lain yang mesti dikeluarkan.
Diwajibkannya zakat secara moral dimaksudkan untuk mengikis penyakit kikir dan
senantiasa ringan untuk mengulurkan tangan kepada setiap orang yang membutuhkan
pertolongan.
Terakhir adalah ibadah Haji. Perintah ibadah haji disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah:
197, “Haji, bulan-bulannya dikenal, barang siapa memutuskan untuk melakukan haji, maka
pada waktu itu tidak ada lagi kata-kata tak sopan, cacian dan pertengkaran.” Ibadah haji
adalah ibadah berziarah ke “rumah Allah” (Ka‘bah), sebuah situs yang dibangun oleh Nabi
Ibrahim dan anaknya, Ismail. Banyak ritual yang dilakukan dalam berhaji: wuquf (berdiam)
di ‘Arafah, mabît (bermalam) di Muzdalifah sembari mengumpulkan kerikil, lontar jumroh,
thawaf (berkeliling di Ka‘bah sebanyak tujuh putaran), sya‘i (lari-lari kecil antara bukit shafa
dan marwa), dan tahallul (mencukur rambut). Dan seluruh ibadah haji itu hanya dapat
dikerjakan dengan berpakaian ihrâm.
Banyak simbol yang terdapat dalam ibadah haji. Wuquf di ‘Arafah memberi makna
tentang perjumpaan seluruh umat manusia. Di tempat inilah Adam-Hawa dipertemukan
setelah keduanya “terusir” dari surga. Selain itu, berkumpulnya semua manusia di tempat ini

Ibadah 136
menandai bahwa kedudukan dan pangkat dunia seseorang tidak akan membuatnya menjadi
lebih mulia dengan lainnya. Semua manusia disimbolkan dalam kegiatan ini adalah sama.
Karenanya Allah kumpulkan seluruh manusia di tempat ini, di waktu yang bersamaan, untuk
satu tujuan yaitu berdoa dan mengaggungkan namanya.
Melontar jumroh adalah simbol dari sikap permusuhan abadi antara manusia dengan
syetan. Ibadah ini diinspirasi oleh Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim. Siti Hajar coba dirayu oleh
Iblis agar membatalkan Nabi Ibrahim yang bertekad akan menyembelih Nabi Ismail yang
didasarkan perintah Allah melalui mimpi. Hajar bukannya malah tergoda, malah dia balik
melawan Iblis dengan cara melemparkan batu-batu kerikil ke arahnya.
Selanjutnya, masih sebuah aktivitas dalam haji yang diinspirasi Siti Hajar, sya‘î.
Ketika itu Siti Hajar dan anaknya Ismail yang masih bayi ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim di
sebuah tempat yang tandus. Dalam keadaan kebingungan itu, Hajar berlari ke sana ke mari
dari bukit Shafa dan Marwa mencari air. Namun air tidak juga ditemukan. Hingga akhirnya
langkahnya terhenti ketika ia melihat ada air mengalir di bawah kaki Ismail. Hajar berlari
kegirangan menuju Ismail, seraya meraup air itu dan berkata, “zamzam, zamzam, zamzam...”
Adapun berputar tujuh kali di hadapan Ka‘bah merupakan simbol dari alam semesta
yang senantiasa berputar mengelilingi porosnya. Sementara dalam ihram disimbolkan bahwa
kemulian seseorang bukan disebabkan oleh atribusi duniawiah. Dengan Ihram, Islam
mengajarkan kesederhanaan.

Shâlih Individual dan Shâlih Sosial

Kita sering menilai kesalihan individu itu diukur dengan ketaatan seseorang dari
melaksanakan ibadah yang wajib, tapi juga melaksanakan ibadah yang sunnah. Orang yang
demikian itu dapat dikatakan shalih karena perilakunya sangat dengan Allah. Namun
kesalihan individual saja tidak cukup. Ia juga harus shalih secara sosial.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa tujuan dari ibadah adalah melatih
perkembangan moral manusia. Tujuan tentang ibadah ini banyak disebutkan secara normatif
ataupun hadis. Secara tegas al-Qur’an mengatakan dalam Q.S. al-Mâ‘ûn: 4-7, bahwa mereka
yang melaksanakan shalat saja masih celaka, jika tidak mau memberi makan kepada anak-
anak miskin dan terlantar. Di samping itu, ada hadis yang mengecam praktek keagamaan a la
pendeta yang mengasingkan diri dari manusia lain, dan tidak peduli dengan lingkungan
sekitarnya.

Ibadah 137
Kritik itu dialamatkan, bahwa usaha manusia mendekatkan diri kepada Allah melalui
ibadah harus berdampak pula pada perbaikan moralnya terhadap orang lain. Islam tidak
melatih umatnya untuk terasing dari kehidupan dunia. Bahkan terlibat aktif dalam urusan
dunia pun dapat menjadi amal ibadah. Bahkan ada hadis yang menyebutkan bahwa seseorang
yang berbuat baik sama pahalanya dengan orang melakukan ibadah. Oleh sebab itu
keshalihan individu memang penting, tapi ia tidak akan menemukan maknanya jika tidak
diiringi dengan keshalihan sosial.
Keseimbangan antara keshalihan pribadi dan sosial itu dipraktekkan secara sempurna
pada diri Rasulullah. A‘isyah pernah bercerita bahwa Nabi selalu melaksanakan shalat malam
itu sampai kakinya bengkak-bengkak. Tapi di siang hari dia bermasyarakat dan melebur
dalam urusan-urusan duniawi. Tapi dalam menjalankan peran tersebut seorang muslim harus
memberikan manfaat pada orang lain. Bukan sebaliknya, membawa kesusahan bagi orang
lain. Peran sebagai pemberi manfaat ini merupakan ciri dari keshalihan sosial yang lahir dari
sinaran keshalihan individual, buah dari pelaksanaan ibadahnya kepada Allah.

3. PERTANYAAN DAN LATIHAN


1. Apakah itu Ibadah?
2. Jelaskan makna Ibadah menurut ulama ‘Ushul dan ulama Syari‘ah!
3. Ada tiga bentuk dalam ibadah, jelaskan dan beri contohnya masing-masing!
4. Jelaskan hubungan antara pelaksanaan ibadah dengan pembangunan akhlak manusia!
5. Jelaskan hubungan antara keshalihan individual dengan kesalehan kolektif (sosial)!

4. DAFTAR PUSTAKA

Ensikolopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1995, vol. 2


Harun Nasution, Islam Ditijau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2015, Jil. 1
John L. Esposito, Islam Warna-Warni: Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus, terj., Arif
Maftuhin, Jakarta: Paramadina, 2007
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan,
terj. Nurasiah Fakih Sultan Harahap, Bandung: Mizan, 2003

Ibadah 138

Anda mungkin juga menyukai