DOSEN PENGAMPU:
Mardiyah hayati, M.Pdi.
KELOMPOK 1
DISUSUN OLEH:
S1 FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja
dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga dapat menyelsaikan makalah fiqih ibadah tentang penganatar ibadah.
Makalah ini telah kami sususun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan dari buku
paduan fiqih ibadan dan juga dari beberapa sumber di internet untuk memperkuat makalah kami ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun kata bahasanya. Oleh karena ity dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari para audiecnt agar kedepannya lagi bisa lebih baik.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang pengantar ibadah bisa bermanfaat dan kita
amalkan bersama dikehidupan sehari-hari.
BAB 1
Pengantar Ibadah
Mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan dan wawasan tentang ibadah, pengertian ibadah,
hubungan antar ibadah, Akidah, dan akhlak, argumentasi alasan beribadah, pembagian ibadah serta
prinsip-prinsip dalam beribadah.
B. Pembagian ibadah
1. Ibadah umum
Ibadah umum adalah ibadah dalam pengertian yang luas, yaitu ibadah yang tidak
ditentukan tata cara atau aturannya secara baku sebagaimana hanya ibadah khusus
(madhah). Ibadah umum mencakup semua aktifitas hidup yang baik dan mengandung
manfaat baik bagi diri sendiri, orang lain, bangsa, agama atau negara dan diniatkan
ibadah (dalam rangka taat) kepada Allah. Dalam ibadah umum, Allah dan Rasulullah
hanya memberikan pedoman-pedomanumum dan tidak menjelaskan teknis
pelaksanannya. Contoh ibadah umum antara lain tata cara jual beli, bernegara,
bermasyarakat, bergaul, dan lainnya. Dalam khazanah ilmu fiqih islam, ibadah umum ini
juga disebut ibadah ghairu mahdhah.
Dalam konteks ibadah umum, teks-teks Al-Qur’an dan hadis dapat dipahami secara
kontekstual dengan pendekatan burhani. Manusia dengan menggunakan potensi fisik,
perasaan dan akal diberi otoritas atau kewenangan penuh untuk melakukan kreasi dan
inovasi, bahkan sangat dianjurkan oleh agama.
Menurut Abid Al-Jabiri, ada 3 pendekatan yang dipakai dalam memahami teks-teks
keagamaan, yaitu [1] pendekatan bayani; [2] pendekatan burhani; dan [3] pendekatan
irfani. Secara sederhana, pendekatan bayani adalah pendekatan yang menekankan pada
aspek-aspek linguistik. Sedangkan pendekatan burhani adalah pendekatan dalam
memahami teks-teks keagamaan berdasarkan rasio. Adapun pendekatan irfani adalah
pendekatan dalam memahami teks-teks keagamaan berdasarkan intuisi dan perasaan
(zauq).
2. Bid’ah adalah suatu cara yang diadakan di bidang agama yang menyerupai hukum syara’,
yang dimaksudkan dengan mengerjakannya ialah seperti apa yang dimaksudkan dengan
mengerjakan cara syariat. (As-Syatibi, Tt: I: 26).
Dua definisi As-SYATIBI di atas menegaskan bahwa bid’ah yang ada dalam bidang ibadah
khusus itu adalah suatu cara yang dibuat-buat atau diada-adakan oleh manusia dalam
bidang agama dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah. Selanjutnya As-Syatibi
menguraikan beberapa contoh bid’ah yang dapat terjadi pada ibadah khusus, antara lain:
1. Membuat ketentuan sendiri, seperti orang yang bernazarpuasa dengan berdiri, tidak
duduk, berpanas-panasan, tidak mau berteduh.
2. Membuat cara dan gerak tertentu, seperti berzikir kepada Allah dengan cara berkumpul
dengan satu suara (bersama-sama).
3. Mengadakan ibadah-ibadah tertentu, pada waktu tertentu, yang tidak ada ketentuan
dalam agama, seperti ibadah puasa nisfu Sya’ban dan beribadat pada malamnya (As-
Syatibi, Tt: i: 26).
Dengan demikian dalam ibadah khusus tidak ada bid’ah hasanah (baik). Semua bid’ah
statusnya jelek (sayyi’ah) dan diklaim sesuatu yang sesat.
D. Falsafah ibadah
Secara teologis, seluruh manusia dan makhluk lain yang ada di alam semesta ini adalah
ciptaan Allah. Makhluk-makhluk ini diciptakan, dipelihara dan dikelola (rububiyyatullah),
dimili dan dikuasai secara mutlak oleh Allah swt (mulkiyyatullah). Tentang penciptaan dan
pemeliharaan tersebut, Allah swt berfirman antara lain:
ٰ ٓيا َ ُّي َها ال َّناسُ اعْ ُبد ُْوا َر َّب ُك ُم الَّذِيْ َخلَ َق ُك ْم َوالَّ ِذي َْن مِنْ َق ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َت َّتقُ ْو ۙ َن
Artinya: Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-
orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa
ض َط ْوعًا وَّ َكرْ هًا وَّ ِالَ ْي ِه يُرْ َجع ُْو َن ِ ْن هّٰللا ِ َي ْب ُغ ْو َن َولَ ٗه ٓ اَسْ لَ َم َمنْ فِى الس َّٰم ٰو
ِ ْت َوااْل َر ِ اَفَغَ ي َْر ِدي
Artinya: Dan kepadanyalah berserah diri siapa saja yang ada di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allah-lah mereka kembali. (QS.ali
Imran:83)
َاَفَ َح ِس ْبتُ ْم اَنَّ َما خَ لَ ْق ٰن ُك ْم َعبَثًا َّواَنَّ ُك ْم اِلَ ْينَا اَل تُرْ َجعُوْ ن
Artinya: apakah kalian mengira bahwa kami menciptakan kalian hanya sia-sia dan
mengira bahwa kalian tidak kembali kepada kami?. (QS. Al-Mu’minum: 115).
Hal ini bertujuan mengajak kita untuk berpikir merenung tentang tujuan pencipta
manusia. Dalam ayat lain ditegaskan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia
dengan berbagai keistimewaannya adalah untuk mengemban tugas mulia, yakni
menjadi khalifah Allah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30), yang bertugas memakmurkan
bumi ini (QS. Hud: 61).
E. Prinsip-prinsip ibadah
1. Hanya menyembah (beribadah) kepada Allah semata. dipersembahkan
totalitasnya hanya kepada Allah. Dalam konteks inilah jika ibadah tidak
dipersembahkan kepada Allah, maka ibadah tersebut tergolong mengandung
unsur syirik (menyekutukan Allah). Atas dasar inilah, perbuatan riya’
( beribadah dengan tujuan dilihat oleh orang lain, bukan karena Allah),
dianggap syirik kecil (HR. Ahmad: 22528).
Allah swt berfirman:
Artinya: mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan
merekalah orang orang yang beruntung
(QS. Al-Baqarah:5)
2. Ikhlas. Secara etimologis, ikhlas artinya bersih, jernih, murni dan tidak
bercampur. Sedangkan secara terminologis, ikhlas adalah beramal semata mata
mengharapkan ridha Allah swt. (Yunahar Ilyas,2012: 29). Allah berfirman:
Dalam pandangan yunahar Ilyas, ikhlas memiliki tiga unsur, yaitu, 1). Niat
yang ikhlas (ikhlas an niyyah) untuk menjalankan perintah, menjauhi larangan
serta mencari ridha Allah semata; 2). Bermal dengan sebaik baiknya
( profesional/itqan al- amal), artinya sebuah amalan harus di kerjakan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, tidak, boleh asal-asalan; 3). Pemanfaatan hasil
usaha dengan tepat (jaudatul ada). Contohnya adalah dalam ibadah umum, jika
seseorang menutut ilmu maka ia harus berniat karena Allah, kemudian ia harus
rajin, tekun, disiplin, setelah itu ia harus memanfaatkan ilmunya sesuai dengan
ajaran agama. Ikhlas tidak ada hubungannya dengan honor atau gaji.
Niat dalam ibadah dan amalan-amalan lain memiliki tempat yang sangat strategis
dalam Islam. Setiap amalan sangat tergantung dari niat atau motivasinya: sebuah
sebuah amalan duniawi, seperti bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
anak dan istri, dinilai sebagai perbuatan ukhrawi jika di niatkan untuk beribadah
dalam rangka tunduk dan patuh kepada perintah Allah. Demikian juga sebaliknya,
sebuah amalan dunia yang tidak bernilai apa-apa jika diniatkan hanya untuk mendapat
sesuatu seperti pujian.