Anda di halaman 1dari 9

FIQIH IBADAH

Makalah tentang pengantar ibadah

DOSEN PENGAMPU:
Mardiyah hayati, M.Pdi.

KELOMPOK 1
DISUSUN OLEH:

1. JONA TASIMA PUTRI (2022E1C070)


2. LIDA AYUDIA (
3. LALU FIRMAN ASCARSYA (

S1 FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja
dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga dapat menyelsaikan makalah fiqih ibadah tentang penganatar ibadah.
Makalah ini telah kami sususun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan dari buku
paduan fiqih ibadan dan juga dari beberapa sumber di internet untuk memperkuat makalah kami ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun kata bahasanya. Oleh karena ity dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari para audiecnt agar kedepannya lagi bisa lebih baik.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang pengantar ibadah bisa bermanfaat dan kita
amalkan bersama dikehidupan sehari-hari.

Mataram, 1 Maret 2023

BAB 1
Pengantar Ibadah

Tujuan umum pembelajaran

Mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan dan wawasan tentang ibadah, pengertian ibadah,
hubungan antar ibadah, Akidah, dan akhlak, argumentasi alasan beribadah, pembagian ibadah serta
prinsip-prinsip dalam beribadah.

Sub pokok bahasan

1) Pengertian dan kedudukan ibadah.


2) Hubungan antar ibadah, akidah, dan akhlak.
3) Argumentasi alasan beribadah.
4) Pembagian ibadah.
5) Prinsip-prinsip ibadah.

Tujuan khusus pembelajaran

1) Mahasiswa mampu mendefinisikan pengertian ibadah.


2) Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan antara ibadah, akidah, dan akhlak.
3) Mahasiswa mampu menjelaskan argumentasi alasan beribadah.
4) Mahasiswa mampu menyebutkan pembagian ibadah.
5) Mahasiswa mampu menyebutkan prinsip-prinsip ibadah.

A. Pengertian dan kedudukan ibadah


Secara etimologis, ibadah berarti menyembah, taat, tunduk, patuh, hina, menyesal dan
mengabdi ( Ahmad Warson Munawwir, 1984: 951-952). Sedangkan secara terminologis,
ibadah adalah bertaqarrub ( mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan mentaati segala
perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan
Allah. Sedangkan dalam pandangan para ahli hukum islam, hakikat ibadah adalah mengabdi
kepada Allah yang dimanifestasikan dalam bentuk kepatuhan, ketaatan dan penyerahan diri
secara total baik secara lahir dan batin oleh seorang hamba kepada-Nya. Hal itu dilakukan
dengan penuh kesadaran bahwa penciptaan manusia di dunia ini memang untuk mengabdi
kepada Allah dengan jalan beribadah kepada-Nya. Dengan kata lain, semua aktivitas
manusia dalam hidupnya dikerjakan dalam rangka mengabdikepada Allah dengan cara
mematuhi, menaati, menjalankan perintah, menjauhi larangan dan mengamalkan apa yang
diizinkan oleh Allah.

B. Pembagian ibadah

Adapun pembagian ibadah terdiri dari dua bagian, yaitu:

1. Ibadah umum
Ibadah umum adalah ibadah dalam pengertian yang luas, yaitu ibadah yang tidak
ditentukan tata cara atau aturannya secara baku sebagaimana hanya ibadah khusus
(madhah). Ibadah umum mencakup semua aktifitas hidup yang baik dan mengandung
manfaat baik bagi diri sendiri, orang lain, bangsa, agama atau negara dan diniatkan
ibadah (dalam rangka taat) kepada Allah. Dalam ibadah umum, Allah dan Rasulullah
hanya memberikan pedoman-pedomanumum dan tidak menjelaskan teknis
pelaksanannya. Contoh ibadah umum antara lain tata cara jual beli, bernegara,
bermasyarakat, bergaul, dan lainnya. Dalam khazanah ilmu fiqih islam, ibadah umum ini
juga disebut ibadah ghairu mahdhah.
Dalam konteks ibadah umum, teks-teks Al-Qur’an dan hadis dapat dipahami secara
kontekstual dengan pendekatan burhani. Manusia dengan menggunakan potensi fisik,
perasaan dan akal diberi otoritas atau kewenangan penuh untuk melakukan kreasi dan
inovasi, bahkan sangat dianjurkan oleh agama.
Menurut Abid Al-Jabiri, ada 3 pendekatan yang dipakai dalam memahami teks-teks
keagamaan, yaitu [1] pendekatan bayani; [2] pendekatan burhani; dan [3] pendekatan
irfani. Secara sederhana, pendekatan bayani adalah pendekatan yang menekankan pada
aspek-aspek linguistik. Sedangkan pendekatan burhani adalah pendekatan dalam
memahami teks-teks keagamaan berdasarkan rasio. Adapun pendekatan irfani adalah
pendekatan dalam memahami teks-teks keagamaan berdasarkan intuisi dan perasaan
(zauq).

2. Ibadah khusus (khashshah)


Ibadah khusus berarti ibadah yang sudah ditetapkan tata cara, aturan, ketentuan dan
mekanismenya secara rinci dan detail. Hanya Allah dan Rasulullah saw yang memiliki
otoritas untuk mengatur dan membuat ketentuan ibadah khusus. Dalam masalah ini,
manusia tidak memiliki otoritas atau kewenangan melalui potensi fisik, perasaan dan
akalnya untuk berkreasi. Manusia hanya menerima, mengikuti dan mengamalkan apa
yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah saw, tanpa melakukan modifikasi
sedikitpun tan menambahkan atau menguranginya. Contoh ibadah khusus antara lain
dalam masalah tata cara thaharah, najis, wudhu salat, puasa, haji. Dalam khazanah ilmu
fiqih ibadah khusus juga disebut ibadah mahdhah. Ibadah khusus inilah yang menjadi
pembahasan buku ini.
Secara metodologis, pemahaman terhadap nas-nas Al-Qur’an dan hadis yang terkait
dengan ibadah mahdah (ibadah khusus) harus dipahami secara orisinil, tekstual, literal,
dengan pendekatan bayani. Tidak boleh ada kreasi ataupun modifikasi dari manusia. Jika
ada kreasi dan modifikasi, maka disinilah terjadi bid’ah.

C. Bid’ah dalam ibadah


Secara etimologis, bid’ah artinya menciptakan, memulai, mendirikan dan gemuk (Ahmad
Warson Munawwir, 1984: 70). Asy-Syatibi dalam bukunya Al-l’tisham menjelaskan
pengertian bid’ah secara etimologis seperti berikut:
Bid’ah menurut bahasa artinya mengadakan sesuatu yang baru yang tidak ada contoh
sebelumnya ( As-Syatibi, Tt: I: 26).
Arti menurut bahasa ini dapat dijumpai juga antara lain dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah:
117 dan Al-Ahqaf: 9. Sedangkan bid’ah secara terimonologis, As-Syatibi membuat dua
definisi, yaitu:
1. Bid’ah adalah suatu cara yang diadakan dibidang agama yang menyerupai hukum syara’,
yang dimaksudkan dengan mengerjakannya ialah berlebih-lebihan dalam beribadah
kepada Allah. (As-Syatibi, Tt: I: 26).

2. Bid’ah adalah suatu cara yang diadakan di bidang agama yang menyerupai hukum syara’,
yang dimaksudkan dengan mengerjakannya ialah seperti apa yang dimaksudkan dengan
mengerjakan cara syariat. (As-Syatibi, Tt: I: 26).

Dua definisi As-SYATIBI di atas menegaskan bahwa bid’ah yang ada dalam bidang ibadah
khusus itu adalah suatu cara yang dibuat-buat atau diada-adakan oleh manusia dalam
bidang agama dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah. Selanjutnya As-Syatibi
menguraikan beberapa contoh bid’ah yang dapat terjadi pada ibadah khusus, antara lain:
1. Membuat ketentuan sendiri, seperti orang yang bernazarpuasa dengan berdiri, tidak
duduk, berpanas-panasan, tidak mau berteduh.
2. Membuat cara dan gerak tertentu, seperti berzikir kepada Allah dengan cara berkumpul
dengan satu suara (bersama-sama).
3. Mengadakan ibadah-ibadah tertentu, pada waktu tertentu, yang tidak ada ketentuan
dalam agama, seperti ibadah puasa nisfu Sya’ban dan beribadat pada malamnya (As-
Syatibi, Tt: i: 26).
Dengan demikian dalam ibadah khusus tidak ada bid’ah hasanah (baik). Semua bid’ah
statusnya jelek (sayyi’ah) dan diklaim sesuatu yang sesat.

D. Falsafah ibadah
Secara teologis, seluruh manusia dan makhluk lain yang ada di alam semesta ini adalah
ciptaan Allah. Makhluk-makhluk ini diciptakan, dipelihara dan dikelola (rububiyyatullah),
dimili dan dikuasai secara mutlak oleh Allah swt (mulkiyyatullah). Tentang penciptaan dan
pemeliharaan tersebut, Allah swt berfirman antara lain:

‫ٰ ٓيا َ ُّي َها ال َّناسُ اعْ ُبد ُْوا َر َّب ُك ُم الَّذِيْ َخلَ َق ُك ْم َوالَّ ِذي َْن مِنْ َق ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َت َّتقُ ْو ۙ َن‬

Artinya: Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-
orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa

‫ض َط ْوعًا وَّ َكرْ هًا وَّ ِالَ ْي ِه يُرْ َجع ُْو َن‬ ِ ‫ْن هّٰللا ِ َي ْب ُغ ْو َن َولَ ٗه ٓ اَسْ لَ َم َمنْ فِى الس َّٰم ٰو‬
ِ ْ‫ت َوااْل َر‬ ِ ‫اَفَغَ ي َْر ِدي‬

Artinya: Dan kepadanyalah berserah diri siapa saja yang ada di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allah-lah mereka kembali. (QS.ali
Imran:83)

Secara khusus, Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang


sempurna (QS. Al-Tin:4), dan paling dimuliakan Allah dengan memberinya berbagai
kelebihan dibanding makhluk yang lain (QS. Al-Isra’:70). Keistimewaan manusia dari
makhluk lainnya yang paling nyata adalah dengan penganugerahan akal dan nurani.
Keistimewaan-keistimewaan ini tentunya bukan tanpa tujuan. Karena itu Allah swt
memberikan pertanyaan reflektif kepada manusia:

َ‫اَفَ َح ِس ْبتُ ْم اَنَّ َما خَ لَ ْق ٰن ُك ْم َعبَثًا َّواَنَّ ُك ْم اِلَ ْينَا اَل تُرْ َجعُوْ ن‬

Artinya: apakah kalian mengira bahwa kami menciptakan kalian hanya sia-sia dan
mengira bahwa kalian tidak kembali kepada kami?. (QS. Al-Mu’minum: 115).

Hal ini bertujuan mengajak kita untuk berpikir merenung tentang tujuan pencipta
manusia. Dalam ayat lain ditegaskan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia
dengan berbagai keistimewaannya adalah untuk mengemban tugas mulia, yakni
menjadi khalifah Allah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30), yang bertugas memakmurkan
bumi ini (QS. Hud: 61).

E. Prinsip-prinsip ibadah
1. Hanya menyembah (beribadah) kepada Allah semata. dipersembahkan
totalitasnya hanya kepada Allah. Dalam konteks inilah jika ibadah tidak
dipersembahkan kepada Allah, maka ibadah tersebut tergolong mengandung
unsur syirik (menyekutukan Allah). Atas dasar inilah, perbuatan riya’
( beribadah dengan tujuan dilihat oleh orang lain, bukan karena Allah),
dianggap syirik kecil (HR. Ahmad: 22528).
Allah swt berfirman:

َ ‫ُأولَِئكَ َعلَى هُدًى ِم ْن َربِّ ِه ْم َوُأولَِئ‬


َ‫ك هُ ُم ْال ُم ْفلِحُون‬

Artinya: mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan
merekalah orang orang yang beruntung
(QS. Al-Baqarah:5)

‫َوا ْعبُدُوا هّٰللا َ َواَل تُ ْش ِر ُكوْ ا بِ ٖه َش ْيـًٔا‬

Artinya: sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan


sesuatupu. (QS. An-Nisa’: 36)

2. Ikhlas. Secara etimologis, ikhlas artinya bersih, jernih, murni dan tidak
bercampur. Sedangkan secara terminologis, ikhlas adalah beramal semata mata
mengharapkan ridha Allah swt. (Yunahar Ilyas,2012: 29). Allah berfirman:
Dalam pandangan yunahar Ilyas, ikhlas memiliki tiga unsur, yaitu, 1). Niat
yang ikhlas (ikhlas an niyyah) untuk menjalankan perintah, menjauhi larangan
serta mencari ridha Allah semata; 2). Bermal dengan sebaik baiknya
( profesional/itqan al- amal), artinya sebuah amalan harus di kerjakan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, tidak, boleh asal-asalan; 3). Pemanfaatan hasil
usaha dengan tepat (jaudatul ada). Contohnya adalah dalam ibadah umum, jika
seseorang menutut ilmu maka ia harus berniat karena Allah, kemudian ia harus
rajin, tekun, disiplin, setelah itu ia harus memanfaatkan ilmunya sesuai dengan
ajaran agama. Ikhlas tidak ada hubungannya dengan honor atau gaji.

Niat dalam ibadah dan amalan-amalan lain memiliki tempat yang sangat strategis
dalam Islam. Setiap amalan sangat tergantung dari niat atau motivasinya: sebuah
sebuah amalan duniawi, seperti bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
anak dan istri, dinilai sebagai perbuatan ukhrawi jika di niatkan untuk beribadah
dalam rangka tunduk dan patuh kepada perintah Allah. Demikian juga sebaliknya,
sebuah amalan dunia yang tidak bernilai apa-apa jika diniatkan hanya untuk mendapat
sesuatu seperti pujian.

3. Tidak menggunakan perantara. Dalam Islam beribadah langsung ditunjukkan


kepada Allah, tidak melalui perantara apapun dan siapapun, kecuali yang
diizinkan oleh agama, karena Allah sangat dekat dengan hambanya. Allah
berfirman:
ِ ‫ك ِعبَا ِديْ َعنِّ ْي فَاِنِّ ْي قَ ِريْبٌ ۗ اُ ِج ْيبُ َد ْع َوةَ ال َّد‬
‫اع اِ َذا‬ َ َ‫َواِ َذا َساَل‬
‫ان فَ ْليَ ْستَ ِج ْيب ُْوا ِل ْي َو ْليُْؤ ِمنُ ْوا ِب ْي لَ َعلَّهُ ْم يَرْ ُش ُد ْو َن‬
ِ ۙ ‫َد َع‬
Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka
sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.
Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh
kebenaran.

4. Ibadah harus sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan hadis.


Tentang hal ini Rasulullah saw bersabda:

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah


Artinya:
petunjuk Muhammad ‫ﷺ‬.
Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Dalam hal shalat misalnya, nabi saw bersabda:

Dari malik, Rasulullah saw bersabda: dan shalatlah kalian


Artinya:
seperti kalian melihat aku shalat. (HR. Al-Bukhari: 595).

5. Seimbang antara unsur jasmani dengan rohani


6. Mudah dan meringankan
7. Tidak boleh menggunakan perasaan dan akal.

F.Hubungan antara iman, ibadah dan akhlak

Sebagai ahli agama Islam membagi pokok-pokok ajaran agama islam


menjadi 3 bagian, yaitu 1) iman, 2) Islam, 3) Ikhsan. Ketiganya merupakan
satu kesatuan yang utuh (unity) yang tidak dapat di pisah pisah.

Anda mungkin juga menyukai