Anda di halaman 1dari 44

Shalat, Politik

Etika
Keyakinan Puasa Ekonomi
Moral
Zakat, Haji Kebudayaan
Aqidah
Saling
Berhubungan

Muamala Sistem Ibadah


h Ajaran Islam

Akhlaq
IBADAH

Ibadah adalah masalah terpokok dalam ajaran agama


Islam, karena hakikat diciptakannya manusia di muka bumi
ini adalah untuk beribadah, sebagaimana dalam firman-
Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS: Al-Dzariyat/51 :
56).
1. Pengertian ibadah
Secara etimologi, ibadah berasal dari kata
‘abada- ya’budu-‘ibadatan, yang berarti
mengesakan, beribadah, menyembah dan
mengabdi kepada Allah SWT.
Ibadah juga dapat berarti: ta’at, tunduk,
menurut, mengikut, dan juga dapat
diartikan do’a
Ibadah ialah seorang mukalaf mengerjakan sesuatu
yang berlawanan dengan keinginan hawa
nafsunya untuk membesarkan Tuhannya.
Mereka mengartikan ibadah dengan menepati
segala janji yang telah dijanjikan Allah,
memelihara segala batas ketentuan serta
meridhai segala yang ada, dan bersabar terhadap
sesuatu yang tidak diperolahnya, atau bersabar
akan sesuatu yang telah hilang.
1. Pertama, beribadah kepada Allah karena mengharap
benar akan memperoleh pahala-Nya, atau karena
takut akan siksa-Nya.
2. Kedua, beribadah kepada Allah karena memandang
bahwa ibadah itu perbuatan mulia, yakni dilakukan
oleh orang yang mulia jiwanya.
3. Ketiga, beribadah kepada Allah karena memandang
bahwasanya Allah berhak disembah dengan tidak
memperdulikan apa yang akan diterima atau
diperoleh dari-Nya.
Menurut Fuqaha’

 Menurut para Fuqaha’ (para ulama Fiqih) ibadah ialah


apa-apa yang dikerjakan untuk mencapai keridaan
Allah dan mengharap pahala di Akhirat.
Menurut Muhammadiyah
KETUNDUKAN DAN KEPATUHAN AKAN MELAHIRKAN:

 Kesadaran bahwa dirinya adalah mahkluk yang diciptakan


Allah SWT. dan harus mengabdi dan menyembah kepada-
Nya, sehingga ibadah menjadi tujuan hidupnya.
 Kesadaran bahwa sesudah kehidupan di dunia ini akan ada
kehidupan akhirat sebagai masa untuk
mempertanggungjawabkan pelaksaan perintah Allah SWT.
selama menjalani kehidupan di dunia.
 Kesadaran bahwa dirinya diciptakan Allah SWT. bukan
sebagai pelengkap alam semesta, tetapi justru menjadi
sentral alam dan segala isinya.
KEDUDUKAN IBADAH
 Perbuatan ibadah merupakan satu hal yang prinsipil dan
menjadi ciri khas setiap orang yang beragama.
 Maka, berbeda agama akan berbeda pula tata cara
peribadatannya.
 Pelaksanaan ibadah sangat berkait dengan faktor
keimanan atau keyakinan seseorang, dan juga tidak akan
terlepas dari akhlak atau perilaku seseorang, serta
berhubungan erat dengan mu’amalah atau persoalan
kehidupan sosial kemasyarakatan
Lanjutan Kedudukan Ibadah
 Dalam sistem ajaran Islam, terdapat persoalan-persoalan
yang prinsip, yaitu: akidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah.
 Antara yang satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan, saling terkait, berjalin berkelindan.
 Seseorang tidak dinyatakan mukmin, tanpa memiliki akidah
atau keimanan. Demikian pula jika seseorang dalam
hidupnya tanpa melakukan ibadah akan dinyatakan sebagai
orang yang kafir.
Lanjutan

 Iman tanpa ibadah tidak memiliki bentuk. Ibadah


tanpa akidah laksana bangunan yang rapuh, tidak
kokoh. Ibadah tanpa diiringi perbuatan yang baik,
akhlakul karimah bagaikan pohon tak berbuah atau
sayur tak bergaram.
Tujuan, Macam-macam dan prinsip Ibadah

 Tujuan Ibadah
Beberapa nash al-Quran tentang tugas dan fungsi
manusia serta kedudukan mereka, menjelaskan
sebagai berikut:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi... . Dan dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, ..." (QS: al-Baqarah/2 : 30-31)
Tujuan, Macam-macam dan prinsip Ibadah
• “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat
itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat
bodoh”, (QS: al-Ahzab/33: 72)
 "Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari
yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan". (QS:
al-Isra/17: 70),
 “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka)”. (QS: a’-Tin/93: 4-5).
Lanjutan Tujuan dan Prinsip Ibadah
 Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani.
Kedua unsur tersebut harus berkembang dengan baik dan
seimbang. Oleh karenanya harus mendapat perhatian dan
pembinaan yang baik dan benar.
 Unsur jasmani yang memiliki sifat materi membutuhkan
sesuatu yang bersifat material seperti sandang, pangan, dan
papan.
 Sedangkan unsur rohani bersifat immateri maka
membutuhkan sesuatu yang bersifat Immaterial, seperti
ajaran akhlak, kesenian, dan agama
Lanjutan tujuan ibadah

 Terwujudnya rahmat bagi seluruh alam semesta itu pada


hakekatnya merupalakan tujuan dari ibadah itu sendiri.
Namun perlu juga ditegaskan di sini bahwa ibadah itu sendiri
hanya sebagai washilah (perantara, metode atau cara),
sama sekali bukan sebagai ghayah (tujuan), maka
perwujudan ibadah berlebih-lebihan tidak di benarkan
menurut ajaran Islam.
Ibadah Khusus yaitu segala kegiatan yang ketentuannya
ditetapkan oleh syari’at (alqur’an dan Al-Sunnah) mulai
dari ketentuan umum hingga ketentuan rincinya. Ibadah
dalam arti khusus ini tidak menerima perubahan, baik
penambahan maupun pengurangan, seperti shalat.
Ibadah umum ketentuannya secara garis besar memang
ditetapkan oleh syari’at akan tetapi rincian pelaksanaannya
diserahkan sepenuhnya kepada manusia sesuai dengan
situasi, kondisi, dan kemampuan manusia itu sendiri.
Ditinjau dari Segi
Pelaksanaannya
•Ibadah terbagi menjadi tiga, yakni ibadah
jasmaniyah–ruhaniyah, ibadah ruhiyah-
maliyah, dan ibadah jasmaniyah-
ruhaniyah-maliyah.
keterangan

Ibadah bentuk pertama pelaksanaannya memerlukan


kegiatan fisik disertai jiwa yang tulus ikhlas kepada Allah.
Macam Ibadah ini contohnya adalah shalat dan puasa.

Ibadah bentuk kedua pelaksanaannya seperti perbuatan


mengeluarkan sesuatu harta yang menjadi hak miliknya
diiringi dengan niat yang ikhlas semata kepada Allah,
contohnya ibadah zakat.

Sedangkan ibadah bentuk ketiga adalah naik haji yakni


kegiatannya memerlukan kegiatan fisik dengan melakukan
beberapa bentuk amalan, di samping perlu mengeluarkan
biaya sebagai ongkos perjalanannya, serta di niatkan untuk
memenuhi panggilan Allah.
Ditinjau dari Segi Kepentingannya

Ibadah terbagi menjadi dua, yaitu ibadah fardiy dan ibadah ijtima’iy.

Ibadah fardiy adalah bentuk ibadah yang manfaatnya hanya dapat dirasakan
oleh orang yang melakukannya saja, dan tidak ada hubungannya secara
langsung dengan orang lain. Ibadah macam ini memiliki hubungan hanya
antara manusia dengan Tuhannya, seperti Shalat dan Puasa.

Ibadah ijtima’iy adalah ibadah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh yang
mengerjakan ibadah tersebut, juga mengandung aspek sosial yakni dapat
dirasakan secara langsung oleh orang lain. Misalnya ibadah zakat, di mana si
muzaki (orang yang berzakat) akan bersih jiwanya dari sifat kikir.
Ditinjau dari Segi Waktu
Pelaksanaannya

 Pelaksanaannya terbagi menjadi dua macam,


yakni ibadah muwaqqat (terikat waktu) dan
ibadah ghairu muwaqqat (tidak terikat waktu).
 Ibadah muwaqqat, yaitu ibadah yang waktu
pelaksanaanya sangat terikat oleh waktu yang
telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Apabila melaksanakan di luar waktu yang
ditetapkan, maka nilainya akan menjadi hampa,
atau menjadi tidak sah secara hukum, bahkan
dianggap berdosa. Misalnya, Shalat lima waktu,
puasa Ramadhan, dll.
 Ibadah ghairu muwaqqat ialah ibadah yang waktu
pelaksaannnya tidak tergantung dengan waktu-waktu
tertentu, selama diizinkan Allah hal itu dapat dilakukan.
Misalnya untuk bertasbih dan berzikir, hal itu dapat
dilakukan kapan saja. Demikian pula dengan sedekah,
waktunya bebas sekehendak si pelaku kapan saja ia
mengeluarkannya.
Ditinjau dari Segi Status Hukum
 Dari segi status hukum, ibadah dibagi dua macam, yakni
ibadah wajib dan ibadah sunnah. Ibadah wajib adalah ibadah
yang harus dilaksanakan, bagi pelanggarnya dianggap
berdosa, dan akan memperoleh siksa Allah SWT., Misalnya
shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan zakat.
 Sedangkan ibadah sunnah adalah Ibadah yang dianjurkan
pelaksanaannya, Pelaksananya akan memperoleh pahala
dari Allah SWT., namun bagi yang tidak melaksanakan tidak
dianggap berdosa, contohnya shalat sunnat rawatib,
sedekah dan lain-lain.
Prinsip Ibadah
1. Ada Perintah dan Ketentuan
 Islam tidak memberikan otoritas kepada manusia
untuk turut menentukan ibadah, kecuali Nabi utusan-
Nya. Dalam melakukan ibadah kepada Allah manusia
tidak mempunyai kekuasaan menentukannya, bahkan
sebaliknya manusia terikat pada ketentuan-ketentuan
yang diberikan Allah dan Rasul-Nya.
 Berbeda halnya dengan mu’amalah (masalah
keduniaan), terdapat kelonggaran yang demikian luas
bagi manusia untuk menentukannya.
Dalam suatu qaidah ushul dikemukakan sebagai berikut:

 “Ashal (Hukum pokok) terhadap ibadah itu batal atau haram


(tidak boleh dikerjakan) sehingga ada dalil yang
memerintahkannya”.

 “Ashal (hukum pokok) dari segala sesuatu adalah boleh


sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya”.
Lanjutan Prinsip Ibadah
2. Meniadakan Kesukaran dan tidak banyak beban
 Keseluruhan ibadah dalam syari’at Islam tidak ada yang menyukarkan dan
memberatkan mukallaf (orang yang terkena beban kewajiban beribadah).
Perintah ibadah itu tidak banyak hanya beberapa saja. Semua ibadah itu
dalam batas kewajiban dan berjalan dengan kadar kesanggupan manusia.

Prinsip kedua ini sebagaimana diterangkan Allah dalam al-Quran berikut :


 “.…Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran….”
)QS.2/Al-Baqarah : 185)
 “Allah tidak mebebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapatkan pahala (dari kejahatan) yang di usahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya "QS. 2/Al-Baqarah : 286)
Lanjutan Prinsip Ibadah
3. Yang Berhak Disembah Hanyalah Allah.
 Bahwa kerinduan untuk berhubungan dengan Tuhan Hampir 2000 tahun yang
lalu, Prlutarcus, seorang ahli sejarah bangsa Yunani mengatakan bahwa mungkin
kita menjumpai kota-kota tanpa benteng-benteng, raja-raja yang kaya, sastra
maupun teater-teater. Tetapi tidak ada satu kota pun tanpa tempat ibadah, atau
tidak ada satu kota pun penduduknya yang tidak melakukan ibadah.
 Dari dalam jiwa manusia sendiri. hanya saja dalam kenyataan bahwa tempat
ibadah itu terdapat di mana-mana, menunjukkan keanekaragaman dalam
tatacara pelaksanaan serta bermacam-macamnya tujuan ibadah tersebut. Hal ini
membuktikan bahwa keanekaragaman itu tidak berasal dari satu sumber.Oleh
karena itu, ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW., sebagai
nabi terakhir yang memperoleh wahyu terakhir pula, menegaskan bahwa satu
hal yang mutlak dalam hidup beragama, dan memberi pernyataan bahwa hanya
Allah saja yang berhak disembah.
Lanjutan Prinsip Ibadah
4. Ibadah itu Tanpa Perantara
 Praktek beribadah sebagian umat manusia telah banyak
mengalami kekeliruan. Kekeliruan itu sebenarnya atas
inisiatif dan konsepsi dari para tokoh agamanya sendiri, di
mana mereka membuat jarak antara manusia dengan
Tuhannya.
 Islam sebagai agama lebih mempertegas bahwa hubungan
manusia dengan Tuhan (melalui ibadah) tidak perlu dengan
perantara apa-apa, dan melalui siapa pun. Manusia harus
melakukan langsung dengan Allah SWT.
Lanjutan Prinsip Ibadah
5. Ikhlas dalam Beribadah
 Dalam beribadah harus didasari dengan niat yang tulus,
semata-mata hanya mengharapkan ridha Allah. Niat
adalah sikap jiwa, dan merupakan motivator dalam
mewujudkan suatu perbuatan.
 Dalam hadis Nabi dinyatakan bahwa segala sesuatu itu
tergantung niatnya (innama al-a’amal bi al-niat).
 Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa orang-orang ahli
kitab hanya diperintah untuk beribadah kepada Allah
dengan niat yang tulus dan murni, taat kepada Allah dan
menjauhi kemusyrikan serta mendirikan shalat dan
menunaikan zakat.
Firman Allah dalam al-Quran:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya


menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-
Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian Itulah agama yang lurus”. (QS: al-
Bayyinah/98: 5)
NIAT IKHLAS
 Niat yang tulus murni adalah ikhlas dalam istilah ajaran
Islam. Oleh karena itu ikhlas adalah sikap jiwa yang
menjadi landasan, atau sendi dalam beribadah. Dengan
ikhlas itu manusia akan terhindar dari perbuatan sesat
dan tindak kemusyrikan (menyekutukan Allah) yang
merupakan dosa terbesar yang tidak akan diampuni.
KHILAFIYAH
 Dalam melaksanakan ibadah mahdlah kadang kala
terjadi perbedaan dalam pelaksanaannya. Apabila
perbedaan tersebut mempunyai alasan dengan dalil Al
Quran atau Hadits, maka hal itu disebut dengan
Khilafiyah, dalam hal ini, kepada mereka diberikan
kebebasan memilih untuk melakukan salah satunya.
 Contoh dalam Shalat Shubuh, ada yang melakukan
Qunut pada saat Itidal rakaat kedua dan ada yang
tidak melakukannya.
AL KHURUJ ‘ANIL HAQ
 Dalam melaksanakan ibadah mahdlah kadang kala
terjadi perbedaan dalam pelaksanaannya. Apabila
perbedaan tersebut TIDAK mempunyai alasan dalil Al
Quran atau Hadits, maka hal itu disebut dengan Al
Khuruj ‘anil haq, dalam hal ini, kepada mereka
diberikan penjelasan dan petunjuk agar mereka
meninggalkannya.
 Contoh : Membaca kalimat “Saiyidina” ketika
membaca shalawat pada saat tahiyat.
Hubungan Ibadah Dengan Akhlaq (Makna
Eksoteris dan Esoteris Ibadah)

 Ibadah sebagai ritus atau tindakan ritual merupakan


bagian yang sangat penting dan utama dari setiap
agama dan kepercayaan dalam usaha manusia untuk
menumbuhkan kesadaran dirinya bahwa ia adalah
mahluk ciptaan Allah SWT., yang diciptakan sebagai
insan yang mengabdi kepadanya. LIhat QS. 51 al-
Dzariyat: 56
Ibadah merupakan inti ajaran Islam yang mengandung
makna adanya penyerahan diri secara sempurna pada
kehendak Allah. Manusia yang telah menyatakan dirinya
sebagai muslim dituntut untuk senantiasa melaksanakan
ibadah sebagai pertanda keikhlasan mengabdikan diri
kepada-Nya.
Dimensi Eksoteris Ibadah adalah:
 Ibadah memiliki prinsip adanya perintah dan ketentuan yang
telah ditetapkan oleh syari’at. Sebagai misal, Allah
memerintahkan orang-orang beriman untuk mengamalkan
shalat, sedangkan tata caranya mengikuti petunjuk Rasul-Nya.
 Pelaksanaan shalat sesuai dengan petunjuk Rasul, seperti
bagaimana cara berdiri, ruku, sujud dan duduk serta
bacaannya dengan baik dan benar
 Dimensi eksoterik (khususnya dalam ibadah
mahdhah) pelaksanaannya haruslah berdasarkan
perintah dan ketentuan dari nash (syari’at),
berdasarkan petunjuk dari Allah yang tercantum
dalam al-Qur’an, serta mengikuti praktek perbuatan
Rasul yang menjadi suri tauladan umat manusia.
 Lanjutan dimensi eksoteris Ibadah ……
 Ada pula orang mengatakan, bahwasanya makna
eksoterik ibadah semata hanya menggunakan
pendekatan fiqhiyyah, yaitu pendekatan dari segi
makna lahiriah semata, hanya melihat dari aspek-aspek
hukum zhahir. Berbeda halnya dengan faham ulama
sufi, pelaksanaan ibadah harus sampai menghunjam ke
relung hati.
 Dari uraian di atas, dimensi eksoteris dalam beribadah
adalah mengamalkan praktek ibadah, yang bersifat
lahiriah sesuai dengan tuntunan syari’at.
Dimensi Esoteris Ibadah
 Pengalaman ibadah seharusnya tidak sekedar berdimensi
eksoteris, yang hanya bersifat simbolik dan lahiriah, namun
hendaknya sampai kepada pemahaman dan
penghayatannya.
 Yang dimaksud pemahaman dalam ibadah adalah
memahami makna-makna dan nilai-nilai serta esensi ibadah.
Sedangkan yang dimaksud dengan penghayatan ibadah,
adalah melakukan apresiasi dan ekspresi ibadah itu dengan
diiringi perbuatan-perbuatan yang bersifat aplikatif, yang
sejalan dengan hakikat dan hikmah ibadah.
 Pelaksanaan ibadah berdimensi esoteric banyak isyarat
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, bahkan dimensi esoterik ini
dianggap lebih penting, karena ia merupakan inti dan
ruhnya ibadah.
Lanjutan dimensi esoteris
 Harun Nasution mengemukakan, bahwa tujuan dari ibadah
itu bukanlah hanya sekedar menyembah, tetapi taqarrub
kepada Allah, agar dengan demikian roh manusia senantiasa
diingatkan kepada hal-hal yang bersih dan suci, akhirnya rasa
kesucian seseorang menjadi kuat dan tajam. Roh yang suci
itu akan membawa kepada budi pekerti yang baik dan luhur.
Oleh karena itu, ibadah di samping merupakan latihan
spritual, juga merupakan latihan moral
lanjutan dimensi esoteris
 Ibadah dalam dimensi esoteris lebih tertuju kepada
kandungan makna ibadah itu sendiri yang diiringi rasa
keihklasan untuk mendapatkan ridha Ilahi.
 Pelaksanaan ibadah harus mencapai esensi dan
hakikat tujuannya, yang akan memberi dampak positif
bagi sipelaku sendiri maupun lingkungan sekitarnya.

Anda mungkin juga menyukai