Anda di halaman 1dari 23

A.

Memahami konsep syariah


1. Mengetahui konsep syariah tentang ibadah mahdodh dan ghoir madhoh
Ibadah mahdhah (‫)العبادت المحضة‬

Adalah ibadah yang murni ibadah, ditunjukkan oleh tiga ciri berikut ini:

Pertama, ibadah mahdhah adalah amal dan ucapan yang merupakan jenis
ibadah sejak asal penetapannya dari dalil syariat. Artinya, perkataan atau
ucapan tersebut tidaklah bernilai kecuali ibadah. Dengan kata lain, tidak
bisa bernilai netral (bisa jadi ibadah atau bukan ibadah). Ibadah mahdhah
juga ditunjukkan dengan dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya
ditujukan kepada selain Allah Ta’ala, karena hal itu termasuk dalam
kemusyrikan.

Kedua, ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan maksud pokok orang


yang mengerjakannya, yaitu dalam rangka meraih pahala di akhirat.

Ketiga, ibadah mahdhah hanya bisa diketahui melalui jalan wahyu, tidak
ada jalan yang lainnya, termasuk melalui akal atau budaya.

Contoh sederhana ibadah mahdhah adalah shalat. Shalat adalah ibadah


mahdhah karena memang ada perintah (dalil) khusus dari syariat. Sehingga
sejak awal mulanya, shalat adalah aktivitas yang diperintahkan (ciri yang
pertama). Orang mengerjakan shalat, pastilah berharap pahala akhirat (ciri
ke dua). Ciri ketiga, ibadah shalat tidaklah mungkin kita ketahui selain
melalui jalur wahyu. Rincian berapa kali shalat, kapan saja, berapa raka’at,
gerakan, bacaan, dan seterusnya, hanya bisa kita ketahui melalui penjelasan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hasil dari kreativitas dan olah
pikiran kita sendiri.

Ibadah ghairu mahdhah (‫)العبادت غير المحضة‬

Ibadah yang tidak murni ibadah memiliki pengertian yang berkebalikan dari
tiga ciri di atas. Sehingga ibadah ghairu mahdhah dicirikan dengan:

Pertama, ibadah (perkataan atau perbuatan) tersebut pada asalnya bukanlah


ibadah. Akan tetapi, berubah status menjadi ibadah karena melihat dan
menimbang niat pelakunya.

Kedua, maksud pokok perbuatan tersebut adalah untuk memenuhi urusan


atau kebutuhan yang bersifat duniawi, bukan untuk meraih pahala di akhirat.
Ketiga, amal perbuatan tersebut bisa diketahui dan dikenal meskipun tidak
ada wahyu dari para rasul.

Contoh sederhana dari ibadah ghairu mahdhah adalah aktivitas makan.


Makan pada asalnya bukanlah ibadah khusus. Orang bebas mau makan
kapan saja, baik ketika lapar ataupun tidak lapar, dan dengan menu apa saja,
kecuali yang Allah Ta’ala haramkan. Bisa jadi orang makan karena lapar,
atau hanya sekedar ingin mencicipi makanan. Akan tetapi, aktivitas makan
tersebut bisa berpahala ketika pelakunya meniatkan agar memiliki kekuatan
(tidak lemas) untuk shalat atau berjalan menuju masjid. Ini adalah ciri
pertama.

Berdasarkan ciri kedua, kita pun mengetahui bahwa maksud pokok ketika
orang makan adalah untuk memenuhi kebutuhan pokok (primer) dalam
hidupnya, sehingga dia bisa menjaga keberlangsungan hidupnya. Selain itu,
manusia tidak membutuhkan wahyu untuk bisa mengetahui pentingnya
makan dalam hidup ini, ini ciri yang ketiga. Tanpa wahyu, orang sudah
mencari makan.

Ini adalah contoh sederhana untuk memahamkan pengertian ibadah ghairu


mahdhah, dan akan kami sebutkan lebih rinci lagi jenis-jenis ibadah ghairu
mahdhah di serial selanjutnya dari tulisan ini.

Berdasarkan penjelasan di atas, ibadah mahdhah disebut juga dengan ad-


diin (urusan agama), sedangkan ibadah ghairu mahdhah disebut juga dengan
ad-dunya (urusan duniawi). Sebagaimana ibadah mahdhah disebut juga
dengan al-‘ibadah (ibadah), sedangkan ibadah ghairu mahdhah disebut juga
dengan al-‘aadah (adat kebiasaan).

2. Memahami konsep tentang magadshirus syariah

Pengertian Maqashid Syari'ah

Dalam kamus bahasa Arab, maqshad dan maqashid berasal dari akra kata
qashd (). Maqashid () adalah kata yang menunjukkan banyak (jama'),
mufradnya maqshad yang berarti tujuan atau target. Sedangkan menurut
istilah dari beberapa ulama adalah sebagai berikut, menurut al-Fasi
maqashid syariah adalah: tujuan atau rahasia Allah dalam setiap hukum
syariat-Nya. Menurut ar-Risuni, tujuan yang ingin dicapai oleh syariat untuk
mereaalisasikan kemaslahatan hamba. Dan Syatibi mendifinisikan
maqashid syariah dari kaidah berikut berikut: "Sesungguhnya syariah
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat".
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut
Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan
bahwa tidak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan, karena
hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu
yang tidak dilaksanakan. Kemaslahatan disini diartikan sebagai segala
sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan
manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas
emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.

Imam Asy-Syatibi menjelaskan ada 5 (lima) bentuk maqashid syariah atau


yang disebut dengan kulliyat al-khamsah(lima prisip umum). Kelima
maqashid tersebut yaitu: 1. Hifdzu din(melindungi agama), 2. Hifdzu
nafs(melindungi jiwa), 3. Hifdzu aql(melindungi pikiran), 4. Hifdzu
mal(melindungi harta), 5. Hifdzu nasab(melindungi keturunan). Kemudian
dalam kebutuhan manusia terhadap harta ada yang bersifat dharuri(primer),
haji(sekunder), dan tahsini(pelengkap).

Fungsi Maqashid Syari'ah

Seorang faqih dan mufti wajib mengetahui maqashid nash sebelum


mengeluarkan fatwa. Jelasnya, seorang faqih harus mengetahui tujuan Allah
dalam setiap syariat-Nya (perintah atau larangan-Nya) ag fatwanya sesuai
dengan tujuan Allah SWT. Agar tidak terjadi --seperti- sesuat yang menjadi
kebutuhan dharuriyah manusia, tapi dihukumi sunnah atau mubah.

Lembaga fikih OKI (Organisasi Konferensi Islam) menegaskan bahwa


setiap fatwa harus menghadirkan maqashid syariah karena maqashid syariah
memberikan manfaat sebagai berikut: pertama, bisa memahami nash-nash
Al-Qur'an dan hadits beserta hukumnya secara komprehensif. Kedua, bisa
mentarjihsalah satu pendapat fuqaha berdasarkan maqashid syariah sebagai
salah satu standar. Ketiga, memahami ma'allat(pertimbangan jangka
panjang) kegiatan dan kebijakan manusia dan mengaitkannya dengan
ketentuan hukumnya.

Tiga poin tersebut diatas menunjukkan bahwa mengaitkan status hukum


dengan maqashid syariah itu sangat penting supaya produk-produk hukum
itu tidak bertentangan dengan maslahat dan hajat manusia.

Dalam bab ekonomi produk-produk hukum itu harus memenuhi hajat dan
kepentingan manusia baik hajat mereka sebagai pembeli, penjual dan lain
sebagainya.

Diantara praktek-praktek yang bertentangan dengan maqashid syariah


adalah praktik hilalh ribawiyah(rekayasa) praktek ribawi yang terlarang.
Hal ini pula yang ditegaskan dalam Standar Syariah AAOIFI: 'tidak boleh
mengarahkan lembaga keuangan syariah untuk melakukan hilah yang
dilarang oleh syariat karena bertentangan degnan maqashid syariah (tujuan
hukumnya).

Bagaimana kaidah mengetahui maqashid syari'ah?

Tidak sembarangan orang bebas menentukan maqashid syariah dari suatu


perintah/larangan, namun hal itu sudah ada kaidahnya, diantaranya adalah:

Kaidah pertama, seluruh ketentuan syariah memiliki maksud (maqashid)

Sesungguhnya Allah SWT tidak menciptakan sesuatu kecuali untuk tujuan


tertentu, begitu pula Ia tidak mengurangi atau menambah sesuatu kecuali
atas hikmah tertentu pula.

Hal ini ditegaskan oleh Imam Asy-Syatibi dan ath-Thahir ibu 'Asyur:
Sesungguhnya secara prinsip, ketentutan ibadah itu mu'allalah (memiliki
'illat/sebab), walaupun dalam ketentuan detailnya lebih banyak tidak
bermu'allalah (tidak dijelaskan illatnya). Jadi tidak hanya ketentuan-
ketentuan mu'amalah yang memiliki 'illat dan tujuan (maqashid), tetapi juga
ketentuan ibadah.

Kaidah kedua, Taqshid (menentukan maqashid) itu harus berdasarkan dalil.

Tidak boleh menetapkan atau menafikan maqashid syariah kecuali atas


dasar dalil. Oleh karena itu, menisbatka suatu maqshad (tujuan hukum) atas
hukum tertentu dalam syariat Islam itu sama halnya menisbatkan sebuah
perkataan dan hukum kepada Allah. Karena syariat itu adalah syariat Allah
dan setiap target dalam syariat Islam itu adalah target Allah. Jika maqashid
syariah itu tidak berdalil, maka itu sama halnya berdusta kepada Allah, dan
itu dilarang dalam syariat Islam.

Kaidah ketiga, menertibkan maslahat dan mafsadah.

Menurut Islam maslahat dan mafsadah itu berbeda-beda tingkat urgensi dan
kepentingannya. Misalnya dalam lima kebutuhan dharuriyat(asasi) manusia
itu berbeda-beda pula tingkat kepentingannya. Jika maqashid syariah itu
bertingkat-tingkat dan berbeda kepentingannya, maka hal yang sama terjadi
pada wasail(sarana). Karena setiap ada tujuan (maqashid),maka harus ada
wasail(sarana) yang mengantarkan kepada tujuan tersebut.

Hal tersebut didasarkan pada nash-nash Al-Qur'an dan Hadits bahwa


ketentuan-ketentuan syariat ini tidak sama, tetapi berbeda-beda; ada yang
tidak penting, ada yang penting dan ada yang lebih penting. Diantara nash-
nash tersebut adalah dalam surat Al-Hujurat:7
"Serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan
kedurhakaan, mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus"

Dalam ayat ini, Allah menyebutkan beberapa bentuk dosa yaitu kufur,
kefasikan, dan maksiat (kedurhakaan) secara berurutan yang menunjukkan
bahwa kufur adalah dosa paling besar dan kekufuran lebih berat daripada
maksiat. Allah menyebut bentuk mafsadah dalam ayat ini secara berurutan
sesuai tingkat kemudharatannya.

Selanjutnya Allah memeberikan tugas dan kewajiban kepada manusia


berdasarkan tingkat maslahat dan mafsadahnya. Maksudnya Allah
menjadikan setiap jenis perintah atau larangan atau ketentuan lain itu sesuai
dengan tingkatan mafsadah dan maslahatnya. Lebih detailnya imam Asy-
Syatibi menjelaskan sebagai berikut:

 Jika perbuatan tersebut memiliki maslahat yang besar, maka perbuatan


tersebut termasuk kategori rukun.
 Jika perbuatan tersebut memiliki mafsadat yang besar, maka perbuatan
tersebut masuk kategori dosa besar.
 Jika perbuatan tersebut memiliki maslahat yang tidak besar, maka perbuatan
tersebut termasuk kategori ihsan.
 Jika perbuatan tersebut memiliki mafsadat yang kecil, maka perbuatan
tersebut masuk kategori dosa kecil.

Kaidah keempat: Membedakan antara maqashid dan wasa'il dalam setiap


ketentuan Allah.

Diantara kaidah penting dalam bab maqashid syariah adalah membedakan


antara rumpun maqashid dan rumpun wasail dengan cara meletakkan
ketentuan syariat ini pada tempatnya sesuai rumpunnya.

Yang dimaksud dengan sarana (wasilah) adalah sesuatu yang harus


dilakukan atau ditinggalkan bukan karena perbuatan tersebut, tetapi karena
hal lain yaitu target perbuatan tersebut. Jelasnya, wasilah adalah perbuatan
yang mengantarkan kepada tujuan perbuatan tersebut.

Seperti perintah dan laranga Allah dalam surat Al-Jumu'ah ayat 9 yang
artinya:

"Hai orang-orang yang beriman apabila diseru untuk menunaikan shalat


Jumat. Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah SWT dan
tinggalkanlah jual beli demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui"

Ayat ini menegaskan perihal perintah dan larangan yaitu perintah untuk
bergegas berangkat ke masjid serta larangan berjual beli saat shalat jumat.
Perintah untuk berangkat ke masjid sebenarnya bukan menjadi tujuan ayat
ini, tetapi yang menjadi tujuan adalah mengingat Allah SWT. Oleh karena
itu, orang yang tinggal di masjid, yang tidak perlu bergegas berangkat ke
masjid itu tetap harus bersegera mengingat Allah untuk melaksanakan shalat
jum'at. Begitu pula dengan larangan berjual beli pada saat shalat Jumat. Jual
beli ini dilarang, bukan karena jual belinya, tetapi karena jual beli tersebut
dikhawatirkan akan melalaikan shalat jumat atau terlambat menunaikannya
atau meninggalkannya.

B. Menganalisis Penerapan Syariah

1. Menerapkan syariah dalam kehidupan sehari-hari

Semula diskusi kecil tentang Islam. Pada saat itu yang dibicarakan soal-soal
ritual, hukum sesuatu tentang kegiatan dan jenis makanan, hingga berlanjut
soal kegiatan proyek yang harus dilaksanakan. Tatkala sampai pada wilayah
kegiatan yang bernuansa modern itu, maka timbul pertanyaan tentang
relevansi Islam terhadap kegiatan yang dianggap sebagai bersifat duniawi
dimaksud. Pesera diskusi kecil dan bersifat informal itu kemudian
menanyakan letak relevansi Islam dengan kegiatan modern itu.

Rupanya, membawa Islam ke dalam kegiatan sederhana itu dirasakan


menjadi tidak mudah tatkala sudah masuk wilayah yang dianggap bukan
bagian agama. Sebuah persoalan dianggap sebagai wilayah agama manakala
menyangkut jenis kegiatan ritual seperti shalat, zakat, puasa, haji, berdoa,
dan sejenisnya. Atau, juga menyangkut sesuatu yang harus ditinjau dari
aspek hukum atau fiqh. Misalnya, benda tertentu hukumnya halal atau
haram, kegiatan itu sunnah, mubah, atau makruh, wajib atau tidak, dan
sejenisnya. Di luar wilayah itu disebut bukan bagian dari agama atau Islam.

Agar Islam sebagaimana sifatnya, menjadi tetap relevan dengan kehidupan


modern, maka yang diperlukan adalah menangkap makna Islam itu sendiri
dalam kontek yang luas, seluas wilayah kehidupan itu sendiri. Hal demikian
itu sebenarnya mudah, tetapi tidak semua orang berani melakukannya.
Kekhawatiran itu juga tidak selalu salah, makakala dilihat dari aspek
psikologis, ialah bahwa dalam hal yang menyangkut agama atau keyakinan,
maka harus dilakukan dengan kehati-hatian.

Akan tetapi, manakala selamanya tidak ada keberanian keluar dari mindset
yang sehari-hari mewarnai kehidupannya, maka juga tidak akan diperoleh
jawaban tatkala menghadapi perubahan kehidupan yang semakin cepat
seperti yang terjadi sekarang ini. Akibatnya, hingga persoalan mencari
relevansi Islam dengan kegiatan proyek saja dianggap sulit. Bahkan yang
lebih fatal lagi, sikap itu memunculkan anggapan bahwa, Islam tidak ada
kaitannya dengan kehidupan modern. Padahal Islam disebut bersifat
universal, dan oleh karena itu, selalu memiliki relevansi dengan zaman
apapun.

Lewat diskusi sederhana dan bersifat informal itu akhirnya ditemukan


pandangan bahwa, Islam mengajarkan tentang niat. Dalam kegiatan atau
memilih apa saja, Islam memberikan tuntunan-------tidak terkecuali
mengerjakan proyek, harus dikerjakan dan memilih yang terbaik. Semua
pekerjaan harus diselesaikan dengan sabar, ikhlas, istiqomah, penuh
amanah, harus tawakkal dan atau menyerahkan segala sesuatu tentang apa
yang telah dilakukan kepada Dzat Yang Maha Kuasa.

Nilai-nilai tersebut, sudah barang tentu, akan sangat relevan dengan


berbagai kegiatan atau proyek apapun. Kegiatan proyek yang dikenal
sebagai bersifat modern, seharusnya dijalankan dengan niat yang bersih,
yakni dijadikan bagian dari pengabdiannya kepada Tuhan. Islam
mengajarkan bahwa segala sesuatu tergantung pada niatnya. Bisa saja suatu
pekerjaan tampak baik, tetapi manakala niat mengerjaannya buruk, maka
akan memperoleh hasil yang buruk pula. Sebaliknya, siapapun tidak boleh
melakukan pekerjaan buruk diniati untuk memperoleh kebaikan.

Akhirnya, melihat dari aspek niat itu saja, yang harus dilakukan dengan
tepat, maka sebenarnya semua kegiatan akan selalu ada relevansinya dengan
Islam. Artinya, Islam harus dihadirkan di dalam semua jenis kegiatan
sehari-hari. Islam tidak hanya menjawab persoalan ritual dan atau melihat
sesuatu dari aspek fiqhnya, melainkan akan menjawab perbagai persoalan
luas secara tidak terbatas yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari oleh
siapapun, di manapun, dan kapanpun. Maka, sebuah proyek disebut telah
dikerjakan secara Islami manakala diawali dengan niat yang tepat,
dikerjakan dengan jujur, sabar, ikhlas, istiqomah, memilih pendekatan atau
cara terbaik, hingga akhirnya pekerjaan itu disebut sebagai sebuah amal
shaleh.

2. Menganalisis dampak pelanggaran syariah

Dalam salah satu karyanya, Al-Imanu Billlah, Dr. Ali Muhammad Ash-
Shalabi mengungkapkan sejumlah dampak buruk yang dirasakan oleh
manusia akibat meninggalkan hukum Allah dan lebih memilih hukum yang
disimpulkan oleh akal atau hawa nafsunya sendiri. Tema ini beliau kupas
secara rinci dalam bab Tauhid Uluhiyah. Artinya, salah satu bagian dari
upaya memurnikan tauhid kepada Allah adalah wajib berpedoman kepada
hukum yang telah ditetapkan-Nya. Menariknya, semua poin-poin tersebut,
beliau sertakan dalil yang cukup jelas, baik dari Al-Qur’an maupun As-
Sunnah.
 Menolak Penerapan Syariat Menjadikan Hati Keras Membatu

Ketika ahli kitab melanggar perjanjian dengan Allah untuk mendengar dan
taat, memperlakukan ayat-Nya secara tidak baik, menakwilkan kitab-Nya
tidak seperti yang diturunkan, mengartikan tidak sesuai maksudnya,
mengatakan hal-hal yang tidak disebutkan dalam kitab-Nya, enggan
mengamalkan karena rasa benci di hati, akhirnya Allah menjadikan hati
mereka keras membatu hingga tidak bisa memetik pelajaran dari nasihat
yang disampaikan.

Ini adalah salah satu hukuman terbesar yang menghinakan hati,


menghalangi hati dari kelembutan-kelembutan Rabbani, petunjuk dan
kebaikan yang disampaikan malah semakin menambah keburukan. Allah
ta’ala berfirman:

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan


Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan
(Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian
dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya.” (Al-Mâ’idah: 13)

Seperti itulah kondisi siapa pun yang berpaling dari syariat Allah dan lebih
mengedepankan rasio serta hawa nafsu sebagai dasar dalam mengatur
hukum di antara manusia. Sebagai balasannya, Allah pun mengunci rapat
hatinya.

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya


sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan
Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan
tutupan atas penglihatannya…?” (QS. Al-Jâtsiyah: 23)

Dalam tafsirnya, Imam As-Sa’di menjelaskan maknanya adalah pernahkah


kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya;
apa yang disenangi nafsunya ia turuti. Tidak peduli diridhai Allah atau tidak.
Karena itu, Allah Ta’ala membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan ia tidak
diberi hidayah. Pendengarannya dikunci mati sehingga ia tidak bisa
menengar apa pun yang bermanfaat untuk dirinya. Hatinya juga tidak bisa
menerima kebaikan dan Allah meletakkan tutupan atas penglihatannya dari
melihat kebenaran.” (Tafsir As-Sa’di, 7/1637)

 Tersesat dari Jalan Kebenaran

Allah Ta’ala berfirman:

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di


muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan
Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (QS. Shâd: 26).

Ketika menafsirkan ayat di atas, Syeikh As-Syinqiti menjelaskan:

،‫ ولكن هللا تعالى‬،‫ فيضله عن سبيل هللا‬،‫ وال يتبع الهوى‬،‫ ال يحكم بغير الحق‬،‫ومعلوم أن نبي هللا داود‬
‫ ليشرع ألممهم‬،‫ وينهاهم‬،‫يأمر أنبياءه عليهم الصالة والسالم‬.

“Seperti diketahui, Nabi Daud tidak memutuskan perkara apa pun selain
yang benar, juga tidak mengikuti hawa nafsu sehingga tersesat dari jalan-
Nya. Namun, Allah menyampaikan perintah dan larangan kepada para
Nabi-Nya agar menjadi syariat bagi umat masing masing.” (Adhwâ`ul
Bayân, 7/28)

Peringatan keras bagi mereka yang mengedepankan hawa nafsu daripada


hukum-hukum Allah telah disampaikan. Imam Ar-Razi, dalam tafsirnya
menuliskan:

‫ بل‬، ‫ال ينبغي أن يظن ظان أن هوى نفسه متبعه وأن زمام االختيار بيد اإلنسان كما في الزوجات‬
‫ليس لمؤمن وال مؤمنة أن يكون له اختيار عند حكم هللا ورسوله فما أمر هللا هو المتبع وما أراد النبي‬
‫ ألن هللا هو المقصد والنبي هو الهادي‬، ‫هو الحق ومن خالفهما في شيء فقد ضل ضالال مبينا‬
‫ فمن ترك المقصد ولم يسمع قول الهادي فهو ضال قطعا‬، ‫الموصل‬

Bagi setiap mukmin, tidak patut baginya untuk mengambil pilihan lain
selain hukum yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Apa pun yang
diperintahkan-Nya harus diikuti, dan apa pun yang diinginkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam itulah kebenaran, siapa pun menyalahi sedikit
pun di antaranya, sungguh telah tersesat secara nyata. (At-Tafsîr Al-Kabîr,
25/183)

 Jatuh dalam Kemunafikan

Salah satu di antara ciri orang munafik adalah benci terhadap penegakkan
syariat. Karakter seperti ini telah muncul sejak pertama kali Islam tegak di
Kota Madinah. Tabiat mereka senantiasa mencemooh dan menyerang
syariat. Sikapnya selalu berpaling dari apa yang diturunkan Allah serta
menghalangi manusia dari jalan-Nya. Allah berfirman:

“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum


yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul,’ niscaya kamu lihat
orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari
(mendekati) kamu..” (An-Nisâ’: 61)

 Terhalang dari Pintu Tobat


Allah Ta’ala berfirman:

“Hari rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang


bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang
mengatakan dengan mulut mereka, ‘Kami telah beriman,’ padahal hati
mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi…..Barang
siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak
akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) daripada Allah. Mereka
itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka.
Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan
yang besar.” (Al-Mâ’idah: 41)

Ayat ini turun berkenaan dengan mereka yang bersegera dalam


menampakkan kekafiran, terlepas dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-
Nya dan lebih mengedepankan pandangan manusia dan hawa nafsu
daripada syariat-Nya, “Yaitu di antara orang-orang yang mengatakan
dengan mulut mereka, ‘Kami telah beriman,’ padahal hati mereka belum
beriman,”yaitu menampakkan iman melalui lisan namun hati mereka
kosong tanpa iman. Mereka adalah orang-orang munafik. “Dan (juga) di
antara orang-orang Yahudi,” yaitu musuh-musuh Islam dan kaum muslimin.
(Tafsir Ibnu Katsir, 3/136)

Kejahatan yang mereka lakukan adalah menyimpang dari syariat Islam,


kadang dengan cara dipisah-pisahkan satu sama lain, dan kadang dengan
dirubah-rubah sesuai hawa nafsu, syahwat, dan kepentingan duniawi
mereka. Sebagai balasan atas kejahatan keji itu, mereka terhalang dari tobat.

Maksud ayat, “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak
mensucikan hati mereka,” imam At-Tabari menjelaskan:

،‫ فلم “يُرد ـ هللا أن يطهرـ من دنس الكفر‬،‫أن هللا تعالى حتم عليهم أال يتوبوا من ضاللهم وكفرهم‬
‫ووسخ الشرك ـ قلوبهم بطهارة اإلسالم ونظافة اإليمان فيتوبوا‬

“Allah telah memastikan mereka tidak akan bertobat dari kesesatan dan
kekafiran. Dia tidak ingin menyucikan hati mereka dari noda kekafiran dan
kebersihan dengan kesucian Islam dan kebersihan iman sehingga mereka
mau bertobat.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/209)

Tafsir yang sama juga diungkapkan oleh Imam As-Sa’di;

،‫ وأنه إن حكم له رضي‬،‫فدل ذلك على أن من كان مقصوده بالتحاكم إلى الحكم الشرعي اتباع هواه‬
‫ كما أن من حاكم وتحاكم إلى الشرع ورضي‬،‫ فإن ذلك من عدم طهارة قلبه‬،‫وإن لم يحكم له سخط‬
‫ وهو‬،‫ سبب لكل خير‬،‫ ودل على أن طهارة القلب‬،‫ فإنه من طهارة القلب‬،‫ وافق هواه أو خالفه‬،‫به‬
‫أكبر داع إلى كل قول رشيد وعمل سديد‬.
“Ayat ini menunjukkan, orang yang berhukum kepada syariat dengan niat
mengikuti hawa nafsu, di mana ketika putusan syariat menguntungkan
baginya, ia terima putusan tersebut dengan rela hati, namun ketika
merugikan, ia marah atas putusan syariat tersebut. Sikap seperti ini
menunjukkan hatinya tidak bersih. Sebaliknya, orang yang berhukum pada
syariat dan menerima putusan seperti apa pun dengan rela hati, baik sesuai
dengan keinginannya atau tidak, ini menunjukkan hatinya bersih. Ayat ini
juga menunjukkan, kesucian hati adalah faktor segala kebaikan, di samping
sebagai pemicu untuk mengatakan kebenaran dan bertindak secara tepat.”
(Tafsir As-Sa’di, 1/485)
Ayat di atas dengan jelas menyebutkan bahwa saalah satu karakter orang
munafik adalah menolak dan menghalangi orang untuk berhukum dengan
hukum Allah. Kalaupun ada syariat yang mereka terima, itu bukan lantaran
mereka yakin akan kebenarannya, namun semata-mata karena syariat
tersebut sejalan dengan kepentingannya.

 Menghalangi Manusia dari Jalan Allah

Salah satu di antara efek buruk ketika tidak mau menerapkan syariat Islam,
Allah Ta’ala akan golongkan mereka seperti orang-orang musyrik Makkah
yang tidak mau mengamalkan syariat dan menghalangi manusia darinya.
Dalam salah satu ayat-Nya, Allah Ta’ala menggambarkan ciri-ciri mereka:

“Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu


mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat
buruklah apa yang mereka kerjakan itu.” (QS. At-Taubah: 9)

Demikianlah sikap yang dituturkan Al-Qur’an tentang orang-orang musyrik


Arab yang enggan untuk mengikuti syariat Allah, karena sibuk dengan
urusan-urusan dunia yang hina dan menghalangi manusia dari jalan Allah.

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas


(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah.
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang
dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisâ’: 160)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi memperoleh


ancaman dari Allah yang berupa siksaan pedih, karena mereka melakukan
praktik hukum, menghalangi manusia dari agama, di samping memakan
uang hasil riba dan harta milik orang lain secara batil.
 Lenyapnya Rasa Aman dan Timbulnya Kekacauan Di mana-mana

Allah berfirman:

ْ ‫سانَ لَ َي‬
‫طغَى* أ َ ْن َرآهُ ا ْستَ ْغنَى‬ ِ ْ ‫ك ََال ِإ َن‬
َ ‫اإل ْن‬

“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena


dia melihat dirinya serba cukup.” (Al-‘Alaq: 6-7).

Melampaui batas adalah sifat dominan manusia ketika jauh dari syariat
Allah. Saat kita merenungkan penuturan Al-Qur’an tentang manusia yang
jauh dari iman, kita akan menemukan hal aneh pada dirinya, yaitu (manusia)
lemah menghadapi berbagai godaan yang memperdaya, melupakan
kebaikan, berbuat zalim terhadap sesama, kufur nikmat, memungkiri
kebaikan, sangat keras ketika bersengketa, rakus dalam mendapatkan harta,
pelit untuk berbagi dan sejumlah karakter buruk lainnya. Watak-watak
manusia seperti ini tidak mungkin bisa dihadapi atau diobati selain dengan
syariat dari sisi Penciptanya.

Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika masyarakat kita membiarkan


seseorang tidak ubahnya seperti hewan liar dan binatang buas yang
berbahaya tanpa syariat yang membersihkan hati dan seluruh anggota
badannya?

Sementara bagi mereka yang menerapkan syariat Islam, secara istimewa,


Allah memberikan rasa aman bagi mereka. Firman-Nya:

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka


dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’âm: 82)

 Permusuhan dan Kebencian Terus Menyebar di Tengah Masyarakat

Ketika orang-orang Yahudi menyalahi, mendustakan, dan tidak mau tunduk


pada syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah memberitahukan
hati mereka tidak bersatu padu, karena permusuhan terus terjadi di antara
mereka karena menyalahi syariat Yang Maha Benar.

Tidak berbeda dengan orang-orang Nasrani, di saat mereka meninggalkan


sebagian syariat yang diperingatkan dan enggan mengikuti Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, mereka pun tertimpa hukuman seperti yang menimpa
kawan-kawan mereka, orang-orang Yahudi.

“Dan di antara orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini


orang-orang Nasrani,’ ada yang telah Kami ambil perjanjian mereka, tetapi
mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi
peringatan dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan
dan kebencian sampai hari Kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan
kepada mereka apa yang mereka kerjakan.” (Al-Mâ’idah: 14)

Ibnu Taimiyah menjelaskan:

‫ حتى ال يقع‬،‫واألمة اإلسالمية وعظها هللا تعالى بالعداوة ال ُملقاة فيما بين طوائف اليهود والنصارى‬
‫ فمتى ترك الناس بعض ما‬،‫فالرعية تُلقى بينهم العداوات إذا رغبت عن شرع هللا‬،‫فيما وقعوا فيه‬
‫ وإذا تفرق القوم فسدوا وهلكوا وإذا اجتمعوا صلحوا‬،‫ وقعت بينهم العداوة والبغضاء‬،‫أمرهم هللا به‬
‫وملكوا‬

“Allah mengingatkan umat Islam agar tidak jatuh pada permusuhan satu
sama lain seperti yang terjadi di antara kelompok-kelompok Yahudi dan
Nasrani. Setiap individu, satu sama lainnya, akan saling memusuhi, jika
mereka enggan menerima syariat Allah. Ketika meninggalkan sebagian
perintahNya, maka mereka akan saling memusuhi dan membenci satu sama
lain. Perpecahan akan membawa kerusakan dan kehancuran, persatuan akan
membawa kebaikan dan kekuatan.” (Majmû’ Al-Fatâwâ, 3/421)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memohon perlindungan kepada


Allah dari dampak buruk meninggalkan hukum yang diturunkan-Nya, dan
menganggapnya sebagai salah satu penyebab utama terjadinya permusuhan
dan kebencian di antara sesama kaum muslimin.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kami lalu
menyampaikan:

‫ب‬ِ ‫ َو َما لَ ْم تَحْ ُك ْم أَئِ َمتُ ُه ْم بِ ِكت َا‬،… ‫اّللِ أ َ ْن تُد ِْر ُكوه َُن‬ ِ ‫يَا َم ْعش ََر ْال ُم َه‬
َ ِ‫اج ِرينَ خ َْمس إِذَا ا ْبت ُ ِليت ُ ْم بِ ِه َن َوأَعُوذ ُ ب‬
َ ْ ‫َّللاُ بَأ‬
‫س ُه ْم َب ْي َن ُه ْم‬ َ ‫ َويَت َ َخي َُروا ِم َما أ َ ْنزَ َل‬،ِ‫َّللا‬
َ ‫ إِ َال َجعَ َل‬،ُ‫َّللا‬ َ

“Wahai kaum Muhajirin! Ada lima hal, jika kalian diuji dengan semua
itu—dan aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak menjumpainya—
Di antaranya, ‘Tidaklah pemimpin-pemimpin mereka berhukum pada selain
kitab Allah dan lebih memilih (selain hukum) yang diturunkan Allah,
melainkan Allah akan menimpakan permusuhan di antara sesama mereka’.”
(Shahih Sunan Ibnu Majah, Al-Albani, 3/316 hadits nomor 3263)

C. Menganalisis konsep islam tentang lingkungan hidup


1. Menggali konsep konservasi lingkungan dalam islam
Seorang Enviromentalis modern bernama Mawil Y Izzi Deen menegaskan,
melestarikan lingkungan sebagai bagian dari ekologi hukumnya wajib
menurut ajaran Islam.

Asisten profesor Universitas King Abdul Aziz University, Jeddah, Saudi


Arabia dalam esainya yang berjudul Islamic Environmental Ethics, Law,
and Society, menuturkan, konservasi terhadap lingkungan harus dilakukan,
sebab lingkungan merupakan ciptaan Allah SWT dan semua makhluk yang
hidup di dalam lingkungan juga merupakan ciptaan-Nya.

Ajaran Islam mengajarkan bahwa alam semesta setiap waktu beribadah dan
mengagungkan Allah SWT, termasuk dedaunan yang berdzikir. Bahkan di
dalam Alquran sendiri tidak ada firman tertentu yang menyebutkan bahwa
alam harus mengabdi kepada manusia. Karena alam sebenarnya mengabdi
kepada Allah SWT, maka alam tidak boleh dirusak demi kepentingan
manusia yang serakah.

Salah seorang limuwan Muslim pada abad pertengahan Ibn Taymiyah


pernah menyatakan, "Dalam ayat-ayat Al Qur'an mengingatkan bahwa
Allah SWT menciptakan alam untuk alasan yang lebih baik dari pada hanya
melayani manusia. Ayat-ayat Al Qur'an juga hanya menerangkan
keuntungan yang bisa diperoleh dari alam untuk kepentingan manusia.”

Dalam ekologi Islam, semua ciptaan di semesta alam ini milik Allah SWT
dan bukan milik manusia. Sehingga jika ada yang berpikiran bahwa
binatang dan tumbuhan diciptakan untuk dimiliki manusia itu tidak benar.
Pemikiran bahwa binatang dan tumbuhan itu diciptakan hanya untuk
keuntungan manusia semata mendorong terjadinya perusakan alam dan
penggunaan hasil-hasil alam tidak sebagai mana mestinya.

Bahkan Islam juga mengajarkan umatnya untuk berbuat baik kepada alam
baik kepada lingkungan, binatang, dan tumbuhan. Nabi Muhammad saw
pernah bersabda siapapun yang berbuat baik kepada alam dengan hati yang
tulus akan mendapatkan imbalan berupa pahala.

Sejak zaman Nabi Muhammad, Islam telah mengenalkan konsep hima yaitu
sebuah zona tertentu untuk konservasi alam. Di dalam zona proteksi tersebut
tidak boleh didirikan bangunan atau untuk membuat ladang. Hima
digunakan untuk melindungi tumbuh-tumbuhan dan satwa liar. Konsep
hima hingga saat ini masih digunakan di negara-negara Islam.

Jika lingkungan tidak dijaga bahkan dirusak, maka akan menimbulkan


berbagai macam bencana dan penyakit. Saat ini terjadi banjir di mana-mana
akibat penebangan liar yang dilakukan para manusia serakah demi
kepentingannya sendiri.

2. Menganalisis kedudukan alam dan lingkungan dalam persefektif islam


Ada satu ayat dalam Al Quran yang selalu menjadi patokan bahwa
kerusakan di dunia ini adalah karena keserakahan manusia, lebih
lengkapnya begini ''Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).'' (Q.S. Ar-Ruum (30):41). Kerusakan ini akibat dari tangan-
tangan manusia, karena pandangan hidupnya yang tidak ramah terhadap
alam. Dalam pengantar yang disampaikan oleh Prof.Dr.Nanat Fatah Natsir
ini selanjutnya dituliskan bahwa kerusakan ini jika dihubungkan dengan
sejarah peradaban modern adalah buah dari penuhanan terhadap diri
manusia. Manusia modern menganggap bahwa manusia adalah pusat alam
semesta, dan memandang alam ada untuk ditaklukan dan untuk melayani
manusia. Inilah sebenarnya yang menjadi sumber malapetaka lingkungan
sedang kita hadapi. Lagi-lagi dalam sejarah, paradigma ini dikenal dengan
paradigam Cartesian yang dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650)
yang populer dengan sebutan bapak filsafat modern. Sejak lahirnya era
pencerahan ini, dunia barat giat melakukan penaklukan-penaklukan dengan
mengadakan ekspansi ke berbagai belahan dunia. Buku ini sepertinya
berpijak pada ayat tadi (Ar-Ruum:30) karena memulai mengantarkan
pembaca pada konteks kerusakan yang terjadi dimuka bumi ini. Dan
menjadikan agama (dan filsafat) sebagai solusi untuk mengatasi masalah
lingkungan terutama yang berasal dari cara pandang. Keyakinan penulis
tercermin pada awal pendahuluan yang menyatakan bahwa agama berperan
dalam merumuskan pandangan mengenai alam dan dalam menciptakan
perspektif-perspektif mengenai peran manusia terhadap alam. Karena
agama memiliki konsepsi yang jelas mengenai hubungan antara manusia
dengan Pencipta, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam
sekelilingnya. Dalam posisi ini, agama menjadi sangat penting artinya untuk
menganalisis akar krisis lingkungan dan mencari pemecahannya.
Disamping itu, agama-agama besar dunia telah mengembangkan etika
mengenai hubungan sosial di antara manusia, dan manusia dengan alam
sudah tentu meliputi persoalan-persoalan krisis ekologi ini (hal 17). Buku
ini selebihnya dibagi dalam tiga bagian penting, (1) Pandangan-dunia Islam
tentang perlindungan lingkungan; (2) Perlindungan alam dalam praktek;
dan (3) menuju fiqih lingkungan. Ketiga bagian ini diuraikan dalam bentuk
paparan-paparan yang menarik dikaji, misalnya dalam bagian pertama
pandangan-dunia islam tentang perlindungan lingkungan, kita akan dibawa
untuk menggali justifikasi dari sumber hukum islam. Lantas dari manakah
menggali sumber justifikasi itu? Selanjutnya penulis memaparkan (1) Al
Quran, (2) Al Hadist, (3) Ijma, (4) Qiyas dan (5)Tradisi-tradisi umat islam.
(hal 30-32). Kelima dasar inilah yang akan menjadi panduan selanjutnya
menggali masalah dan persoalan lingkungan. Setelah mengetahui dasar
justifikasi dalam Islam, selanjutnya bagaimana konsepsi islam dalam
memandang alam semesta. Di dalam ayat-ayat yang tersebar, Al-Qur'an
menunjukan banyak sekali subjek-subjek alam semesta baik mikrokosmos
maupun makrokosmos, yang layak dipikirkan dan direnungkan. Al-Qur'an
suci menyatakan dalam Al Anbiya (21): 107 ''Katakanlah: 'perhatikanlah
apa yang ada di langit dan di bumi'' (hal 34). Ketiga konsepsi tentang alam
ini terdiri dari (1) konsepsi ilmiah, (2) Konsepsi filosofis, dan (3) konsepsi
religius. Dalam pandangan islam, alam semesta itu ada dalam takdir Sang
Pencipta dan ada dalam pemeliharaannya. Allah Yang Maha Suci telah
menentukan alam raya ini dengan seimbang dan harmonis yang mana tiap-
tiap bentuk yang ada di langit dan di bumi serta yang ada diantara keduanya
diciptakan dengan sifat-sifat alamiahnya masing-masing untuk
membimbing peranannya menuju kesempurnaan masing-masing. Oleh
karena itu, Islam memandang bahwa bentuk-bentuk kreasi tidak ada yang
sia-sia. Mereka diciptakan bukan tanpa alasan dan tujuan, segala sesuatu
diarahkan menuju kesempurnaannya sendiri. Islam mengajarkan bahwa
alam raya diliputi oleh hukum alam sebagai hukum milik Allah yang di
dalamnya berlaku sebab dan akibat (hal 39). Dalam perlindungan terhadap
lingkungan, penulis buku ini menunjukan ayat-ayat yang berhubungan
misalnya dengan Air (Al Anbiya (21): 30), serta usaha proteksinya misalnya
dalam Hadist riwayat Imam Muslim, riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, Al
Hakim dan Al Baihaqi dari Muadz (hal 81). Usaha proteksi selanjut pada
tanah, udara, tumbuhan, binatang dan energi. Penulis disini menyampaikan
dengan seksama ayat ataupun hadist dan rujukan yang penting dalam
menguraikan bentuk usaha yang bisa menjadi alternatif pengelolaan
lingkungan. Dalam menuju fiqih Islam, pertama-tama penulis membongkar
paradigma cartesian dan budaya saintisme. Paradigma Cartesian yang
semakin kokoh dengan lahirnya revolusi sainsdan modern. Melalui
penemuan-penemuan baru disegala bidang ilmu pengetahuan, kedudukan
filsafat Des Cartes semakin kokoh. Penulis mengkritik paradigma ini
sebagai biang kerusakan lingkungan. Dengan paradigma Des Cartes ini,
lahir pola pikir, sikap mental dan sistem nilai yang mendorong terciptanya
berbagai problem dan krisis global yang kompleks dan multidimensional
seperti krisis ekologi, krisis moral, dehumanisasi, kekerasan, ketimpangan
global, dan krisis eksistensial (hal 112). Penulis menawarkan solusi
menangani persoalan itu dengan pendekatan Islam. Karena Islam
memandang persoalan-persoalan dengan sudut pandang dan cara
pendekatan yang menyeluruh tetapi spesifik dibandingkan dengan
pendekatan-pendekatan lain, yang dengannya ia diterima oleh semua orang
tanpa memandang kelas sosial, kecerdasan dan tingkat pendidikan. Wilayah
moral adalah salah satu wilayah penting dalam islam dimana Islam dapat
menyampaikan pesan-pesannya secara efektif, karena moral adalah nilai-
nilai yang diterima dan diperlukan oleh semua lapisan manusia.

3. Menganalisis penyebab kerusakan lingkungan dan dampaknya


Beberapa contoh kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh alam
diantaranya adalah :
1. Penyebab dan Dampak Kerusakan Lingkungan Hidup akibat Gunung
Meletus
Pada saat bencana gunung meletus ini terjadi, gunung menyemburkan lava,
lahar, dan beberapa material padat lain yang berasal dari dalam bumi.
Materal ini juga terbagi menjadi beberapa sifat seperti beruap, panas, dan
membawa debu-debu vulkanis yang buruk bagi makhluk hidup.
Akibatnya, banyak lingkungan hidup yang berada di sekitarnya juga di
daerah-daerah yang dilalui oleh lahar, debu, dan lava ini menjadi mati.
Sedangkan tanah yang menjadi sumber unsur hara kehidupan makhluk
hidup menjadi rusak dan terbawa aliran lahar.

2. Penyebab dan Dampak Kerusakan Lingkungan Hidup akibat Gempa


Bumi dan Tsunami
Gempa bumi ialah sebuah bencana alam yang terjadi akibat pergerakan
tanah pada lapisan endogen. Semakin jauh jarak pergeseran yang terjadi,
semakin besar gempa yang terjadi pada permukaan tanah.
Hal ini menyebabkan kerusakan yang sangat parah di permukaan bumi bagi
setiap makhluk hidup. Dan jika pergerakan pergeseran lapisan endogen
bumi ini berada di bawah permukaan laut, yang terjadi adalah bencana
tsunami.
Akibat yang ditimbulkan dari bencana tsunami juga tak kalah hebatnya dari
bencana gempa bumi itu sendiri. Karena lingkungan hidup yang berada di
laut maupun yang berada di daratan akan terkena dampak kerusakannya.
Angin ribut atau lebih ringkas disebut badai biasanya terjadi diakibatkan
perbedaan tekanan yang sangat mencolok pada suatu daerah, biasanya di
daerah yang jauh dari daerah pegunungan.
Perbedaan ini menyebabkan angin bertiup lebih kencang daripada biasanya
hingga menyebabkan timbulnya putaran angin di satu titik dan terjadilah
badai.
Bencana ini mengganggu aktivitas makhluk hidup yang tinggal di tempat
tersebut, merusak tanaman, bangunan, prasarana umum, dan juga
mengganggu penerbangan.

3. Penyebab dan Dampak Kerusakan Lingkungan Hidup akibat Tanah


Longsor
Bencana ini sebenarnya masih bisa dikategorikan kerusakan yang
diakibatkan oleh aktivitas manusia, namun juga banyak diantaranya
dikarenakan oleh alam itu sendiri.
Bencana ini biasanya diakibatkan kerusakan struktur tanah yang ada pada
lingkungan tersebut, minimnya tanaman, dan juga angin yang mengikis
terlalu dalam pada daerah perbukitan.
Akibatnya, akan banyak tanaman yang masih baru, tempat tinggal hewan
yang berada di sekitarnya, dan juga segala prasarana dan aktivitas manusia
menjadi rusak dan terganggu.

4. Penyebab dan Dampak Kerusakan Lingkungan Hidup akibat Banjir


kerusakan lingkungan hidup
Banjir yang murni biasanya terjadi akibat tanah dan tanaman yang sudah
lelah untuk menyerap dan menampung air yang ada. Biasanya terjadi pada
saat musim penghujan yang terlalu lebat dan datang terus-menerus.
Tetapi untuk banjir yang disebabkan manusia, bisa terjadi walaupun hujan
yang mengguyur lingkungan tersebut tidak terlalu lebat. Ini biasanya
disebabkan karena minimnya tanaman akibat penggundulan hutan dan
buruknya kualitas tanah yang yang berguna sebagai daerah resapan air.
Hal ini menyebabkan rusaknya tanaman, hancurnya habitat di tempat
tersebut, dan juga rusaknya sarana prasarana manusia yang ada di
sekitarnya.

5. Penyebab dan Dampak Kerusakan Lingkungan Hidup akibat Kemarau


Panjang
Berbeda jauh dengan kondisi saat kerusakan lingkungan tersebut terjadi
karena banjir. Kemarau yang berkepanjangan terjadi diakibatkan
penyimpangan iklim, dimana musim kemarau yang terjadi di suatu daerah
tersebut terjadi lebih lama daripada biasanya.
Akibat dari bencana ini adalah hilangnya sumber
mata air bagi kehidupan di lingkungan tersebut. Akan banyak makhluk
hidup yang mati karena kekurangan air, dan juga bisa mengakibatkan
kebakaran tanaman karena terlalu panasnya sinar matahari yang sampai ke
bumi.
Manusia juga tidak bisa melakukan pencegahan jika ini terjadi. Akibat dari
meletusnya gunung berapi tersebut bisa menyebabkan banyak hal yang
dapat merusak alam di sekitarnya. Misalnya saja kerusakan pertanian,
perumahan, hutan, dan lingkungan yang berada dekat dengan daerah letusan
gunung.

4. Mengidentifikasi peranan manusia dalam konservasi lingkungan


Berikut adalah beberapa Peran Manusia Dalam Menjaga Keseimbangan
Lingkungan :
Peran Negatif

a) Makhluk hidup saling berkompetisi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.


Diantara semua makhluk hidup, manusia adalah makhluk yang mempunyai
kemampuan kompetisi lebih baik. Manusia dapat membuat berbagai macam
alat untuk berkompetisi mempertahankan hidup. Akan tetapi kompetisi
manusia tersebut ternyata juga berdampak negatif bagi lingkungan hidup.
Berikut adalah beberapa peran negatif manusia yang merugikan lingkungan
hidup.

b) Manusia sering melakukan eksploitasi yang berlebihan sehingga


mengancam ketersediaan sumber daya alam.
c) Manusia telah mengubah ekosistem alami yang seimbang menjadi
ekosistem buatan yang memerlukan subsidi atau tambahan energi.
d) Pembangunan yang dilakukan manusia menyebabkan perubahan pada
permukaan bumi yang tak jarang menimbulkan berbagai bencana seperti
banjir air dan longsor
e) Perburuan liar dan penebangan pohon sembarangan yang dilakukan
manusia telah merusak ekosistem dan mengancam keanekaragaman flora
dan fauna
f) Adanya senyawa atau energi tertentu yang masuk ke dalam ekosistem
menimbulkan terjadinya pencemaran tanah, pencemaran air dan
pencemaran udara

Peran Positif

Manusia sebagai makhluk dominan yang mempunyai pengaruh besar


terhadap lingkungannya mempunyai peran positif untuk menjaga
keseimbangan lingkungan hidupnya. Beberapa peran positif yang dapat
dilakukan manusia adalah :

a. Menerapkan sistem tebang pilih dan mengatur pengelolaan sumber


daya alam secara bijak terutama sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui.
b. Mengadakan reboisasi atau penghijauan untuk menjaga kelestarian
flora dan fauna, serta mencegak terjadinya bencana yang
diakibatkan oleh terganggunya keseimbangan lingkungan.
c. Melindungi flora dan fauna langka dengan menetapkan kawasan
cagar alam dan suaka marga satwa, serta mengawasi ekspor dan
impor hewan- hewan tertentu
d. Mengolah limbah industri dengan tepat, serta melakukan daur ulang
limbah atau sampah rumah tangga untuk mengurangi dampak
pencemaran lingkungan. Manusia juga dapat memilah sampah
dengan cara membagi sampah menjadi tiga kategori yakni sampah
organik yang nantinya bisa digunakan sebagai pupuk kompos,
sampah anorganik dan sampah logam yang bisa dimanfaatkan
kembali
e. Menerapkan sistem multikultur atau tumpang sari dalam bercocok
tanam, sehingga kesuburan tanah dapat terjaga. Selain itu, pada
daerah lereng gunung dapat diterapkan terassering untuk
mengurangi resiko erosi tanah.
f. Mengkonsumsi hasil peternakan dan pertanian dalam negeri,
sehingga mengurangi impor buah- buahan dan daging dari luar
negeri yang secara tak disengaja dapat membawa telur hama baru
yang merugikan petani.
g. Mengurangi penggunaan bahan- bahan kimia berbahaya yang dapat
mencemari lingkungan, seperti pestisida dan detergen tidak ramah
lingkungan. Pestisida dapat diganti dengan menerapkan metode
biological control yang memanfaatkan musuh alami hama tanaman.
h. Menghindari pemborosan air sehingga sumber daya air tetap terjaga.
Selain itu, manusia juga harus bijak dalam menggunakan listrik dan
bahan bakar (baca : Kekurangan dan Kelebihan Bahan Bakar Fosil).
Menghemat listrik dapat dilakukan dengan penggunaan alat
elektronik yang berdaya rendah dan mematikan lampu jika tidak
digunakan. Sedangkan menghemat bahan bakar dapat dilakukan
dengan membiasakan jalan kaki jika jarak tempuh dekat dan
memilih transportasi umum untuk mengurangi penggunaan
kendaraan bermotor.
i. Melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), yakni
dengan cara mempertimbangkan kemungkinan terjadinya kerusakan
dan pencemaran lingkungan sebelum melakukan pembangunan.
j. Membuat peraturan atau undang- undang yang dapat melindungi
kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup serta
keanekaragaman hayati yang ada. Setelah membuat peraturan, maka
aturan tersebut harus benar- benar dipatuhi dan menindak tegas
oknum- oknum yang melanggarnya.
Kesimpulan

Ibadah madhah adalah ibadah murni, contohnya shalat. Ibadah ghairah adalah yang
tidak murni, contohnya makan.

Maqashid syariah adalah: tujuan atau rahasia Allah dalam setiap hukum syariat-Nya.
Menurut ar-Risuni, tujuan yang ingin dicapai oleh syariat untuk mereaalisasikan
kemaslahatan hamba.

Ada 5 (lima) bentuk maqashid syariah atau yang disebut dengan kulliyat al-
khamsah(lima prisip umum). Kelima maqashid tersebut yaitu: 1. Hifdzu din(melindungi
agama), 2. Hifdzu nafs(melindungi jiwa), 3. Hifdzu aql(melindungi pikiran), 4. Hifdzu
mal(melindungi harta), 5. Hifdzu nasab(melindungi keturunan). Kemudian dalam
kebutuhan manusia terhadap harta ada yang bersifat dharuri(primer), haji(sekunder),
dan tahsini(pelengkap).

Menerapkan syariah dalam kehidupan sehari-hari Lewat diskusi sederhana dan bersifat
informal itu akhirnya ditemukan pandangan bahwa, Islam mengajarkan tentang niat.
Dalam kegiatan atau memilih apa saja, Islam memberikan tuntunan-------tidak terkecuali
mengerjakan proyek, harus dikerjakan dan memilih yang terbaik. Semua pekerjaan
harus diselesaikan dengan sabar, ikhlas, istiqomah, penuh amanah, harus tawakkal dan
atau menyerahkan segala sesuatu tentang apa yang telah dilakukan kepada Dzat Yang
Maha Kuasa.

Melanggar syariat dapat mengakibatkan terjadinya kerugian atau hal hal buruk, seperti
menyebabkan hati menjadi batu
Daftar Pustaka

https://muslim.or.id/46004-perbedaan-antara-ibadah-mahdhah-dan-ibadah-
ghairu-mahdhah-bag-1.html
Karim, Ir. H. Adiwarman Azwar. 2016. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Sahroni, Dr. Oni dan Ir. H. Adiwarman A. Karim. 2015. Maqashid Bisnis &
Kuangan Islam.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
https://uin-malang.ac.id/r/140801/implementasi-nilai-islam-dalam-
kehidupan-sehari-hari.html
https://www.kiblat.net/2017/08/04/akibat-tidak-tunduk-syariat/2/
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
digest/17/04/20/oop6zq313-konservasi-lingkungan-dalam-pandangan-
islam
http://caramenjagalingkungan546.blogspot.com/2017/03/penyebab-dan-
dampk-kerusakan-lingkungan.html
https://ilmugeografi.com/ilmu-sosial/peran-manusia-dalam-menjaga-
keseimbangan-lingkungan
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

IMPLEMENTASI SYARIAH (IMAN DAN TAQWA) DALAM KEHIDUPAN


SEHARI-HARI

DISUSUN OLEH :

Edwin (06071281924082)

Fenty Miranda (06071281924027)

Khofifah Novia Nurhalizah (06071281924084)

Misna Febriati (06071281924070)

Vela Aviola (06071181924008)

Program Studi : Bimbingan Dan Konseling


Dosen : Abdul Ghofur, S.S., M.Pd.i.
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Tahun Akademik 2019/2020
Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai