Adalah ibadah yang murni ibadah, ditunjukkan oleh tiga ciri berikut ini:
Pertama, ibadah mahdhah adalah amal dan ucapan yang merupakan jenis
ibadah sejak asal penetapannya dari dalil syariat. Artinya, perkataan atau
ucapan tersebut tidaklah bernilai kecuali ibadah. Dengan kata lain, tidak
bisa bernilai netral (bisa jadi ibadah atau bukan ibadah). Ibadah mahdhah
juga ditunjukkan dengan dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya
ditujukan kepada selain Allah Ta’ala, karena hal itu termasuk dalam
kemusyrikan.
Ketiga, ibadah mahdhah hanya bisa diketahui melalui jalan wahyu, tidak
ada jalan yang lainnya, termasuk melalui akal atau budaya.
Ibadah yang tidak murni ibadah memiliki pengertian yang berkebalikan dari
tiga ciri di atas. Sehingga ibadah ghairu mahdhah dicirikan dengan:
Berdasarkan ciri kedua, kita pun mengetahui bahwa maksud pokok ketika
orang makan adalah untuk memenuhi kebutuhan pokok (primer) dalam
hidupnya, sehingga dia bisa menjaga keberlangsungan hidupnya. Selain itu,
manusia tidak membutuhkan wahyu untuk bisa mengetahui pentingnya
makan dalam hidup ini, ini ciri yang ketiga. Tanpa wahyu, orang sudah
mencari makan.
Dalam kamus bahasa Arab, maqshad dan maqashid berasal dari akra kata
qashd (). Maqashid () adalah kata yang menunjukkan banyak (jama'),
mufradnya maqshad yang berarti tujuan atau target. Sedangkan menurut
istilah dari beberapa ulama adalah sebagai berikut, menurut al-Fasi
maqashid syariah adalah: tujuan atau rahasia Allah dalam setiap hukum
syariat-Nya. Menurut ar-Risuni, tujuan yang ingin dicapai oleh syariat untuk
mereaalisasikan kemaslahatan hamba. Dan Syatibi mendifinisikan
maqashid syariah dari kaidah berikut berikut: "Sesungguhnya syariah
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat".
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut
Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan
bahwa tidak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan, karena
hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu
yang tidak dilaksanakan. Kemaslahatan disini diartikan sebagai segala
sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan
manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas
emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.
Dalam bab ekonomi produk-produk hukum itu harus memenuhi hajat dan
kepentingan manusia baik hajat mereka sebagai pembeli, penjual dan lain
sebagainya.
Hal ini ditegaskan oleh Imam Asy-Syatibi dan ath-Thahir ibu 'Asyur:
Sesungguhnya secara prinsip, ketentutan ibadah itu mu'allalah (memiliki
'illat/sebab), walaupun dalam ketentuan detailnya lebih banyak tidak
bermu'allalah (tidak dijelaskan illatnya). Jadi tidak hanya ketentuan-
ketentuan mu'amalah yang memiliki 'illat dan tujuan (maqashid), tetapi juga
ketentuan ibadah.
Menurut Islam maslahat dan mafsadah itu berbeda-beda tingkat urgensi dan
kepentingannya. Misalnya dalam lima kebutuhan dharuriyat(asasi) manusia
itu berbeda-beda pula tingkat kepentingannya. Jika maqashid syariah itu
bertingkat-tingkat dan berbeda kepentingannya, maka hal yang sama terjadi
pada wasail(sarana). Karena setiap ada tujuan (maqashid),maka harus ada
wasail(sarana) yang mengantarkan kepada tujuan tersebut.
Dalam ayat ini, Allah menyebutkan beberapa bentuk dosa yaitu kufur,
kefasikan, dan maksiat (kedurhakaan) secara berurutan yang menunjukkan
bahwa kufur adalah dosa paling besar dan kekufuran lebih berat daripada
maksiat. Allah menyebut bentuk mafsadah dalam ayat ini secara berurutan
sesuai tingkat kemudharatannya.
Seperti perintah dan laranga Allah dalam surat Al-Jumu'ah ayat 9 yang
artinya:
Ayat ini menegaskan perihal perintah dan larangan yaitu perintah untuk
bergegas berangkat ke masjid serta larangan berjual beli saat shalat jumat.
Perintah untuk berangkat ke masjid sebenarnya bukan menjadi tujuan ayat
ini, tetapi yang menjadi tujuan adalah mengingat Allah SWT. Oleh karena
itu, orang yang tinggal di masjid, yang tidak perlu bergegas berangkat ke
masjid itu tetap harus bersegera mengingat Allah untuk melaksanakan shalat
jum'at. Begitu pula dengan larangan berjual beli pada saat shalat Jumat. Jual
beli ini dilarang, bukan karena jual belinya, tetapi karena jual beli tersebut
dikhawatirkan akan melalaikan shalat jumat atau terlambat menunaikannya
atau meninggalkannya.
Semula diskusi kecil tentang Islam. Pada saat itu yang dibicarakan soal-soal
ritual, hukum sesuatu tentang kegiatan dan jenis makanan, hingga berlanjut
soal kegiatan proyek yang harus dilaksanakan. Tatkala sampai pada wilayah
kegiatan yang bernuansa modern itu, maka timbul pertanyaan tentang
relevansi Islam terhadap kegiatan yang dianggap sebagai bersifat duniawi
dimaksud. Pesera diskusi kecil dan bersifat informal itu kemudian
menanyakan letak relevansi Islam dengan kegiatan modern itu.
Akan tetapi, manakala selamanya tidak ada keberanian keluar dari mindset
yang sehari-hari mewarnai kehidupannya, maka juga tidak akan diperoleh
jawaban tatkala menghadapi perubahan kehidupan yang semakin cepat
seperti yang terjadi sekarang ini. Akibatnya, hingga persoalan mencari
relevansi Islam dengan kegiatan proyek saja dianggap sulit. Bahkan yang
lebih fatal lagi, sikap itu memunculkan anggapan bahwa, Islam tidak ada
kaitannya dengan kehidupan modern. Padahal Islam disebut bersifat
universal, dan oleh karena itu, selalu memiliki relevansi dengan zaman
apapun.
Akhirnya, melihat dari aspek niat itu saja, yang harus dilakukan dengan
tepat, maka sebenarnya semua kegiatan akan selalu ada relevansinya dengan
Islam. Artinya, Islam harus dihadirkan di dalam semua jenis kegiatan
sehari-hari. Islam tidak hanya menjawab persoalan ritual dan atau melihat
sesuatu dari aspek fiqhnya, melainkan akan menjawab perbagai persoalan
luas secara tidak terbatas yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari oleh
siapapun, di manapun, dan kapanpun. Maka, sebuah proyek disebut telah
dikerjakan secara Islami manakala diawali dengan niat yang tepat,
dikerjakan dengan jujur, sabar, ikhlas, istiqomah, memilih pendekatan atau
cara terbaik, hingga akhirnya pekerjaan itu disebut sebagai sebuah amal
shaleh.
Dalam salah satu karyanya, Al-Imanu Billlah, Dr. Ali Muhammad Ash-
Shalabi mengungkapkan sejumlah dampak buruk yang dirasakan oleh
manusia akibat meninggalkan hukum Allah dan lebih memilih hukum yang
disimpulkan oleh akal atau hawa nafsunya sendiri. Tema ini beliau kupas
secara rinci dalam bab Tauhid Uluhiyah. Artinya, salah satu bagian dari
upaya memurnikan tauhid kepada Allah adalah wajib berpedoman kepada
hukum yang telah ditetapkan-Nya. Menariknya, semua poin-poin tersebut,
beliau sertakan dalil yang cukup jelas, baik dari Al-Qur’an maupun As-
Sunnah.
Menolak Penerapan Syariat Menjadikan Hati Keras Membatu
Ketika ahli kitab melanggar perjanjian dengan Allah untuk mendengar dan
taat, memperlakukan ayat-Nya secara tidak baik, menakwilkan kitab-Nya
tidak seperti yang diturunkan, mengartikan tidak sesuai maksudnya,
mengatakan hal-hal yang tidak disebutkan dalam kitab-Nya, enggan
mengamalkan karena rasa benci di hati, akhirnya Allah menjadikan hati
mereka keras membatu hingga tidak bisa memetik pelajaran dari nasihat
yang disampaikan.
Seperti itulah kondisi siapa pun yang berpaling dari syariat Allah dan lebih
mengedepankan rasio serta hawa nafsu sebagai dasar dalam mengatur
hukum di antara manusia. Sebagai balasannya, Allah pun mengunci rapat
hatinya.
، ولكن هللا تعالى، فيضله عن سبيل هللا، وال يتبع الهوى، ال يحكم بغير الحق،ومعلوم أن نبي هللا داود
ليشرع ألممهم، وينهاهم،يأمر أنبياءه عليهم الصالة والسالم.
“Seperti diketahui, Nabi Daud tidak memutuskan perkara apa pun selain
yang benar, juga tidak mengikuti hawa nafsu sehingga tersesat dari jalan-
Nya. Namun, Allah menyampaikan perintah dan larangan kepada para
Nabi-Nya agar menjadi syariat bagi umat masing masing.” (Adhwâ`ul
Bayân, 7/28)
بل، ال ينبغي أن يظن ظان أن هوى نفسه متبعه وأن زمام االختيار بيد اإلنسان كما في الزوجات
ليس لمؤمن وال مؤمنة أن يكون له اختيار عند حكم هللا ورسوله فما أمر هللا هو المتبع وما أراد النبي
ألن هللا هو المقصد والنبي هو الهادي، هو الحق ومن خالفهما في شيء فقد ضل ضالال مبينا
فمن ترك المقصد ولم يسمع قول الهادي فهو ضال قطعا، الموصل
Bagi setiap mukmin, tidak patut baginya untuk mengambil pilihan lain
selain hukum yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Apa pun yang
diperintahkan-Nya harus diikuti, dan apa pun yang diinginkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam itulah kebenaran, siapa pun menyalahi sedikit
pun di antaranya, sungguh telah tersesat secara nyata. (At-Tafsîr Al-Kabîr,
25/183)
Salah satu di antara ciri orang munafik adalah benci terhadap penegakkan
syariat. Karakter seperti ini telah muncul sejak pertama kali Islam tegak di
Kota Madinah. Tabiat mereka senantiasa mencemooh dan menyerang
syariat. Sikapnya selalu berpaling dari apa yang diturunkan Allah serta
menghalangi manusia dari jalan-Nya. Allah berfirman:
Maksud ayat, “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak
mensucikan hati mereka,” imam At-Tabari menjelaskan:
، فلم “يُرد ـ هللا أن يطهرـ من دنس الكفر،أن هللا تعالى حتم عليهم أال يتوبوا من ضاللهم وكفرهم
ووسخ الشرك ـ قلوبهم بطهارة اإلسالم ونظافة اإليمان فيتوبوا
“Allah telah memastikan mereka tidak akan bertobat dari kesesatan dan
kekafiran. Dia tidak ingin menyucikan hati mereka dari noda kekafiran dan
kebersihan dengan kesucian Islam dan kebersihan iman sehingga mereka
mau bertobat.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/209)
، وأنه إن حكم له رضي،فدل ذلك على أن من كان مقصوده بالتحاكم إلى الحكم الشرعي اتباع هواه
كما أن من حاكم وتحاكم إلى الشرع ورضي، فإن ذلك من عدم طهارة قلبه،وإن لم يحكم له سخط
وهو، سبب لكل خير، ودل على أن طهارة القلب، فإنه من طهارة القلب، وافق هواه أو خالفه،به
أكبر داع إلى كل قول رشيد وعمل سديد.
“Ayat ini menunjukkan, orang yang berhukum kepada syariat dengan niat
mengikuti hawa nafsu, di mana ketika putusan syariat menguntungkan
baginya, ia terima putusan tersebut dengan rela hati, namun ketika
merugikan, ia marah atas putusan syariat tersebut. Sikap seperti ini
menunjukkan hatinya tidak bersih. Sebaliknya, orang yang berhukum pada
syariat dan menerima putusan seperti apa pun dengan rela hati, baik sesuai
dengan keinginannya atau tidak, ini menunjukkan hatinya bersih. Ayat ini
juga menunjukkan, kesucian hati adalah faktor segala kebaikan, di samping
sebagai pemicu untuk mengatakan kebenaran dan bertindak secara tepat.”
(Tafsir As-Sa’di, 1/485)
Ayat di atas dengan jelas menyebutkan bahwa saalah satu karakter orang
munafik adalah menolak dan menghalangi orang untuk berhukum dengan
hukum Allah. Kalaupun ada syariat yang mereka terima, itu bukan lantaran
mereka yakin akan kebenarannya, namun semata-mata karena syariat
tersebut sejalan dengan kepentingannya.
Salah satu di antara efek buruk ketika tidak mau menerapkan syariat Islam,
Allah Ta’ala akan golongkan mereka seperti orang-orang musyrik Makkah
yang tidak mau mengamalkan syariat dan menghalangi manusia darinya.
Dalam salah satu ayat-Nya, Allah Ta’ala menggambarkan ciri-ciri mereka:
Allah berfirman:
ْ سانَ لَ َي
طغَى* أ َ ْن َرآهُ ا ْستَ ْغنَى ِ ْ ك ََال ِإ َن
َ اإل ْن
Melampaui batas adalah sifat dominan manusia ketika jauh dari syariat
Allah. Saat kita merenungkan penuturan Al-Qur’an tentang manusia yang
jauh dari iman, kita akan menemukan hal aneh pada dirinya, yaitu (manusia)
lemah menghadapi berbagai godaan yang memperdaya, melupakan
kebaikan, berbuat zalim terhadap sesama, kufur nikmat, memungkiri
kebaikan, sangat keras ketika bersengketa, rakus dalam mendapatkan harta,
pelit untuk berbagi dan sejumlah karakter buruk lainnya. Watak-watak
manusia seperti ini tidak mungkin bisa dihadapi atau diobati selain dengan
syariat dari sisi Penciptanya.
حتى ال يقع،واألمة اإلسالمية وعظها هللا تعالى بالعداوة ال ُملقاة فيما بين طوائف اليهود والنصارى
فمتى ترك الناس بعض ما،فالرعية تُلقى بينهم العداوات إذا رغبت عن شرع هللا،فيما وقعوا فيه
وإذا تفرق القوم فسدوا وهلكوا وإذا اجتمعوا صلحوا، وقعت بينهم العداوة والبغضاء،أمرهم هللا به
وملكوا
“Allah mengingatkan umat Islam agar tidak jatuh pada permusuhan satu
sama lain seperti yang terjadi di antara kelompok-kelompok Yahudi dan
Nasrani. Setiap individu, satu sama lainnya, akan saling memusuhi, jika
mereka enggan menerima syariat Allah. Ketika meninggalkan sebagian
perintahNya, maka mereka akan saling memusuhi dan membenci satu sama
lain. Perpecahan akan membawa kerusakan dan kehancuran, persatuan akan
membawa kebaikan dan kekuatan.” (Majmû’ Al-Fatâwâ, 3/421)
بِ َو َما لَ ْم تَحْ ُك ْم أَئِ َمتُ ُه ْم بِ ِكت َا،… اّللِ أ َ ْن تُد ِْر ُكوه َُن ِ يَا َم ْعش ََر ْال ُم َه
َ ِاج ِرينَ خ َْمس إِذَا ا ْبت ُ ِليت ُ ْم بِ ِه َن َوأَعُوذ ُ ب
َ ْ َّللاُ بَأ
س ُه ْم َب ْي َن ُه ْم َ َويَت َ َخي َُروا ِم َما أ َ ْنزَ َل،َِّللا
َ إِ َال َجعَ َل،َُّللا َ
“Wahai kaum Muhajirin! Ada lima hal, jika kalian diuji dengan semua
itu—dan aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak menjumpainya—
Di antaranya, ‘Tidaklah pemimpin-pemimpin mereka berhukum pada selain
kitab Allah dan lebih memilih (selain hukum) yang diturunkan Allah,
melainkan Allah akan menimpakan permusuhan di antara sesama mereka’.”
(Shahih Sunan Ibnu Majah, Al-Albani, 3/316 hadits nomor 3263)
Ajaran Islam mengajarkan bahwa alam semesta setiap waktu beribadah dan
mengagungkan Allah SWT, termasuk dedaunan yang berdzikir. Bahkan di
dalam Alquran sendiri tidak ada firman tertentu yang menyebutkan bahwa
alam harus mengabdi kepada manusia. Karena alam sebenarnya mengabdi
kepada Allah SWT, maka alam tidak boleh dirusak demi kepentingan
manusia yang serakah.
Dalam ekologi Islam, semua ciptaan di semesta alam ini milik Allah SWT
dan bukan milik manusia. Sehingga jika ada yang berpikiran bahwa
binatang dan tumbuhan diciptakan untuk dimiliki manusia itu tidak benar.
Pemikiran bahwa binatang dan tumbuhan itu diciptakan hanya untuk
keuntungan manusia semata mendorong terjadinya perusakan alam dan
penggunaan hasil-hasil alam tidak sebagai mana mestinya.
Bahkan Islam juga mengajarkan umatnya untuk berbuat baik kepada alam
baik kepada lingkungan, binatang, dan tumbuhan. Nabi Muhammad saw
pernah bersabda siapapun yang berbuat baik kepada alam dengan hati yang
tulus akan mendapatkan imbalan berupa pahala.
Sejak zaman Nabi Muhammad, Islam telah mengenalkan konsep hima yaitu
sebuah zona tertentu untuk konservasi alam. Di dalam zona proteksi tersebut
tidak boleh didirikan bangunan atau untuk membuat ladang. Hima
digunakan untuk melindungi tumbuh-tumbuhan dan satwa liar. Konsep
hima hingga saat ini masih digunakan di negara-negara Islam.
Peran Positif
Ibadah madhah adalah ibadah murni, contohnya shalat. Ibadah ghairah adalah yang
tidak murni, contohnya makan.
Maqashid syariah adalah: tujuan atau rahasia Allah dalam setiap hukum syariat-Nya.
Menurut ar-Risuni, tujuan yang ingin dicapai oleh syariat untuk mereaalisasikan
kemaslahatan hamba.
Ada 5 (lima) bentuk maqashid syariah atau yang disebut dengan kulliyat al-
khamsah(lima prisip umum). Kelima maqashid tersebut yaitu: 1. Hifdzu din(melindungi
agama), 2. Hifdzu nafs(melindungi jiwa), 3. Hifdzu aql(melindungi pikiran), 4. Hifdzu
mal(melindungi harta), 5. Hifdzu nasab(melindungi keturunan). Kemudian dalam
kebutuhan manusia terhadap harta ada yang bersifat dharuri(primer), haji(sekunder),
dan tahsini(pelengkap).
Menerapkan syariah dalam kehidupan sehari-hari Lewat diskusi sederhana dan bersifat
informal itu akhirnya ditemukan pandangan bahwa, Islam mengajarkan tentang niat.
Dalam kegiatan atau memilih apa saja, Islam memberikan tuntunan-------tidak terkecuali
mengerjakan proyek, harus dikerjakan dan memilih yang terbaik. Semua pekerjaan
harus diselesaikan dengan sabar, ikhlas, istiqomah, penuh amanah, harus tawakkal dan
atau menyerahkan segala sesuatu tentang apa yang telah dilakukan kepada Dzat Yang
Maha Kuasa.
Melanggar syariat dapat mengakibatkan terjadinya kerugian atau hal hal buruk, seperti
menyebabkan hati menjadi batu
Daftar Pustaka
https://muslim.or.id/46004-perbedaan-antara-ibadah-mahdhah-dan-ibadah-
ghairu-mahdhah-bag-1.html
Karim, Ir. H. Adiwarman Azwar. 2016. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Sahroni, Dr. Oni dan Ir. H. Adiwarman A. Karim. 2015. Maqashid Bisnis &
Kuangan Islam.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
https://uin-malang.ac.id/r/140801/implementasi-nilai-islam-dalam-
kehidupan-sehari-hari.html
https://www.kiblat.net/2017/08/04/akibat-tidak-tunduk-syariat/2/
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
digest/17/04/20/oop6zq313-konservasi-lingkungan-dalam-pandangan-
islam
http://caramenjagalingkungan546.blogspot.com/2017/03/penyebab-dan-
dampk-kerusakan-lingkungan.html
https://ilmugeografi.com/ilmu-sosial/peran-manusia-dalam-menjaga-
keseimbangan-lingkungan
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DISUSUN OLEH :
Edwin (06071281924082)