Dosen Pengampu:
Yusuf, M , HI
Disusun Oleh:
FAKULTAS SYARI’AH
2023
PENDAHULUAN
“Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup semua yang Allah cintai dan Allah
ridhai, baik ucapan atau perbuatan, yang lahir (tampak, bisa dilihat) maupun
yang batin (tidak tampak, tidak bisa dilihat).” (Al-‘Ubudiyyah, hal. 44)
Para ulama menjelaskan bahwa secara garis besar, ibadah dapat dibagi
dalam dua kelompok besar, yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.
Dalam tulisan singkat ini, penulis akan mencoba untuk menjelaskan perbedaan di
antara keduanya. Yang terkadang masih kita campuradukkan antara keduanya.
Ibadah mahdhah
Adalah ibadah yang murni ibadah, ditunjukkan oleh tiga ciri berikut ini:
Pertama, ibadah mahdhah adalah amal dan ucapan yang merupakan jenis
ibadah sejak asal penetapannya dari dalil syariat. Artinya, perkataan atau ucapan
tersebut tidaklah bernilai kecuali ibadah. Dengan kata lain, tidak bisa bernilai
netral (bisa jadi ibadah atau bukan ibadah). Ibadah mahdhah juga ditunjukkan
dengan dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya ditujukan kepada selain Allah
Ta’ala, karena hal itu termasuk dalam kemusyrikan.
Kedua, ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan maksud pokok orang yang
mengerjakannya, yaitu dalam rangka meraih pahala di akhirat.
2
Ketiga, ibadah mahdhah hanya bisa diketahui melalui jalan wahyu, tidak ada
jalan yang lainnya, termasuk melalui akal atau budaya.
Ibadah yang tidak murni ibadah memiliki pengertian yang berkebalikan dari
tiga ciri di atas. Sehingga ibadah ghairu mahdhah dicirikan dengan:
Ketiga, amal perbuatan tersebut bisa diketahui dan dikenal meskipun tidak
ada wahyu dari para rasul.
3
Berdasarkan ciri kedua, kita pun mengetahui bahwa maksud pokok ketika
orang makan adalah untuk memenuhi kebutuhan pokok (primer) dalam hidupnya,
sehingga dia bisa menjaga keberlangsungan hidupnya. Selain itu, manusia tidak
membutuhkan wahyu untuk bisa mengetahui pentingnya makan dalam hidup ini,
ini ciri yang ketiga. Tanpa wahyu, orang sudah mencari makan.
4
PEMBAHASAN
1. Kaidah Pertama
اَأل ْص ُل ِفي الِعَباَد ِة الَتْو ِقْيف َو اِإل ْتَباع
“Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntutan syariah”
Maksud dari kaidah diatas adalah tidak boleh seseorang beribadah kepada Allah
dengan suatu ibadah kecuali jika ada dalil dari syari’at yang menunjukkan ibadah
tersebut diperintahkan. Sehingga tidak boleh bagi kita membuat-buat suatu ibadah
baru dengan maksud beribadah pada Allah dengannya. Bisa jadi ibadah yang
direka-reka itu murni baru atau sudah ada tetapi dibuatlah tata cara yang baru
yang tidak dituntunkan dalam Islam, atau bisa jadi ibadah tersebut dikhususkan
pada waktu dan tempat tertentu. Ini semua tidak dituntunkan dan hal itu dilarang.
Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan.
“mendekatkan diri kepada Allah tidak mungkin kecuali dengan apa yang Allah
syariatkan. Ini adalah konsekuensi tauhid dan iman kepada Allah. Yaitu tauhid
ittiba’, yang merupakan salah syarat dari amalan agar bisa disebut amalan shalih.
Karena amalan itu tidak diterima kecuali memenuhi dua syarat: ikhlas dan
mutaba’ah (mengikuti tuntunan syariat)
ّٰل
َو َم ْن ُّيَش اِقِق الَّر ُسْو َل ِم ْۢن َبْع ِد َم ا َتَبَّيَن َلُه اْلُهٰد ى َو َيَّتِبْع َغْيَر َس ِبْيِل اْلُم ْؤ ِمِنْيَن ُنَو ِّلٖه َم ا َتَو ى َو ُنْص ِلٖه
َࣖجَهَّنَۗم َو َس ۤا َء ْت َم ِص ْيًرا
5
115. Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang
telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-
buruk tempat kembali.