Anda di halaman 1dari 6

Ibadah merupakan salah satu tujuan penciptaan manusia.

Dan untuk merealisasikan tujuan tersebut,


diutuslah para rasul dan kitab-kitab diturunkan. Orang yang betul-betul beriman kepada Allah Ta’ala
tentu akan berlomba-lomba dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi, karena ketidaktahuan
tentang pengertian atau jenis-jenis ibadah, sebagian mereka hanya fokus terhadap ibadah tertentu saja,
misalnya shalat, zakat, atau puasa. Padahal, jenis-jenis ibadah sangatlah banyak.

Luasnya cakupan ibadah dapat kita lihat dari definisi ibadah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala,
َّ ‫ِي اسْ م َجامع لكل َما ُيحِب ُه هللا ويرضاه من اأْل َ ْق َوال واألعمال ْالبَاطِ َنة َو‬
‫الظاه َِرة‬ َ ‫ ْال ِع َبادَة ه‬.
“Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup semua yang Allah cintai dan Allah ridhai, baik ucapan atau
perbuatan, yang lahir (tampak, bisa dilihat) maupun yang batin (tidak tampak, tidak bisa dilihat).”
(Al-‘Ubudiyyah, hal. 44)

Para ulama menjelaskan bahwa secara garis besar, ibadah dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu
ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Dalam tulisan singkat ini, penulis akan mencoba untuk
menjelaskan perbedaan di antara keduanya.

Perbedaan antara ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah

Ibadah mahdhah (‫)العبادت المحضة‬

Adalah ibadah yang murni ibadah, ditunjukkan oleh tiga ciri berikut ini:

Pertama, ibadah mahdhah adalah amal dan ucapan yang merupakan jenis ibadah sejak asal
penetapannya dari dalil syariat. Artinya, perkataan atau ucapan tersebut tidaklah bernilai kecuali ibadah.
Dengan kata lain, tidak bisa bernilai netral (bisa jadi ibadah atau bukan ibadah). Ibadah mahdhah juga
ditunjukkan dengan dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya ditujukan kepada selain Allah Ta’ala,
karena hal itu termasuk dalam kemusyrikan.

Kedua, ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan maksud pokok orang yang mengerjakannya, yaitu
dalam rangka meraih pahala di akhirat.

Ketiga, ibadah mahdhah hanya bisa diketahui melalui jalan wahyu, tidak ada jalan yang lainnya,
termasuk melalui akal atau budaya.

Contoh sederhana ibadah mahdhah adalah shalat. Shalat adalah ibadah mahdhah karena memang ada
perintah (dalil) khusus dari syariat. Sehingga sejak awal mulanya, shalat adalah aktivitas yang
diperintahkan (ciri yang pertama). Orang mengerjakan shalat, pastilah berharap pahala akhirat (ciri ke
dua). Ciri ketiga, ibadah shalat tidaklah mungkin kita ketahui selain melalui jalur wahyu. Rincian berapa
kali shalat, kapan saja, berapa raka’at, gerakan, bacaan, dan seterusnya, hanya bisa kita ketahui melalui
penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hasil dari kreativitas dan olah pikiran kita sendiri.

Baca Juga: Bedakan Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah

Ibadah ghairu mahdhah (‫)العبادت غير المحضة‬


Ibadah yang tidak murni ibadah memiliki pengertian yang berkebalikan dari tiga ciri di atas. Sehingga
ibadah ghairu mahdhah dicirikan dengan:

Pertama, ibadah (perkataan atau perbuatan) tersebut pada asalnya bukanlah ibadah. Akan tetapi,
berubah status menjadi ibadah karena melihat dan menimbang niat pelakunya.

Kedua, maksud pokok perbuatan tersebut adalah untuk memenuhi urusan atau kebutuhan yang bersifat
duniawi, bukan untuk meraih pahala di akhirat.

Ketiga, amal perbuatan tersebut bisa diketahui dan dikenal meskipun tidak ada wahyu dari para rasul.

Contoh sederhana dari ibadah ghairu mahdhah adalah aktivitas makan. Makan pada asalnya bukanlah
ibadah khusus. Orang bebas mau makan kapan saja, baik ketika lapar ataupun tidak lapar, dan dengan
menu apa saja, kecuali yang Allah Ta’ala haramkan. Bisa jadi orang makan karena lapar, atau hanya
sekedar ingin mencicipi makanan. Akan tetapi, aktivitas makan tersebut bisa berpahala ketika pelakunya
meniatkan agar memiliki kekuatan (tidak lemas) untuk shalat atau berjalan menuju masjid. Ini adalah ciri
pertama.

Berdasarkan ciri kedua, kita pun mengetahui bahwa maksud pokok ketika orang makan adalah untuk
memenuhi kebutuhan pokok (primer) dalam hidupnya, sehingga dia bisa menjaga keberlangsungan
hidupnya. Selain itu, manusia tidak membutuhkan wahyu untuk bisa mengetahui pentingnya makan
dalam hidup ini, ini ciri yang ketiga. Tanpa wahyu, orang sudah mencari makan.

Ini adalah contoh sederhana untuk memahamkan pengertian ibadah ghairu mahdhah, dan akan kami
sebutkan lebih rinci lagi jenis-jenis ibadah ghairu mahdhah di serial selanjutnya dari tulisan ini.

Berdasarkan penjelasan di atas, ibadah mahdhah disebut juga dengan ad-diin (urusan agama),
sedangkan ibadah ghairu mahdhah disebut juga dengan ad-dunya (urusan duniawi). Sebagaimana
ibadah mahdhah disebut juga dengan al-‘ibadah (ibadah), sedangkan ibadah ghairu mahdhah disebut
juga dengan al-‘aadah (adat kebiasaan).

Kemudian untuk lebih memperjelas perbedaan antara ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah, berikut
kami sebutkan rincian contoh ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.

Baca Juga: 14 Amalan yang Keliru di Bulan Ramadhan

Rincian ibadah mahdhah

Ibadah mahdhah adalah ibadah yang banyak kita kenal, bahkan sebagian kaum muslimin bisa jadi
menyangkan bahwa ibadah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah. Berikut ini beberapa rincian
ibadah mahdhah,

Ibadah hati (al-‘ibadah al-qalbiyyah) (‫)العبادت القلبية‬, bisa dirinci dalam dua jenis ibadah:

Pertama, ucapan hati (qaulul qalbi) (‫)قول القلب‬, yaitu berbagai perkara aqidah yang wajib untuk diyakini,
misalnya keyakinan bahwa tidak ada pencipta selain Allah Ta’ala (keimanan terhadap rububiyyah Allah
Ta’ala); tidak ada yang berhak disembah selain Allah Ta’ala (keimanan terhadap uluhiyyah Allah Ta’ala);
beriman terhadap semua nama dan sifat yang Allah Ta’ala tetapkan; beriman terhadap malaikat, kitab,
rasul, hari akhir, dan juga beriman terhadap taqdir
Kedua, perbuatan (amal) hati (‘amalul qalbi) (‫)عمل القلب‬, misalnya ikhlas; mencintai Allah Ta’ala;
berharap pahala dan ampunan Allah Ta’ala (raja’); takut akan siksa dan hukuman-Nya (khauf); tawakkal
hanya kepada Allah Ta’ala; sabar dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan; dan yang
lainnya.

 Ibadah dalam bentuk ucapan lisan (al-‘ibadah al-qauliyyah) (‫)العبادت القولية‬, misalnya
mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lisan; membaca Al-Qur’an; berdzikir kepada Allah
Ta’ala dengan tasbih, tahmid, dan takbir; mengajarkan ilmu agama; dan ibadah lisan lainnya.

 Ibadah anggota badan (al-‘ibadah al-badaniyyah) (‫)العبادت البدنية‬, misalnya shalat; sujud; puasa;
haji; thawaf di baitullah (Ka’bah); jihad; belajar ilmu agama; dan yang lainnya.

 Ibadah harta (al-‘ibadah al-maaliyyah) (‫)العبادت المالية‬, misalnya zakat; sedekah; menyembelih
hewan kurban; dan yang lainnya.

Perkara-perkara tersebut hanya mengandung dua kemungkinan: jika ditujukan hanya untuk Allah
Ta’ala, maka itulah tauhid. Namun jika ditujukan kepada selain Allah Ta’ala, itulah kemusyrikan.

Jenis ibadah sejatinya terbagi menjadi berbagai macam pembagian yang variatif, tergantung dari aspek
apa kita menilainya. Ada sebagian pandangan yang mengelompokkan ibadah berdasarkan bentuknya
dalam dua kategori, yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.

Arti kata mahdhah sendiri adalah murni atau tak bercampur. Sedangkan ghairu mahdhah berarti tidak
murni atau bercampur hal lain. Lantas sebenarnya apakah perbedaan di antara keduanya dalam tinjauan
fiqih? Sudah benarkah pembagian ibadah dalam dua kategori tersebut?

Dalam literatur kitab salaf, khususnya dalam madzhab syafi’i, pembagian ibadah dari aspek bolehnya
diwakilkan pada orang lain atau tidak, terbagi menjadi tiga macam. Pertama, ibadah badaniyah
mahdhah, maksudnya adalah ibadah yang murni berupa gerakan fisik, tanpa dicampuri dengan
komponen lainnya, seperti shalat dan puasa. Maka jenis ibadah demikian, tidak boleh untuk diwakilkan
pada orang lain kecuali dalam satu permasalahan, yakni shalat sunnah thawaf, yang boleh diwakilkan
pada orang lain, atas jalan mengikut (tab’an) pada ibadah haji, yang boleh diwakilkan.

Kedua, ibadah maliyah mahdhah. Maksudnya adalah Ibadah yang murni hanya menyangkut urusan
harta, seperti sedekah dan zakat. Dalam ibadah jenis ini, para ulama menghukumi boleh mewakilkan
pada orang lain dalam pelaksanaannya.

Ketiga, ibadah maliyah ghairu mahdhah, maksudnya adalah Ibadah-ibadah yang terdapat kaitannya
dengan harta, namun juga terkandung gerakan-gerakan fisik (badaniyah) di dalamnya.
Contoh ibadah jenis ketiga ini seperti haji dan umrah, yang dalam pelaksanaannya membutuhkan biaya
dan terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang melibatkan gerakan fisik dalam melakukannya.

Ibadah jenis ketiga ini boleh untuk diwakilkan, namun dengan syarat-syarat tertentu yang dijelaskan
dalam literatur fiqih, seperti tidak mampu melaksanakan haji karena lumpuh, orang yang diwakili sudah
pernah melakukan haji dan syarat-syarat lainnya. Maka ibadah jenis ketiga ini tidak seluas dan sebebas
ibadah jenis kedua dalam hal bolehnya mewakilkan pada orang lain.

Pembagian ibadah dalam tiga kelompok ini, tercantum dalam Kitab Hasyiyah ‘Ianatut Thalibin berikut:

‫والحاصل أن العبادة على ثالثة أقسام إما أن تكون بدنية محضة فيمتنع التوكيل فيها إال ركعتي الطواف تبعا وإما أن تكون مالية محضة‬
‫فيجوز التوكيل فيها مطلقا وإما أن تكون مالية غير محضة كنسك فيجوز التوكيل فيها بالشرط المار‬

Artinya, “Simpulannya, ibadah terbagi atas tiga macam, ada kalanya berupa ibadah badaniyah mahdhah,
maka jenis ibadah demikian tidak bisa diwakilkan pada orang lain, kecuali shalat sunnah tawaf dengan
cara mewakilkan pula pelaksanaan tawaf. Ada kalanya ibadah maliyah mahdhah, ibadah jenis ini boleh
untuk diwakilkan pada orang lain secara mutlak. Ada kalanya ibadah maliyah ghairu mahdhah, seperti
ibadah haji, maka ibadah jenis ini boleh untuk diwakilkan pada orang lain dengan syarat-syarat yang
telah dijelaskan,” (Lihat Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah ‘Ianatut Thalibin, juz III, halaman
87).

Meski begitu, sebenarnya pembagian ibadah dalam tiga kategori di atas dapat dikerucutkan menjadi dua
kategori yakni ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang secara
umum tidak dapat diwakilkan, dalam hal ini adalah ibadah badaniyah mahdhah.

Adapun ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang secara umum dapat diwakilkan oleh orang lain,
yang meliputi ibadah maliyah mahdhah dan ibadah maliyah ghairu mahdhah.

Ibnu Rusydi, Ulama kenamaan Madzhab Maliki, memiliki sudut pandang lain dalam menilai ibadah
mahdhah dan ghairu mahdhah. Menurutnya, ibadah mahdhah adalah ibadah yang maksud
penerapannya tidak dapat dijangkau oleh akal manusia, misalnya seperti shalat.

Bagi Ibnu Rusyd, manusia tidak dapat memahami maksud di balik kewajiban melaksanakan ibadah
shalat oleh syariat. Maka dari itu, pensyariatan shalat dimaksudkan murni untuk mendekatkan diri
(qurbah) pada Allah subhanahu wa wa’ala. Selain dikenal dengan ibadah mahdhah, ibadah yang masuk
dalam kategori ini dikenal pula dengan nama ta’abbudi. Ibadah mahdhah ini, menurut Ibnu Rusydi pasti
membutuhkan niat dalam pelaksanaannya.

Sedangkan ibadah ghairu mahdhah, adalah ibadah yang maksud penerapannya dapat dijangkau oleh
akal. Seperti mensucikan sesuatu yang terkena najis sebelum melaksanakan ibadah shalat, tujuan
diwajibkannya hal tersebut dapat dijangkau oleh akal manusia. Sebab menghadap pada manusia saja
alangkah baiknya jika berada dalam kondisi yang bersih dan suci tubuh dan pakaiannya, termasuk dari
kotoran najis. Terlebih ketika menghadap pada Allah SWT saat melaksanakan ibadah shalat. Ibadah jenis
ini juga dikenal dengan sebutan ta’aqquli atau ma’qulatul ma’na.

Ibadah ghairu mahdhah ini, tidak membutuhkan niat dalam pelaksanaanya, cukup dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang telah digariskan oleh syariat.

Selain dua pembagian di atas, Ibnu Rusydi juga menyelipkan satu jenis ibadah lain, yakni ibadah yang
memiliki keserupaan dengan ibadah mahdhah dan Ibadah ghairu mahdhah. Ibadah yang termasuk dari
kategori ini adalah wudhu. Dalam wudhu terdapat keserupaan apakah lebih dominan nilai ibadah saja
sehingga termasuk ibadah mahdhah atau justru dalam wudhu lebih dominan nilai membersihkan
sebagian anggota tubuh, sehingga termasuk ibadah ghairu mahdhah.  Karena keserupaan inilah,
menurut Ibnu Rusyd, ulama madzahibul arba’ah berbeda pendapat terkait wajibnya melakukan niat
dalam melaksanakan wudhu.

Pandangan Ibnu Rusyd di atas dijelaskan dalam salah satu karyanya, Bidayatul Mujtahid:

‫ أعني غير معقولة المعنى وإنما يقصد بها القربة له فقط كالصالة وغيرها وبين‬:‫وسبب اختالفهم تردد الوضوء بين أن يكون عبادة محضة‬
‫أن يكون عبادة معقولة المعنى كغسل النجاسة فإنهم ال يختلفون أن العبادة المحضة مفتقرة إلى النية والعبادة المفهومة المعنى غير مفتقرة‬
‫إلى النية والوضوء فيه شبه من العبادتين ولذلك وقع الخالف فيه وذلك أنه يجمع عبادة ونظافة والفقه أن ينظر بأيهما هو أقوى شبها فيلحق‬
‫به‬

Artinya, “Sebab perbedaan para ulama (Perihal niat dalam wudhu) adalah terkait kebimbangan
menstatuskan wudhu sebagai ibadah mahdhah, yakni ibadah yang tidak dijangkau maksudnya oleh akal.
Ibadah mahdhah ini hanya ditujukan untuk mendekatkan diri pada Allah, seperti shalat dan ibadah
lainnya. Atau distatuskan sebagai ibadah ma’qulatul ma’na (Ibadah yang dapat dijangkau akal maksud
pensyariatannya) seperti menghilangkan najis.

Mereka (para ulama) tidak berbeda pendapat bahwa Ibadah Mahdhah ini butuh terhadap niat dan
Ibadah yang al-mafhumatul ma’na tidak butuh terhadap niat. Sedangkan wudhu terdapat keserupaan
diantara dua jenis ibadah tersebut. Atas dasar inilah ulama’ berbeda pendapat dalam hal wajib tidaknya
niat dalam wudhu. Hal ini dikarenakan di dalam wudhu sejatinya terkumpul makna ibadah dan makna
membersihkan (tubuh), sedangkan fiqih lebih memandang makna mana yang lebih kuat di antara
keduanya, lalu wudhu disamakan dengan makna tersebut,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz I,
halaman 8).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menjelaskan perbedaan ibadah mahdhah dan ghairu
mahdhah, sebagian ulama (Syafi’iyah) mengarahkan pada bentuk pelaksanaan ibadahnya. Jika bentuk
ibadah hubungannya hanya dengan gerakan tubuh tanpa ada kaitannya dengan harta benda, maka
disebut ibadah mahdhah. Jika terdapat kaitannya dengan harta benda maka disebut ibadah ghairu
mahdhah.

Adapun Ibnu Rusyd lebih mengarahkan perbedaan antara ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah pada
aspek dapat dijangkau oleh akal atau tidak maksud pensyariatan suatu ibadah. Jika tidak dapat dijangkau
oleh akal, maka disebut ibadah mahdhah. Sedangkan jika dapat dijangkau oleh akal, maka disebut
ibadah ghairu mahdhah. Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai