Anda di halaman 1dari 3

Nama : Tubagus Septian Huda (2017520020)

Prodi : Hukum Keluarga Islam

Mata Kuliah : Perbandingan Madzhab

Jawaban Soal :

1. Tayamum dilakukan agar tidak meninggalkan perintah sholat hanya karena tidak ada air
untuk bersuci. Namun, sebelum melakukan tayamum ada beberapa syarat yang tentunya
harus tercapai.Beberapa ulama setuju bahwa belum boleh bertayamum seorang muslim jika
dalam 1 km masih bisa ditemukan air untuk berwudhu. Namun, ada beberapa ulama yang
berbeda pendapat mengenai syarat untuk bertayamum. Bukan hanya masalah jarak tapi juga
kondisi dari orang yang akan menjalankan sholat juga jadi pertimbangan untuk
melakukan tayamum.
Pendapat-pendapat para ulama :
a. Menurut imam Madzhab Hanafi, bertayamum ialah mengusap wajah dan juga kedua
tangan dengan menggunakan tanah yang suci dan sudah disucikan.

b. Menurut imam Maliki, bertayamum ialah bersuci dengan debu atau taharah turabiyah
dengan membasuh atas muka dan kedua tangan disertai dengan niat.

c. Menurut Madzhab Syafii, bertayamum ialah dengan meratakan debu ke seluruh wajah
dan juga pada kedua tangan sebagai ganti dari berwudhu dan mandi dengan adanya syarat
tertentu.

d. Menurut Madzhab imam Hambali, bertayamum ialah mengusap wajah dan kedua tangan
menggunakan debu yang sudah disucikan dengan adanya mekanisme khusus

2. Jika terjadi perbedaan penetapan hari raya idul fitri dan idul adha menurut saya ialah : itu
menjadi suatu hal yang lumrah terjadi karena dalam penetapan awal bulan khususnya pada
penetapan hari raya idul fitri, maupun idul adha secara umum terbagi menjadi dua metode,
metode hisab dan rukyat, tinggal bagaimana kita meyakininya apa yang dilaklasanakan.
3. Hukum sholat jamaah menurut para ulama :
Pendapat Pertama: Fardhu Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy-Syafi`i dan Abu Hanifah sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al-Ifshah jilid 1 halaman 142. Demikian juga
dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang berikutnya
(mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al-
Hanafiyah dan Al-Malikiyah.

Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang menjalankannya,
maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila tidak ada satu pun
yang menjalankan shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada di situ. Hal itu
karena shalat jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.
Pendapat Kedua: Fardhu `Ain
Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al-Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu
Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah dan mazhab Hanabilah. Atho`
berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal selain itu, yaitu ketika
seseorang mendengar azan, haruslah dia mendatanginya untuk shalat. (lihat Mukhtashar Al-
Fatawa Al-MAshriyah halaman 50).

Dalilnya adalah hadits berikut:

Dari Aisyah ra berkata, `Siapa yang mendengar azan tapi tidak menjawabnya (dengan
shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak menginginkannya. (Al-
Muqni` 1/193)
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur, dia berdoa
namun shalatnya tetap syah.

3. Pendapat Ketiga: Sunnah Muakkadah


Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah sebagaimana
disebutkan oleh imam As-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar jilid 3 halaman 146.
Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah
adalah sunnah muakkadah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya
fardhu `ain, fardhu kifayah atau syarat syahnya shalat, tentu tidak bisa diterima.

Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah,
namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur. Dalam hal ini
pengertian kalangan mazhab Al-Hanafiyah tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib
bagi orang lain. Artinya, sunnah muakkadah itu sama dengan wajib. (silahkan periksan
kitab Bada`ius-Shanai` karya Al-Kisani jilid 1 halaman 76).

Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Al-Mukhtashar
mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumat hukumnya sunnah
muakkadah. Lihat Jawahirul Iklil jilid 1 halama 76.

4. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa untuk perkawinan anak kecil baik sehat akal atau tidak
sehat akal diwajibkan adanya wali yang akan mengakadkan perkawinannya. Sedangkan
perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melangsungkan sendiri akad
perkawinannya tanpa adahnya wali. Hal ini berbeda dengan pandangan Ulama Syafi’iyah,
Syafi’i berpendapat bahwa setiap akad perkawinan dilakukan oleh wali, baik perempuat itu
dewasa atau masih kecil, janda atau masih perawan, sehat akalnya atau tidak sehat. Tidakada
hak sama sekali bagi perempuan untuk mengakadkan perkawinannya. Golongan Syafi’iyah
sepakat keharusan adanya wali atau pengganti dalam setiap perkawinan baik untuk gadis
maupun janda, baik dewasa. dari kedua perbedaan tersebut madzhab syafi’iyah lah yang
lebih dominan sering digunakan dalam sistem perundang-undangan Indonesia.
5. Penjelasan nikah mut’ah :

Kita jarang sekali mendengar penjelasan mengenai fikih nikah mut’ah, berbeda dengan ritual
pernikahan yang kita kenal selama ini, begitu sering kita dengar dan dapatkan penjelasan
fikih mengenai hal itu. Sebagaimana nikah biasa (yang kita kenal) memiliki ketentuan dalam
hukum fikih, nikah mut’ah juga memiliki ketentuan-ketentuan yang dijelaskan oleh imam
yang diyakini maksum (terjaga dari dosa ed.) oleh Syiah. Berikut kutipan keterangan
tentang nikah mut’ah yang tersebar di buku-buku Syiah.

Dari Abubakar bin Muhammad Al Azdi dia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Hasan
tentang mut’ah, apakah termasuk dalam pernikahan yang membatasi empat istri?” Dia
menjawab, “Tidak.” (Al-Kafi, Jilid:5 Hal. 451).

Wanita yang dinikahi secara mut’ah adalah wanita sewaan, jadi diperbolehkan nikah mut’ah
walaupun dengan 1000 wanita sekaligus, karena akad mut’ah bukanlah pernikahan. Jika
memang pernikahan maka dibatasi hanya dengan empat istri.

Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, “Aku bertanya tentang mut’ah pada beliau
apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri?” Jawabnya, “Menikahlah
dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan.” (Al-Kafi, Jilid: 5,
Hal. 452).

Anda mungkin juga menyukai