Anda di halaman 1dari 10

BERJAMAAH DENGAN IMAM BERMADZHAB LAIN

Makalah
Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah
Dosen Pembimbing : Dr. H. Yasin, M. Ag

Disusun oleh :
Yusni Amelia (1320310026)
Dwi Aryanti (1520310001)
Ana Faridatun N. (1520310002)
Anggun Dewi Saraswati (1520310003)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
TAHUN 2016/2017

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan tentang fiqih Islam penting untuk diketahui. Palingtidak, karena
pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamikapemikiran
keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai di
manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang
mengalami modernisasi. Dari perkembangan fiqih secarasungguh-sungguh telah
menjadikan pemahaman yang berbeda bagi setiap madzhab dalam pemikiran Islam,
atau lebih tepatnya dalam melaksanakan sholat berjamaah dengan imam bermadzhab
lain.Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan
secara amat dominan. Untuk itu kami akan membahas lebih mendalam tentang sholat
berjamaah dengan bermadzhab lain.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukumnya shalat berjamaah dengan imam yang berbeda
madzhab?
2. Apa contoh lain yang berhubungan dengan hukum shalat berjamaah
dengan imam yang berbeda madzhab?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum shalat berjamaah dengan imam yang berbeda madzhab

)(

1

)( )(

)(
)(










.
) / 4 (288

Penjelasan :
Ketika terjadi perbedaan madzhab antara Imam dan makmum, sedangkan
imam melakukan hal-hal yang menurut keyakinan makmum bisa membatalkan
shalat, maka hukum berjamaah dengan imam tersebut diperinci sebagai berikut :
1. Jika perbedaannya pada furu ijtihadiyyah yaitu hasil istimbath para imam. 1
Misal, imam bermadzhab Maliki dimana tidak membaca Basmalah dalam
Fatihahnya sedangkan makmumnya bermadzhab Syafii yang menyatakan
basmalah wajib dalam Fatihah, atau tidak meyakini kewajiban tertib dalam
wudhunya sedangkan makmumnya bermadzhab Syafii yang mewajibkan
untuk tertib, dan misal-misal lain sekiranya sah menurut pandangan Imam
namun batal menurut pandangan makmum atau sebaliknya, maka terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama sebagai berikut :

1 Syaikh Syaroh bin Yahya An Nawawi, Majmu Syarkh Muhadzab Juz 4,


hlm. 288.

2
a. Menurut pendapat Imam Qoffal memandang pada keyakinan Imam,
sehingga apabila menurut keyakinannya (dalam madzhab imam) sah
maka sah juga bagi makmum untuk bermakmum dengannya secara
mutlak.
b. Menurut pendapat Abu Ishaq al-Isfiroyini tidak sah secara mutlak.
c. Jika Imam melakukan persyaratan kesahannya shalat menurut keyakinan
makmum, maka sah, tapi jika meninggalkannya, maka tidak sah.
d. Menurut pendapat Imam Abu Ishaq al-Mirwazi, Abu Hamid, Al-
Bandaniji, Qadhi Abu Thayyib dan dan mayoritas ulama sekaligus
sebagai pendapat yang paling kuat dari pendapat-pendapat sebelumnya
mendasarkan pada keyakinan makmum. Apabila makmum mengetahui
secara pasti bahwa imamnya melakukan sesuatu yang berakibat tidak
sahnya shalat imam, maka tidak sah. Namun jika mengetahui bahwa
imam telah sesuai dengan persyaratan sahnya shalat dalam keyakinan
makmum atau meragukannya, maka tetap sah.
2. Jika perbedaannya bukan furu ijtihadiyyah melainkan pada perkara lainnya
seperti perbedaan antara imam dan makmum dalam penentuan arah
kiblatmaka tidak diperbolehkan satu sama lain untuk shalat berjamaah. 2

Syamsul muniroh juz1:342


:
"Hukumberjama'ah makruh apabila di belakang ahli bid'ah dan
dibelakang orang yang berlainan madzhabnya seperti madzhab hanafy

Dalam kitab bugyatul mustarsyidin





.

Penjelasan :

2Ibid., hlm. 288.

3
Tidak sah mengikuti imam yang meninggalkan kewajiban- kewajiban
yang diyakini makmum sebagai sebuah kewajiban namun apabila imam
tersebut orang yang mempunyai wilayah atau kekuasaan maka didalam kitab
Tuhfah sah mengikuti imam dalam kondisi tersebut sebab dikhawatirkan
menimbulkan fitnah, tetapi dengan syarat didalam selain sholat jumat.

Meskipun menurut imam romli tetap tidak diperbolehkan mengikuti


imam walaupun imam merupakan orang yang mempunyai wilayah atau
kekuasaan dan meskipun dikhawatirkan terjadi fitnah. 3

Dalam kitab Fiqh Islami wa Adillatuhu

,
,
: :
,
, .
Penjelasan :

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa


bermakmum kepada ulama yang berbeda mazhab adalah
sah secara mutlak. Karena keabsahan shalat berjamaah
itu dilihat dari terpenuhinya sahnya keimaman shalat,
Artinya, karena imam menyakini bahwa shalat yang dia
lakukan adalah sah, maka shalat orang yang bermakmum
kepadanya otomatis juga sah, tanpa harus melihat
perbedaan keyakinan keduanya dalam soal-soal furu`.
Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan
Malikiyyah, Hanabilah, sebagian Hanafiyyah dan sebagian
kecil syafiiyyah.4
B. Contoh sholat berjamaah berbeda madzhab
3Sayyid Abdurrohman bin Muhammad, Bugyatul Mustarsyidin, hlm.
70.4Dr. Wahbah az-Zuhaily, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Hlm. 324.

4
Berikut pendapat ulama tentang hukum mengikuti imam
yang berbeda mazhab dalam furu fiqh
1. Imam Zainuddin al-Malibary Berkata :

.

Tidak sah mengikuti imam yang di itiqadkan batal


shalatnya, artinya imam mendatangkan perbuatan yang
membatalkan shalat pada itiqad makmum, misalnya
pengikut Syafii mengikuti imam yang bermazhab
Hanafi yang menyentuh kemaluannya (sesudah
wudhu).5
2. Imam An-Nawawi Berkata :
,
,

Kalau pengikut Syafii berjamaah mengikuti imam


yang bermazhab Hanafi yang menyentuh kemaluannya
(sesudah berwudhu) atau berbekam, menurut
pendapat al-ashah (pendapat yang kuat) sah
jamaahnya dalam hal berbekam dan tidak sah dalam
hal menyentuh kemaluan, karena yang di anggap
adalah keyakinan makmum. Selanjutnya Jalaluddin al-
Mahalli mengatakan bahwa pendapat yang kedua
(muqabil ashah,) adalah sebaliknya (yaitu tidak sah
dalam berbekam dan sah dalam menyentuh kemaluan.)
karena yang di anggap adalah keyakinan imam yang

5Syaikh Zainuddin Al Malibary, Fatkhul Muin, hlm. 38.

5
diikutinya, yaitu berbekam dapat membatalka wudhu
dan menyentuh kemaluan tidak membatalkannya.6
3. Umairah Berkata :

. .

Pendapat muqabil ashah adalah pendapat yang telah


dikemukakan oleh imam al-Qaffal. Imam Al-Qaffal
mengemukakan alasannya bahwa imam yang
bermazhab Hanafi talaub (bermain-main) dalam hal
berbekam dan seumpamanya, maka tidak terjadi
padanya niat yang benar, berbeda halnya dengan kasus
menyentuh kemaluan. Berkata al-Asnawi mudah-
mudahan ini adalah yang benar.7

Bermakmum dengan orang yang bermadzhab lain, contohnya seperti


orang yang menganut madzhab syafii bermakmum dengan orang yang mengikuti
madzhab hanafi, atau maliki yang tidak membaca basmallah ketika membaca
surat al fatihah, tidak mewajibkan tasyahud akhir, sholawat kepada Nabi,
tidak mengharuskan adanya tertib dalam wudlu dan semisalnya.
Prinsipnya adalah bahwa sholatnya imam itu sah menurut keyakinan pihak
imam itu sendiri, bukan makmum atau sebaliknya, karena terdapat
perbedaan di antara keduanya dalam hal hal furu.
Dalam kitab faidul goffar

,

6Syeikh Muhammad bin Ahmad Almahalli, Almahalli Syarkh Minhajut


Tholibin Juz 1, hlm. 263.

7Ibid., hlm. 263.

6
, ,

.


.
Menurut madzhab maliki dan madzhab hanbali dalam persoalan
seorang makmum yang mengikuti imam yang berbeda madzhab
memberikan perincian sebagai berikut:

1. Bila perbedaan itu menyangkut sesuatu yang menjadi syarat sahnya


sholat maka yang menjadi pegangan adalah madzhabnya imam.8

Contohnya: seorang syafiiyah bermakmum kepada orang yang


bermadzhab malikiyah yang diketahuinya telah bersentuhan dengan
orang perempuan yang tidak mahram. Bersentuhan dengan orang
perempuan itu membatalkan wudlu menurut madzhab syfii sedang
menurut madzhab maliki selama tidak diiringi dengan syahwat. Dalam
kondisi seperti ini sholatnya makmum dianggap sah karena persoalan
suci dari hadas itu termasuk syarat sahnya sholat.
Contoh lainnya : seorang malikiyah atau hanbaliyah bermakmum
pada orang yang bermadzhab syafii atau hanafi yang diketahuinya
tidak membasuh semua kepalanya ketika berwudlu, maka dalam
kondisi seperti ini sholatnya makmum dianggap sah sebab menurut
keyakinan imam dianggap sah dan membasuh anggota wudlu itu
termasuk syarat sahnya sholat.
2. Bila perbedaan itu menyangkut sahnya bermakmum maka yang
menjadi pegangan adalah madzhabnya makmum.
Contoh : seorang yang bermadzhab maliki atau hanbali tidak
boleh bermakmum pada orang yang bermadzhab syfii yang sedang
melakukan sholat sunnah sebab menurut madzhab maliki dan hanbali
salah satu syarat sahnya sholat berjamaah adalah bahwa antara imam
8 Syaikh Muhammad bin Ahmad, Faidul Ghoffar Juz 1, hlm. 70.

7
dan makmum sholatnya harus sama jenisnya. Bila seorang
bermakmum pada orang yang sedang melakukan sholat sunnah maka
sholatnya makmum batal.
Sedangkan menurut madzhab syafii dan madzhab hanafi
seorang yang makmum kepada imam yang berbeda madzhab bisa
dikatakan sah dengan syarat sholatnya imam dianggap sah sesuai
dengan madzhabnya makmum. Sehingga apabila ada seorang yang
bermadzhab syafii bermakmum kepada imam yang bermadzhab
hanafi yang menyentuh perempuan dan tidak berwudlu maka sholatnya
makmum batal sebab makmum memandang sholatnya imam telah
batal, meskipun menurut keyakinan imam tidak batal.9

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
kalau dipastikan imam shalat itu meninggalkan sesuatu yang diyakini
wajib oleh makmum, maka makmum tersebut tidak sah mengikutinya dan
kalau dipastikan atau diragukan imam mendatangkan semuanya, maka
makmum sah mengikutinya. Pendapat ini adalah pendapat yang dikuatkan
oleh Imam Nawawi.
Boleh mengikuti imam yang meninggalkan sesuatu yang kita yakini itu
adalah sesuatu yang wajib dalam kasus selain shalat jumat apabila imam itu
seorang yang mempunyai wilayah atau kekuasaan, sebab dikhawatirkan
menimbulkan fitnah.
Ada pendapat dikalangan mazhab Syafii yaitu pendapat imam al-Qaffal
yang memperbolehkan mengikuti imam yang berbeda madzhab meskipun
imam itu meninggalkan salah satu yang wajib menurut keyakinan makmum,
namun pendapat ini dianggap lemah.

9Ibid., hlm. 70.

8
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa bermakmum
kepada ulama yang berbeda mazhab adalah sah secara
mutlak. Karena keabsahan shalat berjamaah itu dilihat dari
terpenuhinya sahnya keimaman shalat, Artinya, karena imam
menyakini bahwa shalat yang dia lakukan adalah sah, maka
shalat orang yang bermakmum kepadanya otomatis juga sah,
tanpa harus melihat perbedaan keyakinan keduanya dalam
soal-soal furu`.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohman bin Muhammad,Sayyid, Bugyatul Mustarsyidin.


Ahmad, Syaikh Muhammad bin, Faidul Ghoffar Juz 1.
Al Mahalli, Syeikh Muhammad bin Ahmad, Almahalli Syarkh Minhajut
Tholibin Juz 1.
Al Malibary, Syaikh Zainuddin, Fatkhul Muin.
An Nawawi, Syaikh Syaroh bin Yahya, Majmu Syarkh Muhadzab Juz 4.
Az Zuhaily, Wahbah, Fiqh Islami wa Adillatuhu.

Anda mungkin juga menyukai