Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR

PUSTAKA

Majalah FIQIH
i Daftar Pustaka

01 Tanya Jawab
Hukum Membantu Pembangunan
Tempat Ibadah Non-Muslim
06 Ushul FIqih
Apakah "Amr" Hanya Berlaku Dari Pihak
yang Derajatnya Lebih Tinggi ke Pihak
yang Lebih Rendah?

08 Qawa'id Fiqhiyyah
Kondisi Hajat Dapat Membolehkan Hal
yang Haram Sebagaimana Kondisi Dharurat
10 Fiqih Syafi'i
Makna Syarat 'Adalah (‫)العدالة‬
Dalam Wali dan Saksi Pernikahan
12 Fikrah
Ruh Tawassuth dalam Fatwa

Penulis:
Muhammad Abduh
Negara

Editor:
Abu Furqan

Desain Cover:
ink.Sharia Studio

Layout:
ink.Sharia Studio

Diterbitkan Oleh
Madrasah Fiqih
Indonesia
Tanya Jawab

HUKUM MEMBANTU PEMBANGUNAN


TEMPAT IBADAH NON-MUSLIM
Oleh: Muhammad Abduh Negara

Pertanyaan: Mayoritas ahli fiqih berpendapat,


bahwa tidak boleh bagi seorang muslim
Ada beberapa postingan di internet, bekerja untuk ahlidz dzimmah (orang
memberitakan tentang orang-orang kafir yang tinggal di negara Islam)
yang notabenenya sebagai penganut dalam membangun gereja, baik sebagai
ajaran Islam, tetapi membuat proyek tukang kayu, tukang bangunan, dan
pembangunan tempat peribadahan non- lainnya, karena itu termasuk menolong
muslim, katanya untuk mengedukasi kemaksiatan, dan bagian dari agama
orang-orang mengenai cara bertoleransi. mereka yang batil, juga karena itu termasuk
ijarah yang mengandung pengagungan
Bagaimana hukumnya seorang muslim terhadap agama dan syiar-syiar mereka.
ikut andil dalam pembangunan tempat Dan Malikiyyah menambahkan, bahwa
ibadah non-muslim (misalnya sebagai seorang muslim yang melakukannya
donatur, arsitek, menjadikan sebagai harus mendapat hukuman pendisiplinan,
salah satu program kerja, dan lain- kecuali jika ia memiliki uzur tidak tahu atas
lain)? Bagaimana sebenarnya Rasulullah hal tersebut.
mengajarkan umatnya tentang toleransi
terhadap non-muslim? Adapun Hanafiyyah berpendapat, bahwa
boleh bagi seorang muslim bekerja dalam
Jawaban: membangun dan memelihara gereja,
karena tidak ada kemaksiatan secara
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, langsung dalam pekerjaannya tersebut.”
wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa
‘ala aalihi wa shahbihi wa man waalaah. Dari terjemahan kutipan “Al-Mausu’ah
Amma ba’du. Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah” di atas, kita
ketahui bahwa ulama berbeda pendapat
Dalam “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al- tentang hukum seorang muslim
Kuwaitiyyah” (Juz 38, halaman 158) membantu atau bekerja membangun
disebutkan: dan memelihara gereja (termasuk juga
tempat ibadah non-muslim lainnya),

01
mayoritas ulama berpendapat haram, dan ulil amri syar’i. Jika ulil amri, setelah
Hanafiyyah berpendapat boleh. mempertimbangkan aspek maslahat dan
mafsadat, mengizinkan pembangunan
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, pendiri lembaga tempat ibadah non-muslim tersebut,
“Persatuan Ulama Muslimin Sedunia” (Al- maka boleh juga bagi seorang muslim
Ittihad Al-‘Alami Li ‘Ulama Al-Muslimin) dan terlibat dalam pembangunannya. Meski
lembaga “Majelis Fatwa dan Penelitian beliau tetap memberi catatan, bahwa
Eropa” (European Council For Fatwa And mayoritas ulama tidak membolehkan
Research), juga menyebutkan adanya hal ini, karena itu dianggap membantu
perbedaan pendapat ulama ini dalam kebatilan dan kesesatan.
fatwa beliau berjudu “Keterlibatan Muslim
Dalam Membangun Gereja” (‫ مساهمة املسلم‬Adapun Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Bin Baz, mufti
‫( )في بناء كنيسة‬Sumber: https://www.al- agung Saudi Arabia periode lalu, dengan
qaradawi.net/node/4225, diakses pada 6 tegas menyatakan bahwa keterlibatan
Februari 2023). seorang muslim dalam pembangunan
gereja haram hukumnya dan merupakan
Beliau menyebutkan, dalam hal ini ada kemungkaran yang besar. Bahkan beliau
dua pendapat ulama: menyatakan, ada sebagian ulama yang
menyatakan bahwa hal ini merupakan
1. Pendapat yang menyatakan kekufuran dan kemurtadan. (Sumber:
keharamannya. Ini adalah pendapat https://binbaz.org.sa/fatwas/3530/ -‫حكم‬
Malikiyyah, Hanabilah, mayoritas ‫كنيسة‬-‫لبناء‬-‫املسلم‬-‫تبرع‬, diakses pada
Syafi’iyyah, serta Abu Yusuf dan 6 Februari 2023). Jawaban serupa juga
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani dari difatwakan secara resmi oleh Lajnah
kalangan Hanafiyyah. Daimah Li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah Wa Al-
Ifta (Komisi Tetap Untuk Penelitian Ilmiah
2. Pendapat yang menyatakan dan Fatwa) Kerajaan Saudi Arabia, dalam
kebolehannya. Ini adalah pendapat Abu fatwa mereka nomor. 19893 (Jilid 14,
Hanifah. halaman 482).

Setelah mengutip pendapat masing- Di sini kami membawakan beberapa


masing madzhab dari kitab-kitab rujukan fatwa ulama kontemporer, agar jawaban
mereka, lalu menyajikan berbagai dalil yang kami berikan tidak menutup mata
dari masing-masing pendapat di atas, dari fakta mutakhir. Karena jika kami
Al-Qaradhawi kemudian menjelaskan hanya membawakan kutipan dari ulama
bahwa hal ini tergantung kebijakan terdahulu, mungkin akan ada yang

02
menjawab bahwa, fatwa bisa berubah membangun tempat ibadah tersebut,
seiring perubahan zaman. Kaidah ini namun pada aktivitas peribadahannya,
memang benar, tapi tentu tak bisa dipakai sehingga aktivitas membangun tempat
sembarangan juga, sehingga setiap ibadah tersebut tetap boleh hukumnya.
penjelasan ulama terdahulu kita tolak,
hanya dengan alasan, fatwa bisa berubah. Saya pribadi condong pada pendapat
mayoritas ulama yang mengharamkan,
Dari beberapa fatwa ulama kontemporer dan menganggap hal ini termasuk tolong-
di atas, dan penjelasan secara umum menolong dalam kemaksiatan, sehingga
tentang pendapat para ulama terdahulu, haram dilakukan. Jika dikatakan, ahlidz
kita bisa temukan bahwa perbedaan dzimmah boleh membangun tempat
pendapat ulama dalam hal ini didasari ibadah mereka di negeri Islam, karena
oleh beberapa hal, di antaranya: itu boleh juga muslim ikut membantu
membangunnya, maka ini bukan sesuatu
1. Ulama yang mengharamkan, yang otomatis berkonsekuensi demikian,
menganggap hal ini merupakan sebagaimana jika mereka dibolehkan
perbuatan tolong-menolong dalam merayakan peringatan hari raya agama
kemaksiatan, bahkan kekafiran, dan hal mereka, bukan berarti kita juga jadi boleh
ini jelas haram, berdasarkan firman Allah ikut merayakannya.
ta’ala:
Bahkan sebenarnya, hukum ahludz
ْ ْ ْ ََ ْ َُ َ َ َ َ
‫الث ِم َوال ُع ْد َو ِان‬
ِ ‫وال تعاونوا على‬ dzimmah membangun tempat ibadah di
negeri Islam, itu ada perinciannya di kitab-
Artinya: “Janganlah kalian tolong-menolong kitab fiqih klasik, namun bukan di sini
dalam perbuatan dosa dan permusuhan.” tempat untuk menyebutkannya secara
(QS. Al-Maidah [5]: 2) rinci. Namun dalam bab ini, pandangan
Al-Qaradhawi bahwa boleh tidaknya
Sedangkan yang membolehkan tidak non-muslim membangun tempat ibadah
melihat dari sisi ini. itu masuk ranah siyasah syar’iyyah
(politik Islam), sehingga kebijakannya
2. Ulama yang mengharamkan, diserahkan pada ulil amri dengan
menganggap ini ijarah atas sesuatu pertimbangan maslahat dan mafsadat,
yang haram, dan karena itu ia tidak patut diperhatikan.
boleh dilakukan. Sedangkan ulama yang
membolehkan, melihat bahwa keharaman Namun untuk keterlibatan muslim dalam
atau kemaksiatannya tidak pada aktivitas membangun tempat ibadah non-muslim,

03
pandangan yang lebih selamat adalah ambil penjelasan tentang mereka dari
ia haram hukumnya, bahkan meskipun kitab-kitab fiqih, sebagai panduan kita
pemerintah membolehkan bahkan berinteraksi dengan non-muslim di negeri
menganjurkannya. Apalagi kebutuhan kita saat ini.
mereka untuk membangun tempat
ibadah menunjukkan jumlah mereka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
cukup banyak, dan karena jumlah mereka bersabda:
cukup banyak, tak perlu bantuan seorang
muslim untuk ikut membangunnya. َ ‫َم ْن َق َت َل ُم َع َاه ًدا َل ْم َير ْح َرائ َح َة ْال َج َّنة َوإ َّن ر‬
‫يح َها‬ ِ ِ ِ ِ ِ َ
َ ‫ُت‬
‫وج ُد ِم ْن َم ِس َير ِة أ ْرَب ِع َين َع ًاما‬
***
Artinya: “Siapa saja yang membunuh
Lalu bagaimana dengan alasan sebagian
mu’ahad (orang kafir yang terikat perjanjian
orang, bahwa keterlibatan dalam
damai), dia tidak akan dapat mencium
pembangunan tempat ibadah non-
wangi surga, padahal wangi surga itu
muslim itu adalah bentuk toleransi yang
bisa tercium dari jarak perjalanan empat
perlu dikembangkan saat ini?
puluh tahun.” (HR. Al-Bukhari no 3166 dan
6914, dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu
Ibnu Qudamah, dalam Al-Mughni (Juz 9,
‘anhuma)
halaman 223), menukil pernyataan ‘Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu: “Mereka
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam “Fath Al-Bari”
membayar jizyah (semacam pajak yang
(Juz 12, halaman 259) berkata: “Yang
wajib dibayar oleh ahludz dzimmah,
dimaksud adalah siapa saja yang memiliki
penerj.) agar harta mereka diperlakukan
perjanjian dengan kaum muslimin, baik
seperti harta kita, dan darah mereka
dengan akad membayar jizyah, perjanjian
diperlakukan seperti darah kita.” Hal
damai dengan pemerintah, atau melalui
ini menunjukkan, ahludz dzimmah itu,
jaminan keamanan dari seorang muslim.”
setelah mereka tunduk dan patuh pada
penguasa muslim dengan membayar
Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di
jizyah, maka harta, kehormatan dan
atas, dengan tegas menunjukkan bahwa
jiwa mereka wajib dijaga, dan mereka
Islam bersikap toleran terhadap non-
tidak boleh dizalimi. Meski status ahludz
muslim, dengan menjamin keamanan
dzimmah sebagaimana dijelaskan di
jiwa, harta dan kehormatan mereka, dan
kitab-kitab fiqih klasik, tidak sepenuhnya
tidak boleh ada yang menzalimi mereka,
sama dengan non-muslim yang tinggal
baik dengan membunuh, mengambil
di negeri kita, namun tidak masalah kita
harta atau merusak kehormatan mereka.

04
Dan banyak lagi riwayat dari Nabi membiarkan mereka melakukan ritual
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ibadah mereka (dengan perincian hukum
shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in, yang dijelaskan para ulama), namun kita
tentang begitu toleran dan baiknya sikap tidak boleh terlibat dalam ritual tersebut
mereka terhadap non-muslim yang hidup sama sekali. Jaminan keamanan dan sikap
bersama mereka. Hal ini menunjukkan baik kita kepada mereka adalah bentuk
Islam bukan agama kekerasan, Islam adalah toleransi terbaik yang mereka dapatkan
agama yang indah, agung dan penuh dari umat Islam, yang bahkan hal ini
kebaikan. Islam mengajarkan ketegasan seringkali tidak didapatkan oleh muslim
pada tempatnya, dan kelembutan pada di negeri-negeri kafir saat muslim menjadi
tempatnya. Islam mengajarkan toleransi minoritas di sana.
secara proporsional, tidak melampaui
batas, tidak juga kurang dari yang Wallahu a’lam bish shawab.
seharusnya.

Namun perlu dicatat, sikap toleran


terhadap non-muslim, tidak harus dan
tidak perlu dilakukan dengan melibatkan
diri pada ritual agama mereka, baik dengan
" sikap toleran
ikut membantu membangun tempat terhadap non-muslim,
ibadah mereka, atau yang lebih buruk lagi,
tidak harus dan tidak
ikut merayakan hari raya mereka dan hadir
pada kegiatan peribadatan mereka. Hal perlu dilakukan dengan
ini semua, menurut pandangan mayoritas melibatkan diri pada
ulama, haram hukumnya, bahkan pada
ritual agama mereka,
tingkat tertentu, bisa menjatuhkan pada
kekufuran, wal ‘iyadzu billah. baik dengan ikut
membantu membangun
Sikap toleran yang bisa kita berikan pada
mereka adalah, berbuat baik pada mereka,
tempat ibadah mereka,
tidak mengganggu kehormatan mereka, atau yang lebih buruk
bertetangga dengan baik dan penuh lagi,

"
keramahan, serta bermuamalah dan
bekerja sama dalam urusan kemaslahatan
dunia dengan mereka, jika diperlukan.
Adapun dalam ranah ibadah, kita

05
Ushul Fiqih

APAKAH "AMR" HANYA BERLAKU DARI


PIHAK YANG DERAJATNYA LEBIH TINGGI KE
PIHAK YANG LEBIH RENDAH?
Oleh: Muhammad Abduh Negara

Sebagian ulama menetapkan bahwa firman Allah ta’ala yang menceritakan


“amr” (perintah) itu hanya berlaku dari tentang perkataan Fir’aun kepada para
pihak yang lebih tinggi derajatnya kepada menterinya:
pihak yang lebih rendah. Jika dari pihak
yang setara, atau dari pihak yang lebih
َ‫َف َم َاذا َت ْأ ُم ُرون‬
rendah derajatnya kepada pihak yang
lebih tinggi, tidak disebut “amr”. Menurut Artinya: “Lalu apa yang kalian perintahkan?”
Wahbah Az-Zuhaili, ini adalah pendapat (QS. Al-A’raf [7]: 110)
Hanafiyyah dan Hanabilah.
Dalam ayat di atas, saran dari para menteri
Adapun pendapat yang ashah (paling Fir’aun disebut dengan ungkapan “amr”,
shahih) di kalangan Syafi’iyyah, padahal kedudukan mereka lebih rendah
sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul dari Fir’aun, dan jelas mereka tidak akan
Islam Zakariyya Al-Anshari, hal tersebut berani berkata meninggi kepadanya,
tidak disyaratkan. Tidak disyaratkan sifat karena mereka meyakini bahwa Fir’aun
‘uluw maupun sifat isti’la dalam “amr”. adalah ilah mereka (yang mereka sembah).
‘Uluw maksudnya, pihak yang memberi Ini menunjukkan, tidak disyaratkan ‘uluw
perintah lebih tinggi derajatnya dari yang dan isti’la pada “amr”.
menerima perintah. Sedangkan isti’la
maksudnya, perintah diberikan dalam Muhammad Hasan Hitu menyatakan,
bentuk meninggi. Jadi sifat ‘uluw berkaitan pembedaan thalab (permintaan atau
dengan pihak yang memberi perintah, tuntutan), bahwa jika dari pihak lebih
sedangkan isti’la berkaitan dengan cara tinggi ke pihak lebih rendah disebut
memerintah. “amr” jika dari pihak yang setara disebut
“iltimas”, dan jika dari pihak lebih rendah
Dalil Syafi’iyyah bahwa “amr” tersebut tidak ke pihak lebih tinggi disebut “sual” (atau
disyaratkan sifat ‘uluw dan isti’la adalah “du’a”, sebagaimana disebutkan oleh “Ad-

06
Dimyathi”, pen), itu merupakan istilah
yang digunakan oleh ulama balaghah,
ulama manthiq, dan lainnya. Adapun
ulama ushul fiqih (ushuliyyun), menyebut
semua hal tersebut dengan “amr”, tanpa
membedakannya.

Wallahu a’lam.

Rujukan:
1. Ghayah Al-Wushul Ila Syarh Lubb Al-
Ushul, karya Syaikhul Islam Zakariyya Al-
Anshari, Halaman 326, Penerbit Dar Al-Fath,
‘Amman, Yordania.

2. Al-Wajiz Fi Ushul At-Tasyri’ Al-Islami, karya


Dr. Muhammad Hasan Hitu, Halaman 132,
Penerbit Muassasah Ar-Risalah, Beirut,
Libanon.

3. Ushul Al-Fiqh Al-Islami, karya Dr.


Muhammad Hasan Hitu, Juz 1, Halaman
214-215, Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus,
Suriah.

4. Syarh Matn Al-Waraqat, karya Imam


Jalaluddin Al-Mahalli, Wa Ma’ahu Hasyiyah
Al-Imam Ahmad bin Muhammad Ad-
Dimyathi, Halaman 61, Penerbit Muassasah
Ar-Risalah, Beirut, Libanon.

07
Qawa'id Fiqhiyyah

KONDISI HAJAT
DAPAT MEMBOLEHKAN HAL YANG HARAM
SEBAGAIMANA KONDISI DHARURAT
Oleh: Muhammad Abduh Negara

Kondisi dharurat dan hajat pada dasarnya diperlukan oleh individu tertentu, karena
berbeda. Orang yang berada pada kondisi hajat individu tidak bisa menempati posisi
dharurat, ia bisa celaka bahkan jatuh pada dharurat.
kematian. Dan demi menyelamatkan
dirinya, ia boleh melakukan hal yang Hajat dan dharurat, meski pada kondisi
haram. Sedangkan hajat, orang yang tertentu sama-sama membolehkan
berada pada kondisi ini, tidak berpotensi hal yang seharusnya dilarang, namun
mati atau cacat tubuh misalnya, tapi ia akan keduanya memiliki perbedaan, yaitu:
jatuh pada kesulitan yang berat. Kondisi
hajat pada umumnya tidak membuatnya 1. Dharurat membolehkan hal yang haram,
boleh melakukan hal yang haram. baik kondisi dharurat tersebut terjadi
pada orang banyak atau hanya pada
Namun pada kondisi tertentu, hajat bisa individu tertentu saja. Sedangkan hajat
menempati posisi dharurat, dalam arti hanya membolehkan hal yang seharusnya
ia bisa membuat hal yang seharusnya dilarang, jika itu mengenai orang banyak.
dilarang menjadi boleh. Para ahli fiqih
menyatakan, “‫ الحاجة تنزل منزلة الضرورة‬2. Hukum yang ditetapkan dalam kondisi
‫”عامة كانت أو خاصة‬, kondisi hajat bisa dharurat, berlakunya hanya sementara
menempati posisi dharurat, baik hajat pada kondisi dharurat tersebut, jika
itu bersifat umum maupun khusus. kondisinya berakhir, maka kebolehannya
Umum dalam arti ia memang diperlukan juga berakhir. Sedangkan hukum yang
oleh seluruh orang di dunia atau ditetapkan karena hajat, ia berlaku
mayoritas mereka. Dan khusus dalam selamanya dan untuk semua orang, baik
arti ia diperlukan oleh penduduk negeri orang itu punya hajat pada hukum itu
tertentu atau oleh orang-orang dalam ataupun tidak.
profesi tertentu, dan semisalnya. Khusus
di sini bukan berarti hajat tersebut hanya 3. Dharurat membolehkan hal yang

08
diharamkan oleh nash, semisal 5. Menambal perabotan dengan tambalan
memakan bangkai, minum khamr, dan perak, untuk memperbaiki kerusakan
semisalnya. Sedangkan hajat, tidak. pada perabotan tersebut. Berdasarkan
Ia hanya membolehkan sesuatu yang qiyas, harusnya ia haram, karena termasuk
harusnya dilarang, jika kita menggunakan menggunakan perak untuk perabotan,
kaidah umum atau qiyas. Jadi, hajat yang dilarang Syariat. Namun karena ada
membolehkan sesuatu yang diharamkan hajat, ia dibolehkan.
oleh kaidah umum dan qiyas.
6. Kebolehan memakai pakaian sutra
Contoh: bagi laki-laki, untuk pengobatan penyakit
1. Kebolehan akad ijarah (sewa-menyewa gatal-gatal pada kulit. Padahal, hukum
barang dan jasa), karena ia diperlukan asalnya haram.
oleh orang banyak, ‘ala khilafil qiyas
(menyelisihi qiyas). Jika mengikuti qiyas, Wallahu a’lam.
ia harusnya tidak boleh, karena ia akad
mu’awadhah (akad bisnis) untuk manfaat Rujukan: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Wa
yang belum ada saat transaksi. Tathbiqatuha Fi Al-Madzhab Asy-Syafi’i,
karya Dr. Muhammad Az-Zuhaili, Juz 2,
2. Kebolehan akad salam (jual beli Halaman 75-82, Penerbit Dar Al-Bayan,
pesanan), juga karena diperlukan oleh Damaskus.
orang banyak. Padahal, barang yang
diperjualbelikan belum ada saat akad.

3. Kebolehan ji’alah (sayembara), padahal


ia akad untuk sesuatu yang belum jelas,
apakah bisa didapatkan atau tidak,
namun ia dibolehkan karena ada hajat
terhadapnya.

4. Kebolehan hawalah (pemindahan


utang), padahal ia jual beli utang dengan
utang, yang berdasarkan qiyas hukumnya
tidak boleh.

09
Fiqih Syafi'i

MAKNA SYARAT ‘ADALAH (‫)العدالة‬


DALAM WALI
DAN SAKSI PERNIKAHAN
Oleh: Muhammad Abduh Negara

Imam Abu Syuja’ dalam Matn-nya, perkataan penulis Fath Al-Qarib): maka
menyatakan: tidak bisa menjadi wali seorang yang fasiq,
demikian juga tidak menjadi dua saksi
:‫والشاهدان إلى ستة شرائط‬ ‫ ويفتقر الولي‬orang yang fasiq.”
‫ والذكورة‬،‫ والحرية‬،‫ والعقل‬،‫ والبلوغ‬،‫اإلسالم‬
‫والعدالة‬ Dan yang dimaksud sifat ‘adalah adalah,
kemampuan pada diri seseorang yang
Artinya: “Wali dan dua orang saksi perlu mencegahnya jatuh pada dosa-dosa besar,
memenuhi enam syarat, yaitu: Islam, terus-menerus melakukan dosa kecil, dan
baligh, berakal, merdeka, laki-laki dan ‘adil perbuatan mubah yang menjatuhkan
(memiliki sifat ‘adalah).” muruah.

Kita fokus pada syarat ‘adalah. Dalam Fath Dalam Hasyiyah Al-Bajuri disebutkan
Al-Qarib disebutkan: contoh perbuatan mubah yang
menjatuhkan muruah tersebut, yang
‫ فال يكون الولي فاسقا‬،‫ العدالة‬:‫ والسادس‬beliau sebut “ar-radzail al-mubahah”, di
antaranya: berjalan tanpa alas kaki atau
Artinya: “Dan syarat yang keenam: ‘adalah, tidak memakai penutup kepala, dan
maka tidak bisa menjadi wali seorang yang makan di pasar selain bagi orang yang
fasiq.” bekerja di pasar.

Dalam Hasyiyah Al-Bajuri ditambahkan: Namun bahasan muruah ini sebenarnya


bukan bahasan yang kaku, ia mengikuti
‫ وكذلك الشاهدان‬،‫ فال يكون الولي فاسقا‬:‫‘ قوله‬urf, dan berbeda-beda keadaannya,
‫ ال يكونان فاسقين‬mengikuti perbedaan orang, waktu dan
tempat. Sebagaimana dijelaskan oleh
Artinya: “Perkataannya (maksudnya: penulis Mughni Al-Muhtaj.

10
Pertanyaannya kemudian, apakah meskipun keadaannya sebenarnya tidak
syarat ‘adalah ini harus dibuktikan benar-benar diketahui.
dengan pengakuan khalayak ramai
atau rekomendasi dari hakim misalnya, Wallahu a’lam.
atau cukup secara zhahir ia tak terlihat
melakukan kefasiqan? Rujukan:
1. Mughni Al-Muhtaj Ila Ma’rifah Ma’ani
Jawabannya, cukup ia tidak terlihat Alfazh Al-Minhaj, karya Imam Al-Khathib
melakukan kefasiqan. Dan ini adalah Asy-Syirbini, Juz 4, Halaman 84-88, dan
pendapat yang shahih dalam madzhab Al- Juz 5, Halaman 891 & 904, Penerbit Dar Al-
Imam Asy-Syafi’i, sebagaimana disebutkan Faiha, Damaskus, Suriah.
oleh Imam An-Nawawi dalam Minhaj Ath-
Thalibin. Dan ditegaskan oleh Imam Al- 2. Fath Al-Qarib Al-Mujib Fi Syarh Alfazh
Khathib Asy-Syirbini, bahwa zhahirnya At-Taqrib, karya Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-
orang Islam itu memiliki sifat ‘adalah. Ghazzi, Halaman 298-299, Penerbit Dar Al-
Artinya, selama tidak ada bukti orang itu Minhaj, Jeddah, Saudi Arabia.
adalah orang fasiq, maka secara zhahir
kita harus tetapkan ia sebagai orang yang 3. Hasyiyah Al-Bajuri ‘Ala Syarh Al-‘Allamah
‘adil atau memiliki sifat ‘adalah. Ibn Qasim Al-Ghazzi, Jilid 3, Halaman 355-
356, Penerbit Dar Al-Minhaj, Jeddah, Saudi
Ditambah lagi, akad nikah adalah akad Arabia.
yang diberlakukan di tengah-tengah orang
kebanyakan, dan mereka yang menjadi
saksi atas pernikahan itu, jika diharuskan
untuk mengecek dan memastikan
keadaan orang-orang yang menjadi saksi
pernikahan tersebut, maka prosesnya
akan terlalu lama dan menyulitkan.

Kesimpulannya, seseorang dianggap


memiliki sifat ‘adalah, dan layak menjadi
wali dan saksi pernikahan, selama ia
tidak terlihat melakukan hal-hal yang
membuatnya jatuh pada kefasiqan,

11
Fikrah

senantiasa berkembang dan kehidupan


senantiasa berubah. Mereka ini yang
disindir oleh sebagian sastrawan bahwa
mereka ingin mengubah agama, bahasa,
matahari dan bulan sekalian.”
RUH
TAWASSUTH Sebagai contoh, menurut kalangan ini,
dulu riba haram, karena yang mengambil
DALAM harta riba adalah orang-orang kaya dan

FATWA kuat, sedangkan pihak yang diambil


hartanya adalah orang-orang lemah dan
Oleh: Muhammad Abduh Negara
memerlukan uang. Sedangkan di masa
sekarang, orang yang mengambil harta
riba adalah para pekerja dan pegawai
rendahan yang menyimpan sedikit
uangnya di bank, untuk mendapatkan
sedikit bunga, sedangkan yang
diambil hartanya adalah pihak bank
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, dalam “Al-Fatwa yang kaya raya dan kuat ekonominya.
Bayna Al-Indhibath Wa At-Tasayyub” Perubahan keadaan ini menurut mereka
menyebutkan dua kalangan yang sama- meniscayakan perubahan hukum. Mereka
sama jatuh dalam kesalahan fatal dalam tak peduli, bahwa haramnya riba ini
fatwa. Kalangan pertama, beliau sebut ditegaskan dalam Al-Qur’an Al-Karim,
dengan “‘abiid at-tathawwur” atau “budak pelakunya diancam diperangi oleh Allah
perkembangan zaman”, yang ingin ta’ala, dan keharaman riba bisa diketahui
mengubah segala hal dan ketetapan ‘illah dan hikmahnya oleh para ulama
hukum dengan alasan perubahan dan yang mendalam ilmunya, dan itu masih
perkembangan zaman. berlaku hingga masa sekarang.

Beliau menyatakan, “Mereka tidak ingin Sedangkan kalangan kedua, disebut


ada satu pun yang tetap dalam keadaannya oleh Al-Qaradhawi dengan istilah “al-
semula. Mereka ingin mengubah segala mutazammitun”, atau “orang-orang
hal, dengan argumentasi bahwa alam ini yang terlalu kaku”. Kalangan kedua ini

12
kebalikan dari kalangan pertama. Mereka atas, hanya menunjukkan kehati-hatian
seakan ingin mengharamkan segala generasi awal Islam dalam menetapkan
hal, dan membuat manusia jatuh dalam hukum, karena khawatir jatuh pada
kesempitan dan kesulitan. Mereka tak berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.
menelaah dalil secara menyeluruh, baik
dari nash-nash syar’i maupun dari kaidah- Kembali ke topik. Al-Qaradhawi
kaidah pokok dalam Islam, sebelum menyatakan bahwa dua kalangan ini
menetapkan hukum haram. sama-sama jatuh dalam kesalahan, jatuh
pada sikap ifrath dan tafrith, dan jauh
Al-Qaradhawi mengutip beberapa ayat dari ruh tawassuth (pertengahan dalam
Al-Qur’an dan kalam ulama terdahulu, beragama) yang merupakan ajaran Islam
untuk menunjukkan sikap mudah yang hakiki.
mengharamkan ini menyelisihi petunjuk
Islam, sebagaimana dipahami salafuna Ruh tawassuth atau i’tidal ini, merupakan
ash-shalih. hal yang sangat berharga, yang perlu
diperhatikan oleh setiap mufti, faqih dan
Beliau misalnya mengutip pernyataan mutafaqqih. Kita berhak berbeda atau
Imam Malik, bahwa generasi awal Islam, tidak mengikuti pendapat Al-Qaradhawi
tidak biasa menyatakan “ini halal” dan dalam satu atau sekian persoalan. Toh,
“ini haram” pada perkara yang berasal beliau bukan manusia yang ma’shum, juga
dari ijtihad mereka. Mereka hanya bukan standar kebenaran. Beliau sama
menyatakan “saya tidak menyukai ini” atau seperti ulama lainnya, pendapatnya boleh
“saya menyukai ini”. Adapun penegasan diikuti, boleh juga ditinggalkan. Namun
halal dan haram, atas dasar ijtihad, ini panduan beliau tentang ruh tawassuth
merupakan kedustaan atas nama Allah. ini, sangat layak dipegang, karena itulah
Yang halal adalah apa yang dihalalkan yang diajarkan Islam pada kita.
Allah dan Rasul-Nya, dan yang haram
adalah yang diharamkan Allah dan Rasul- Banyak sekali ayat Al-Qur’an dan Hadits
Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menunjukkan ruh tawassuth ini. Syaikh
Saya perlu beri catatan di sini, bahwa Hafizhurrahman Al-A’zhami Al-‘Umari,
penggunaan istilah halal dan haram dalam makalah beliau “Al-I’tidal Wa At-
untuk perkara ijtihadi, tidaklah terlarang Tawazun Min Khilal Taujihat Al-Kitab Wa
secara mutlak. Pernyataan Imam Malik di As-Sunnah” menyebutkan sekian ayat Al-

13
Qur’an dan Hadits tersebut. Di sini saya agama.” (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah)
hanya akan menyebutkan masing-masing
satu saja, sebagai contoh. Hadits di atas adalah salah satu Hadits
dari sekian Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
Allah ta’ala berfirman: wa sallam, yang menunjukkan bahayanya
sikap ghuluw atau melampaui batas
َ‫ َو َّالذ ْي َن إ َذا َأ ْن َف ُق ْوا َل ْم ُي ْسر ُف ْوا َو َل ْم َي ْق ُت ُر ْوا َو َكان‬dalam beragama, sekaligus menunjukkan
ِ ِ ِ
ً‫َب ْي َن َذ ِل َك َق َواما‬ bahwa sikap tawassuth, tawazun dan
i’tidal adalah ajaran Islam yang hakiki.
Artinya: “Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan harta, mereka tidak Seorang mufti atau ahli fiqih, dengan
berlebihan, dan tidak pula kikir. Dan ijtihadnya, boleh memfatwakan haram
pembelanjaan harta mereka di tengah- atau halalnya sesuatu, tapi itu harus
tengah dua keadaan tersebut.” (QS. Al- dilandasi oleh dasar yang kuat. Berfatwa
Furqan [25]: 67) dan berijtihad dengan penuh kehati-
hatian dan sikap wara’, memperhatikan
Dalam ayat di atas, Allah ta’ala menyebut- nash-nash syar’i sekaligus memperhatikan
kan salah satu sifat ‘ibadurrahman, ruh dan maqashid (tujuan) dari Syariah,
hamba-hamba Allah yang terpilih, dan serta prinsip taysir (memudahkan) dan
sifat tersebut adalah pertengahan dalam raf’ul haraj (menghilangkan kesulitan).
membelanjakan harta, tidak ifrath dan
tidak tafrith, tidak berlebih-lebihan, tidak Kalangan budak perkembangan zaman,
juga kikir. berani menganulir nash-nash syar’i yang
muhkam (jelas tanpa kesamaran), demi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hasratnya untuk menghalalkan segala
bersabda: sesuatu. Sebaliknya, orang-orang yang
terlalu kaku, bermudah-mudahan dalam
َ ‫الد ْين َفإ َّن َما َأ ْه َل َك َم ْن َك‬
‫ان‬ ّ ‫ إ َّي ُاك ْم َو ْال ُغ ُل َّو في‬mengharamkan sesuatu, tanpa menelaah
ِ ِ ِ ّ ِ ُ ُ ْ ُ َ َ ِ dalil-dalil syar’i secara menyeluruh dan
‫الد ْي ِن‬
ِ ‫ ق ْبلك ُم الغل ُّو ِفي‬tidak memperhatikan ruh dan tujuan
Syariah. Dua sikap ini perlu dijauhi.
Artinya: “Jauhilah sikap melampaui
batas dalam agama, karena yang
Wallahu a’lam.
menghancurkan kaum sebelum kalian
adalah sikap melampaui batas dalam

14

Anda mungkin juga menyukai