Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FIQIH MUQARIN

Wudhu

Disusun oleh

Senna Ramadania 2111110014

Yuni Yuliana 2111110015

Erlena Eptaloka 21111100

Dosen Pengampu

Prof. Dr. KH. Suwarjin., M.A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO BENGKULU

2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, karena atas segala pertolongan
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Wudhu sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan. Tak lupa pula sholawat beserta salam selalu tercurah kepada
junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW karena berkat jasa beliaulah yang telah
membawa kita dari alam kebodohan menuju alam yang dipenuhi ilmu pengetahuan seperti
yang kita rasakan pada saat ini.
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Fiqh Muqarin yang dibimbing oleh Prof. Dr. KH. Suwarjin., M.A. Disamping itu, tugas ini
diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan wawasan kepada pembaca. Dalam menyusun
makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan yang disebabkan oleh kemampuan
pengetahuan dan pengalaman serta fasilitas dan sarana yang terbatas. Akhir kata, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dunia pendidikan.

Bengkulu, 11 Maret 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR............................................................................................................ ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................2

A. Niat..........................................................................................................................2
B. Batas Mengusap Kepala..........................................................................................4
C. Sunnah-Sunnah dalam Wudu..................................................................................5
D. Makruh-makruh dalam Wudhu...............................................................................
E. Hal-Hal yang Membatalkan Wudhu........................................................................
F. Hal-Hal yang Dilarang Bagi Orang yang Berhadas Kecil.......................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................9

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap orang yang akan melaksanakan sholat tentu akan berwudhu terlebih dahulu.
Wudhu menjadi salah satu syarat untuk mengerjakan beberapa ibadah. Banyak yang kita
lihat orang berwudhu asal-asalan atau tidak sempurna. Kadang-kadang ada bagian
anggota wudhu yang tidak terkena air. Padahal kalau mereka tau betapa agungnya syariat
Islam tentang wudhu ini tentu akan berusaha menyempurnakan wudhunya. Sama seperti
ibadah lainnya wudhu tidak terlepas dari banyaknya ikhtilaf para ulama. Para ulama
memiliki pendapat hujjah mereka masing-masing sehingga sering kali kita melihat
banyak perbedaan diantar kita dalam mengerjakan wudhu. Dalam makalah ini akan
dipaparkan beberapa pendapat dari ulama 4 mazhab mengenai wudhu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendapat imam 4 Mazhab mengenai niat dalam wudhu?
2. Bagaimana Bagaimana pendapat imam 4 Mazhab mengenai batas menyapu kepala
dalam berwudhu?
3. Bagaimana pendapat imam 4 Mazhab mengenai sunnah-sunnah wudhu?
4. Bagaimana pendapat imam 4 Mazhab mengenai makruh-makruh dalam wudhu?
5. Bagaimana pendapat imam 4 Mazhab mengenai hal-hal yang dimembatalkan wudhu?

6. Bagaimana pendapat imam 4 Mazhab mengenai hal-hal yang dilarang bagi orang
yang berhadas kecil?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pendapat imam 4 Mazhab mengenai niat dalam wudhu
2. Untuk mengetahui pendapat imam 4 Mazhab mengenai batas menyapu kepala dalam
berwudhu
3. Untuk mengetahui pendapat imam 4 Mazhab mengenai sunnah-sunnah wudhu
4. Untuk mengetahui pendapat imam 4 Mazhab mengenai makruh-makruh dalam wudhu
5. Untuk mengetahui imam 4 Mazhab mengenai hal-hal yan dimembatalkan wudhu
6. Untuk mengetahui imam 4 Mazhab mengenai hal-hal yang dilarang bagi orang yang
berhadas kecil

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Niat dalam Wudhu (Ruling on Intention in Wudhu)


Secara bahasa, niat berasal dari bahasa Arab nawaa-yanwi-niyyatan (‫ ينوي – نوى‬- ‫)نية‬.
Di mana lafaz ini memiliki beberapa makna, di antaranya adalah al-qoshdu (suatu
maksud/tujuan) dan al-hifzhu (penjagaan).
Sedangkan secara istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan niat.
Kalangan al-Malikiyyah mendefinisikan niat sebagai suatu tujuan dari suatu perbuatan
yang hendak dilakukan oleh seorang manusia. Dan dengan makna ini, maka niat muncul
sebelum perbuatan itu sendiri. Imam al-Qarafi al-Maliki (w. 684 H) menjelaskannya di
dalam kitabnya adz-Dzakhirah:
Niat adalah tujuan yang diinginkan oleh hati manusia melalui perbuatannya.
Sedangkan kalangan asy-Syafi’iyyah mendefinisikan niat sebagai suatu tujuan dari
suatu perbuatan yang muncul bersamaan dengan perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana
didefinisikan oleh imam al-Jamal (w. 1204 H) dalam Hasyiah al-Jamal ‘ala al-Manhaj:.
Tujuan untuk melakukan suatu perbuatan, yang bersamaan dengan perbuatan tersebut.1
Niat memiliki dua arti, yaitu :
1. Bermaksud untuk melakukan sesuatu dengan tujuan untuk mengerjakannya.
2. Bermaksud mendekatkan diri serta mematuhi perintah.
Apabila niat ditafsirkan dengan pengertian yang pertama, sedang ia sifatnya adalah
‘Am (umum), tentulah akibat dari perbedaan pendapat antara yang memfardhukan niat
pada wudhu dan yang tidak memfardhukannya ialah sah atau tidaknya wudhu orang yang
semaunya (ngawur) dan orang yang dilemparkan ke dalam air.
1
Isnan Ansory, Fiqh Niat, (Jakarta, Rumah Fiqh Publishing, 2019), h. 7.

2
‫ِإَّنَم ا اَأْلْع َم اُل ِبالِّنَّياِت‬
“Sesungguh-amal itu berdasarkan niat.”

Para ulama dari Madzhab Syafi'i, Maliki, Ahmad, Abu Tsaur, dan Dawud Azh-
Zhahiri berpendapat, niat adalah syarat. Berbeda dengan para ulama dari kalangan
Madzhab Hanafi dan Sufyan Ats-Tsauri. Menurut mereka, niat tidak termasuk syarat.
Perbedaan pendapat mereka ini kembali pada ketidakjelasan apakah wudhu sebagai
ibadah mahdhah (murni) yang tidak rasional (ghairu ma'qulatil ma'na), yakni yang
hanya dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah seperti shalat dan ibadah-
ibadah lainnya, atau sebagai ibadah yang rasional (ma'qulatil ma'na), seperti
membersihkan najis yang berguna untuk kebersihan. Para ulama sepakat bahwa ibadah
mahdhah itu membutuhkan niat, dan ibadah ghairu mahdhah itu tidak membutuhkan niat.
Dalam hal ini, status ibadah wudhu berada di antara kedua jenis ibadah tersebut. Itulah
yang menimbulkan perbedaan pendapat dalam masalah ini, karena wudhu dapat
dikategorikan mengandung aspek ibadah mahdhah sekaligus kebersihan. Ilmu fikih
memandang mana di antara keduanya yang lebih kuat, sehingga bisa
disamakan dengannya. 2
Para ulama sepakat bahwa niat adalah urusan hati bukan lisan. Niat adalah apa yang
ditekadkan di dalam hati seseorang tatkala memulai mengerjakan suatu ibadah.
Sebagaimana mereka sepakat bahwa melafazkannya tidaklah menjadi sebab sah atau
tidaknya ibadah wudhu. Sebagaimana, sebagian ulama ada pula yang membolehkan dan
mensunnahkan niat untuk dilafazkan, khususnya jika dalam kondisi was-was.
Namun para ulama berbeda pendapat apakah niat di hati dalam wudhu termasuk
rukun atau hanya sekedar sunnah.
Mazhab Pertama: Wajib. Jumhur ulama (Maliki, Syafi’i, Hambali) berpendapat
bahwa niat adalah rukun wudhu. Maka tidak sah wudhu, jika tidak diniatkan sebelum
melakukannya. Adapun dalil yang dijadikan hujjah atau argumentasi oleh jumhur ulama
tentang wajib niat pada wudhu adalah sebagai berikut ini.
1. Rasulullah SAW bersabda:

‫َع ْن ُعَمَر َأَّن َر ُس وَل ِهَّللا َص َّلى الَّلهم َع َلْي ِه َو َس َّلَم َقاَل ِإَّن َم ا اَأْلْع َم اُل ِبالِّن َّي ِة َو ِلُك ِّل اْم ِر ٍئ َم ا َن َو ى‬

2
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016), h. 6.

3
Dari Umar radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai
niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Status hadis diatas adalah hadis Ahad.
Wudhu adalah perkerjaan. Hadis di atas telah menjelaskan bahwa pekerjaan tidak
nilai menurut pandangan syara’, melainkan dengan niat. Hal itu umum sifatnya, tidak
hanya khusus kepada sebagian pekerjaan, dan bukan pula yang lainnya. Dengan
demikianlah pendapat yang dikemukakan mereka.

2. Allah SWT berfirman :


‫َو َم ٓا ُأِمُر ٓو ۟ا ِإاَّل ِلَيْعُبُدو۟ا ٱَهَّلل ُم ْخ ِلِص يَن َلُه ٱلِّديَن‬

Artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan Ikhlas
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (Q.S. Al-Bayyinah : 5)
Ayat ini menunjukakan bahwa Allah SWT telah menafikan suatu perintah, kecuali
dengan beribadah kepada-Nya dengan ikhlas. Hal itu umum mencakup semua yang
telah diperintahkan kepad kita. Salah satu hal yang diperintahkan kepada kita adalah
wudu, maka sudah sepantasnya untuk memiliki niat yang ikhlas kepada Allah SWT.
3. Wudhu adalah ibadah yang memiliki rukun, maka wajiblah niat padanya
sebagaimana shalat. Tujuan wudhu adalah bersuci dari hadas dan dengan bersuci
itulah seseorang diperbolehkan mengerjakan shalat. Dengan demikian, tidaklah sah
wudhu tanpa adanya niat, seperti juga tayamum.
4. Firman Allah SWT :
‫۟ا‬ ‫۟ا‬
‫ۚ َفٱْغ ِس ُلو ُوُجوَهُك ْم َو َأْيِدَيُك ْم ِإَلى ٱْلَم َر اِفِق َو ٱْمَس ُحو ِبُر ُء وِس ُك ْم َو َأْر ُج َلُك ْم ِإَلى ٱْلَكْع َبْيِن‬
Artinya:
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (Q.S. Al-Maidah : 6)
Pada ayat ini dijelaskan Allah SWT. memerintahkan kita untuk berwudu apabil
hendak mengerjakan shalat. Ini menunjukkan tuntutan pekerjaan karena syarat. Adapun
sebagai perbandingannya ialah perkataan seseorang, "Apabila engkau menjumpai orang

4
lain, maka jalan kakilah kamu". Maka yang diminta ialah membasuh anggota (wudu)
karena shalat. Dan itulah makna niat yang sebenarnya.
Mazhab Kedua: Sunnah. Mazhab Hanafi, berpendapat bahwa niat bukan rukun
wudhu. Namun sekedar sunnah.
Adapun yang menjadi hujjah ulama Hanafiyyah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya ayat wudhu (Q.S. Al-Maidah : 6) itu tidaklah memerintahkan untuk
berniat, kecuali membasuh tiga anggota wudhu dan mengusap kepala. Berdasarkan
perintah itu, kita cukup mengerjakan apa yang diperintahkan saja tanpa harus
bergantung pada sesuatu yang lain. Imam Hanafi memandang tidak ada hadits shahih
yang secara jelas menunjuk kepada kefardhuan niat dalam setiap amal ibadah. Hadits
tentang urgensi niat yang diriwayatkan oleh Umar ibn Khathab merupakan hadits
ahad yang tidak bisa dijadikan landasan hukum secara qath'i. Adapun menetapkan
wajib niat dengan menggunakan hadis ahad berarti menambahkan nash Al-Quran.
Tambahan atas Al-Quran berarti nasakh dan nasakh tidak sah dengan hadis ahad.
2. Sesungguhnya wudhu adalah bersuci menggunakan air maka tidak disyaratkan
adanya niat sebagaimana menghilangkan najis. Wudhu pun adalah syarat untuk
shalat bukan untuk menggantinya, maka tidak wajib niat seperti halnya dalam
menutupi aurat.
3. Di antara masalah furu' yang disepakati adalah masalah wanita kafir dzimmi, jika
telah terputus dari haidnya. Bolehkah suaminya yang muslim mencampurinya bila ia
sudah mandi? Apabila niat itu fardu, tentulah suaminya tidak boleh mencampurinya.
Di samping itu, tidak ada seorang pun yang membedakan antara mandi dan wudhu.3

Dari pemaparan pendapat imam-imam mazhab diatas beserta dalil-dalil yang menjadi
hujjah mereka, tinjauan dan pendapat kami mengenai pendapat imam mazhab adalah
pendapat imam jumhur ulama (Imam Syafi’I, Malik, Hambali) yang paling kuat karena
terdapat hadist Riwayat Bukhari dan Muslim yang shahih dan derajatnya Ahad
mengemukakan bahwasanya setiap amal itu tergantung dengan niat dan wudhu termasuk
suatu ibadah yang memerlukan niat sebelum mengerjakan ibadah tersebut.

B. Batas Yang Difardhukan dalam Hal Mengusap Kepala (hat is required in the case of
wiping the head)

3
Mahmud Syalthut, Fiqh 7 Mazhab, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2016), h. 43-44.

5
Ulama malikiyyah berpendapat bahwa yang fardukan mengusap kepala, yaitu seluruh
kepala, yaitu seluruh kepala.

Adapun ulama syafi’iyyah berpendapat bahwa yang difardukan sebagai kepala saja
walaupun sehelai rambut. Ada pula Sebagian kepala saja walaupun sehelai rambut. Ada
pula Sebagian ulama yang berpendapat tidak kurang dari tiga helai rambut.

Adapun ulama Hanafiyah memiliki dua pendapat, yaitu:

1. Mutaakhirin berpendapat bahwa yang difardukan ialah seperempat kepala.


2. Mutaqaddimin berpendapat bahwa yang difardukan ialah sebatas tiga jari.

Sementara itu, ulama Hanabillah pun mempunyai dua pendapat, yaitu:

1. Inilah pendapat yang paling kuat, yaitu sama dengan pendapat ulama Malikiyyah
bahwa yang difardukan adalah seluruh kepala.
2. Bahwa yang difardukan hanyalah sampai ubun-ubun saja.4

Dalil-dalil yang menjadi pegangan tiap-tiap madzhab

Dalil-dalil yang menjadi hujjah mereka (The arguments that they use as evidence)

Ulama Malikiyyah berpegangan pada firman Allah SWT.

Q.S Al-Maidah: 6

‫َو ٱْمَس ُحو۟ا ِبُر ُء وِس ُك ْم‬

Artinya:

“dan sapulah kepalamu”

Adapun cara pengambilan dalil ini ialah bahwa ba pada lafazd biru’ uusikum itu
adakalanya merupakan huruf zaidah (tambahan) atau ilshaq (melekat). Tidak ada
pengertian ketiga maka menurut kedua kemungkinan itu, susunan kalimat memberi
pengertian mengusap seluruh kepala.

Keterangan yang menyebutkan bahwa ba mempunyai pengertian ketiga karena


setelah zaidah serta ilsaq yang paling dekat yang dapat digambarkan tentulah tab 'idh
(sebagian).

Keterangan yang pasti menurut ahli lughah (bahasa) adalah tab'idh itu tidak termasuk
makna ba.

4
Ibid., h. 35.

6
Ibnu Burhan berkata, "Barang siapa yang berpendapat bahwa ba menunjukkan arti
tab'idh, maka ia mengantarkan ahli bahasa pada perkara yang tidak dikenal mereka."

Asy-Syaukani mengatakan bahwa imam Sibawaih memungkiri bahwa ba


menunjukkan arti tab'idh pada lima belas tempat dalam kitabnya.

Adapun keterangan mengenai pengertian umum bahwa ba itu merupakan huruf


zaidah ialah susunan kalimat tanpa ba jelas memberi pengertian umum seperti pada
firman Allah SWT. :

Maka tambahan ba pada susunan kalimat ini memperkuat pengertian umum serta
menghilangkan keringanan lagi pada batas kepala yang diusap. Keringanan di sini ialah
dari membasuh menjadi mengusap.

Pengertian umum yang menerangkan masalah ba berarti ilshaq ialah kepala pada
intinya dimaksudkan untuk seluruh. Adapun pengertian kepala untuk sebagian adalah
majaz yang tidak boleh diartikan bila tidak ada petunjuk tentang hal itu. Karena dalam
masalah ini tidak ada petunjuk, berarti yang harus diusap adalah seluruh kepala. Ini sama
halnya dengan firman Allah SWT. mengenai masalah tayamum: ‫ َفاْم َس ُحوا ِبُو ُج وِهُك ْم‬para
ulama sepakat mewajibkan mengusap seluruh muka ketika bertayamum.

Berdasarkan dua kemungkinan ini, maka ayat ‫ َفاْم َس ُحوا ِبُو ُج وِهُك ْم‬ini dengan jelas
memberikan pengertian mengusap seluruh kepala dan tidak ada kesamaran lagi tentang
hal ini.

Namun, ada orang yang mengatakan bahwa ba pada ayat itu berarti ilshaq yang tidak
secara jelas menunjukkan umum karena ishaq pun mungkin berarti untuk sebagian,
sebagaimana untuk seluruhnya.

Jawaban untuk ini, pengertian keseluruhannya dari pengertian zaidah tetaplah ada
pada pengertian ilshaq. Dengan demikian, ayat ini adalah mujmal dan yang
memahaminya diperlukan penjelasan dari Rasulullah SAW.

Dalam masalah ini, ulama Malikiyah berkata, “Tidak ada hadis shahih yang
menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. Pernah mencukupkan mengusap sebagian kepala
saja. Dengan demikian, tetaplah bahwa sesungguhnya yang dimaksud dari ayat itu adalah
mengusap seluruh kepala. Itulah yang diinginkan.”5

5
Ibid., h. 37.

7
Ulama Madinah yang berpegang pada hadis Abdullah bin Zaid, yang intinya bahwa
difardhukan menyapu seluruh kepala ketika berwudhu. Hadis yang dimaksud adalah;

Seorang laki-laki bertanya kepada Abdullah bin Zaid (kakenya Amr bin Yahya),
bolekah engkau mempraktekkan cara berwudhunya Nabi saw. Lalu Abdullah bin Zaid
menjawab: ya, … lalu ia menyapu kepalanya dengan kedua tangannya, maka ditariknya
dari muka kemudian ke belakang kepalanya, lalu ditariknya (lagi) kedua tangannya itu
ke arah pundaknya. (HR. Baihaqi)

Takhrij hadist

Hadits yang pertama diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab sunannya (1: 65), dari
riwayat Al-Haitsam bin Kharijah, dari ‘Abdullah bin Wahb. Ia berkata: Telah
menceritakan padaku ‘Amr bin Al-Harits, dari Hibban bin Wasi’ Al-Anshari, bahwa
bapaknya telah menceritakan padanya, ia mendengar ‘Abdullah bin Zaid menceritakan
bahwa ‘Abdullah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil air untuk
kedua telinganya bukan dengan air yang digunakan untuk kepala. Artinya, saat wudhu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisah antara kepala dan telinga, tidak bersambung.

Ulama Madinah yang menganut mazhab Maliki tersebut sangat selektif menerima
hadis, hadis dari Abdullah bin Zaid yang juga sebagai penduduk Madinah, diterimanya
mutlak. Juga pada sisi lain, daerah Madinah memiliki suhu yang panas, dan karena itu;
mengusap semua kepala ketika berwudu’ adalah hal yang mutlak, di samping untuk
mengikuti petunjuk hadis dari Abdullah bin Zaid, juga mengikuti amalan penduduk
Madinah yang senang menghangatkan kepala mereka dari panas matahari.6

Adapun ulama Syafi’iyyah mengambil dalil dari ayat yang sama (Q.S Al-Maidah:6),
sedangkan penjelasannya adalah b pada lafazh itu dalam arti ilshaq, yaitu makna yang
hampir tidak pernah ada. Ayat itu bersifat mutlaq, dan mengandung arti melekatkan
usapan ke kepala mereka dalam hal ini berarti dengan mengusap sebagian kepala, atau
mengusap seluruh kepala.

Ulama Syafi’iyyah berkata, “Apabila kita menerima bahwa huruf ba adalah Zaidah,
maka ayat tersebut akan menjadi mujmal, padahal untuk memahami maknanya perlu
penjelasan dari Nabi SAW. Penjelasan mengenai hal ini telah ada, yaitu hadis Mughirah
bin Syu'bah yang menerangkan Rasulullah SAW. mengusap sebagian kepala

6
Indo Santalia, “Al-Muwatha Malik Dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Hadis,” Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu
Al-Hadis2 6, no. 2 (2015): 43–62.

8
sebagaimana Beliau SAW, pernah mengusap seluruhnya. Disebutkan dalam Shahih
Muslim dari hadis Mughirah bin Syu'bah r.a. bahwa Nabi SAW. pernah berwudu dan
mengusap ubun-ubunnya serta kedua mujahnya (sepatu panjangnya).

،‫ و مسح بناصيته‬،‫ توضأ‬- ‫ صلى هلال عليه وسلم‬- ‫ أن رسول هلال‬-: ‫ رضي هلال عنه‬- ‫عن املْغ ية بن شعبة‬
‫ رواه مسلم‬.‫وعلى عمامته‬

Dari sahabat al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu ‘Anhu, sesungguhnya Rasulullah


SAW berwudhu dan mengusap ubun-ubunnya saja dan imamahnya. (HR. Muslim).7

Pada riwayat lainnya, "Beliau SAW. mengusap ubun-ubunnya dan sorban". Juga hadis
riwayat Abu Dawud dari Anas r.a., ia berkata, "Saya melihat Rasulullah SAW berwudu,
sedang di atas kepala beliau ada sorban Qathariyah, maka beliau SAW. memasukkan
tangannya di bawah sorban, lalu mengusap bagian muka dari kepalanya." Abu Dawud
tidak memberi komentar tentang hadis ini. Begitu pula hadis pada riwayat Al-Baihaqi
dari Atha yang menjelaskan, Nabi SAW. berwudu lalu menggeser sorbannya dan
mengusap bagian muka dari kepalanya. Atau ia berkata, "Ubun-ubunnya."

Hadits ini walaupun mursal dan imam Asy-Syafi'i rahimahullah tidak mengamalkan
hadits mursal, namun kedudukannya menjadi kuat dengan hadits mutasshil sebelumnya.
Jadi anda bisa mengambil dalil hadits menurut Asy-Syafi'i.

Semua hadits dengan jelas menjelaskan kebolehan mengusap sebagian kepala.


Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa huruf ba untuk ilshaq dan tidak bisa untuk zaidah.
Hal inilah yang dijelaskan oleh para ulama Syafi’iyyah.

Ulama Hanafiah juga mengambil dalil dengan ayat itu juga. Mereka berkata,
“Dijadikan ba itu zaidah bukanlah asal, maka jelaslah bahwa ba itu untuk ilshaq. Dalam
hal ini yang diminta adalah melekatkan tangan dengan kepala karena firman Allah SWT.
“Wamsahuu” di sini membutuhkan objek atau maf'ul, yaitu alat mengusap, yakni yad
(tangan). Dengan demikian, ayat itu mengandung pengertian, “Usaplah tanganmu
menyentuh kepalamu (Wamsahuu asdiyakum mulshagatan biru uusikum).”

Kaidah mengatakan, bila ba bila masuk pada yang diusap, diperlukan menghendaki
cakupan alat, sebagaimana halnya ia masuk pada “alat, maka hal itu mencakup yang
diusap. Misalnya bila seseorang berkata, “Saya mengusap kepala anak yatim dengan
tangan saya” maka orang lain akan memahami bahwa yang diusap adalah seluruh
kepala. Dan ia mengatakan, “Saya mengusapkan tangan saya pada kepala anak yatim”.
7
Muhammad Ajib, Fiqih Wudhu Versi Madzhab Syafi’iy, (Jakarta: Rumah Fiqh Publishing, 2019), h. 13.

9
Maka orang pun akan memahami bahwa ia mengusap kepala anak tersebut dengan
menggunakan seluruh tangan. Ayat tersebut termasuk pada pengertian kategori kedua,
yaitu mengusap dengan seluruh tangan.

Mereka pun ada yang berkata, “Apabila seluruh telapak tangan menyentuh kepala
biasanya (ghalib-nya) tidak dapat mencakup kepala seluruhnya, melainkan hanya
seperempatnya maka seperti itulah yang dimaksud ayat tersebut”.

Mereka juga dapat menerima bahwa huruf ba itu adalah zaidah. Mereka berkata,
“Ayat tersebut ini adalah mujmal, karena memungkinkan zaidah serta ilshag. Adapun
hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah ini menerangkan bahwa yang diminta
(diinginkan) adalah ilshag, yaitu ilshag tertentu, sebatas Ubun-ubun ataupun lebih. Hal
ini karena Rasulullah SAW. tidaklah membiasakan mengusap seluruhnya, sebagaimana
beliau tidak pernah mengusap kurang dari sebatas ubun-ubun atau bagian muka dari
kepala. Ubunubun dan bagian muka dari kepala ini sama dengan seperempat maka
pastilah bahwa yang difardukan adalah seperempat.”

Menurut penulis pendapat yang paling kuat adalah pendapat dari imam syafi’I.
pendapat imam syafi’I didukung oleh hadist shahih yang diriwayatkan oleh imam
muslim.

C. Sunnah-Sunnah dalam Wudhu (Sunnah in ablution)

Menurut Mazhab Hanafi

Membaca Basmallah, membasuh kedua tangan hingga sebatas pergelangan tangan,


berkumur dan menghisab air ke hidung, menyela jari-jari tangan dan kaki, mengulang
pembasuhan masing- masing 3 kali, mengusap seluruh bagian kepala, mengusap kedua
telinga, tertib, seketika (membasuh anggota wudhu sebelum anggota badan yang lain
kering dari pembasuhan sebelumnya) atau bisa disebut berkesinambungan, bersiwak atau
gosok gigi, mendahulukan ujung-ujung jari tangan dan kaki pada saat pembasuhan,
mengusap kepala dimulai dari bagian depan, berurutan dalam berkumur dan menghisab
air ke hidung, mubalaghah dalam berkumur dan menghisab air ke hidung kecuali dalam
keadaan berpuasa, tidak berlebihan dalam penggunaah air saat berwudhu, dan mengulang
pembasuhan kedua tangan berikut lengan hingga ke siku.

Menurut Mazhab Syafi’i

1. Menghadap Kiblat

10
Di dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab dan kitab al-Fiqhu al-
Manhaji Alaa Madzhabi al-Imam Asy-Syaafi’iy disebutkan bahwa disunnahkan
ketika berwudhu untuk menghadap ke arah kiblat. Sebab arah kiblat adalah termasuk
arah yang mulia. Sehingga disunnahkan untuk menghadap kiblat. Namun jika tidak
bisa menghadap kiblat maka tidak mengapa. Wudhunya tetap sah, hanya saja tidak
mendapatkan pahala sunnah menghadap kiblat.
2. Bersiwak
Di dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam an-Nawawi (w.
676 H) dan kitab Kaasyifatus Sajaa karya Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H)
disebutkan bahwa disunnahkan bersiwak atau sikat gigi setiap kali hendak wudhu.
Dalilnya adalah hadits shahih riwayat Imam Bukhari & Muslim :

: ‫ "لوال أن أشق على أميت‬:‫ قال‬- ‫ صلى هلال عليه وسلم‬- ‫ عن النيب‬- ‫ رضي هلال عنه‬- ‫عن أيب هريرة‬
‫) رواه البخاري و مسلم‬.‫ألمرهتم ابلسواك مع كل وضوء‬
Dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi SAW beliau
bersabda: Seandainya tidak memberatkan ummatku maka sungguh akan aku
perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu. (HR. Bukhari & Muslim).

3. Membaca Basmallah
Di dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ (w. 593 H) disebutkan bahwa
termasuk sunnah wudhu adalah membaca basmallah sebelum berwudhu. Dalilnya
adalah hadits hasan riwayat Imam an-Nasa’i:
‫ رواه النسائي‬.‫ "توضأوا بسم هلال‬:‫ قال رسول هلال صلى هلال عليه وسلم‬:‫ رضي هلال عنه – قال‬- ‫عن أنس‬.
Dari sahabat Anas Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah SAW bersabda: Berwudhulah
dengan menyebut nama Allah. (HR. An-Nasa’i)
4. Melafadzkan Niat Wudhu
Di dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam an-Nawawi (w.
676 H) disebutkan bahwa disunnahkan melafadzkan niat wudhu sebelum berwudhu.
5. Membasuh Kedua Telapak Tangan
Di dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ (w. 593 H) disebutkan bahwa
termasuk sunnah wudhu adalah membasuh kedua telapak tangan terlebih dahulu
sebelum berwudhu. Dalilnya adalah hadits shahih riwayat Imam Bukhari & Muslim:
‫ إذا استيقظ أحدكم من منامه فال يغمس يده‬:‫عن أيب هريرة رضي هلال عنه أن النيب صلى هلال عليه وسلم قال‬
‫ رواه البخاري و مسلم‬.‫يف اإالنء حىت يغسلها فإنه ال يدري أين ابتت يده‬.

11
Dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi SAW beliau
bersabda: Jika salah satu dari kalian bangun dari tidur maka janganlah memasukkan
kedua tangan ke dalam wadah air hingga dia mencucinya terlebih dahulu. Sebab dia
tidak tahu dimana tangannya tadi malam. (HR. Bukhari & Muslim).
6. Berkumur-kumur
Di dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ (w. 593 H) disebutkan bahwa
termasuk sunnah wudhu adalah berkumur-kumur. Dalilnya adalah hadits shahih
riwayat Imam Bukhari & Muslim :
Dari Humran bahwa Utsman ra meminta air wudhu: … Lalu berkumur-kumur
dan menghirup air dengan hidung dan menghembuskannya keluar … Kemudian
Utsman berkata: Saya melihat Rasulullah saw berwudhu seperti wudhu-ku ini. (HR.
Bukhari Muslim).
7. Istinsyaq
Di dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ (w. 593 H) disebutkan bahwa
termasuk sunnah wudhu adalah menghirup air ke dalam hidung atau yang disebut
dengan Istinsyaq. Dalilnya adalah hadits shahih riwayat Imam Bukhari & Muslim:
Dari Humran bahwa Utsman ra meminta air wudhu: … Lalu berkumur-kumur
dan menghirup air dengan hidung dan menghembuskannya keluar … Kemudian
Utsman berkata: Saya melihat Rasulullah saw berwudhu seperti wudhu-ku ini. (HR.
Bukhari Muslim).
8. Mengusap Seluruh Kepala
Di dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ (w. 593 H) disebutkan bahwa
termasuk sunnah wudhu adalah mengusap seluruh bagian kepala. Dalilnya adalah
hadits shahih riwayat Imam Bukhari & Muslim:
“Dari Abdullah bin Yazid bin Ashim ra tentang cara berwudhu, dia berkata:
“Rasulullah saw mengusap kepalanya dengan kedua tangannya dari muka ke
belakang dan dari belakang ke muka.” Dalam lafaz lain, “Beliau mulai dari bagian
depan kepalanya sehingga mengusapkan kedua tangannya sampai pada tengkuknya
lalu mengembalikan kedua tangannya ke bagian semula.” (HR. Bukhari Muslim)
9. Mengusap Kedua Telinga
Di dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ (w. 593 H) disebutkan bahwa
termasuk sunnah wudhu adalah mengusap kedua telinga. Disunnahkan ketika
mengusap telinga menggunakan air yang baru lagi. Maksudnya tidak menggunakan
air bekas usapan kepala. Dalilnya adalah hadits shahih riwayat Imam Ibnu Majah:

12
Dari Ibnu Abbas: Bahwa Nabi saw mengusap kepala dan dua telinganya.
Beliau memasukkan dua jari telunjuk (ke bagian dalam daun telinga), sedangkan
kedua jempolnya ke bagian luar daun telinga. Beliau mengusap sisi luar dan dalam
telinga. (HR. Ibnu Majah)
Dan juga hadits shahih riwayat Imam al-Hakim:
Dari Abdullah bin Zaid al-Anshari, bahwa dirinya pernah melihat Rasulullah
saw berwudhu, lalu membasuh kedua telinganya dengan air yang baru, bukan air
bekas membasuh kepalanya. (HR. Hakim)
10. Menyela Jenggot & Jari
Di dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ (w. 593 H) disebutkan bahwa
termasuk sunnah wudhu adalah menyela jenggot yang lebat dan menyela jarijari
tangan dan kaki. Dalilnya adalah hadits shahih riwayat Imam Abu Dawud & Imam al-
Baihaqi:
Dari Anas bin Malik: Bahwa Nabi saw bila berwudhu mengambil secukupnya
dari air, dan memasukkannya ke bawah dagunya dan meresapkan air ke jenggotnya.
Beliau bersabda: "Beginilah Tuhanku memerintahkanku.” (HR. Abu Daud dan
Baihaqi)
Adapun dalil kesunnahan menyela pada jari tangan dan kaki, (takhlil al-ashabi’),
adalah hadits berikut
Dari ‘Ashim bin Laqith, dari ayahnya (Laqith), ia berkata: Rasulullah saw
bersabda: Jika engkau berwudhu, ratakanlah wudhu dan basahi sela-sela jari dengan
air. (HR. Tirmizi, Nasa’i, dan Abi Dawud)
11. Mendahulukan Bagian Kanan
Di dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ (w. 593 H) disebutkan bahwa
termasuk sunnah wudhu adalah mendahulukan bagian kanan baru kemudian yang kiri.
Dalilnya adalah hadits shahih berikut ini:
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Bila kalian
berpakaian dan berwudhu maka mulailah dari bagian-bagian kananmu. (HR.
Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Baihaqi)
12. Membasuh & Mengusap 3 Kali
Di dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ (w. 593 H) disebutkan bahwa
termasuk sunnah wudhu adalah membasuh atau mengusap 3 kali. Dalilnya adalah
hadits shahih berikut ini:

13
Dari Ibnu Umar, ia berkata: Bahwa Nabi saw membasuh anggota wudhu masing-
masing satu kali lalu bersabda: “Ini adalah amal yang Allah swt tidak akan
menerimanya kecuali dengan cara ini.” Kemudian beliau membasuh masing-masing
dua kali dan bersabda: "Ini yang membuat Allah melipat-gandakan amal dua kali
lipat." Kemudian beliau membasuh masing-masing tiga kali dan bersabda: “Ini
adalah wudhu'ku dan wudhu'nya para Nabi sebelumku.” (HR. Daruquthuni).
13. Berdoa Setelah Wudhu
Di dalam kitab Imta’ul Asmaa’ Fii Syarhi Matni Abi Syujaa’ karya Dr. Syifaa’
binti Dr. Hasan Hitou disebutkan bahwa termasuk sunnah wudhu adalah berdoa
setelah wudhu. Dalilnya adalah hadits shahih berikut ini: Berdoa Setelah Wudhu Di
dalam kitab Imta’ul Asmaa’ Fii Syarhi Matni Abi Syujaa’ karya Dr. Syifaa’ binti Dr.
Hasan Hitou disebutkan bahwa termasuk sunnah wudhu adalah berdoa setelah wudhu.
Dalilnya adalah hadits shahih berikut ini:
Dari Umar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Siapa pun di antara kalian
yang berwudhu, dan menyempurnakan wudhunya, lalu membaca: “asyhadu alla
ilaaha illallahu wahdahuulaa syariikalah, wa asyhadu anna muhammadan abduhu
wa rasuuluh …”, pasti akan dibukakan baginya pintu-pintu surga. (HR. Muslim dan
Tirmizi). Dalam riwayat Tirmizi ditambahkan bacaan: “Allahummaj’alni minat
tawwabiina waj’alni minal mutathohhiriin.” (HR. Tirmizi)

14. Ad-Dalku
Di dalam kitab al-Fiqhu al-Manhaji Alaa Madzhabi al-Imam Asy-Syaafi’iy
disebutkan bahwa disunnahkan ketika berwudhu memijit atau menggosok-gosok
dengan tangan (ad-Dalku). Dalilnya adalah hadits shahih berikut ini:
Dari Abdullah bin Zaid: bahwa Nabi saw mengambil seperti mud air, yang
digunakan untuk menggosok lengannya. (HR. Ibnu Khuzaimah. Al-A’zhami berkata:
Isnadnya shahih).
Dan juga hadits shahih berikut ini:
،‫ فجعل يقول هكذا‬،‫ توضأ‬- ‫ صلى هلال عليه وسلم‬- ‫ أن رسول هلال‬- ‫ رضي هلال عنه‬- ‫عن عبد هلال بن زيد‬
‫« )رواه أمحد‬.‫يدلك‬
( Dari Abdullah bin Zaid: bahwa Nabi saw berwudhu dan melakukan gosokan. (HR.
Ahmad).8
Menurut Mazhab Maliki
8
Muhammad Ajib, Fiqih Wudhu Versi Madzhab Syafi’iy, (Jakarta: Rumah Fiqh Publishing, 2019), h.

14
Menurut Mazhab Maliki, sunnah-sunnah wudhu yang ditekankan pelaksanaannya
bagi setiap mukalaf adalah sebagai berikut.
1. Membasuh kedua tangan sebatas pergelangan tangan.
2. Berkumur, yaitu memasukkan air ke rongga mulut lalu dikeluarkan. Apabila
masuknya air ke rongga mulut tanpa disengaja, dimasukkan ke mulut tanpa
dikocok, atau dikocok tetapi tidak disemprotkan lagi maka tidak termasuk sunnah.
Pendapat Malikiyah ini berbeda dengan Hanafiyah yang mengatakan, masuknya
air sekalipun tidak disemprotkan lagi atau tidak dikocok tetap dihukumi sunnah.
3. Mengisap air ke hidung, yaitu menarik air masuk ke rongga hidung dengan
pernapasannya. Bagi mazhab ini, masuknya air tanpa menggunakan pernapasan
tidak dianggap sunnah. Misalnya, dengan cara mencelupkan jari pada air lalu
dimasukkan ke rongga hidung. Jika di dalam hidung ada kotoran, hendaknya
dibersihkan menggunakan jari tangan kiri.
4. Mengusap kedua telinga meliputi bagian luar dan dalam.
5. Setiap kali hendak mengusap telinga yang kedua dan ketiga kali. hendaknya tidak
menggunakan sisa air yang masih tersisa di tangan setelah digunakan. Akan tetapi,
menggunakan air yang baru, yaitu denga mencelupkan tangannya lagi ke dalam
air. Menurut Mazhab ini, jika, pengusapan telinga untuk kali kedua dan ketiga
menggunakan air sisa yang masih terasa basah di tangan, tidak mendapatkan
kesunnahan. Pendapat ini berbeda dengan Hanafiyah. Cara mengusap telinga yang
paling baik, bagi Malikiyah, yaitu dengan memasukkan jari telunjuk ke lubang
telinga, sementara ibu jari diletakkan di bagian luar daun telinga, lalu masing.
masing jari diputar.
6. Tertib atau berurutan, maksudnya bagian anggota yang harus didahulukan tidak
boleh dibasuh belakangan dengan mendahulukan bagian anggota yang lain.
Bagian wajah harus dibasuh lebih dahulu sebelum tangan. Tangan didahulukan
sebelum mengusap kepala. Pengusapan kepala didahulukan sebelum membasuh
kaki.
7. Mengusap kepala menggunakan air bukan dengan air bekas yang masih basah di
tangan, melainkan air yang baru dari tempat wudhu. Apabila menggunakan air
bekas tidak memperoleh kesunnahan.
8. Memutar-mutar cincin bagi yang mengenakan, agar air dapat membasahi bagian
jari yang tertutup cincin. Mazhab Maliki sangat memerhatikan persoalan ini,
mereka mengatakan, laki-laki yang mengenakan cincin adakalanya diperbolehkan

15
(mubah), haram, atau makruh. Dihukumi mubah jika bahannya terbuat dari perak,
itupun beratnya tidak lebih dari dua gram, dan cincin yang dikenakan hanya satu.9

Menurut Mazhab Hanbali

Menurut Mazhab Hanbali, sunnah, mandub, atau mustahab wudhu antara lain:
1) menghadap kiblat, 2) bersiwak menjelang berkumur,” 3) membasuh telapak tangan
tiga kali, 4) mendahulukan kumur dan mengisap air ke hidung sebelum membasuh
wajah, 5) berkumur dengan bersungguh-sungguh dalam mengocoknya (mubalaghah),
kecuali bagi orang berpuasa, 6) menggosok-gosok semua anggota wudhu, 7)
menggunakan air lebih banyak dalam membasuh wajah, 8) menyisir jenggot yang
lebat pada saat membasuh wajah, 9) menyela jari-jari tangan dan kaki, 10)
memperbarui air setiap kali hendak mengusap telinga, 11) mendahulukan anggota
badan bagian kanan sebelum yang kiri, 12) mengulangi pembasuhan untuk kedua kali,
13) mempertahankan niat hingga akhir wudhu di dalam hati, 14) berniat mengerjakan
sunnah-sunnah wudhu menjelang membasuh telapak tangan sebatas pergelangan, 15)
mengucapkan niat secara perlahan, tanpa didengar orang lain, 16) membasuh wajah
dan tangan melebihi ukuran yang ditentukan untuk wajah dan tangan, 17) selesai
berwudhu membaca doa seraya menengadahkan wajah ke langit.10

D. Hal-hal yang membatalkan wudhu


E. Hal-hal yang dimakruhkan dalam wudhu
F. Hal-hal yang Dilarang Bagi Orang yang Berhadast kecil (Things that are forbidden
to a person in minor impurity)
1. Shalat
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫َال ُتْقَبُل َص َالٌة ِبَغْيِر ُطُهوٍر َو َال َص َد َقٌة ِم ْن ُغ ُلوٍل‬

“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta
haram).” (HR. Muslim, no. 224).

2. Thawaf

9
Asmaji Muchtar, Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah & Muamalah, (Jakarta: PT. Kalola Printing, 2016), h. 85-
86
10
Ibid., h. 88

16
Pada umumnya, para ulama sepakat bahwa status hukum thawaf adalah sama
dengan shalat. Hanya saja, mereka berbeda pendapat akan keabsahan thawaf jika
tidak dalam kondisi wudhu.

Mazhab Pertama: Syarat sah.

Mayoritas ulama (Maliki, Syafi’i, Hanbali) berpendapat bahwa suci dari


hadats kecil ketika thawaf di seputar ka’bah adalah syarat sahnya thawaf. Sebab
hakikat thawaf adalah shalat. Sebagaimana shalat disyaratkan dalam kondisi suci dari
hadats, demikian pula saat thawaf. Rasulullah SAW Bersabda :

‫ فمن تكلم فيه فال يتكلمن إل خبري )رواه الرتمذي‬،‫ إل أنكم تتكلمون فيه‬،‫الطواف حول البيت مثل الصالة‬

Dari Ibnu Abbas ra: Rasulullah saw bersabda: “Thawaf di Ka’bah itu adalah
shalat kecuali Allah telah membolehkannya untuk berbicara saat thawaf. Siapa yang
mau bicara maka bicaralah yang baik-baik.” (HR. Tirmizy)

Mazhab Kedua: Wajib atau sunnah.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa melakukan thawaf dalam kondisi suci dari
hadats kecil terhitung wajib bukan rukun, bahkan ada yang berpandapat sebagai
sunnah. Dengan demikian, tetap sah seseorang yang berthawaf sekalipun berhadats
kecil. Hanya saja hal itu membuat pelakunya menganggung dosa, meskipun ibadah
thawafnya dinilai sah. Argumentasi mereka adalah sebagaimana disebutkan oleh al-
Kasani, sekalipun thawaf disamakan dengan shalat, namun thawaf bukanlah shalat
secara hakiki, maka status hukumnya lebih rendah dari pada shalat.

Ulama Hanafiyah berpendapat dalam kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibn


Rusyd tentang kebolehan tawaf dalam keadaan tidak suci adalah mendasarkan
kebolehan melakukan sa’i dan yang lainnya dalam keadaan tidak suci. Untuk itu
mereka beranggapan tidak setiap ibadah disyaratkan suci, seperti puasa. Dan itu
berarti, bahwa tidak setiap ibadah disyaratkan dengan suci.

Mazhab Hanafi juga berpendapat, Tidak suci dari hadas kecil atau hadas besar
dibolehkan melakukan tawaf akan tetapi wajib membayar dam. Bagi seseorang yang
berhadas kecil maka ia wajib membayar dam berupa seekor kambing, kemudian jika
mereka berhadas besar maka wajib membayar dam seekor unta.11

11
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, terj. Abu Aulia dan Abu Syauqina ( Jakarta: PT. Pustaka Abdi Bangsa),
hlm. 39.

17
3. Menyentuh Mushaf Al-Qur’an

Para imam mazhab Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan Hambali
berpendapat bahwa wudhu termasuk syarat dalam menyentuh mushaf sehingga tidak
boleh menyentuh Al-Qur’an baik dalam keadaan hadas kecil ataupun hadas besar.

Hukum Menyentuh Mushaf Tanpa Wudu Menurut Mazhab Syāfi’i

Abu Isḥaq al-Syirazi berkata dalam kitabnya, al-Muhazab fi Fiqhi al-Imam


alSyafi’i, bahwa orang yang berhadas diharamkan baginya menyentuh mushaf. Beliau
berdalil dengan firman Allah Q.S. al-Waqi’ah/56: 79,
‫ُّسُه ِإاَّل ٱْلُم َطَّهُروَن‬
‫اَّل َيَم ٓۥ‬
Artinya : “Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan.”
Sisi pendalilan dari ayat ini yaitu Allah swt. mengabarkan bahwa Al-Qur’an
al-Karim tidak disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci sebagai bentuk pemulian
dan pengagungan terhadapnya. Ayat tersebut datang dalam konteks pembatasan (al-
ḥaṣr), dimana hanya dibolehkan bagi al-muṭahharun, yaitu yang suci dari hadas dan
najis dari kalangan anak Adam. Ayat tersebut meski dalam bentuk kabar, akan tetapi
ia juga membawa makna pelarangan sebagaimana firman Allah di Q.S. al-Baqarah/2 :
233,
‫اَل ُتَض ٓاَّر َٰو ِلَد ٌۢة ِبَو َلِد َها‬
Artinya: “Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya.”
Selain dalil dari Al-Qur’an, Imam al-Syirazi juga berdalil dengan hadis yang
diriwatkan oleh Ḥakim bin Ḥizam ra. bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
‫ال تمس القرآن إال وأنت طاهر‬
Artinya: “Janganlah engkau menyentuh Al-Qur’an kecuali dalam keadaan
suci.”
Imam Nawawi dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, menjelaskan
secara detail terkait larangan menyentuh mushaf dalam keadaan berhadas dalam
pandangan mazhab Syafi’i sebagai berikut:
1. Para ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang berhadas haram
hukumnya menyentuh mushaf, baik itu tulisannya, spasi antara tulisan,
pinggirannya, atau sampulnya sekalipun.
2. Terdapat dua pendapat terkait hukum menyentuh sarung pembungkus (yang
memiliki gantungan), atau kotak yang di dalamnya terdapat mushaf Al-Qur’an,

18
dan pendapat yang paling benar di antara keduanya adalah haram hukumnya;
karena ia dibuat untuk mushaf dan dinisbatkan kepadanya seperti kulit mushaf.
3. Hukum membolak-balikkan lembaran mushaf menggunakan tongkat, lidi atau
semacamnya, terdapat dua pendapat yang masyhur di kitab para ulama Khurasan
terkait masalah tersebut. Pendapat yang pali ng tepat di antara keduanya adalah
boleh karena ia tidak dikategorikan menyentuh mushaf secara langsung ataupun
membawanya.
4. Adapun apabila ia melipat lengan bajunya dan diletakkan di atas telapak
tangannya, kemudian ia gunakan untuk membolak-balikkan lembaran mushaf,
maka hukumnya adalah haram, sebagaimana pendapat jumhur ulama Syafi'iyyah.
Mereka membedakan antara penggunaan tongkat kayu dengan lengan baju karena
lengan baju itu melekat pada orang tersebut dan dihukumi sebagai bagian dari
dirinya, sebagaimana ia juga dilarang sujud di atasnya karena yang sebenarnya
digunakan untuk membolakbalikkan adalah tangan bukan lengan baju.
5. Terdapat dua pendapat terkait membawa mushaf bersamaan dengan benda
lainnya, dan pendapat yang lebih tepat adalah tidak diharamkan; karena ia tidak
meniatkan membawa mushaf secara khusus.
6. Anak kecil yang belum mumayyiz atau belum bisa membedakan baik dan buruk,
walinya tidak boleh memberikan kepadanya mushaf agar ia tidak
merendahkannya. Adapun yang sudah mumayyiz atau dapat membedakan antara
baik dan buruk, maka para wali dan guru tidak harus membebankan kepada
mereka bersuci setiap ingin membawa mushaf atau menyentuhnya; karena itu sulit
bagi mereka.
7. Apabila seseorang yang berhadas lalu ia bertayamum karena tidak mendapati air
dengan tayamum yang benar, maka boleh baginya menyentuh mushaf, dan juga
termasuk yang hadasnya belum hilang seperti orang yang berwudu dalam keadaan
berhadas yang berkelanjutan seperti keluarnya darah istiḥaḍah, maka boleh pula
baginya menyentuh dan membawa mushaf. Adapun terkait orang yang tidak
menemukan air atau tanah untuk bersuci, maka ia boleh langsung salat dalam
keadaan tersebut karena darurat, dan tidak boleh baginya menyentuh mushaf serta
membawanya karena tidak adanya kondisi darurat untuk melakukannya.
8. Jika seorang yang berhadas khawatir terhadap suatu mushaf yang akan basah
tenggelam, terbakar, terkena najis, atau dipegang oleh orang kafir, dan tidak

19
memungkinkan baginya bersuci maka boleh ia mengambil mushaf tersebut meski
dalam keaadan berhadas karena kondisi darurat.12
Demikian beberapa pandangan mazhab Syafi’i yang dijelaskan oleh Imam
Nawawi al-Syafi’i terkait hukum menyentuh mushaf tanpa wudu atau seorang yang
berhadas.

Hukum Menyentuh Mushaf Tanpa Wudu Menurut Mazhab Hanbali

Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali berkata dalam kitabnya, al-Muqni’ fi


Fiqhi al-Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani, bahwa barangsiapa yang berhadas
maka diharamkan baginya salat, tawaf, dan menyentuh mushaf.
Pendapat tersebut berdalilkan firman Allah dalam Q.S. al-Waqi’ah/56: 79,
‫ُّسُه ِإاَّل ٱْلُم َطَّهُروَن‬
‫اَّل َيَم ٓۥ‬

Artinya: “Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan.”

Maksudnya yakni tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an, dimana ayat ini
datang dengan konteks berita namun mengandung makna pelarangan.

Manṣur bin Yunus al-Buhuti al-Ḥanbali menjelaskan bahwa diharamkan bagi


orang yang berhadas menyentuh mushaf atau sebagiannya, termasuk kulit sampulnya,
atau pinggirannya, dengan mengunakan tangan atau bagian tubuh lainnya tanpa
pembatas. Tidak terlarang untuk membawanya mengunakan sesuatu yang
menggantungnya atau di dalam sebuah kantong, atau di dalam lengan baju, dengan
tetap tidak menyentuhnya. Tidak terlarang membolak-balikkan lembaran mushaf
mengunakan lengan baju atau tongkat, begitupula tidak terlarang bagi anak kecil.

Beliau menjelaskan lebih lanjut beberapa masalah terkait hukum menyentuh


mushaf bagi orang yang berhadas menurut pandangan mazhab Hanbali melalui
karyanya yang lain yaitu kitab Daqaiqu Uli al-Nuha lisyarḥi al-Muntaha sebagai
berikut:

1. Larangan menyentuh mushaf bagi orang yang berhadas juga mencakup kulit
sampulnya, dan catatan-catatan pinggirnya, serta bagian kertas yang tidak ada
tulisannya; karena semua itu menyatu dalam sebuah mushaf dan dijual bersamaan.

12
Saifullah Bin Anshor et al., “Menyentuh Mushaf Tanpa Wudu Dalam Perspektif Mazhab Syafi’i Dan
Hanbali,” BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam 2, no. 2 (2021): 221–31, h. 227-228.

20
2. Larangan menyentuh mushaf ini berlaku baik menggunakan tangan atau bagian
tubuh yang lain seperti dada; karena segala sesuatu yang bertemu (terkena) benda
lainnya dikatakan bahwa ia telah menyentuhnya.

3. Menyentuh mushaf bagi orang yang berhadas diharamkan jika tidak ada lapisan
penghalang, adapun jika menggunakan penghalang maka tidak diharamkan;
karena jika menggunakannya maka yang disentuh adalah penghalangnya bukan
mushaf secara langsung.

4. Tidak diharamkan bagi orang yang berhadas membawa mushaf dengan sesuatu
yang menggantungnya, atau di dalam kantong, dan di lengan baju, dengan syarat
tidak menyentuhnya, seperti membawanya di atas kendaraan; karena yang
dilarang adalah menyentuh, sedangkan membawa tidak berarti menyentuh.

5. Tidak diharamkan bagi seorang yang berhadas menyentuh mushaf menggunakan


lengan bajunya, atau dengan tongkat seperti lidi dan sebagainya; dengan alasan
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (poin ke-3).13

‘Ali bin Sulaiman al-Mardawi al-Ḥanbali mengatakan bahwa orang yang berhadas
dibolehkan secara mutlak dalam mazhab Hanbali menyentuh mushaf setelah bersuci
dengan cara bertayamum karena tidak mendapati air.

13
Saifullah Bin Anshor et al. h. 229-230.

21

Anda mungkin juga menyukai