WUDHU
Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh
Disusun Oleh:
Kelompok 1
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan puja dan puji syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat meneyelesaikan makalah berjudul “Wudhu” ini dalam
waktu yang telah ditentukan. Harapan kami adalah bahwa makalah ini, yang
membahas tentang Wudhu dapat menjadi sumber referensi bagi mereka yang
tertarik dalam karya penulis tersebut. Kami juga berharap bahwa pembaca akan
memperoleh wawasan baru setelah membaca makalah ini.
Kami sadar bahwa masih ada ruang untuk penyempurnaan, terutama dalam
makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat terbuka terhadap kritik dan saran
kontruksif dari pembaca, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas makalah ini.
Kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
mutlak harus dipahami sebagai bekal mencari keridaan Allah SWT.
Pembelajaran fiqih bertujuan untuk membekali peserta didik agar dapat
mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci
dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan aqli. Pengetahuan dan
pemahaman tersebut diharapkan menjadi pedoman hidup dalam kehidupan
pribadi dan sosial.
4. Konteks pembelajaran mata pelajaran fiqih dapat diasumsikan bahwa
semakin tinggi prestasi belajar peserta didik maka akan semakin baik pula
pemahaman dan pengetahuan peserta didik tentang pengamalan ibadah
yang baik dan benar sesuai tuntunan agama Islam. Proses pendidikan yang
dilakukan pendidik diarahkan untuk membekali peserta didik dengan
pengetahuan, pemahaman, penghayatan pengalaman ajaran islam.
5. Secara kenyataannya materi pelajaran fiqh mempunyai kontribusi sebagai
peningkat motivasi peserta didik agar menerapkan materi fiqhdalam
kehidupan sehari-hari. Pada pelajaran fiqh lebih menekankan pada
pemahaman yang benar mengenai ketentuan hukum dalam Islam serta
kemampuan tata cara melaksanakan ibadah yang benar dan baik dalam
kehidupan sehari-hari.
6. Dengan begitu untuk membantu peserta didik dalam melaksanakan
pengamalan ibadah dengan mudah, maka guru perlu memberikan
bimbingan dan arahan kepada peserta didik melalui proses pembelajaran
di sekolah yakni melalui kegiatan praktek ibadah secara langsung yang
dipimpin oleh guru yang sekaligus menjadi model pada saat kegiatan
berlangsung.
7. Pada prestasi belajar peserta didik sangat berpengaruh terhadap
pengamalan ibadahnya. Idealnya adalah peserta didik yang memiliki nilai
baik dalam mata pelajaran Fiqih seharusnya juga aktif dalam pengamalan
ibadahnya. Sebelumnya sudah ada penelitian yang terkait pemahaman
materi fiqh wudhu dengan praktik wudhu.
Setiap kegiatan Ibadah umat Islam pasti melakukan membersihkan
(thaharah) terlebih dahulu mulai dari Wudhu, Mandi ataupun tayyamum dan tak
2
banyak umat Islam sendiri belum mengerti ataupun udah mengerti tapi dalam
praktiknya menemui sebuah masalah ataupunkeraguan atas hal yang
menimpanya. Disini kami ingin membahas serta mengulas lagi tentang hal
tersebut.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Wudhu
Secara bahasa kata wudhu ( )الوضوءdalam bahasa Arab berasal dari kata al-
wadha'ah ( )الوضاءةkata ini bermakna an-Nadhzafah ( )النظافةyaitu kebersihan.
Imam an-Nawawi (w. 676 H) mengatakan dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-
Muhadzdzab: وأما الوضوء فهو من الوضاءة ابملد وهي النظافة. Adapun secara istilah syar’i
menurut Imam Asy-Syirbini (w. 977 H) dalam kitab Mughnil Muhtaj Ilaa
Ma’rifati Ma’aani Alfadzi al-Minhaj mengatakan: وأما يف الشرع فهو أفعال خمصوصة
أو استعمال امالء يف أعضاء خمصوصة مفتتحا ابلنية. مفتتحة ابلنية. Adapun wudhu menurut
istilah syar’i adalah aktifitas khusus yang diawali dengan niat atau aktifitas
menggunakan air pada anggota badan khusus yang diawali dengan niat.
Wudhu merupakan suatu hal yang tiada asing bagi setiap muslim, sejak kecil
telah mengetahuinya bahkan telah mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu
yang telah kita lakukan selama bertahun-tahun atau bahkan telah puluhan tahun
itu telah benar sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita Muhammad
shallallahu ‘alaihi was sallam? Karena suatu hal yang telah menjadi konsekuensi
dari dua kalimat syahadat bahwa ibadah harus ikhlas mengharapkan ridho Allah
dan sesuai sunnah Nabi SAW. Demikian juga telah masyhur bagi kita bahwa
wudhu merupakan syarat sah sholat, yang mana jika syarat tidak terpenuhi maka
tidak akan teranggap atau terlaksana apa yang kita inginkan dari syarat tersebut.
Sebagaimana sabda Nabi yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi was
sallam:
« َ ضأ َ َصالَة ُ َم ْن أ َ ْحد
َّ ث َحتَّى يَت ََو َ » الَ ت ُ ْقبَ ُل
“Tidak diterima sholat orang yang berhadats sampai ia berwudhu”.
Demikian juga dalam juga Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada kita
dalam KitabNya,
س ُحوا بِ ُر ُءو ِس ُك ْم َوأ َ ْر ُجلَ ُك ْم ِ ِص َالةِ فَا ْغ ِسلُوا ُو ُجو َه ُك ْم َوأَ ْي ِديَ ُك ْم إِلَى ْال َم َراف
َ ق َوا ْم َّ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا إِذَا قُ ْمت ُ ْم إِلَى ال
ِإ َلى ْال َك ْعبَي ِْن
4
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS Al Maidah [5]:6).
Dari Humran bekas budak Utsman, bahwa bin Affan r.a. meminta air
wudhu'. (Setelah dibawakan), ia berwudhu', ia mencuci kedua telapak
tangannya tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam
hidungnya, kemudian mencuci wajahnya tiga kali, lalu membasuh tangan
kanannya sampai siku tiga kali, kemudian membasuh tangannya yang kiri tiga
kali seperti itu juga, kemudian mengusap kepalanya lalu membasuh kakinya
yang kanan sampai kedua mata kakinya tiga kali kemudian membasuh yang kiri
seperti itu juga. Kemudian mengatakan, "Saya melihat Rasulullah saw. (biasa)
berwudhu' seperti wudhu'ku ini lalu Rasulullah bersabda, "Barang siapa
berwudhu' seperti wudhu'ku ini kemudian berdiri dan ruku' dua kali dengan
sikap tulus ikhlas, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." Ibnu Syihab
berkata, "Adalah ulama-ulama kita menegaskan, ini adalah cara wudhu' yang
paling sempurna yang (seyogyanya) dipraktikkan setiap orang untuk shalat."
(Muttafaq 'alaih : Muslim I:204 no:226, dan ini redaksinya, Fathul Bahri I:266
no:164, 'Aunul Ma'bud I:180 no:106 dan Nasa'i I:64).
5
niat karena tidak ada dalil yang shahih dari Nabi saw. yang
menganjurkannya.
b. Mengucapkan basmalah, karena ada hadits Nabi saw., " Tidak sah shalat
bagi orang yang tidak berwudhu' (sebelumnya) dan tidak sah wudhu' bagi
orang yang tidak menyebut, Bismillah" (sebelumnya)." (Hadits hasan:
Shahihu Ibnu Majah no: 320 'Aunul Ma'bud I:174 no:101 dan Ibnu
Majah I:140 no:399).
c. (Di samping itu, ada dua riwayat lain yang menerangkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda, "Tawadhdha-uu-bibismillahi (Berwudhu'lah
dengan (menyebut) nama Allah," Lihat Nasai'i, kitab thaharah no: 61
bab: mengucapkan basmallah ketika akan berwudhu', dan Musnad Imam
Ahmad.
d. Muwalah (Berturut-turut) tidak diselingi oleh pekerjaan lain,
berdasarkan hadits Khalid bin Ma'dan, "Bahwa Nabi saw. pernah melihat
seorang laki-laki tengah mengerjakan shalat, sedang di punggung
kakinya dan sebesar uang dirham yang tidak tersentuh air wudhu', maka
Nabi saw. menyuruhnya agar mengualngi wudhu' dan shalatnya."
(Shahih: Shahih Abu Daud no: 161 dan 'Aunul Ma'bud I: 296 no:173)
6
mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku
dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kakimu." (Al-Maaidah [5]: 6).
Adapun berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam
hidung) termasuk bagian dari muka sehingga wajib dilakukan karena Allah
Ta’ala telah memerintahkan di dalam kitab-Nya yang mulia membasuh
muka. Di samping itu, telah sah dari Nabi saw., beliau terus menerus
melakukan kumur dan istinsyaq setiap kali berwudhu’.
Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh seluruh sahabatnya yang
meriwayatkan dan menerangkan tata cara wudhu’ Nabi saw., sehingga
secara keseluruhan itu menunjukkan bahwa membasuh wajah yang
diperintahkan di dalam al-Qur’an meliputi berkumur-kumur dan istinsyaq
(as-Sailal Jarrar I:81)
Lagi pula ada sabda Nabi saw. yang memerintah berikumur-kumur dan
istinsyaq memasukkan air ke dalam hidung.
“Apabila seorang di antara kamu berwudhu’, maka masukkanlah air ke
dalam hidungnya, lalu keluarkanlah!” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir
no:443, ‘Aunul Ma’bud I:234 no:140 dan Nasa’i I:66).
Dan sabda beliau saw. yang lain, “Bersungguh-sungguhlah dalam
melakukan istinsyaq, kecuali sedang berpuasa.” (Shahih: Shahih Abu
Daud no:129 dan 131, Aunul Ma’bud I:236 no: 142 dan 144).
Dalam hadits yang lain, beliau saw. bersabda juga, “Apabila kamu
berwudhu’, maka hendaklah berkumur-kumur.” (Shahih: sama dengan di
atas).
Adapun tentang wajibnya mengusap seluruh kepala, yaitu karena perintah
mengusap kepala di dalam Al-Qur’an bersifat mujmal (global), maka
bayan (penjelasannya) dikembalikan kepada sunnah Nabi saw. Sudah
tegas dalam riwayat Bukhari, Muslim dan selain keduanya bahwa Nabi
saw. mengusap seluruh kepalanya. Dan dalam hal ini terdapat dalil yang
tegas yang menunjukkan wajibnya mengusap seluruh kepala secara
sempurna.
7
Jika ada yang berpendapat, bahwa ada riwayat yang shahih dari al-
Mughirah, bahwa Nabi saw. pernah mengusap ubun-ubunnya dan di atas
surbannya?
Maka jawabannya: Rasulullah saw. mencukupkan mengusap di atas ubun-
ubunnya, karena beliau menyempurnakan dengan mengusap sisa
kepalanya di atas surbannya. Dan, penulis berpendapat demikian dan di
dalam riwayat al-Mughirah tersebut tidak terdapat syarat yang
menunjukkan bolehnya mengusap hanya di atas ubun-ubun saja atau
sebagian kepala saja tanpa menyempurnakan di atas surbannya. (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir II:24 dengan sedikit perubahan redaksi).
Walhasil, wajib mengusap seluruh kepala. Pengusap kepala jika mau
boleh, mengusap di atas kepala saja atau di atas surban saja atau di atas
kepala dan dilanjutkan di atas surban, ketiga cara tersebut shahih dan kuat
(pernah dilakukan oleh Nabi saw.)
e. Adapun perihal dua telinga termasuk bagian dari kepala sehingga wajib pula
diusap berdasarkan pada sabda Nabi saw “Dua telinga itu termasuk kepala.”
(Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 357 dan Ibnu Majah I:152 no:443).
f. Menyela-nyelakan air pada jenggot, Dari Anas bin Malik r.a. bahwa
Rasulullah saw. apabila berwudhu’, mengambil segenggam air, lalu
memasukkannya ke belakang dagu, kemudian menyela-nyelakannya di
antara jenggotnya, seraya bersabda, “Beginilah yang Rabbku ‘Azza wa Jalla
Perintahkan kepadaku.” (Shahih: Irwa’ul Ghalil no: 92. ‘Aunul Ma’bud I:
243 no:45, dan Baihaqi I:54).
g. Menyela-nyelakan air pada jari-jemari tangan dan kaki, Sebagaimana yang
ditegaskan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sempurnakanlah wudhu’ dan
sela-selakanlah (air) di antara jari-jemari dan bersungguh-sungguhlah
dalam melakukan instinsyaq kecuali kamu dalam keadaan puasa.” (Shahih:
Shahih Abu Daud no:129 dan 131 dan ‘Aunul Ma’bud I: 236 no:142 dan
144).
E. Sunnah-Sunnah Wudhu' (Hal-Hal yang Disunahkan Ketika Berwudhu')
8
1. Siwak, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Kalaulah sekiranya aku tidak (khawatir) akan
memberatkan umatku, niscaya kuperintahkan mereka bersiwak setiap kali
wudhu.” (Shahih: Shahihul Jammi no:5316 dan al-Fathur Rabbani I:294
no:171)
2. Mencuci kedua telapak tangan tiga kali pada awal wudhu’, sebagaimana
yang telah diriwayatkan dari Utsman bin Affan r.a. yang mengisahkan
wudhu’ Nabi saw. di mana dia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali.
3. Kumur-kumur dan instinsyaq sekali jalan, tiga kali:
“Dari Abdullah bin Zaid r.a. tentang dia mengajarkan (tata cara) wudhu’
Rasulullah saw., di mana dia berkumur-kumur dan instisyaq dari satu
telapak tangan. Dia berbuat demikian (sebanyak) tiga kali.” (Shahih:
Mukhtashar Muslim no:125, dan Muslim I:210 no:235).
4. Bersungguh-sungguh dalam berkumur-kumur dan istinsyaq: kecuali bagi
orang yang berpuasa, berdasarkan hadits Nabi saw: “Bersungguh-
sungguhlah dalam beristinsyaq, kecuali kamu dalam keadaan berpuasa.”
(Shahih: Shahih Abu Daud no:129 dan 131, ‘Aunul Ma’bud I:236 no:142
dan 144).
5. Mendahulukan anggota wudhu’ yang kanan daripada yang kiri karena ada
hadits Aisyah r.a. yang mengatakan, “Adalah Rasulullah saw. mencintai
mendahulukan anggota yang kanan dalam hal mengenakan alas kaki,
menyisir, bersuci dan dalam seluruh ihwahnya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul
Bari I: 269 no:168, Muslim I: 226 no:268, Nasa’i I:78). Di samping itu
hadits Utsman yang menceritakan tata cara wudhu’ Nabi saw. di mana dia
membasuh anggota yang kanan, lalu yang kiri.
6. Menggosok, karena ada hadits Abdullah bin Zaid yang mengatakan,
”Bahwa Nabi saw. pernah dibawakan dua sepertiga mud (air), kemudian
beliau berwudhu’, maka beliapun menggosok kedua hastanya.” (Sanadnya
shahih: Shahih Ibnu Khuzaimah I:62 no:118).
7. Membasuh tiga kali, tiga kali, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
Utsman bin Affan ra (pada awal pembahasan wudhu’) bahwa Nabi SAW
9
berwudhu’ tiga kali, namun ada juga riwayat yang sah yang menyatakan,
”Bahwa Nabi saw. pernah berwudhu’ satu kali satu dan kali dua kali dua
kali.” (Hasan shahih: Shahih Abu Daud no:124, Fathul Bari I:258 no:158
dari hadits Abdullah bin Zaid ‘Aunul Ma’bud I:230 no:136, Tirmidzi I:31
no:43 dari hadits Abu Hurairah).
Dianjurkan pula kadang-kadang mengusap kepala lebih dari sekali (tiga
kali) karena ada riwayat, dari Utsman bin Affan r.a. bahwa ia pernah
mengusap kepadanya tiga kali seraya berkata, ”Saya pernah melihat
Rasulullah saw. berwudhu’ (dengan mengusap kepala) begini.” (Hasan
Shahih: Shahih Abu Dawud no:101 dan ‘Aunul Ma’bud I:188 no:110).
8. Tertib, karena kebanyakan cara wudhu’ Rasulullah saw. selalu dengan tertib
sebagaimana yang telah disampaikan sejumlah sahabat yang meriwayatkan
wudhu’ beliau saw. Akan tetapi, ada riwayat yang sah dari al-Miqdam bin
Ma’dikariba ia berkata:
“Bahwa Rasulullah saw. pernah dibawakan air wudhu’, lalu beliau
berwudhu’ membasuh kedua telapak tangannya tiga kali dan membasuh
wajahnya tiga kali, kemudian membasuh kedua hastanya tiga kali,
kemudian berkumur-kumur dan mengeluarkan air yang telah dimasukkan
ke dalam hidung tiga kali, kemudian mengusap kepalanya dan dua
telinganya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no:112 dan ‘Aunul Ma’bud I:211
no:121).
9. Berdo’a sesudah wudhu’. Sebagaimana yang dijelaskan dalam sabda Nabi
saw. “Tak seorangpun di antara kalian yang berwudhu’ dengan sempurna,
lalu mengucapkan (do’a) “Asyhadu allaa ilaaha illallahu wahdahu laa
syariika lah, wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu wa rasuuluh” (Aku
bersaksi bahwa tiada Ilah yang patut diibadahi) keuali Allah semata tiada
sekutu bagi-Nya; dan aku bersaksi, bahwa Muhammad hamba dan Rasul-
Nya).” melainkan pasti dibukalah baginya pintu-pintu surga yang delapan,
ia boleh masuk dari pintu mana saja yang dikehendakinya.” (Shahih:
Mukhtasharu Muslim No: 143 Muslim 1:209 no:234).
10
Kemudian Imam Tirmidzi menambahkan, “Allahummaj'alni minat
tawwaabiina waj'ani minal mutathahiriin (Ya, Allah, jadikahlah kami
termasuk orang-orang yang tekun bertaubat dan jadikahlah kami termasuk
orang-orang yang rajin bersuci).” (Shahih: Shahih Tirmidzi no:48 dan
Tirmidzi I:38 no:55)
10. Dan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwasannya Nabi bersabda, ”Barang siapa
berwudhu’ lalu membaca, ”Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji
bagi-Mu aku bersaksi bahwasannya tiada sesembahan yang sebenarnya
kecuali Engkau, aku mohon ampunan dan bertaubat pada-Mu", niscaya
dicatat pada sebuah lembaran kemudian dicetak dengan sebuah cetakan lalu
tidak dipecahkan hingga hari kiamat." (Hadits Shahih, lihat at-Targhib
no.220, al-Hakim I/564, dan tidak akan ada hadits shahih mengenai do’a
(bacaan-bacaan) ketika sedang berwudhu’.
a. Apa saja yang keluar dari kemaluan dan dubur, berupa kencing, berak, atau
kentut. Allah SWT berfirman yang artinya, "Atau kembali dari tempat
buang air." (Al-Maidah:6)
Rasulullah saw. bersabda, "Allah tidak akan menerima shalat seorang di
antara kamu yang berhadas sampai ia berwudhu' (sebelumnya)." Maka,
seorang sahabat dari negeri Hadramaut bertanya. "Apa yang dimaksud
hadas itu wahai Abu Hurairah?" Jawabnya, "Kentut lirih maupun kentut
keras." (Muttafaqun 'alaih Fathul Bari I: 234, Baihaqi I:117, Fathur
Robbani, Ahmad II:75 no:352) Dan hadits ini menurut sebagian mukharrij
selain yang disebut di atas tidak ada tambahan (tentang pernyataan orang
dari Hadramaut itu), Muslim I:204 no:225, 'Aunul Ma'bud I:87 no:60, dan
Tirmidzi I: 150 no:76.
"Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata, "Mani, wadi dan madzi (termasuk hadas).
Adapun mani, cara bersuci darinya harus dengan mandi besar. Adapun madi
dan madzi," maka dia berkata, "cucilah dzakarmu, kemaluanmu, kemudian
11
berwudhu'lah sebagaimana kamu berwudhu' untuk shalat!" (Shahih: Shahih
Abu Daud no:190, dan Baihaqi I:115).
b. Tidur pulas sampai tidak tersisa sedikitpun kesadarannya, baik dalam
keadaan duduk yang mantap di atas ataupun tidak. Karena ada hadits
Shafwan bin Assal, ia berkata, "Adalah Rasulullah saw. pernah menyuruh
kami, apabila kami melakukan safar agar tidak melepaskan khuf kami
(selama) tiga hari tiga malam, kecuali karena janabat, akan tetapi (kalau)
karena buang air besar atau kecil ataupun karena tidur (pulas maka cukup
berwudhu')." (Hasan: Shahih Nasa'i no:123 Nasa'i I:84 dan Tirmidzi I:65
no:69).
c. Pada hadits ini Nabi saw. menyamakan antara tidur nyenyak dengan kencing
dan berak (sebagai pembatal wudhu').
"Dari Ali r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Mata adalah pengawas
dubur-dubur; maka barangsiapa yang tidur (nyenyak), hendaklah
berwudhu'." (Hasan: Shahih Ibnu Majah no:386. Ibnu Majah I:161 no:477
dan 'Aunul Ma'bud I:347 no:200 dengan redaksi sedikit berlainan). Yang
dimaksud kata al-wika' ialah benang atau tali yang digunakan untuk
menggantung peta. Sedangkan kata "as-sah" artinya: "dubur" Maksudnya
ialah "yaqzhah" (jaga, tidak tidur) adalah penjaga apa yang bisa keluar dari
dubur, karena selama mata terbuka maka pasti yang bersangkutan
merasakan apa yang keluar dari duburnya. (Periksa Nailul Authar I:242).
Hilangnya kesadaran akal karena mabuk atau sakit. Karena kacaunya
pikiran disebabkan dua hal ini jauh lebih berat daripada hilangnya kesadaran
karena tidur nyenyak.
d. Memegang kemaluan tanpa alas karena dorongan syahwat, berdasarkan
sabda Nabi saw., "Barangsiapa yang memegang kemaluannya, maka
hendaklah berwudhu'." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:388, 'Aunul Ma'bud
I:507 no:179, Ibnu Majah I:163 no:483, 'Aunul Ma'bud I:312 no:180 Nasa'i
I:101, Tirmidzi I:56 no:56 no:85).
Betul, ia memang bagian dari anggota badanmu, bila sentuhan tidak diiringi
dengan gejolak syahwat, karena sentuhan model seperti ini sangat
12
memungkinkan disamakan dengan menyentuh anggota badan yang lain. Ini
jelas berbeda jauh dengan menyentuh kemaluan karena termotivasi oleh
gejolak syahwat. Sentuhan seperti ini sama sekali tidak bisa diserupakan
dengan menyentuh anggota tubuh yang lain karena menyentuh anggota
badan yang tidak didorong oleh syahwat dan ini adalah sesuatu yang amat
sangat jelas, sebagaimana yang pembaca lihat sendiri (Tamamul Minnah
hal:103).
e. Makan daging unta sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bara' bin 'Azib
ra ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, "Berwudhu'lah disebabkan
(makan) daging unta, namun jangan berwudhu' disebabkan (makan) daging
kambing!" (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:401, Ibnu Majah I:166 no:494,
Tirmidzi I:54 no:81, 'Aunul Ma'bud I:315 no:182).
Dari Jabir bin Samurah r.a. bahwa ada seorang sahabat bertanya kepada
Nabi saw. apakah saya harus berwudhu' (lagi) disebabkan (makan) daging
kambing? Jawab Beliau, "Jika dirimu mau, silakan berwudhu'; jika tidak
jangan berwudhu' (lagi)." Dia bertanya (lagi) "Apakah saya harus berwudhu'
(lagi) disebabkan (makan) daging unta?" Jawab Beliau, "Ya berwudhu'lah
karena (selesai makan) daging unta!" (Shahih Mukhtashar Muslim no:146
dan Muslim I:275 no:360).
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
14
DAFTAR PUSTAKA
15