Anda di halaman 1dari 24

STRATEGI PEMBAHARUAN FIQH DI INDONESIA

Dosen Pembinbing

Penny Respita M.Pd

Oleh:

Ahmad Assegaf (14310103)

Sunniyah (16310077)

N. Alifah khoirun Nisa’ (16310159)

Habibi Firmansyah (16310180)

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM


MALANG

TAHUN AJARAN 2016/2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam
senantisa tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yaitu Ustadzah Peny
Respita M.Pd, atas bimbingannya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini,
tak lupa pula kepada teman-teman yang terlibat dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan
agar dalam pembuatan makalah selanjutnya dapat lebih baik. Harapan kami,
semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kami pada khususnya dan reka-
rekan,pada,umumnya saya ucapakan terimakasih.,

Malang, 18 November 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................. ii

PENDAHULUAN......................................................................................... iii

A. Latar Belakang................................................................................... iii


B. Rumusan Masalah.............................................................................. iii
C. Tujan.................................................................................................. iv
PEMBAHASAN............................................................................................ 1

A. MEMPERHATIKAN ISTIHSAN........................................................... 1
Pengertian................................................................................................ 1
Macam-macam......................................................................................... 1
B. MEMPERHATIKAN MASLAHAH MURSALAH............................... 2
Pengertian................................................................................................ 2
Syarat-syarat............................................................................................ 4
C. MEMPERHATIKAN URF (Adat Istiadat)............................................. 4
Batasan Ijtihaj.......................................................................................... 7
D. MEMPERHATIKAN ILLAH ZAMAN.................................................... 9
Pengertian................................................................................................ 9
Pemilu...................................................................................................... 9
Transplantasi............................................................................................ 11
E. MEMPERHATIKAN DINAMIKA PEMBAHARUAN FIQH DAN
DAMPAK POSITIFNYA BAGI INDONESIA...................................... 15
Dinamika pembaharuan Fiqh di Indonesia.............................................. 15
Dampak positifnya bagi Indonesia........................................................... 15
PENUTUP................................................................................................ 17
A. Kesimpulan........................................................................................ 17
B. Saran.................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 19

ii
BAB

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara bahasa Fiqh berarti al-fahmu, yang berarti pemahaman atau
pengertian. Adapaun secara Istilah Fiqh adalah

‫العهلم باألحكام الشرعية العلمية المكتسب من أدلتها التفصيلية‬

”suatu ilmu untuk memahami humum-humum syara’ yang bersifat amaliyah yang
dikaji melalui dalil-dalilnya yang terperinci (zahroh, 1958: 6)1

Dengan demikian Fiqh merupakan ketentuan hukum yang bersifat


amaliy(operasional). Dalam arti bahwa ilmu tersebut merupakan ketentuan yang
berhubungan dengan tingkah laku seseorang yang telah sampai pada derajat
Mukallaf, yakni seseorang yang sudah terkena beban tanggung jawab atas apa
yang telah dia lakukan, baik berupa perkataan atau tindakan yang lain.

Selain itu, sebagai sebuah disiplin keilmuan, Ilfu fiqh akan terus dan harus
berkembang sesuai tuntutan zaman. Sekalipun demikian, perubahannya dalam
sejarah merupakan dinamika. Kadang-kadang ia berubah sangat pesat, adakalanya
pula terlihat lambat. Bahkan tidak jarang tampak statis. Padahal tuntutan atas
perkembangannya merupakan konsekuensi logis dari bebab dan tuntutan
perubahan masyarakat dan umat Islam itu sendiri.

Ilmu Fiqh yang terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman yang
dalam perkembangannya tersebut memandang dari berbagai aspek, yaitu istihsan,
maslahah mursalah, urf dan Illah zaman. Adapula dinamika pembaharuan Fiqh
dan dampak positifnya bagi Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembaharuan Fiqh di tinjau dari istihsan
2. Bagaimana pembaharuan Fiqh di tinjau dari Maslahah mursalah
3. Bagaimana pembaharuan Fiqh di tinjau dari adat Istiadat (Urf)
4. Bagaimana pembaharuan Fiqh di tinjau dari Illah Zaman
1
Kaum santri menjawab problematika social (Ahmad Munjin Nasih, S.pd, M.Ag) Hal. 15

iii
5. Bagaimana pembaharuan Fiqh di tinjau dari Dinamika pembaharuan
Fiqh dan dampak positif bagi Indonesia
C. Tujuan
6. Mengetahui pembaharuan Fiqh di tinjau dari istihsan
7. Mengetahui pembaharuan Fiqh di tinjau dari Maslahah mursalah
8. Mengetahui pembaharuan Fiqh di tinjau dari adat Istiadat (Urf)
9. Mengetahui pembaharuan Fiqh di tinjau dari Illah Zaman
10. Mengetahui pembaharuan Fiqh di tinjau dari Dinamika pembaharuan
Fiqh dan dampak positif bagi Indonesia

iv
BAB

PEMBAHASAN

A. MEMPERHATIKAN ISTIHSAN

Pengertian

Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik, sedangkan istihsan


menurut istilah Ushul fiqh seperti di kemukakan oleh Wahab az zuhaili, terdiri
dari dua definisi:

‫ترجيع قياس خفي على قياس جلي بناء على دليل‬

Memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu.

‫ أو قاعدة عامة بناء على دليل خاص يقتضى ذلك‬،‫استثناء مسألة جزئية من أصل كلي‬

Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada


petunjuk untuk hal tersebut.

Istihsan yang pertama itu di sebut istihsan Qiyasi, sedangkan yang ke dua di
sebut istihsan Istisnaiy.

A) Istihsan qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan


hukum yang didasarkankepada qiyas Jali dengan ketentuan hukum yang
ditujukan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk
mengalihkan hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksud adalah
kemaslahatan.
B) Istihsan Istisnaiy adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan
hukum yang yang berdasarkan prinsip-prinsip khusus. Istihsan bentuk
kedua ini terbagi menjadi beberapa macam, diantaranya:
1. Istihsan bin-nas, adalah pengalihan hukum dari ketentuan yang umum
kepada ketentuan yang lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nash
yang mengecualikannya, baik nash tersebut al-quran atau Sunnah.

1
Contohnya, menurut kaidah umum makan disiang hari pada bulan
Ramadhan itu puasanya batal, namun ada pengecualian dalam nash hadis
Rasulullah bahwasanya, jika dikarenakan lupa maka tidak batal dan boleh
melanjutkan puasanya.
‫عن ابي هريرة رضي هللا عنه عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال إذا نسي فأكل وشرب فليتم صومه فإنما‬
)‫أطعمه هللا وسقاه (رواه البخارى ومسلم‬

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. Bersabda: “ barang siapa lupa, padahal ia
sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, hendaklah menyelesaikan
puasanya. Hanya saja Allah yang memberinya makan dan minum”. (HR.
Bukhari dan Muslim)

2. Istihsan bi al-Ijma '


Istihsan bi al-Ijma' adalah pengalihan hukum dari ketentuan umum
kepada ketentuan lain. Contohnya, pemesanan untuk membuat lemari.
Menurut kaidah umum cara seperti ini tidak di perbolehkan, karena pada
waktu akad pesanan, barang yang akan di jual belikan tersebut belum ada.
Memperjual belikan benda yang belum ada waktu melakukan akad
dilarang dala hadis Rasulullah. (HR. Abu Daud). Namun hal itu di
perbolehkan sebagaihukum pengecualian, karena tidak seorang pun ulama
yang membantah keberlakuannya dalam masyarakat sehingga dianggap di
sepakati (Ijma’).
3. Istihsan bi al-Urf
Istihsan bi al-Urf adalah , hukum dari prinsip syariah yang umum,
berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Contohnya, menurut ketentuan
umum perwakafan, seperti dikemukakan oleh Abdul karim Zaidan, wakaf
hanya di perbolehkan pada harta benda yang bersifat kekal dan berupa
benda yang tidak bergerak seperti tanah. Dasar diperbolehkannya
mewakafkan benda bergerak itu hanya adat kebiasaan diberbagai negeri
yang membolehkan cara wakaf tersebut.2

2
Usul Fiqh (prof.Dr.H.Satria Effendi,M.Zein,M.A) Hal.142-145

2
B. MEMPERHATIKAN MASLAHAH MURSALAH

Pengertian maslahah mursalah adalah : memberikan hukum syara kepada


sesuatu kasus yang tidak terdapat dalam nash atau ijma’ atas dasar memelihara
kemaslahat-an.3

Al-Syaukani berpendapat bahwa segala sesuatu yang mengandung


kemaslahatan dapat dipegang sebagai solusi hukum selama kemaslahatan itu
sesuai dengan tujuan syariaat, dapat dibenarkan oleh akal sehat, dan diperlukan
dalam kehidupan ummat islam umum.

Atas dasar kemaslahatan iniperlu adanya akta nikah dalam suatu


perkawinan, karena dengan akta nikah itu wanita dapat menggungat laki laki
dalam masalah perkawinan, nafkah, kewarisan, dan sebagainya. Contoh lain juga
diperlukan adanya akta atas pemelikan tanah demi terpeliharanya tanah tersebut
dari persengketaan. 4

Berbicara tentang kemaslahan, ada tiga macam kemaslahatan:

1. Kemaslahatan yang ditegaskan oleh Al Qur’an atau Al-Sunah.


Kemaslahatan semacam ini diakui oleh para ulama. Contohnya seprti
hifdzu nafsi, hifdzu mal, dan lain sebagainya.
2. Kemaslahatan yang bertentangan dengan nash syara yang qot’I . jumhur
ulama menolak kemaslahatan semacam ini kecuali Najmuddin Athufi dari
Mazhab Maliki. Adapun dalam hal kemaslahatan yang bertentangan
dengan nash yang dhani, maka terdapat perbedfaan pendapat dikalangan
para ulama.
3. Kemaslahatan yang tidak dinyatakan oleh syara tapi juga tidak tidak ada
dalil yang menolaknya. Inilah yang dimaksud dengan al-mursalah. Bentuk
ketiga ini pun tidak disepakati oleh para ulama. Para ulama yang menolak
penggunaan istihsan juga menolak penggunaan maslahah mursalah ini.
3
Ilmu fiqh penggalian, perkembangan, dan penerapan Hukum Islam(PROF.H.A.DJAZULI)Hal.87
4
Konsep ijthad Al-syaukani relevansinya bagi pembaharuan Hukum Islam di
Indonesia(DR.NASRUN RUSLI)Hal.207

3
Memang menggunakan al-maslahah mursalah tanpa pesyaratan
persyaratan tertentu sangat besar kemungkinan jatuh kepada keiginan hawa
nafsu belaka. Oleh karena itu diperlukan persyratan persyaratan penggunaan
maslahat agar tetap ada nilai nilai syariah.

 Persyaratan persyaratan Al maslahah mursalah


Para ulama dahulu seperti al-Syathubi telah memberikan persyaratan
penggunaan al-mursalah. Persyaratan persyaratan tersebut kemudian
dipetegas oleh ulama yang datang kemudian.
Abd al-Wahab Khallaf dan Abu zahrah memberikan pula persyaratan
penggunaan al-maslahah mursalah. Apabila digabung dari keduanya maka
disimpulkan sebagai berikut
1. Al-maslahah al-muirsalah tidak boleh bertentangan dengan maqashid
syariaah, dalil dalil kulli, semangat ajaran Islam dan dalil dalil juz’I
yang qoth’I wurudl dan dalalah-nya.
2. Kemaslahatan tersebut harus meyakinkan dalam arti harus ada
pembahasan dan penelitian yang rasional serta mendalam sehingga kita
yakin bahwa hal tersebut memberikan manfaat atau menolak
kemudaratan.
3. Kemaslahatan tersebut bersifat umum.
4. Pelaksanaanya tidak menimbulkan kesulitan yang tidak wajar.

C. Memperhatikan adat istiadat

Hukum Islam adalah merupakan hukum yang wajib dipatuhi oleh seluruh
umat Islam di dunia. Ajaran Islam saat ini sudah menyebar ke seluruh dunia,
termasuk di Indonesia. Akan tetapi agama Islam yang lahir di daerah Timur
Tengah dengan hukum Islam yang juga berinteraksi dengan adat istiadat daerah di
sana, akankah selalu bisa diaplikasikan di negara-negara lain yang secara letak
geografi, dan kondisi iklim yang berbeda. Pertanyaan yang kerap kali muncul
dengan hadirnya pula permasalahan yang sangat kompleks yang masing-masing
daerah pastinya berbeda-beda.

4
Adat istiadat di masing-masing negara memang berbeda dengan yang
lainnya dan mempunyai ciri khas tersendiri. Perlu adanya suatu hukum yang
mudah dipahami dan yang sesuai dengan karakteristik suatu daerah, termasuk
Indonesia. Gagasan yang muncul adalah dibutuhkannya sebuah hukum yang
sesuai dengan adat masyarakat, tetapi tidak berlawanan dengan ajaran dasar umat
Islam. Akhirnya muncullah sebuah ide untuk membentuk produk hukum yang
mempunyai jiwa ke-Indonesia-an, yaitu Fikih Indonesia.

Sebelum jauh membahas tentang gagasan Fikih Indonesia, perlu diyakini


terlebih dahulu, bahwa ajaran Islam akan selalu menyesuaikan dengan
perkembangan zaman, namun bukan berarti secara fundamental dan tujuan ajaran
Islam berubah, hanya saja implementasi dan aplikasi yang bisa diubah-ubah.
Dengan menggunakan pendekatanUshul Fiqih, diharapkan bisa melihat dasar dan
pedoman dalam menjawab permasalahan yang ada. Dilengkapi dengan kaidah-
kaidah fiqih yang menjadi acuan dalam menetapkan suatu hukum dari kasus
tertentu akan menambah mudah dalam memahami dan memudahkan menanggapi
gagasan Fikih Indonesia.

Dilihat dari sejarah perkembangan, pemikiran hukum Islam telah dimulai


jauh sebelum kemerdekaan, beberapa cara dan upaya untuk menginkorporasikan
serta mempertimbangkan suatu unsur struktur kebudayaan (adat) ke dalam
rumusan hukum Islam ternyata telah dilakukan oleh banyak kalangan. Para
pemikir hukum Islam di Indonesia fase awal telah mendemonstrasikan secara baik
tata cara menyantuni aspek lokalitas di dalam ijtihâd hukum yang mereka
lakukan. Hasilnya, walaupun tidak sampai muncul seorang mujtahid mustaqil,
tentunya dengan independensi metode penemuan hukum sendiri, kita dapat
melihat lahirnya berbagai karya dengan memuat analisis penemuan hukum yang
kreatif, cerdas, dan inovatif.

Sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam sebelum kemerdekaan,


berbagai cara telah dilakukan oleh setiap pemikir Muslim Indonesia untuk
memadukan antara budaya dan hukum Islam itu sendiri. Mereka telah mencoba
untuk melakukan hal tersebut pada fase awal sejarah negara kita. Salah satu dari
para pemikir Muslim tersebut adalah Hasbi Ash Shiddieqy, seorang pemikir besar

5
di masanya, yang telah menyumbangkan gagasan yang mencerahkan dan
kontroversial di kalangan umat Islam. Maka, dalam makalah ini akan dibahas
biografi singkatnya dan pemikiran pembaruannya.

T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy tercatat merupakan orang pertama yang


menganjurkan agar fikih yang diterapkan di Indonesia adalah fikih yang
berkepribadian Indonesia, yaitu fikih yang sesuai dengan karakter budaya
masyarakat Indonesia5. Pemikiran fikih Indonesia ini pertama kali dikemukakan
oleh Hasbi pada tahun 1940, kemudian ia lontarkan lagi pada tahun 1948, dan
sejak tahun 1961 (pada saat pidato pengukuhan guru besarnya) berusaha
ditawarkan secara lebih intensif.

Menurut Hasbi, supaya fikih dapat dipakai dan dipraktikkan oleh


masyarakat Indonesia, maka bukan saja fikih itu harus mampu memecahkan
persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat dengan adil, tetapi juga harus
mudah dipahami dan tidak terasa asing bagi mereka. Jika tidak demikian,
masyarakat akan meninggalkan fikih dan mencari hukum lain.

Fikih Indonesia sangat mungkin diwujudkan di Indonesia, jika dengan adat


kebiasaan (‘urf) Arab dapat menjadi sumber fikih yang berlakudi Arab, maka adat
kebiasaan (‘urf) Indonesia juga dapat dijadikan sumber fikih yang diterapkan di
Indonesia.

‫العادة محكمة‬

Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di


masyarakat baik di dunia Arab maupun di bagian yang lain. Adat kebiasaan suatu
masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat
tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi dan dilaksanakan atas
dasar kesadaran masyarakat.6 Dalam sejarah hukum Islam Nabi Muhammad
melakukan beberapa sikap terhadap adat kebiasaan masyarakat Arab, yaitu
dengan mengadopsi, merevisi, atau mengganti.

5
Perkembangan metodologi Fiqh di indonesia dan kontribusinya bagi perkembangan hokum
Nasional (Agus Muh najib. Jakarta RI,2011)hal. 57
6
Kaidah-kaidah fiqh (Ahmad DJazuli,Jakarta,karisma Putra Utama,2011)hal.78

6
Adanya gagasan fikih Indonesia ini meniscayakan adanya ijtihad dengan
memperhatikan konteks masyarakat Indonesia dengan segala adat kebiasaannya.
Hasbi memang berpendapat bahwa hukum melaksanakan ijtihad adalah fardlu
kifayah dan harus dilakukan sepanjang masa, walaupun ijtihad tersebut bersifat
juz’i, yaitu ijtihad yang dilakukan hanya pada permasalahan-permasalahan
hukum tertentu7. Dalam upaya ijtihad tersebut, ‘urf menjadi pertimbangan yang
sangat penting, karena sesuatu yang ditetapkan oleh adat sama dengan yang
ditetapkan oleh nash.

Menurut istilah (dalam pembahasan ilmu ushul fiqh), ijtihad adalah


meluangkan kesempatan dalam usaha untuk mengetahui ketentuan-ketentuan
hukum dari dalil syari’at, tegasnya mencurahkan hikmah dan kesungguhan untuk
mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum dari sumber-sumbernya yang pokok8.

Ijtihad hanya diberi ruang gerak terbatas yakni ketika tidak ditemukan
ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam al-Qur'an, sunnah dan ijma’.
Sebagaimana yang dilakukan Mu’adz bin Jabal pada saat pergi ke Yaman. Nabi
bertanya kepada Mu’adz: “Apa yang akan engkau perbuat jika engkau dihadapkan
pada masalah hukum?” Mu’adz mengatakan: “Saya akan menetapkan hukum
berdasarkan Kitabullah”. Nabi bertanya: “Jika engkau tidak mendapatkan
hukumnya dalam Kitabullah?” Mu’adz menjawab: “Saya akan menetapkan
hukum dengan Sunnah Nabi”, lebih lanjut Nabi bertanya: “Jika tidak
menemukannya dalam sunnah Nabi?” Mu’adz menjawab: “Saya akan melakukan
ijtihad dengan pendapatku sendiri”. Kemudian Nabi menepuk dada Mu’adz dan
menyatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan bimbingan utusan
Nabinya”.

Batasan mengenai ijtihad, maka ruang lingkup yang harus diijtihadi adalah tidak
lebih dari:

1. Penetapan satu atau lain makna-makna yang mungkin muncul dalam suatu
kalimat yang mungkin mengandung dua atau lebih penafsiran. Contoh

7
Pengantar Ilmu Fiqh (Hasby Ash Shiddidie, Jakarta buan Bintang,1978)hal.229
8
Pengantar Ilmu Fiqh (Hasby Ash Shiddidie, Jakarta buan Bintang,1978)hal.50

7
ketika Nabi memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan salat di
antara Bani Quraydzah.
2. Qiyas/analogis, berhubungan dengan suatu kasus dengan menqiyaskan
dengan kasus-kasus lain, karena adanya kemiripan dengan kasus terkait
dengan al-Qur'an atau sunnah. Contoh qiyas Ammar yang menqiyaskan
kasus tayammum ketika dalam keadaan janabah dengan mandi, kemudian
ia menggulingkan seluruh badannya dengan bermandi debu.
3. Ijtihad dengan cara melakukan sesuatu yang besar kemungkinan
mendapatkan manfaat, atau melarang melakukan suatu perbuatan yang
mungkin dapat melakukan suatu perbuatan yang mungkin dapat
menjerumuskan ke dalam perbuatan yang salah.

Ijtihad yang dilakukan dalam konteks Indonesia sepatutnya dilakukan


dengan cara kolektif oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu, terutama ahli
hukum Islam dan hukum umum serta ahli yang berkaitan dengan masalah yang
akan dibahas. Seperti contoh pada kasus merokok. Dalam ijtihad pada kasus
merokok ini, maka harus dilakukan ijtihad kolektif dengan mendatangkan ahli
hukum Islam, ahli hukum Indonesia, dan berbagai aspek ilmu, seperti halnya
bidang kedokteran, perekonomian, psikologi, perpajakan dll.

Dengan melakukan ijtihad secara kolektif, tujuannya adalah agar satu


kasus yang dihadapi dapat dilihat dan dinilai dari berbagai aspek, dengan
mengedepankanmashlahah. Menurut Hasbi bahwa penetapan hukum bergantung
pada kemashlahatan manusia, di mana ada kemashlahatan manusia, maka
disitulah sesungguhnya hukum Allah berada. Atas dasar itulah sebuah ketetapan
hukum dapat berubah sesuai dengan adanya perubahan keadaan masyarakat.

D. memperhatikan Illah zaman

Kata Illah dalam metode pengqiyasan hukum dalam ilmu usul fiqh berarti
alasan logis9. Sedangkan zaman berarti waktu atau masa. Jadi bisa di ambil
9
Usul fiqh .(Dr.H.satria efendi.M,Zein.MA)hal.130

8
kesimpulan bahwa Illah zaman dalam pembahasan ini adalah suatu alasan yang
berupa zaman atau waktu tentang pembaharuan suatu hukum fiqh di Indonesia
yang hukum tersebut tidak ada teks atau nash Al Quran atau hadits sebagai
sumber hukum dalam Islam yang menetapkan suatu masalah tersebut. Contoh
dalam hal ini yaitu hukum memilih dalam Pemilihan pemimpin khususnya di
Indonesia, yang mana kalau kita kaji dan mencari hukum memilihnya tersebut
tidak ada nash baik dalam Al-Quran atau hadits yang menerangkan langsung
tentang hukum memilih pemimpin tersebut. akan tetapi melihat dari zaman atau
waktu sekarang yang tidak lagi menggunakan sistem kerajaan dalam
kepememimpinan suatu negara atau kalangan, maka memilih pemimpin dalam
pemilu itu dihukumi fardhu kifayah10, dengan syarat rakyat harus memilihnya
memang dengan hati nurani dan berlandaskan

 Ayat Al-Qur’an
‫وشاورهم في االمر‬
“Bermusyawarahlah dengan mereka dalam suatu perkara”

 Kaidah Ushul Fiqh


‫للوسائل حكم المقاصد‬
” hukum akan penyediaan sarana adalah sama dengan hukum sesuatu yang di
tuju”

‫ماال يتم الواجب إال به فهو واجب‬


“ suatu kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan suatu hal, maka
sesuatu itu hukumnya wajib”.

Selanjutnya juga di kutib dalam kitab jamal ala syarh al manhaj juz V
hlm. 19 syeikh sulaiman Al-Kurdi berpendapat hukum pengangkatan Imam
a’dzom atau khalifah hukumnya fardhu kifayah.

Meskipun yang tertera dalam kitab jamal ala syarh al manhaj juz V hlm.
19 adalah pemilihan khalifah, akan tetapi di pandang dari esensi antara kedua
belah pihak antara khalifah dan pemimpin dimasa sekarang keduanya mempunyai
esensi yang tidak jauh beda yaitu jika khalifah di angkat untuk mewujudkan
10
Kaum santri menjawab problematika sosial (Ahmad munjin nasih. S.Pd, M.Ag) hal: 82

9
perdamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melindungi hak-hak
masyarakat, dan menciptakan kesejahteraan sosial. maka pemilu diadakan juga
dalam rangka mengangkat seorang Presiden dan para wakil rakyat yang tugas-
tugasnya juga tidak kalah pentingnya dengan Khalifah. Semuanya dalam rangka
mewujudkan perdamaian, perllindungan akan hak-hak orang lemah, dan
menciptakan keadilan social. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa
antara pemilu dengan pengangkatan khalifah memiliki kasus hukum yang sama
yaitu fardhu kifayah.

Pengambilan pendapat syekh sulaiman sebagai salah satu dasar


argumentasi merupakan upaya Ilhaq (analogi terhdap pendapat ulama’). Adapaun
wajhul Ilhaq (titik temu analogi) adalah keduanya memiliki kepentingan yang
sama terhadap keberlangsungan bangsa dan Negara. Keduanya diharapkan
mampu mengantarkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
menjadi lebih baik.

Namun demikian, hukum fardhu kiifayah sebagai asal hukum pemilu ini,
suatu saat bias berubah menjadi fardhu ain bahkan haram. Persoalannya adalah
bergantung kepada keberadaan pemilu itu sendiri. Dalam kondisi normal,
mengikuti atau memilih pemimpin dalam pemilu hukumnya fardhu kifayah.
Tetapi jika misalnya pemilu dilaksanakan dalam rangka penegakan keadilan,
perwujudan kesejahteraan masyarakat, atau penggusuran anggota wakil rakyat
yang tidak amanah kepada rakyat, maka hukumnya fardhu ain. Sedangkan pemilu
yang diselenggarakan dengan cara menipulasi dalam suatu system politik yang
timpang dan hanya memberikan dukungan kepada penguasa yang dzalim atau
terpilihnya wakil rakyat yang tidak berpihak kepada rakyat maka mengikuti
pemilu seperti itu hukumnya haram.

Sebab hukum ini ada merupakan contoh dari Illah zaman yang berarti
salah satu alasan dari adanya hukum tersebut karena Illah zaman, yang jika tidak
karena masa dan tetap dengan menggunakan system kerajaan dalam menentukan
pemimpin, maka hukum ini tidak mungkin adanya.

10
Contoh selanjutnya yaitu Transpalantasi (pencangkokan anggota tubuh)
yang kasus ini merupakan salah satu temuan baru di bidang kedokteran. Ia
merupakan pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat
untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan
baik. Atau dengan kata lain transpalantasi merupakan pencangkokan organ tubuh
orang lain kepada orang lain yang dalam keadaan sakit.

Dalam dunia kedokteran setidaknya ada 3 model pencangkokan

 Orang yang mendonorkan sebagian organ tubuhnya dalam keadaan hidup


sehat
 Orang yang mendonorkan sebagian organ tubuhnya dalam keadaan koma
dan besar kemungkinan besar akan segera meninggal.
 Orang yang mendonorkan sebagian organ tubuhnya dalam keadaan
meninggal.
Melihat dari tiga model diatas organ tubuh seperti mata (kornia mata), ginjal dan
jantung merupakan organ organ yang selama ini biasa di cangkokkan. Namun
melihat perkembangan tekhnologi yang berkembang sangan pesat, maka tidak
menutup kemungkinan transpalantasi tidak hanya dilakukan pada mata, ginjal, dan
jantung, akan tetapi pada organ organ tubuh yang lainnya seperti kaki,tangan, dan
hati. Bahkan transpalantasi yang selama ini hanya berputar pada organ tubuh
manusia, sangant mungkin bisa dikembangkan pada tubuh hewan.

Pada awalnya hukum transpalantasi tidak diperbolehkan (haram).


Larangan ini sebagai manifestasi penghargaan atas kemulyaan umat manusia
dibandingkan makhluk-makhluk yang lain, baik yang beriman kepada Allah SWT
ataupun tidak. Selain itu, juga untuk menghindari bahaya yang lebih besar
terhadap pendonor yang ditimbulkan karena transpalantasi tersebut. Maka dalam
hal ini berdasarkan Firman Allah SWT

‫لقد خلقنا اإلنسان في احسن تقويم‬

“Sungguh telah kami ciptakan manusia dalam keadaan yang paling sempurna”

11
‫وال تلقوا بأيديكم ألى التهلكة‬

"Dan janganlah kamu dirimu sendiri kedalam kebinasaan”

Demikian juga hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam ibnu Majah dari Ummu
Salamah

‫كسر عظم الميت ككسر عظم الحي في اإلثم‬

"Dosa melukai tulang orang yang sudah mati, sama halnya dengan dosa melukai
tulang orang yang masih hidup”

Dan juga pendapat Imam Al-Rasyidi dalam Hasyiyahnya:

‫أما األدمي فوجوده حينئذ كالعدم كما قال الحلبي على المنهج ولو غير محترم كمرتد وحربي فيحرم الوصل‬
‫به ويجب نزعه‬

“ adapaun manusia (yang masih hidup) ketika itu keberadaanya sama dengan
mereka yang sudah mati, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Halabi dlam
Al-Manhaj, Meskipun mereka bukanlah orang terhormat, seperti orang murtad
dan kafir harby, maka menyambung (tulang) mereka adalah haram dan harus
melepaskannya”.

Namun demikian, hukum tidak diperbolehkannya transpalatasi diatas bias


berubah menjadi boleh dengan berbagai pertimbangan (pendapat ini sesuai dengan
keputusan Munas Alim Ulama’ NU 1981).

 Dalam agama Islam manusia tidak diperbolehkan menyakiti dirinya


sendiri apalagi orang lain. Termasuk dalam katagori menyakiti diri sendiri
itu ialah manakala ia sakit dan membiarkan penyait itu ada pada dirinya
serta tidak mencari obat untuk kesembuhannya. Oleh karena itu, manusia
diwajibkan untuk senantiasa mencari pengobatan manakala ia menderita
sakit. Ada beberapa hadits yang langsung menganjurkan umatnya untuk
senantiasa mencari pengobatan manakala ia sakit, tapi ada juga hadits yang
tidak secara langsung akan hal itu.
‫ما أنزل هللا داء إال أنزل له دواء‬

12
“ Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia telah menyedikan
obatnya” (H.R Imam Bukhori)
‫ فإن هللا لم يضع داء إال وضع له دواء غير داء واحد الغرم‬.‫تداووا عباد هللا‬.
“ Hendaklah kalian mencari pengubatan wahai hamba Allah, karena
Allah tidak menciptakan suatu penyakit kecuali Dia telah menyediakan
obatnya. Kecuali penyakit yang satu ini yaitu Tua.” (H.R. Abu daud).
 Manusia tidak diperbolehkan membunuh dirinya sendiri atau membiarkan
orang lain meninggal dunia. Sebagaimana firman Allah
‫وال تقتلوا أنفسكنم‬
“ janganlah kalian membunuh diri klian sendiri” (Q.S An Nisa; 29)
‫وال تقتلوا النفس التي حرم إال باالحق‬
“Dan janganlah kalian membunuh seseorang yang telah Alah haramkan
atasnya keuali dengan benar” (Q.S Al-Isro’; 33).

Ayat kedua diatas disamping memberikan pengertian bahwa manusia tidak


diperkenankan membunuh manusia yang lain, ayat ini juga mencakup pengertian
bahwa manusia tidak diperkenankan membiarkan orang lain meninggal dunia
karena dirinya. Karena membiarkan orang lain meninggal dunia, sedangkan masih
ada orang lain yang bisa menolongnya, hal itu pada dasarnya sama dengan
membunuh mereka.

Oleh karena itu dalam kasus ketika tranpalantasi merupakan sesuatu yang
sangat dibutuhkan demi kesinambungan kehidupan manusia, maka hal itu menjadi
suatu yang di perbolehkan. Meskipun demikian jika transpalantasi justru akan
membawa mudharat yang lebih besar terhadap pendonor, seperti keselamatan
jiwa, maka hal itu tidak diperbolehkan. Hal ini tampak bahwa maslahah pendonor
lebih penting daripada maslahah pada diri resipien (orang yang
menerimadonor).jadi kesehatan dan keselamatan pendonor menjadi prioritas
utama dalam pelaksanaan transpalantasi, jika karena transpalantasi fungsi fisik
pendonor akan terganggu atau berakibat pada kesehatahan jiwanya maka hal itu
dilarang, sekalipun hal itu berakibbat pada kematian orang lain.

Selanjutnya, dalam kasus ketika transpalantasi hanya untuk


menyempurnakan atau menutupi kekurangan yang ada pada diri seseorang dan

13
bukan untuk menjaga kelangsungan hidup, maka hal itu tidak dibenarkan,
meskipun tidak ada resiko apapun pada diri pendonor. Hal ini berkaitan erat
dengan kehormatan manusia sebagai makhluk yang paling mulia.

Berkaitan dengan transpalantasi ini ada beberapa hal yang yang penting yaitu

 Antara pendonor dan resipien harus ada kesamaan agama.


 Kesanggupan pendonor ketika hendak mendonorkan salah satunorgan
tubuhnya harus didasarkan atas pertimbangan bahwa hal itu untuk
menyelamatkan orang lain dan tida berbahaya bagi dirinya sendiri. Jika
transpalantasi tersebut justru akan berbahaya bagi diri pendonor, maka
hukum tersebut tidak diperbolehkan. Hal ini berkaitan dengan kaidah fiqh:
‫الضرر ال يزال بالضرر‬
“ Bahaya tidak bias dihilangkan dengan bahaya lainnya”
 Jika pendonor merupakan orang yang sudah meninggal dunia, maka harus
meminta idzin kepada ahli waris yang bersangkutan. Namun tetap saja
dalam hal ini diperbolehkan mana kala resepioen benar-benar dalam
keadaan darurat, yang mana jika tanpa transpalantasi resepien tersebut
akan meninggal, dan dia sudah menempuh berbagai macam pengobata
akan tetapi tidak berhasil. Pendapat ini sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu
Qudamah dalam Al-Mughni juz 4.

Jadi bisa diambil kesimpulan bolehnya menggunakan transpalantasi


memang harus karena kebutuhan darurah dan demi kelangsungan hidup
seseoorang tanpa adanya resiko bagi pendonor,dan transpalantasi menjadi
terlarang jika dilakukan karena kebutuhan tahsiniyah atau Cuma untuk
menutupi kekurangan atau melengkapi kekurangan.

E.MEMPERHATIKAN DINAMIKA PEMBAHARUAN FIQH DAN


DAMPAK POSITIFNYA BAGI INDONESIA

14
Dinamika atau tahapan dalam pembaharuan Fiqh khususnya di Indonesia
merupakan sesuatu yang pasti ada dalam pembaharuan tersebut, karena Fiqh
itu berkembang dan hukum tersebut di perbaharui tidak semena-mena
ditentukan dan ditetapkan, melainkan melihat dan mempertimbangkan banyak
hal. Antaranya Istihsan, Maslahah mursalah, Urf dan Illah zaman, yang dalam
semua itu tidak akan luput dari Qiyas, baik mengqiyaskan suatu hukum pada
hukum yang lain, ataupun menetapkan suatu hukum berlandasan kebiasaan
yang tidak ada Nash khusus dalam Al-Qur’an atau Hadits dan juga tidak ada
larangan dalam pelaksanaannya dari Ulama’. Seperti halnya Ijab Qobul dalam
jual beli yang belakangan ini seakan akan tidak lagi terdengar pada setiap
pembeli ataupun penjual dan itu sudah menjadi kebiasaan di halayak umum,
menanggapi hal itu para Ulama’ Fiqhiyah tidak ada yang merespon baik itu
melarang ataupun mengeluarkan pendapat, maka kesimpulan dari
pembaharuan hukum ini yang jika kita kaji dari hukum Urf yaitu pekerjaan
yang sudah menjadi kebiasaan pada suatu kalangngan dan tidak ada respon
dari para Ulama’ yang berhak menentukannya, maka diamnya para Ulama’
dianggap setuju dan dijadikan dalil sebagai ijma’ akan keberlangsungan adat
tersebut.

Adapula hukum yang pada hukum awalnya dilarang akan tetapi setelah
bergulirnya zaman dan setelah mempertimbangkan banyak aspek serta
berlandaskan dalil-dalil baik itu Al-Qur’an, Hadits ataupun kaidah-kaidah
yang ada dalam Usul fiqh maka hukum itu kadang bisa berubah tergantung
pengaplikasian pekerjaan tersebut, karena pengaplikasian tersebut yang akan
menunjukkan hukum itu sendiri, seperti hukum transplantasi yang sudah di
bahas pada bab sebelumnya.

Sedangkan dampak positif dari adanya pembaharuan ini bagi Indonesia,


khususnya muslim yang ada di Indonesia yaitu mempermudah amaliyah kita
sehari hari yang mana kita ketahui setiap pekerjaan yang kita lakukan setiap hari
tidak akan jauh dari pandangan Fiqh, dari itu manfaat pembaharuan Fiqh ini
sangatlah tampak bagi kita sebagai warga negara Indonesia, begitu pula
kebanyakan mujtahid dan Imam Imam Fiqh berasal dari negara yang berbangsa

15
Arab, dan pasti hasil Ijtihad mereka menyesuaikan dengan apa yang ada di sekitar
mereka dulu tampa melihat adat dan cara hidup kita yang berbeda dengan mereka.
Akan tetapi setelah adanya pembaharuan tersebut di negara kita, kita sebagai
Muslim bisa dengan lega dan santai beraktifitas tanpa adanya kejanggalan dalam
hukum pekerjaan yang kita lakukan, karena kebanyakan para Ulama’-Ulama’
Fiqh di Indonesia sudah memberikan arahan pada kita untuk kebutuha kita dalam
Ibadah amaliyah.

16
BAB

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Pembaharuan Fiqh di Indonesia di lihat dari Istihsan tidak akan jauh dari
peng qiyasan suatu hukum asal pada hukum kedua dengan
mempertimbangkan beberapa aspek sesuai kebutuhan. Antaranya Istihsan bin
Nash, Istihsan bil Ijma’ dll.
2. Pembaharuan Fiqh di Indonesia di lihat dari Maslahah Mursalah merupakan
penetapan suatu kasus yang tidak terdapat nash khusus dalam Al- Qur’an
ataupun hadits sehingga penetapan kasus ini sesuai dengan kemaslahatan
bersama, dengan syarat tidak ada yang merasa di rugikan dan memang karena
kebutuhan dan kemaslahatan bersama.
3. Pembaharuan Fiqh di Indonesia di lihat dari adat Isti’adat merupakan
penetapan suatu kasus yang sering terjadi di suatu kalangan yang pada hukum
awalnya merupakan syarat atas sahnya suatu pekerjaan, akan tetapi melihat
kebiasaan penduduk yang seakan akan menghapus salah satu syarat tersebut
juga tidak ada larangan dari Ulama’ akan berlangsungnya kasus tersebut.
Sehingga disimpulkan bahwa diamnya para Ulama’ atas kausu ini merupakan
persetujuan mereka.
4. Pembaharuan Fiqh di Indonesia di lihat dari Illah zaman merupakan
penetapan suatu kasus yang sebelumnya tidak ada keterangan khusus dalam
pedoman Islam khususnya Fiqh akan tetapi sesuai berkembangnnya masa
sehingga pembahaan dan penentuan hukum tesebut sangantlah dipandang
urgent. Jadi penetapan kasus disini tidak akan jauh dari peng qiyasan,
Istihsan, maslahah mursalah dll dengan berlandasan dalil-dalil yang bisa
menarik dan menyimpulkan kasus tersebut sesuai kesepakatan Ulama’ dan
pandangan Fiqh.
5. Pembaharuan Fiqh di Indonesia di lihat dari dinamika pembaharuan dan
dampak positifnya bagi Indonesia merupakan suatu komponen untuk menuju
ketetapan suatu kasus dimana di dalamnya telah tertera beberapa

17
petrimbangan dari berbagai aspek, adapaun dampaknya bagi Indonesia
khususnya penduduk Indonesia merupakan kebahagiaan yang bisa
mengantarkan penduduknya pada kemudahan beraktifitas serta tidak usah
risau lagi mengenai pandangan fiqh terhadap aktiftas tersebut karena Ulama’
sudah menetapkan dan menghasilkan hasil Ijtihad yang sangat positif bagi
Indonesia khusunya, melihat kebiasaan mujtahid mujtahid terdahulu yang
kebanyakan lahir di kalangan arab serta kebiasaan dan hasil ijtihadnya pun
kadang berbeda dengan kebiasaan dan kebutuhan kita untuk menentukan
suatu masalah.
B. SARAN
Setelah menyelasaikan makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami menyarankan untuk
pemakalah selanjutnya yang ingin membsahas tentang pembaharuan fiqh di
Indonesia khususnya agar lebih banyak lagi mengkaji dan mengambil dari
berbagai sumber, agar makalah yang akan di tulis lebih komplit dan detail
serta tidak ada kesalah fahaman bagi para pembaca.

18
DAFTAR PUSTAKA

Usul Fiqh (prof.Dr.H.Satria Effendi,M.Zein,M.A)

Ilmu fiqh penggalian, perkembangan, dan penerapan Hukum


Islam(PROF.H.A.DJAZULI)Hal.87

Konsep ijthad Al-syaukani relevansinya bagi pembaharuan Hukum Islam di


Indonesia(DR.NASRUN RUSLI

Perkembangan metodologi Fiqh di indonesia dan kontribusinya bagi


perkembangan hokum Nasional (Agus Muh najib. Jakarta RI,2011)

Kaidah-kaidah fiqh (Ahmad DJazuli,Jakarta,karisma Putra Utama,2011)


Pengantar Ilmu Fiqh (Hasby Ash Shiddidie, Jakarta buan Bintang,1978)

Kaum santri menjawab problematika sosial (Ahmad munjin nasih. S.Pd, M.Ag)

19

Anda mungkin juga menyukai