Dosen Pengampu:
Oleh:
Khairul Auliyah
NIM: 200101220010
2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,,i ipuji isyukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan limpahan
rahmat,,i taufik,,i dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sekolah
Berbasis Pesantre” dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami
berterima kasih pada Bapak Dr. H. Ahmad Barizi, M.A selaku Dosen mata kuliah Pendekatan
Studi Islam yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan dan
pengetahuan tentang Feminisme dan Gender. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,,i kami berharap
adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang kami buat di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat dengan mudah dipahami bagi pembaca. Sekiranya makalah ini dapat
berguna bagi kami dan juga para pembaca. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan di masa depan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .......................................................................................... 13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan memiliki peran yang besar dalam penyediaan sumber daya manusia yang
berkualitas dan berdaya saing tinggi. Proses pengembangan kualitas sumber daya manusia
merupakan salah satu bentuk perubahan sosial. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka
semakin tinggi peluang untuk meningkatkan kualitas daya saing. Di Indonesia dikenal ada
beberapa model pendidikan di antaranya adalah model pondok pesantren dan model pendidikan
sekolah. Namun muncul dikotomi antara pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah.
Pesantren dan sekolah dipandang secara fenomenologi sebagai bentuk idealisme pada
masingmasing lembaga pendidikan tersebut.
Pesantren yang memberikan pemahaman agama, berperan mencetak ahli-ahli agama atau
agamawan. Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan
Keagamaan Islam bahwa penyelenggaraan pendidikan pesantren sebagai bagian pendidikan
keagamaan Islam bertujuan untuk: (a) menanamkan kepada peserta didik untuk memiliki
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt., (b) mengembangkan kemampuan, pengetahuan,
sikap dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin),
dan (c) mengembangkan pribadi akhlak al-karimah bagi peserta didik yang memiliki kesalehan
individual dan sosial dengan menjunjung tinggi jiwa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian,
persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah), rendah hati (tawadhu’), toleran
(tasamuh), keseimbangan (tawazun), moderat (tawasuth), keteladanan (uswah), pola hidup sehat,
dan cinta tanah air1.
Antara sekolah dan Pesantren mempunyai tujuan sama, namun berbeda dalam
pengelolaannya. Banyak masyarakat yang tidak memahami. Bahkan saat ini banyak masyarakat
masih ada yang beranggapan bahwa pesantren tidak bisa menjamin masa depan anak dalam hal
pekerjaan, sehingga sebagian masyarakat memandang sebelah pada pendidikan pesantren dan
1
Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014, tentang Pendidikan Keagamaan Islam, Pasal 2.
1
lebih mengutamakan pendidikan sekolah untuk menyekolahkan anak. Hal ini menjadikan
hambatann terbesar dalam perkembangan pondok pesantren2.
Sekolah Berbasis Pesantren (SBP) sebagai salah satu model pendidikan Islam yang yang
dapat menggabungkan dua sistem sosial, yakni sistem sosial pesantren dan sistem sosial sekolah.
Model pendidikan Islam ini bertujuan untuk menciptakan sumber daya manusia yang agamawan
sekaligus ilmuwan secara utuh, sehingga dapat berperan utuh dalam sistem sosial
kemasyarakatan. Sekolah Berbasis Pesantren (SBP) merupakan salah satu fakta sosial, yang
muncul karena adanya kesadaran manusia, hasil pemikiran, diskusi antar lembaga dalam hal ini
Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan Nasional, Centre for Educational Development
(CERDEV) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pesantren, dan Sekolah3.
Keberadaan sekolah berbasis pesantren menjadi menarik untuk dikaji mengingat model
pembelajaran, pendekatan belajar, dan kurikulumnya yang berbeda dengan sekolah umum.
Dengan memadukan unsur sekolah umum dan pesantren, aspek spiritualitas menjadi keunggulan
tersendiri bagi sekolah berbasis pesantren. Di sekolah berbasis pesantren, materi keagamaan
lebih banyak diberikan disamping materi umum. Sehingga, asumsinya adalah bahwa siswa di
sekolah berbasis pesantren mendapatkan pemahaman dan pengalaman spiritual yang lebih, jika
dibandingkan dengan siswa di sekolah non pesantren. Hal ini akan berdampak pada
perkembangan yang semakin meningkat, dalam hal terciptanya kepuasan hubungan individu
dengan sang pencipta, serta pemahaman akan makna dan tujuan hidup individu yang diperoleh
melalui nilai-nilai yang diajarkan dalam pendidikan agama. Kedua hal tersebut menjadi penting
dalam proses perkembangan peserta didik. Siswa yang telah mengetahui makna dan tujuan
hidupnya, tentu akan lebih mampu mengarahkan tujuan-tujuan belajarnya. Selain itu,
pengetahuan tersebut dapat mencegah mereka untuk terjerumus ke dalam perilaku yang
merugikan diri sendiri maupun orang lain.
2
Dedik Muksinun Nafi, Intregasi Model Pembelajaran Pesantren Di Sekolah Formal: Studi Kasus Di SMP Islam
As-Syafiah Mojosari Kec. Loceret Nganjuk, Jurnal Pendidkan dan Studi Keislaman Vol.9 No. 1, 2019, Hal 81-82.
3
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, trans. Alimandan (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada), 2004, Hal 15.
2
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Peneliitian
3
BAB II
PEMBAHASAN
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan
keagamaan Islam menjelaskan tentang pesantren. Dalam paragraf 1 ayat 1 berbunyi, pesantren
sebagai kesatuan pendidikan yang merupakan pesantren yang menyelengarakan pengajian kitab
kuning atau dirasah islamiah dengan pola pendidikan mu’allimin. Ayat ini secara tegas
menjelaskan bahwa pesantren menjadi bagian penyelenggaraan pendidikan yang diakui oleh
pemerintah Negara Republik Indonesia (NRI). Akan tetapi pelaksanaannya harus menerapkan
prinsip integral sebagaimana yang ditegaskan pada ayat 3 berbunyi penyelengaraan dirasah
islmiyah dengan pola pendidikan mu’allimin sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan
secara integratif dengan memadukan ilmu agama islam dan ilmu umum dan bersifat
komprehensif dengan memadukan itra, ekstra, kurikuler4.
2. Pengertian Pesantren
Pesantren menurut sebagian ahli berasal dari kata santri, yaitu pesantrian atau dikenal
tempat tinggal santri. Keberadaan pesantren tidak terlepas dari perkembangan masuknya Islam
di Indonesa. Meski demikian, para ahli berpendapat, patokan untuk mengambarkan dinamika
pesantren berpatokan pada pertama kali pesantren yang didirikan oleh Maulana Malik
Ibrahim pada Tahun 1399 M. Istilah Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan
satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri,
sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping
itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel. Di
Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di
Aceh dikenal dengan istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau
disebut surau.
4
Dedi Suprawan dan A. Benyamin Surasega, (1990), Strategi Belajar Mengajar, Diktat Kuliah , FPTK-IKIP : Bandung, 9
Sejalan dengan penjelasan diatas Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam
Indonesia yang bersifat “tradisional” untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkannya
sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang
memiliki kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya dalam
menyelenggarakan sistem pendidikan dan pengajaran agama. Pesantren adalah institusi
pendidikan berbasis masyarakat yang memiliki tata nilai yang tidak terpisahkan pendidikan Islam
di Indonesia. Pesantren memiliki 5 (lima) komponen dasar kelembagaan, yakni kyai, santri,
masjid, pondok dan kitab kuning (kitab klasik) Karakteristik pendidikan yang dianut oleh suatu
pesantren adalah: adanya kepatuhan santri terhadap kiai, hidup hemat dan sederhana,
kemandirian, jiwa tolong menolong dan persaudaraan, dan disiplin. Dalam perkembangannya
pada konteks pendidikan, makna pondok pesantren pun menjadi meluas. Madrasah, tempat
keterampilan (kursus), universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga, dan sekolah umum pun
5
Nurcholis Madjid,, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina 1997) hal 5
5
terkadang menjadi unsur-unsur seperti sebuah pondok pesantren Pondok pesantren memiliki
kultur yang unik, dalam hal ini keberadaannya dalam sistem sosial kemasyarakatan berdiri
sebagai subkultur tersendiri. Sebagai bagian integral dari institusi pendidikan berbasis
masyarakat, pondok pesantren merupakan sebuah komunitas yang memiliki tata nilai tersendiri.
Tata nilai tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan (hidden curriculum) dari pelaksanaan
proses pendidikan di pesantren6.
Karakteristik utama pendidikan pesantren terlihat dari aspek ibadah, aspek muamalah,
aspek pendidikan, kepemimpinan, dan kelembagaan. Aspek ibadah seperti salat berjamaah, salat
tahajud, berjanzi, istighosah, manakib, tahlil, dan sebagainya. Aspek muamalah misalnya
ukhuwah, berbusana muslim, disiplin, keamanan yang terjamin, kontrol pergaulan, pengaturan
jam makan, tidur, piket, dan sanksi. Aspek Pendidikan, contohnya orientasi kebahagian dunia
dan akhirat, ilmu agama, akhlaqul karimah, bebasis kitab yang diajarkan/kitab kuning,
pendidikan ketarampilan, menghormati yang lebih tua. Kepemimpinan misalnya keteladanan
kyai, ketaatan/kepatuhan kepada kyai, badal/wakil, penjenjangan santri, jejaringan kyai/ulama.
Kelembagaan seperti kemandiarian pengelolaan dan sumber daya ekonomi, jaringan kerjasama
dengan berbagai instansi, forum-forum santri dan dukungan masyarakat. Pada dasarnya pondok
pesantren yang merupakan bagian dari pendidikan keagamaan Islam yang mempersiapkan
peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang
ajaran agama Islam dan atau menjadi ahli ilmu agama Islam dan mengamalkan ajaran agama
Islam. Oleh karena itu, muatan kurikulumnya 100% ilmu agama, yaitu: alQur’an, Tafsir, Ilmu
Tafsir, Hadits, Ulum al-Hadits, Tauhid, Fiqih, Ushul Fiqh, Akhlak, Tasawuf, Tarikh, Bahasa
Arab, Nahwu Sharf, Balaghah, Ilmu Kalam, Ilmu ‘Arudl, Ilmu Manthiq, Ilmu Falaq, dan disiplin
ilmu lainnya. Struktur kurikulum ini menunjukkan bahwa pendidikan pesantren bertujuan untuk
mencetak ahli ilmu agama Islam7.
6
Nurochim, Sekolah Berbasis Pesantren Sebagai Salah Satu Model Pendidikan Islam Dalam Konsepsi Perubahan
Sosial, Jurnal Al-Tahrir Vol.16. No.1, 2016, Hal 77
7
Ibid hal 78
6
3. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Pendidikan bagi umat manusia merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup
dalam segala bidang dan sesuai dengan perkembangan serta kemajuan zaman karena saat
sekarang kita berada dalam era globalisasi yang serba canggih dengan perkembangan teknologi
yang begitu pesat. Sehingga untuk meningkatkan kualitas hidup pondok pesantren harus selalu
berproses menuju kerah yang lebih baik dengan meningkatkan kualitasnya.
Sedangkan dalam pesantren dengan pola hidup bersama antara santri dengan kiai dan
masjid sebagai pusat aktifitas merupakan suatu sistem pendidikan yang khas yang tidak ada
dalam lembaga pendidikan lain. Keunikan lain yang terdapat dalam sistem pendidikan pesantren
adalah tentang metode pengajarannya sebagai berikut:
a. Sorogan
Kata sorogan berasal dari bahasa Jawa sodoran atau yang disodorkan artinya suatu sistem
belajar secara individu dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi
saling mengenal diantara keduanya.Seorang kiai atau guru menghadap satu persatu, secara
bergantian. Sedangkan dalam pelaksanaannya, santri datang secara bersama-sama, akan tetapi
para santri antri menunggu gilirannya. Sistem sorogan ini menggambarkan bahwa kiai dalam
memberikan pengajarannya senantiasa berorientasi pada tujuan, selalu berusaha agar santri yang
bersangkutan dapat membaca, mengerti dan mendalami isi kitab8.
Dengan adanya suatu sistem pengajaran dengan sorogan ini seorang kiai mampu
mengevaluasi langsung kemampuan santri, dan hubungan antara santri dan kiai lebih dekat.
b. Wetonan/Bondongan
Istilah wetonan berasal dari bahasa Jawa yang artinya berkala dan berwaktu. Wetonan ini
merupakan suatu bentuk rutin harian, akan tetapi dilaksanakan pada saat-saat tertentu. Misalnya
dilaksanakan pada setiap hari Jum’at, sholat shubuh dan sebagainya. Kiai membaca kitab dalam
waktu tertentu dan santri dengan membawa kitab yang sama mendengar dan menyimak bacaan
8
Dedik Muksinun Nafi, Intregasi Model Pembelajaran Pesantren Di Sekolah Formal: Studi Kasus Di SMP Islam
As-Syafiah Mojosari Kec. Loceret Nganjuk, Jurnal Pendidkan dan Studi Keislaman Vol.9 No. 1, 2019, Hal 86
7
Kiai itu9.
Dalam sistem bandongan ini bisa juga disebut halaqoh yang dalam pengajarannya, kitab
yang dibacakan kiai dan yang dibawa oleh santri adalah sama, kemudian santri mendengarkan
dan menyimak bacaan sang guru. Ketiga pola pengajaran tersebut diatas ini dapat berlangsung
tergantung pada otoritas seorang kiai baik yang berkaitan dengan waktu, tempat, materi pelajaran
dalam proses belajar mengajar.
Dari uraian diatas dapat diketahui tentang penyelenggaraan system pendidikan di pondok
pesantren dewasa ini dapat digolongkan:
Pertama, Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam,
yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran diberikan dengan cara non klasikal (bandongan
dan sorogan), dimana seorang kiai mengajar santrinya berdasarkan kitab-kitab yang ditulis pada
abad pertengahan, sedang santri biasanya tinggal di asrama atau pondok.
Kedua, Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang
ada pada dasarnya sama dengan pondok pesantren diatas, tetapi para santrinya tidak disediakan
pondokan (komplek), namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren
9
Ibid hal 86-87
10
Ibid hal 87
8
tersebut (santri kalong) dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam
diberikan dengan sistem wetonan.
Ketiga, Pondok pesantren dewasa ini merupakan lembaga gabungan antara sistem pondok
pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan
dan sorogan kepada santri, disediakan pondokan ataupun merupakan santri kalongan yang dalam
istilah pendidikan pondok modern memenuhi criteria non formal, serta menyelenggarakan pula
pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai tingkatan dan
aneka kejuruan menurut kebutuhan masyarakat masingmasing.
Berdasarkan tiga bentuk sistem pendidikan diatas, pada kenyataannya sistem yang ketiga
saat sekarang banyak bermunculan dan berkembang sebagai bentuk respon atas tuntutan
perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan teknologi era globalisasi. Perpaduan sistem
tradisional dan modern berusaha menemukan solusi atas kelemahan dan kekurangan
masingmasing.
Sekolah berbasis pesantren (SBP) adalah sekolah yang mengintegrasikan keunggulan sistem
pendidikan sekolah dan pesantren. Pada tataran implementasinya, SBP menitik beratkan pada: a)
peningkatan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia serta kemandirian dalam hidup, b)
pengembangan kemampuan akademik dan keterampilan. akademik dan keterampilan. Sekolah
berbasis pesantren mengintegrasikan kebenaran nash (Al-Quran dan Hadits) dengan sains (ilmu
pengetahuan dan teknologi) melalui pengembangan tiga dimensi pendidikan unggul. Pemilikan
landasan moralitas keagamaan yang kuat, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
memiliki dan menguasai bentuk-bentuk keterampilan-keterampilan bekerja yang akan
menunjang kehidupannya setelah selesai mengikuti pendidikan.
Sekolah Berbasis Pesanten terdapat integrasi kultur pesantren ke dalam mata pelajaran dan
manajemen sekolah. Dalam konsep Sekolah Berbasis Pesantren terdapat konsep integrasi kultur
pesantren ke dalam mata pelajaran, namun dalam hal ini dipilih kultur mana saja yang bisa
diintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang ada, disesuaikan dengan materi pelajaran. kultur
pesantren ini terdiri dari pendalaman ilmu-ilmu agama, mondok, kepatuhan, keteladanan,
9
kesalehan, kemandirian, kedisiplinan, kesederhanaan, toleransi, qana’ah, rendah hati, ketabahan,
kesetiakawanan/tolong menolong, ketulusan, istiqomah, kemasyarakatan, kebersihan 11.
Sejalan dengan penjelasan diatas bahwa pendidikan berbasis pesantren adalah upaya
memadukan sistem pendidikan di sekolah formal dan sistem pesantren yang masing-masing
punya keunggulan. Pendidikan formal cenderung berfokus pada kecerdasan akademik, meskipun
tidak lantas mengabaikan hal-hal yang bersifat spiritual. Pendidikan di pesantren cendrung
berfokus pada keunggulan spiritual, meskipun tidak lantas mengabaikan keunggulan intelektual.
Memadukan kedua sistem itu akan melahirkan kekuatan pendidikan yang mampu menghasilkan
generasi yang berkarakter yang mencakup kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual12.
11
Nety Herawati, Ahmad Zainuri & Akmal Hawi, Karakteristik Sekolah Berbasis Pondok Pesantren: Studi Kasus
di SMA Al-Hannan Ulu Danau OKU Selatan, Vol.26 No.1, 2020, Hal 46
12
Fauzan,Pendidikan Karakater Berbasis Pesantren: Studi Kasus di SMP Puncak Darussalam Pemekasan, Vol.24
No.2, 2015, Hal 277
10
nampak pada siswa di sekolah non pesantren yang menjadi responden dalam penelitian ini
menunjukkan implementasi pengajaran agama Islam khususnya, untuk menghormati guru
sebagai orangtua di sekolah. Selain itu, pada saat shalat dzuhur, dilaksanakan kegiatan shalat
berjamaah dan kultum. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan tersebut menunjukkan keseriusan
pihak sekolah non pesantren yang menjadi responden dalam penelitian ini, dalam
mengimplementasikan praktik pengajaran agama di sekolah. Sehingga, hasil analisis statistik
menunjukkan tidak adanya perbedaan spiritual well being pada kedua kelompok responden13.
Sekolah Berbasis Pesanten terdapat integrasi kultur pesantren ke dalam mata pelajaran
dan manajemen sekolah. Dalam konsep Sekolah Berbasis Pesantren terdapat konsep integrasi
kultur pesantren ke dalam mata pelajaran, namun dalam hal ini dipilih kultur mana saja yang bisa
diintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang ada, disesuaikan dengan materi pelajaran. Kultur
13
Lisnawati, Studi Perbedaan Tingkat Self Regulated Learning Ditinjau Dari Spiritual Well Being Pada Siswa Di
Sekolah Berbasisi Pesantren Dan Non Pesantren, Jurnal Psikologi Integratif Vol.1 No.1, 2013, Hal 130-131
14
Widarso, “Indahnya Jika Sekolah Berbasis Pesantren,” n.d., http://www.kompasiana.com/widarso78/indahnya-jika-
sekolahberbasis-pesantren_55200f9aa333 119544b65973.
11
pesantren ini terdiri dari Pendalaman Ilmu-ilmu Agama, Mondok, Kepatuhan, Keteladanan,
Kesalehan, Kemandirian, Kedisiplinan, Kesederhanaan, Toleransi, Qana’ah, Rendah Hati,
Manajemen sekolah berbasis pondok pesantren pada hakikatnya dimaksud kan sebagai
upaya pemanfaatan dan pemberdayaan seluruh sumber daya yang dimiliki sekolah dan pondok
pesantren guna mencapai tujuan secara efektif dan efisien, berdasarkan acuan standar pendidikan
nasional sekaligus mencermink an kultur kepesantrenan yang menjadi kekhasan sekolah
bersangkutan. Penting ditegaskan bahwa kultur kepesantrenan bukan menjadi subject matter
tersendiri atau menjadi materi atau kegiatan tersendiri dalam proses layanan pendidikan, tetapi
terintegrasi secara menyeluruh pada segenap aktivitas manajemen seko lah, dimulai dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan pendidikan hingga pengawasan dan perbaikan mutu
pendidikan sekolah.
15
Wahdi Sayuti dan Fauzan, Integrasi Kultur Kepesantrenan ke Dalam Mata Pelajaran (Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah
dan Pondok Pesantren dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia, 2013), hal 23–27.
12
Orang tua yang menghendaki anaknya memiliki pengetahuan dan akhlak yang baik, sekolah dan
pesantren itu sendiri. Berdasarkan pada jumlah sekolah berbasis pesantren yang meningkat, siswa
yang berprestasi dilihat dari tingginya Ujian Nasional, melanjutkan jenjang pendidikan ke
lembaga yang berkualitas16.
Ada beberapa kasus yang peneliti ambil dari beberapa sekolah berbasis pesantren yaitu :
seperti yang dicoba dilakukan oleh SMA Al-Hannan. Seperti diketahui bahwa sekolah
berasrama seharusnya banyak keunggulan, antara lain menyediakan program pendidikan
komprehensif yang menyentuh berbagai aspek perkembangan siswa didik, keberadaan fasilitas
yang lengkap, keberadaan guru- guru yang berkualitas yang umumnya tidak hanya berfungsi
sebagai pengajar di kelas, lingkungan yang kondusif untuk siswa didik, keberadaan siswa yang
heterogen dan jaminan keamanan dan kualitas. Di SMA Al-Hannan sebagai sekolah berarama
belum memiliki fasiltas yang lengkap. Siswa tidak dapat memilih cabang olah raga yang sesuai
dengan kebutuhan mereka karena SMA Al-Hannan hanya menyiapkan cabang olah raga tertentu
saja seperti sepak bola, bulu tangkis, tenis meja dan atletik17.
Selain problem-problem di atas ada faktor lain yang lebih bersifat non struktural
mmpengaruhi perkembangan SMA Al-Hannan sebagai sekolah berasramah yaitu: visi
kelembagaan sekolah berasrama yang belum jelas, dikotomi guru asrama vs guru sekolah,
kurikulum pengasuhan yang tidak baku dan sekolah dan asrama terletak dalam satu lokasi.
memiliki ciri khas atau karakteristik yang tidak dimiliki oleh sekolah kebanyakan, yaitu: Al-
Hannan sebagai brand-mark, berasrama, menggunakan kurikulum ganda (kurikulum nasional
dan yayasan), vocational skill (menjahit dan pertukangan) dan kemampuan membaca al-Qur’an
16
Nurochim, Sekolah Berbasis Pesantren Sebagai Salah Satu Model Pendidikan Islam Dalam Konsepsi Perubahan
Sosial, Jurnal Al-Tahrir Vol.16. No.1, 2016, Hal 85-86
17
Nety Herawati, Ahmad Zainuri, Akmal Hawi, Karakteristik Sekolah Berbasis Pondok Pesantren (Studi Kasus di
SMA Al-Hannan Ulu Danauu OKU Selatan), Jurnal Intizar, Vol.26, No.1, 2020,Hal 52.
13
dengan baik dan benar. Kedua, faktor yang mempengaruhi penerapan sekolah berbasis Pesantren
dapat dibagi dua faktor, yaitu khusus dan umum. Secara khusus, dipengaruhi oleh kepala
sekolah, pendidikan atau guru, kurikulum, sistem penerapan pendidikan, sarana pendidikan,
suasana lingkungan sekolah. Kemudian secara umum dipengaruhi oleh 1) lingkungan sosial
yang kini telah banyak berubah; 2) keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik; dan 3)
cara pandang masyarakat yang lebih religiusitas. Sedangkan faktor penghambat ada yang
bersifat non struktural dan struktural. Penghambat non struktural antara lain yaitu SMA Al-
Hannan masih minim fasilitas dan siswa tidak dapat memilih cabang olahraga yang sesuai
dengan kebutuhan. Sedangkan faktor penghambat yang bersifat struktural antara lain yaitu visi
kelembagaan sekolah berasrama yang belum jelas, dikotomi guru asrama dan guru sekolah,
kurikulum pengasuhan yang tidak baku dan sekolah dan asrama terletak dalam satu lokasi 18.
Ada sejumlah responden menyatakan kurang dan tidak merasakan kedamaian, yakni
kurang lebih sepertiga dari total responden yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor
pertemanan, kondisi kelas, dan pengaruh pribadi, serta pola pengajaran guru. Faktor-faktor yang
lain yaitu individualitas serta egoisme beberapa siswa, kelas yang gaduh, fasilitas yang kurang
memadai (semisal kantin yang kurang luas), letak sekolah di pinggir jalan dan bersebelahan
dengan sekolah dasar (SDIT Persis Tarogong), pelanggaran aturan sekolah yang dilakukan siswa,
kondisi kelas kotor, kesenjangan sosial yang menyebabkan rasa minder beberapa siswa, serta
perilaku siswa yang kurang menghargai guru. Faktor lain yang cukup memperbesar kondisi
ketidakdamaian responden adalah kondisi faktual beberapa guru yang kurang melakukan
pendekatan psikologis kepada siswa dan hanya berfokus pada materi pelajaran dan kedisiplinan
yang kurang diimbangi objektivitas dalam menilai siswa secara mendalam. Satu misal dari
pertanyaan, ceritakan seberapa baik/buruk hubunganmu dengan guru dan teman-teman di
kelas/sekolah! Responden W3 menjawab. “Saya lebih (sangat dekat)dengan teman-teman
18
Ibid
14
dibanding dengan guru. Padahal sebenarnya saya dan temanteman butuh rangkulan (perhatian
lebih) dari guru”19.
19
Ade Hidayat, Ilfi Andra, Sunaryo Kartadinata, Mentalitas Damai Siswa Dan Peraturan Sekolag Berbasis
Pesantren, Jurnal Kependidikan, Vol. 1, No. 1, 2017, Hal 119
20
Ibid 120
15
permasalahan yang umum terjadi di beberapa sekolah. Kiranya perlu ada proses damai untuk
memahami peraturan sekolah yang normatif dengan muatan kepentingan pribadi siswa 21.
Faktor yang mendorong terjadinya pengembangan di SMP An-Nur Bululawang yaitu berasal
dari internal dan eksternal sekolah. Faktor internal yaitu berasal dari (1) kepemimpinan kepala
sekolah dan kiai, (2) dukungan pondok pesantren, (3) sarana prasarana, (4) wali murid dan
alumni. Sedangkan faktor eksternal terjadinya pengembangan yaitu dari (1) kebutuhan
masyarakat terhadap pendidikan formal dan agama tinggi, (2) peserta didik berprestasi namun
tidak mempunyai biaya, (3) kesuksesan lembaga pendidikan lain. Sedangkan fakor yang
menghambat terjadinya pengembangan di SMP An-Nir Bululawang Malang yaitu berasal dari
(1) sulit membagi waktu peserta didik di sekolah dan di pesantren, (2) pola pikir kepala sekolah
dan kiai yang berbeda dalam mengambil kebijakan, (3) inkonsistensi dalam menjalankan
program22.
Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren: Studi Kasus di SMP Puncak Darus Salam
Pemekasan
21
Ibid 123
22
Muhammad Romady, Sultoni, Juharyonto, Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kiain Dalam Pengembangan
Sekolah Berbasis Pondok Pesantren, Jurnal Administrasi dan Manajemen Pendidikan, Vol.2, No.2, 2019, Hal 67
23
Faujan, Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren: Studi Kasus di SMP Puncak Darus Salam Pemakasan, Jurnal
Empirisma, Vol.24, No.2, 2015, Hal 275
16
Adanya integrasi antara nilai-nilai relegius pesantren dengan mata pelajaran yang sudah
ditetapkan, menjadikan lembaga ini mempunyai keunikan tersendiri. Pendidikan karakter
berbasis pesantren yang diterapkan di sekolah ini membuat penulis tertarik untuk mengkaji dan
meneliti sejauh mana penerapannya, pendekatan yang digunakan dalam penerapan tersebut, serta
apa saja faktor pendukung dan penghambat penerapan pendidikan karakter tersebut.
Dalam setiap proses implementasi, baik dalam ranah pendidikan maupun lainnya, selalu
ada faktor penghambat dan faktor pendukung bagi sukses tidaknya sebuah proses implementasi.
Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan, ada lima faktor yang menghambat proses
penanaman pendidikan karakter di SMP Darus Salam. Lima faktor tersebut adalah:
24
Ibid 283
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Karakteristik utama pendidikan pesantren terlihat dari aspek ibadah, aspek muamalah,
aspek pendidikan, kepemimpinan, dan kelembagaan. Aspek ibadah seperti salat berjamaah, salat
tahajud, berjanzi, istighosah, manakib, tahlil, dan sebagainya. Aspek muamalah misalnya
ukhuwah, berbusana muslim, disiplin, keamanan yang terjamin, kontrol pergaulan, pengaturan
jam makan, tidur, piket, dan sanksi. Aspek Pendidikan, contohnya orientasi kebahagian dunia
dan akhirat, ilmu agama, akhlaqul karimah, bebasis kitab yang diajarkan/kitab kuning,
pendidikan ketarampilan, menghormati yang lebih tua. Ada tiga meode pengajaranya yaitu:
Sorogan, Wetonan dan Bandongan.
18
Pesanten terdapat integrasi kultur pesantren ke dalam mata pelajaran dan manajemen sekolah.
Dalam konsep Sekolah Berbasis Pesantren terdapat konsep integrasi kultur pesantren ke dalam
mata pelajaran, namun dalam hal ini dipilih kultur mana saja yang bisa diintegrasikan ke dalam
mata pelajaran yang ada, disesuaikan dengan materi pelajaran. kultur pesantren ini terdiri dari
pendalaman ilmu-ilmu agama, mondok, kepatuhan, keteladanan, kesalehan, kemandirian,
kedisiplinan, kesederhanaan, toleransi, qana’ah, rendah hati, ketabahan, kesetiakawanan/tolong
menolong, ketulusan, istiqomah, kemasyarakatan, kebersihan.
Kemudian untuk kasus-kasus yang sekolah berbasis pesantren yaitu contohnya Di SMA
Al-Hannan sebagai sekolah berasrama belum memiliki fasiltas yang lengkap. Siswa tidak dapat
memilih cabang olah raga yang sesuai dengan kebutuhan mereka karena SMA Al-Hannan hanya
menyiapkan cabang olah raga tertentu saja seperti sepak bola, bulu tangkis, tenis meja dan
atletik. Selain problem-problem tersebut ada faktor lain yang lebih bersifat non struktural
mmpengaruhi perkembangan SMA Al-Hannan sebagai sekolah berasramah yaitu: visi
kelembagaan sekolah berasrama yang belum jelas, dikotomi guru asrama vs guru sekolah,
kurikulum pengasuhan yang tidak baku dan sekolah dan asrama terletak dalam satu lokasi.
19
DAFTAR RUJUKAN
Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014, Tentang Pendidikan Keagamaan Islam, Pasal
2.
Nafi, Dedik Muksinun. (2019). Integrasi Model Pembelajaran Pesantren Di Sekolah Formal:
Studi Kasus Di SMP Islam As-Syafiyah Mojosari. Jurnal Al-Tahrir, 9, 81-82
Suprawan Dedi & Surasega, A.Benyamin. (1990). Strategi Belajar Mengajar, Diktat Kuliah,
FPTK-IKIP: Bandung https://www.e-dokumen.kemenag.go.id. Di akses pada tanggal
15 maret 2018
Nurochim. (2016). Sekolah Berbasis Pesantren Sebagai Salah Satu Model Pendidikan Islam
Dalam Konsepsi Perubahan Sosial, Jurnal Al-Tahri.16, 77
Herawati Nety,&kk. (2020). Karakteristik Sekolah Berbasis Pondok Pesantren: Studi Kasus
SMA Al-Hannan Ulu Danau OKU Selatan, 26, 46
20
Lisnawati. (2013). Studi Perbedaan Tingkat Self Regulated Learning Ditinjau Dari Spiritual
Well Being Pada Siswa Di Sekolah Berbasisi Pesantren Dan Non Pesantren, Jurnal
Psikologi Integratif Vol. 130-131
Widarso. Indahnya Jika Sekolah Berbasis Pesantren. n.d.,
http://www.kompasiana.com/widarso78/indahnya-jika-sekolah-berbasis-
pesantren_55200f9aa333 119544b65973
Sayuti Wahdi & Fauzan. (2013). Integrasi Kultur Kepesantrenan ke Dalam Mata Pelajaran
(Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren dan Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia)
Nety Herawati &kk. Karakteristik Sekolah Berbasis Pondok Pesantren (Studi Kasus di SMA
Al-Hannan Ulu Danauu OKU Selatan), Jurnal Intizar, Vol.26, No.1.
Ade Hidayat &kk. 2017. Mentalitas Damai Siswa Dan Peraturan Sekolag Berbasis Pesantren,
Jurnal Kependidikan, Vol. 1, No.1.
Muhammad Romady &kk. 2019. Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kiain Dalam
Pengembangan Sekolah Berbasis Pondok Pesantren, Jurnal Administrasi dan Manajemen
Pendidikan, Vol.2, No.2.
Faujan. 2015. Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren: Studi Kasus di SMP Puncak Darus
Salam Pemakasan, Jurnal Empirisma, Vol.24, No.2.
21