Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ILMU PENDIDIKAN ISLAM

BERKENALAN DENGAN PESANTREN,


MADRASAH, DAN SEKOLAH

Dosen pengampu : Dr. Munirah, S.Pd., M.Ag.


Disusun oleh :
Kelompok 7
Fitri Febrianti (20700121002)
Mutahharah Yunus (20700121030)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur bagi Allah SWT Yang Maha Penyang, Maha Pengasih
dan Maha Pemberi Pertolongan sehinggan penulis dapat menyelesaikan makalah
“Berkenalan dengan Pesantren, Madrasah, dan Sekolah” ini. Shalawat dan salam selalu
senantiasa tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat-
sahabatnya serta orang orang yang mengikuti ajaranya.

Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Munirah, S.Pd., M.Ag. selaku dosen
pengampu mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam yang telah membantu kami baik secara
moral maupun materi.

Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna
menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat
untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Gowa, 25 Mei 2022

Kelompok 7

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Latar Belakang.....................................................................................1

B. Rumusan Masalah................................................................................2

C. Tujuan Penulisan..................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3

A. Pesantren.............................................................................................3

B. Madrasah.............................................................................................4

C. Sekolah...............................................................................................5

D. Karakteristik Pendidikan Agama Islam pada Pesantren,


Madrasah, dan Sekolah.......................................................................6
1. Pesantren ......................................................................................6
2. Madrasah .....................................................................................7

3. Sekolah ........................................................................................8

E. Tujuan Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah,

dan Sekolah.........................................................................................9

F. Kecenderungan Masyarakat Memilih Bentuk Pendidikan Islam......10

BAB III PENUTUP........................................................................................12

A. Kesimpulan.........................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apabila melihat pada keadaan sebelum lahirnya UU Sisdiknas No. 20


Tahun 2003, sesungguhnya posisi pesantren diasingkan dan terdiskriminasi dari
sistem pendidikan Nasional. Pada waktu itu pesantren dipandang bukanlah sebagai
lembaga pendidikan yang “pantas” untuk disandingkan dengan lembaga sekolah
umum. Meski demikian, peran pesantren dalam pembangunan bangsa Indonesia
sangat besar, utamanya dalam mendidik moral anak bangsa yang sebagian besar
dari kalangan “miskin” dan termarjinalkan. Dari sudut pandang itu dapat dirasakan
jasa mencolok pesantren selama ini adalah meningkatkan keimanan, ketakwaan,
dan akhlak mulia.

Adapun dari sudut perbandingan, secara istilah (terminologi), antara


madrasah dan pesantren tidak memiliki perbedaan. Artinya, keduanya sama-sama
sebagai lembaga pendidikan yang ciri utamanya adalah untuk mendalami dan
mengamalkan nilai-nilai Islam. Namun demikian, sesungguhnya tetap ada
perbedaan. Utamanya dari tinjauan historis, bahwa awal berdirinya madrasah di
Indonesia ditengarai banyak keinginan untuk mengadakan pembaruan
(transformasi) sistem pendidikan Islam yang lama, yaitu pesantren. Pada akhirnya,
tujuan secara terperinci dan metode pengelolaan (manajemen) dari kedua bentuk
lembaga pendidikan Islam tersebut benar-benar berbeda.

Lebih rinci, sesungguhnya pesantren secara formal diposisikan ke dalam


jenis pendidikan keagamaan. Sedangkan madrasah dan sekolah (MI/SD,
MTS/SMP, MA/SMA) diposisikan sebagai jenis pendidikan umum, serta
(MAK/SMK) masuk dalam jenis pendidikan kejuruan. Dari situ dapat dikatakan
bahwa pesantren hanya memfokuskan diri pada pembelajaran keagamaan Islam
saja, sedangkan madrasah selain mempelajari ilmu agama Islam juga memberikan
ilmu umum. Implikasinya, pesantren cenderung diminati oleh masyarakat yang

1
ingin mendalami agama Islam saja tanpa ilmu lain. Serta Madrasah diminati oleh
masyarakat yang mendambakan keterpaduan di antara dua ilmu tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu pesantren, madrasah, dan sekolah?

2. Apa saja Karakteristik Pendidikan Agama Islam pada pesantren, madrasah, dan
sekolah?

3. Apa tujuan Pendidikan Agama Islam di pesantren, madrasah, dan sekolah?

4. Bagaimana kecenderungan masyarakat dalam memilih pendidikan Islam?

C. Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan apa itu pesantren, madrasah, dan sekolah.

2. Memaparkan karakteristik Pendidikan Agama Islam pada pesantren, madrasah,


dan sekolah.

3. Mendeskripsikan tujuan Pendidikan Agama Islam di pesantren, madrasah, dan


sekolah.

4. Mendeskripsikan kecenderungan masyarakat dalam memilih pendidikan Islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pesantren

Kata pesantren berasal dari kata dasar “santri,” sehingga bisa menjadi kata
pesantrian atau yang lebih dikenal dengan pesantren. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata pesantren berarti “asrama tempat santri atau tempat murid-murid
belajar mengaji” atau bisa diartikan sebagai “pondok.” Sedangkan kata pondok
punya arti pertama “bangunan untuk tempat sementara” (seperti yang didirikan di
ladang, di hutan), kedua “rumah (sebutan untuk merendahkan diri),” ketiga
bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak dan berdinding bilik dan beratap
rumbai (tempat tinggal beberapa keluarga), empat “madrasah dan asrama (tempat
mengaji, belajar agama Islam).”

Dari pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan secara kebahasaan, istilah


“Pondok Pesantren” merupakan bentuk istilah pemborosan kata. Terutama bila hal
ini digunakan sebagai tema kajian dalam tulisan ilmiah. Selain itu kata “pondok,”
sebagaimana penjelasan di atas bisa bermakna luas. Salah satunya bisa kepada
konotasi negatif yaitu sebagai istilah pengganti kata “rumah” yang diungkapkan
untuk merendahkan diri. Adapun menurut Mujamil Qomar istilah pondok bisa
menjadi pembeda dengan pesantren tatkala di dalamnya terdapat asrama. Makna
pondok sebagai asrama itu pada kenyataannya telah mengalami pergeseran
“fungsi.” Awalnya untuk memperlancar proses belajar dan adanya keterjalinan
hubungan peserta didik dengan ustad atau Kiai, pada akhirnya hanya sebagai
tempat tidur semata bagi pelajar atau mahasiswa yang belajar di lembaga (umum)
lain. Oleh karena itu penggunaan istilah pesantren menurut penulis pada
pembahasan selanjutnya lebih tepat untuk digunakan secara konsisten.

Dalam kajian hukum kenegaraan, pesantren merupakan jenis pendidikan


keagamaan, dimana menurut Undang-undang bahwa “Pendidikan keagamaan
berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang

3
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli
ilmu agama. Dari situ dapat dikatakan bahwa pesantren merupakan lembaga yang
menfungsikan diri sebagai lembaga yang hanya memfokusikan diri pada hal-hal
yang terkait dengan ajaran agama Islam. Artinya, pada pesantren bisa terndapat
pondok (asrama) untuk menginap santri atau bisa juga tidak ada sehingga santri
pulang pergi dari rumah.

Dengan demikian, pesantren merupakan lembaga yang tumbuh dari bawah,


yaitu karena dikehendaki dan dibangun oleh masyarakat bahkan oleh perangkat
pemerintahan desa. Namun demikian, peran Kiai sebagai sosok utama dalam
pendirian dan pengembangannya sangat dominan. Bisa dikatakan bahwa pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam yang paling otonom. Artinya lembaga yang
tidak bisa diintervensi dari sudut pandang apapun oleh pihak-pihak luar kecuali atas
izin Kiai. Dari sini dapat dilihat bahwa Kiai merupakan sosok pemimpin yang
menentukan kebijakan secara mutlak, sebagai pusat kurikulum, dan sebagai
“pemilik” pondok pesantren.

B. Madrasah
Madrasah adalah sekolah atau perguruan yang didasarkan pada agama
Islam. Sedangkan jenjangnya ada Madrasah Ibtidaiyah yaitu sekolah agama Islam
tingkat dasar (SD), Madrasah Sanawiyah yaitu sekolah agama (Islam) pada tingkat
menengah pertama (SMP) , dan Madrasah Aliah yaitu sekolah agama (Islam) pada
tingkat menengah atas (SMA). Sedang bila ditinjau dari aspek sejarah, setidaknya
ada dua faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah. Pertama,
adanya penggugatan atas sistem pendidikan Islam tradisional yang kurang bisa
memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran atas
cepatnya perkembangan lembaga “sekolah” yang dipelopori oleh Belanda, sehingga
bisa menimbulkan pemikiran yang sekuler di Masyarakat. Oleh karena itu, untuk
mengatasi masalah tersebut masyarakat Muslim (utamanya modernis) berusaha
melakukan reformasi melalui upaya pengembangan pendidikan dan pemberdayaan
madrasah.

4
Dapat disimpulkan madrasah adalah lembaga pendidikan yang diakui secara
hukum yang orientasi utamanya untuk mengadakan pembaharuan pendidikan
Islam. Baik dari segi keilmuan, manajemen, sistem pembelajaran, dan pasca
terbitnya SKB 3 Menteri 1975 yaitu untuk memenuhi formalitas (ijazah dll).
Dengan maksud bisa tercapainya generasi umat islam yang mampu menguasai ilmu
pengetahuan agama sekaligus ilmu pengetahuan umum secara seimbang. Madrasah
juga bisa dimaksudkan sebagai bentuk eksistensi sekaligus identitas kultur
keagamaan umat Islam dalam dunia pendidikan Modern. Artinya, dengan
memberikan label atau istilah “madrasah” pada lembaga pendidikan maka terkesan
memiliki nilai kelebihan sendiri.

C. Sekolah
Kata “sekolah” salah satunya memiliki arti “bangunan atau lembaga untuk
belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran.” Serta salah
satu dari beberapa arti lainnya yaitu “usaha menuntut kepandaian (ilmu
pengetahuan); pelajaran; pengajaran.” Sedangkan secara khusus sekolah agama
diartikan sebagai sekolah yang memberikan pendidikan dalam bidang keagamaan.

Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa pendidikan sekolah


diselenggarakan tidak hanya dikhususkan untuk mempelajari ilmu pengetahuan
umum saja. Akan tetapi sebuah usaha untuk menuntu kepandaian dan pembelajaran
pada semua aspek ilmu pengetahuan, termasuk agama.

Menurut H. A. R Tilaar yang dikutip oleh Agus Sholeh dalam sejarahnya,


sekolah merupakan lembaga pendidikan yang didirikan oleh Kolonial Belanda.
Oleh sebab itu wajar bila lembaga sekolah diposisikan secara istimewa, sehingga
tidak memberikan ruang yang proposional bagi umat Islam untuk mngembangkan
potensinya. Dapat disimpulkan bahwa “sekolah” bukan merupakan produk sistem
pendidikan asli Nusantara. Tidak seperti halnya pesantren yang secara kultur
merupakan asli Indonesia.

5
D. Karakteristik Pendidikan Agama Islam pada Pesantren, Madrasah, dan
Sekolah

1. Pesantren

Membicarakan pesantren tidak akan pernah lepas dari sosok seorang


Kyai. Menurut Imam Bawani posisi Kyai dalam pesantren laksana jantung bagi
kehidupan manusia. Intensitas peran Kyai yang begitu kuat dalam membina
pesantren disebabkan karena merekalah yang umumnya menjadi perintis,
pendiri, dan bahkan juga pemilik tunggal dari pesantren. Oleh karena itu wajar
bila pola kepemimpinan pesantren didasarkan pada keturunan dari pendiri
pesantren tersebut karena pesantren merupakan “hak” pribadi. Meskipun
demikian, Kyai dengan kharismanya juga mampu menggandeng masyarakat dan
tentunya untuk ikut membangun dan mengembangkan pesantren menjadi lebih
besar.

Pesantren juga erat kaitannya dengan paradigma dikotomi dalam


memandang sebuah ilmu, yakni memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu
umum. Keduanya diyakini memiliki derajat, hukum, dan fungsi yang berbeda.
Menurut Muhammad Kholid Fathoni paradigma tersebut bisa terjadi karena
dilandasi oleh pola fikir semacam ini:

 Pesantren merupakan benteng terakhir bagi “keutuhan” agama dan budaya


Islam di Indonesia.

 Pengaruh politik penjajahan yang menyemai perlawanan di kalangan rakyat


sehinga berujung pada penolakan atas corak pendidikan umum (sekolah) yang
notabene produk atau dibawa oleh Belanda.

 Doktrin-doktrin dari kita klasik di pesantren yang mengutamakan ilmu agama


(Wajib) dari pada ilmu umum (fardu kifayah). Termasuk di dalamnya
terdapat acara anti “cinta dunia” secara berlebihan.

Karakteristik pesantren yang terkesan kaku tersebut bukan berarti


sepenuhnya tak memiliki makna (nilai positif) sama sekali. Bahkan, berdasarkan

6
fakta-kongkrit di masyarakat menunjukkan bahwa pesantren bisa memajukan
mutu pendidikan dengan cara mereka sendiri. Tentunya dengan kadar
kompetensi lulusan yang mereka bangun sendiri (sesuai dengan ciri khas
pesantren masing-masing). Kepatuhan lembaga pendidikan terhadap aturan dari
pemerintah mereka nilai berdampak pada fenomena pendidikan yang terkooptasi
oleh birokrasi. Dampaknya, visi dan misi yang dibangun sejak awal dapat
dihilangkan sehingga terjadi penumpulan pandangan pesantren dalam membaca
arah kebutuhan (bukan kemauan atau keinginan) masyarakat yang sebenarnya.

Disamping itu, selama ini pesantren telah menawarkan budaya tersendiri.


Yakni, adanya nilai-nilai tauhid, kesederhanaan, kemanusiaan,, keadilan,
kejujuran, kepedulian, kemandirian, dan sebagainya. Bagi pesantren, ukuran
keberhasilan bukan semata-mata dilihat dari seberapa banyak harta terkumpul
dan pekerjaan atau karir apa yang tercapai. Akan tetapi dijangkau dari seberepa
dekat diri manusia kepada Tuhan. Dengan demikian, pesantren harus dilihat
sebagai pesantren, bukan yang lainnya. Pesantren memiliki orientasi hidup
tersendiri dalam pengertian seluas-luasnya. Pesantren tidak perlu ditarik-tarik ke
dalam budaya hidup hedonis, materialis, dan kapitalis yang cenderung menindas
rakyat kecil yang menjadi mayoritas.

Dapat disimpulkan, bahwa selama ini pesantren dikesankan hanya


melatih siswa (santri) untuk bertirakat sebagai upaya mendekatkan diri kepada
Allah hanya dengan jalan “ibadah.” Sedangkan “tarikat” dengan jalan
mempelajari ilmu pengetahuan umum (kecuali praktik ilmu sosial: komunikasi,
antropoligi dan sosiologi untuk kepentingan dakwah agama) belum pernah ada.
Padahal dengan menyingkap alam beserta fenomenanya (sebagai ayat kauniyah)
secara komperhensif bisa menghantarkan manusia dekat kepada Tuhannya. Serta
tentu pada akhirnya juga bisa mewujudkan pengembangan IPTEK secara
produktif sehingga bermanfaat bagi umat Islam. Peran inilah yang selanjutnya
bisa diambil oleh Madrasah secara utuh.

2. Madrasah

7
Sebagaimana yang telah banyak diketahui, bahwa Madrasah merupakan
lembaga pendidikan pembaharuan dari pola pendidikan pesantren. Walaupun
menurut Arief Furchan pembaharuan pada awalnya hanya sekedar mekanisme
dan tampilan saja. Sedangkan kurikulumnya 100% masih berisi pelajaran agama.
Perbedaannya dengan pesantren adalah di Madrasah terdapat bangku, papan
tulis, ulangan, ujian, dan adminstrasi lainnya. Akibatnya, karena kurikulumnya
berbeda maka lulusan atau siswa dari madrasah pada masa itu tidak dapat
melanjutkan atau pindah ke sekolah umum. Adapun orang tua yang ingin
anaknya mendapat ilmu agama sekaligus ilmu umum harus menyekolahkan
anaknya di dua tempat, di sekolah umum dan di madrasah. Dengan kata lain
madrasah seperti itu hakikatnya adalah pesantren tapi berlabel madrasah.

Menurut Maksum, “Dibandingkan dengan pesantren, madrasah relatif


terorganisasi secara baik, dalam hal tujuan, kurikulum, kepemimpinan, dan
proses belajar mengajarnya.” Contoh konkrit dari lembaga pendidikan madrasah
adalah Madarasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah
Aliyah (MA). Dengan kata lain, sesungguhnya Madrasah secara konsep
merupakan bentuk pendidikan yang lebih “mapan” dari pada bentuk pendidikan
di pesantren.

Padak perkembangan selanjutnya, pembaharuan pada madrasah


selanjutnya dilakukan dengan cara pengkombinasian pemikiran, konsep,
kurikulum, dan manajemen dari lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga
sekolah. Bisa dikatakan, bahwa masyarakat (khususnya masyarakat Islam)
seiring dengan perkembangan zaman tidak hanya membutuhkan pengkaderan
umat dalam bidang keagamaan saja (menjadi ahli agama, ulama, dan kia).
Namun, di sisi lain umat Islam juga butuh pengkaderan umat dalam bidang ilmu
umum. Dapat disimpulkan, pendidikan pesantren saja dirasa tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat, begitu pula hanya pendidikan sekolah umum
juga tidak akan cukup. Di sinilah peran madrasah dimunculkan sehingga bisa
menjadi daya tarik tersendiri, utamanya bagi masyarakat santri modern.

3. Sekolah

8
Sekolah dalam pendidikan Islam memiliki kewajiban untuk membimbing
peserta didiknya dalam mendalami Pendidikan Agama Islam. Di mana menurut
Haidar Putra Daulay, bahwa peran trilogi pendidikan yaitu keluarga, sekolah,
dan masyarakat. Di mana pendidikan agama Islam di sekolah hanya sebagian
dari upaya pendidikan. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan agama
harus ada jaringan kerja sama antar tiga wilayah tersebut. Setidaknya sejauh
mana hubungan antara sekolah dengan keluarga (rumah tangga).

Sekolah yang “murni” dari warisan budaya Belanda, sekaligus warisan


kebijakan dan ideologi pendidikan kolonialismenya yang diskriminatif belum
sepenuhnya hilang. Buktinya, ada kesan seakan-akan kebijakan pemerintah lebih
mengutamakan dan mensuperiorkan sekolah dari pada bentuk pendidikan lain.
Sebab secara tersirat, pemisahan antara sekolah yang menjadi anak emas
pemerintah dengan madrasah dan pesantren yang didukung oleh masyarakat
masih terus berlanjut.

Dapat disimpulkan bahwa keberadaan “istilah” sekolah sekarang ini


merupakan produk dari Belanda. Akan tetapi diharapkan semangat dan tujuan
pendidikannya tidak mengacu pada “sekolah” di zaman Belanda. Bagaimanapun
Indonesai bukanlah Belanda. Oleh karena itu sistem pendidikan nasionalnya
hendaknya juga didasarkan pada konteks masyarakat Indonesia.

E. Tujuan Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Sekolah


Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa merupakan sebuah nilai yang tidak bisa dielakkan. Setiap elemen warga negara
wajib mengimplimentasikan perilaku, aturan, dan termasuk juga pendidikan yang
didasarkan pada Ketuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, semua yang
bersangkut paut pada dunia pendidikan dimuarakan pada satu dasar utama yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa. Baru kemudian diturunkan ke dasar-dasar yang lain.
Untuk cara pelaksanaannya lebih rinci tergantung pada masing-masing bentuk
pendidikan.

9
Hal tersebut sesuai dengan pembahasan halaman sebelumnya, yaitu tentang
UUD 1945 amandemen ke-4 Pasal 31 ayat 3. Serta menurut amanat UU Sisdiknas
No. 20 Tahun 2003 bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Dari tiga bentuk pendidikan dalam pembahasan ini, tujuan pendidikan


Islamnya tidak serta merta secara detail harus disamakan. Harus diadakan
assessment outcome, yaitu menelaah terlebih dahulu tolak ukur “kesuksesan”
seperti apa yang ingin dicapai atau diutamakan. Hal itu sekaligus dikaitkan dengan
pengetahuan pendidik tentang sejauh mana kemampuan peserta didik. Misalnya,
tolak ukurnya adalah bisa mengerjakan sholat dhuha secara rutin, bisa membaca
bacaan sholat dengan benar, membaca kitab kuning, bisa memimpin tahlilan, atau
bisa menghafal ayat al Quran dan sebagainya. Oleh karena itu, setiap lembaga
pendidikan harus memperhatikan hasil pendidikan Islam yang berupa produk,
output, dan outcome seperti apa yang ingin dicapai.

F. Kecenderungan Masyarakat dalam Memilih Bentuk Pendidikan Islam


Dalam menghadapi masa (pasca) transisi pendidikan Islam sekarang ini,
sikap orang tua dalam memilih sekolah untuk anaknya dapat di bagi dalam tiga
kecenderungan garis beras:

1. Menjadikan agama sebagai hal yang lebih penting dari pada sekolah. Kendati
terpaksa harus dimasukan pada sekolah umum, maka akan diselingi dengan
pendidikan agama di pesantren.

2. Menjadikan sekolah umum (utamanya favorit) sebagai tujuan utama. Dengan


pertimbangan pendidikan agama bisa dikesampingkan karena bisa dipelajari
lewat media atau jalur pendidikan lain.

10
3. Menjadikan sekolah dan agama sebagai pilihan yang sama-sama penting. Orang
tua seperti ini sebisa mungkin akan menghindari sekolah yang berbasis non
muslim.

Sedangkan, menurut Malik Fajar yang dikutip oleh Agus Sholeh


mengemukakan ada tiga alasan yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam
memilih lembaga pendidikan, yaitu nilai (agama), status sosial, dan cita-cita.
Masyarakat yang terpelajar akan semakin beragam pertimbangannya dalam
memilih pendidikan untuk anak-anaknya.

Faktor-faktor lain yang menjadikan pandangan masyarakat dalam memilih


bentuk pendidikan adalah sebagai berikut:

1. Visi dan misi lembaga; arah pendidikannya ke kultur mana, bidang apa, keahlian
apa, dan ingin dibentuk menjadi apa.

2. Kualitas pendidikan; biasanya ukuran yang digunakan adalah lulus UN, juara
lomba (sains), bisa diterima kampus favorit, dan memiliki keunggulan khusus
(nahwu saraf dan hafal al Quran).

3. Outcome; bisa ikut peran serta dalam kehidupan masyarakat, berkarir, bekerja,
dan berkarya.

4. Fasilitas lembaga; kondisi dan kelengkapan sarana maupun prasarana (fasilitas


dan label yang bonafit).

5. Biaya non operasional; jarak jauh atau dekatnya (untuk biaya kost, transportasi,
dll), biaya tambahan dari sekolah, dan biaya lain.

6. Ijazah; bisa mendapatkan ijazah atau bisa bersekolah untuk martabat dan harga
diri.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari semua pembahasan dapat disimpulkan pelaksanaan pendidikan Islam


di Indonesia secara “kurikulum” tidak pernah bisa lepas dari pengaruh tokoh agama
(kiai dan ulama). Sedangkan pengembangan dan pembangunannya tidak bisa lepas
dari peran serta masyarakat dan kekuasaan (pemerintah). Kedudukan madrasah dan
pesantren tidak hanya sebagai identitas (simbol) keislaman, tapi juga sebagai
tempat untuk indoktrinasi nilai-nilai Islam. Sedangkan sekolah umum belum tentu
akan mau menanamkan nilai-nilai Islam dalam setiap aktivitasnya. Bila sekolah
“umum” itu berbasis pesantren maka nilai-nilai Islam akan ditanamkan. Namun,
bila sekolah itu berbasis “nasional” dan “dikendalikan” pemerintah maka akan
menanamkan nilai-nilai keindonesaan. Tentunya itu juga akan tergantung
Stakeholders dan otoritas dari sekolah tersebut.

Dengan kata lain, Kemandirian (idependensi) madrasah dan pesantren


ditentukan oleh masyarakat bukan pemerintah. Asumsinya, masyarakat “dapat”
merubah madrasah dan pesantren, serta sebaliknya madrasah dan pesantrenlah yang
merubah masyarakat. Dengan kata lain dinamika madrasah tidak lepas dari arah
dinamika masyarakat, begitu juga sebaliknya. Sedangkan untuk pendidikan
berbentuk sekolah (utamanya manajemen) lebih banyak yang tunduk pada aturan
“kaku” pemerintah. Pada kenyataannya, harus diakui pada akhir-akhir ini bahwa
teori semacam itu sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat yang mulai kritis
dalam memilih pendidikan bagi generasi mudanya.

Dengan demikian, sebagai dasar konsistensi dan standar maka konsep


pendidikan Islam yang ideal adalah pendidikan Madrasah yang benar-benar
menjadi “Madrasah” sesungguhnya. Yakni, yang melakukan integrasi ilmu secara
konsisten. Bukan madrasah “kamuflase” yang hanya menggabungkan jam pelajaran
antara jam pelajaran agama di pesantren dengan jam pelajaran di sekolah umum.

12
Sedangkan pilihan lainnya adalah konsep pendidikan berbentuk sekolah yang
berbasis pesantren. Yakni, pengintegrasian nilai-nilai luhur atau budaya (ciri khas)
pesantren serta nilai Islam disertai dengan mempelajari ilmu pengetahuan umum.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, “Intelektualitas dan Moralitas adalah Keunggulan Madrasah,”


http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=7039#.VDT-
WVdHUwo, 07 April 2014, diakses tanggal 25 Mei 2022.

Anonim. “Menag: Madrasah Kini Jadi ‘Trendsetter”


http://beritasore.com/2014/09/22/menag-madrasah-kini-jadi-trendsetter/, 22
September 2014, diakses tanggal 25 Mei 2022.

Ali, Mohammad. “Pengembangan Pendidikan Islam di Sekolah,”


http://www.ispi.or.id/2010/09/19/pengembangan-pendidikan-agama-islam-di-
sekolah/, 19 September 2010, diakses tanggal 25 Mei 2022.

An-Nahidl, Nunu Ahmad dkk. Posisi Madrasah dalam Pandangan Masyarakat.


Jakarta: Gaung Persada, 2007.

Asyhad, Saiful. “Keunggulan Pembelajaran Pesantren Salaf,”


http://www.lirboyo.net/keunggulan-pembelajaran-pesantren-salaf/, diakses
tanggal 25 Mei 2022.

Bakhtiar, Nurhasanah. “Pola Pendidikan Pesantren: Studi Terhadap Pesantren se-Kota


Pekanbaru,” ftk.uin-suska.ac.id/attachments/article/12/nurhasanah_pola.pdf,
diakses tanggal 25 Mei 2022.

Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di


Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.

Fathoni, Muhammad Kholid. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [Paradigma


Baru]. Jakarta: Depag RI Dirjend Kelembagaan Agama Islam, 2005.

Furchan, Arief. “Pemberdayaan Madrasah dan Tantangan Globalisasi,”


http://www.pendidikanislam.net/index.php/makalah/41-makalah-tertulis/293-
pemberdayaan-madrasah-, 14 November 2009, diakses tanggal 25 Mei 2022.

Hamid, Abdulloh dan Putu Sudira, “Penanaman Nilai-nilai Karakter Siswa SMK
Salafiyah Program Keahlian Tekni Komputer dan Jaringan (TKJ) Kajen,

14
Margoyoso, Pati, Jawa Tengah,” email: doelhamid07@gmail.com, file
didownload tanggal 25 Mei 2022.

Hanafy, Muh. Sain. “Paradigma Baru Pendidikan Islam dalam Upaya Menjawab
Tantangan Global,” Lentera Pendidikan, Vol. 12 No.2 (Desember, 2009), 174.

Haningsih, Sri. “Peran Strategis Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Islam di Indonesia,”
el-Tarbawi Jurnal Pendidikan Islam No. 1 Vol. 1 2008, 27-39.

Khusnuridho, Pemaparan dalam perkuliahan Program Pascasarjana STAIN Kediri


pada Mahasiswa angakatan ke-2.

Kusasi, “Perhatian Pemerintahan Terhadap Pondok Pesantren,”


http://kaltim.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=22574, 04 Desember 2013,
diakses tanggal 25 Mei 2022.

Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,


1999.

Malaka, Zuman. “Peranan Pondok Pesantren Dalam Tatanan Global,”


http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=berita&var=detail&id=323, 18
Pebruari 2012, diakses tanggal 25 Mei 2022.

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah,


dan Perguruan Tinggi. Jakarta: RajaGrafindo, 2005.

Peraturan Pemerintah RI No. 55 tahun 2007 Pasal 26 ayat 1.

Qomar, Mujamil. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi


Institusi. Jakarta: Erlangga, Tanpa Tahun.

Sholeh, Agus. “Posisi Madrasah di Tengah Tuntutan Kualtas,” dalam Sejarah Sosial
Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan. Jakarta: Kencana, 2005.

Suprayogo, Imam. Pendidikan Berparadigma al-Qur’an: Pergulatan Membangun


Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang, 2004.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

15

Anda mungkin juga menyukai