Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kajian tentang perbandingan madrasah, pondok pesantren, dan sekolah
– sebagai tiga “bentuk pendidikan” yang terbesar di Indonesia– khususnya
terkait dengan implementasi Pendidikan Agama Islam bukan sebuah hal baru.
Diskusi tentang itu sesungguhnya telah ada sejak pemerintah Indonesia
meresmikan “madrasah” melalui SKB Tiga Menteri Tahun 1975 sebagai
lembaga pendidikan yang diakui sebagaimana sekolah umum. Lalu pada
akhir-akhir inipun pesantren –sebagai corak pendidikan asli milik masyarakat
Indonesia– pasca disahkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 juga telah
mendapat tempat yang “sejajar” dengan lembaga pendidikan lainnya di mata
pemerintah. Meskipun keberadaan pesantren “murni” di mata pemerintah
diletakkan pada jalur pendidikan nonformal. Oleh sebab itu wajar bila
setelahnya terjadi penilaian, perbandingan, dan pembaharuan terhadap
masing-masing (tiga) bentuk pendidikan tersebut.
B. Rumusan Masalah
Agar pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya,
maka diperlukan suatu batasan masalah:
1. Bagaimana Konsep dasar tentang bentuk pendidikan di Indonesia yang
meliputi Madrasah dan Pesantren?
2. Bagaimana Kecenderungan masyarakat dalam memilih bentuk
Pendidikan?
3. Bagaimana Konsep bentuk pendidikan Islam yang ideal?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar
1. Bentuk Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Sebenarnya bentuk dan penyebutan lembaga Pendidikan di
Indonesia sangat banyak. Namun, secara garis besar–salah satunya yang
mempunyai siswa terbanyak adalah lembaga pendidikan yang berbentuk
madrasah dan pesantren . Menurut Mohammad Ali Pendidikan Islam dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk. Pertama, pendidikan agama
diselenggarakan dalam bentuk Pendidikan Agama Islam (PAI) di satuan
pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Itu artinya dalam
pemahaman penulis, pendidikan Islam hanya berwujud alokasi mata
pelajaran saja pada umum, yang wajib diberikan pada muridnya. Kedua,
pendidikan umum yang berciri khas Islam pada satuan pendidikan di
semua jenjang dan jalur pendidikan. Menurut penulis, baik Madrasah
maupun umum yang bercirikan Islam ( Islam) misalnya SMP Islam atau
SMP Maarif masuk ke dalam bentuk nomer dua ini. Ketiga, pendidikan
keagamaan Islam pada berbagai satuan pendidikan diniyah dan pesantren
yang diselenggarakan pada semua jalur pendidikan (tidak ada penjelasan
tentang jenjang pendidikannya).1
Dari pernyataan tersebut, pemahaman yang ada pada penulis
tentang pesantren adalah pendidikan keagamaan secara “kejenjangan”
pendidikan tidak bisa disetarakan dengan pendidikan Madrasah dan
Pesantren . Implikasinya, peserta didik dari pesantren murni (tanpa terlebih
dahulu berproses di madrasah atau umum) atau diniyah tidak bisa
berpindah (utamanya) ke jenjang pendidikan dasar dan menengah pada
umum. Di sisi lain, apabila didasarkan pada UU Sisdiknas 2003 (pasal 26
ayat 6 dan pasal 27) digambarkan bahwa pendidikan keagamaan (termasuk
pesantren dan diniyah) masuk dan diakui keberadaannya sederajat dan

1
Sri Haningsih, “Peran Strategis Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Islam di Indonesia,”
el-Tarbawi Jurnal Pendidikan Islam No. 1 Vol. 1 2008, 27-39
setara (sesudah diadakan penilaian penyetaraan yang mengacu pada
Standar Nasional Pendidikan) dengan pendidikan formal lain (Madrasah
dan umum).2 Implikasinya adalah seluruh bentuk pendidikan yang
dikatakan sederajat bisa saling menerima pindahan atau pendidikan
lanjutan, tanpa mempersoalkan latar belakang jenis pendidikan
sebelumnya.
Dari pembahasan di atas, maka dipandang perlu untuk
mendefinisikan istilah madrasah dan pesantren secara lebih konkrit yang
didasarkan konteks kekinian. Hal ini untuk membatasi pengertian dan
adanya dasar pijakan jelas agar terhindar dari kerancuan atau multi tafsir.
Oleh karena itu perlu dirumuskan penjelasan istilah sebagai berikut:
a. Madrasah
Madrasah adalah atau perguruan yang didasarkan pada agama
Islam. Sedangkan jenjangnya ada Madrasah Ibtidaiyah yaitu agama
Islam tingkat dasar (SD), Madrasah Tsanawiyah yaitu agama (Islam)
pada tingkat menengah pertama (SMP), dan Madrasah Aliah yaitu
agama (Islam) pada tingkat menengah atas (SMA).3 Sedang bila
ditinjau dari aspek sejarah, setidaknya ada dua faktor penting yang
melatarbelakangi kemunculan madrasah. Pertama, adanya
penggugatan atas sistem pendidikan Islam tradisional yang kurang bisa
memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya
kekhawatiran atas cepatnya perkembangan lembaga “yang dipelopori
oleh Belanda, sehingga bisa menimbulkan pemikiran yang sekuler di
Masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut
masyarakat Muslim (utamanya modernis) berusaha melakukan
reformasi melalui upaya pengembangan pendidikan dan pemberdayaan
madrasah. 4

2
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003), hlm. 4, 13
3
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah,
dan Perguruan Tinggi (Jakarta: RajaGrafindo, 2005), hlm. 183
4
Ibid, h. 184
Dapat disimpulkan madrasah adalah lembaga pendidikan yang
diakui secara hukum yang orientasi utamanya untuk mengadakan
pembaharuan pendidikan Islam. Baik dari segi keilmuan, manajemen,
sistem pembelajaran, dan pasca terbitnya SKB 3 Menteri 1975 yaitu
untuk memenuhi formalitas (ijazah dll). Dengan maksud bisa
tercapainya generasi umat islam yang mampu menguasai ilmu
pengetahuan agama sekaligus ilmu pengetahuan umum secara
seimbang. Madrasah juga bisa dimaksudkan sebagai bentuk eksistensi
sekaligus identitas kultur keagamaan umat Islam dalam dunia
pendidikan Modern. Artinya, dengan memberikan label atau istilah
“madrasah” pada lembaga pendidikan maka terkesan memiliki nilai
kelebihan sendiri. 5
b. Pesantren
Kata pesantren berasal dari kata dasar “santri,” sehingga bisa
menjadi kata pesantrian atau yang lebih dikenal dengan pesantren.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pesantren berarti “asrama
tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji” atau bisa
diartikan sebagai “pondok.” Sedangkan kata pondok punya arti
pertama “bangunan untuk tempat sementara” (seperti yang didirikan di
ladang, di hutan), kedua “rumah (sebutan untuk merendahkan diri),”
ketiga bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak dan berdinding
bilik dan beratap rumbai (tempat tinggal beberapa keluarga), empat
“madrasah dan asrama (tempat mengaji, belajar agama Islam).”6
Dari pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan secara
kebahasaan, istilah “Pondok Pesantren” merupakan bentuk istilah
pemborosan kata. Terutama bila hal ini digunakan sebagai tema kajian
dalam tulisan ilmiah. Selain itu kata “pondok,” sebagaimana
penjelasan di atas bisa bermakna luas. Salah satunya bisa kepada
konotasi negatif yaitu sebagai istilah pengganti kata “rumah” yang

5
Ibid,
6
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi (Jakarta: Erlangga, Tanpa Tahun), hlm. 1.
diungkapkan untuk merendahkan diri. Adapun menurut Mujamil
Qomar istilah pondok bisa menjadi pembeda dengan pesantren tatkala
di dalamnya terdapat asrama. Makna pondok sebagai asrama itu pada
kenyataannya telah mengalami pergeseran “fungsi.” Awalnya untuk
memperlancar proses belajar dan adanya keterjalinan hubungan peserta
didik dengan ustad atau Kiai, pada akhirnya hanya sebagai tempat tidur
semata bagi pelajar atau mahasiswa yang belajar di lembaga (umum)
lain. Oleh karena itu penggunaan istilah pesantren menurut penulis
pada pembahasan selanjutnya lebih tepat untuk digunakan secara
konsisten.7
Dalam kajian hukum kenegaraan, pesantren merupakan jenis
pendidikan keagamaan, dimana menurut Undang-undang bahwa
“Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-
nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.” Dari situ
dapat dikatakan bahwa pesantren merupakan lembaga yang
menfungsikan diri sebagai lembaga yang hanya memfokuskan diri
pada hal-hal yang terkait dengan ajaran agama Islam. Artinya, pada
pesantren bisa terdapat pondok (asrama) untuk menginap santri atau
bisa juga tidak ada sehingga santri pulang pergi dari rumah.
Dengan demikian, pesantren merupakan lembaga yang tumbuh
dari bawah, yaitu karena dikehendaki dan dibangun oleh masyarakat
bahkan oleh perangkat pemerintahan desa. Namun demikian, peran
Kiai sebagai sosok utama dalam pendirian dan pengembangannya
sangat dominan. Bisa dikatakan bahwa pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam yang paling otonom. Artinya lembaga yang tidak
bisa diintervensi dari sudut pandang apapun oleh pihak-pihak luar
kecuali atas izin Kiai. Dari sini dapat dilihat bahwa Kiai merupakan

7
Ibid, h. 2
sosok pemimpin yang menentukan kebijakan secara mutlak, sebagai
pusat kurikulum, dan sebagai “pemilik” pondok pesantren.8
2. Karakteristik Pendidikan Agama Islam pada Madrasah dan
Pesantren.
Menurut banyak kalangan, proses pendidikan banyak dipengaruhi
atau malah ditentukan oleh dinamika politik (kekuasaan), budaya, dan
dinamika masyarakat luas. Dengan demikian corak atau karakteristik
pendidikan juga pasti mengalami perubahan sesuai dengan keadaan
zaman. Meskipun ada nilai-nilai serta identitas (simbol) tertentu yang tidak
bisa digerus zaman dengan mudah, bahkan bisa dikatakan sangat sulit
dirubah bahkan oleh kekuasaan politik sekalipun. Lembaga seperti ini
biasanya memiliki basis pendukung (utamanya masyarakat) yang kuat
sehingga bisa mempertahakan diri dari intervensi luar. Meski pada sudut
lainnya dengan terpaksa harus mengikuti perkembangan zaman.
Fenomena seperti di atas yang akan menjadi titik tekan penulis.
Yakni, karakteristik Pendidikan Agama Islam seperti apakah yang sedang
“terjadi” sekarang ini pada Madrasah dan pesantren . Apakah masing-
masing dari mereka benar-benar kehilangan karakter atau corak (identitas)
yang sejak awal telah melekat kuat. Atau malah masing-masing malah
semakin menjauh satu sama lain lalu saling bertolak belakang dan saling
bertentangan. Kemungkinan lain bisa jadi dari ketiga bentuk pendidikan
tersebut melakukan “akulturasi” sistem pendidikan. Yakni, melakukan
tambal sulam dengan mengambil sistem pendidikan lain yang dipandang
cocok diterapkan dengan karakteristik awal. Namun tetap
mempertahankan dengan kuat semangat dan tujuan awal dari didirikannya
lembaga tersebut.9
Dari penjelasan di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa corak
atau model pesantren modern dengan pesantren tradisional juga akan
menghasilkan kompetensi (corak) peserta didik yang berbeda pula.

8
Ibid, h. 3
9
Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [Paradigma
Baru] (Jakarta: Depag RI Dirjend Kelembagaan Agama Islam, 2005), hlm. 160
Walaupun resikonya adalah akan tercipta kader-kader umat Islam yang
beranekaragam kemampuannya. Dengan adanya dialog antar “keragaman”
tersebut, diharapkan akan terjadi pengembangan-pengembangan terbaru.
Yakni, yang bisa menemukan solusi permasalahan yang tepat bagi
kebutuhan masyarakat.
Lebih nyata, fenomena unik pada dunia pendidikan telah terjadi di
kehidupan masyarakat. Salah satu faktornya adalah terdapat adaptasi yang
berlebihan (diluar pakem) oleh lembaga pendidikan. Dilakukan agar
lembaga tersebut tetap diminati dan bisa diterima oleh masyarakat.
Implikasinya, secara simbol (identitas) atau corak terjadi pengkaburan
batas antara mana yang madrasah, mana yang pesantren, dan mana yang
umum. Adanya difusi yang ekstrem tersebut menyebabkan sulit
membedakan bentuk pendidikan seperti apa yang disuguhkan tersebut,
kecuali hanya rohnya yang menjadi ciri khas (hakikat) perjuangan masing-
masing lembaga, nama (label), dan kurikulum tersembunyi (hidden
curiculum) secara detail-operasional.
Dapat disimpulkan, meskipun merupakan “kasus” akhir-akhir ini
telah terjadi yang namanya “fenomena unik.” Yakni, banyak lulusan dari
madrasah dan pesantren yang sangat sulit dibedakan kemampuannya.
Artinya, ada lulusan pesantren yang menguasai ilmu umum serta di sisi
lain banyak yang menguasai dan menerapkan nilai-nilai Islam dengan
baik.10 Bila itu terjadi, masyarakat akan sulit membedakan mana lulusan
dari madrasah, mana yang dari pesantren, dan mana yang dari . Secara
kasat mata (kulitnya) semua seakan sama saja.
Berangkat dari semua penjelasan di atas maka penulis menganggap
perlu diadakan pembedahan pada tiga bentuk pendidikan. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui perbedaan karakteristik masing-masing.
Dengan itu diharapkan bisa ditemukan kelebihan dan kelemahan masing-
masing. Oleh karena itu, penulis memaparkan secara detail terkait hal itu
sebagai berikut:

10
Ibid, h. 161
a. Madrasah
Sebagaimana yang telah banyak diketahui, bahwa Madrasah
merupakan lembaga pendidikan pembaharuan dari pola pendidikan
pesantren. Walaupun menurut Arief Furchan pembaharuan pada
awalnya hanya sekedar mekanisme dan tampilan saja. Sedangkan
kurikulumnya 100% masih berisi pelajaran agama. Perbedaannya
dengan pesantren adalah di Madrasah terdapat bangku, papan tulis,
ulangan, ujian, dan administrasi lainnya. Akibatnya, karena
kurikulumnya berbeda maka lulusan atau siswa dari madrasah pada
masa itu tidak dapat melanjutkan atau pindah ke umum. Adapun orang
tua yang ingin anaknya mendapat ilmu agama sekaligus ilmu umum
harus menyekolahkan anaknya di dua tempat, di umum dan di
madrasah.11 Dengan kata lain madrasah seperti itu hakikatnya adalah
pesantren tapi berlabel madrasah.
Menurut Maksum, “Dibandingkan dengan pesantren, madrasah
relatif terorganisasi secara baik, dalam hal tujuan, kurikulum,
kepemimpinan, dan proses belajar mengajarnya.” Contoh konkrit dari
lembaga pendidikan madrasah adalah Madrasah Ibtidaiyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA).12 Dengan
kata lain, sesungguhnya Madrasah secara konsep merupakan bentuk
pendidikan yang lebih “mapan” dari pada bentuk pendidikan di
pesantren.
Pada perkembangan selanjutnya, pembaharuan pada madrasah
selanjutnya dilakukan dengan cara pengkombinasian pemikiran,
konsep, kurikulum, dan manajemen dari lembaga pendidikan pesantren
dengan lembaga . Bisa dikatakan, bahwa masyarakat (khususnya
masyarakat Islam) seiring dengan perkembangan zaman tidak hanya
membutuhkan pengkaderan umat dalam bidang keagamaan saja
(menjadi ahli agama, ulama, dan kia). Namun, di sisi lain umat Islam

11
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), hlm 8
12
Ibid, h. 9
juga butuh pengkaderan umat dalam bidang ilmu umum. Dapat
disimpulkan, pendidikan pesantren saja dirasa tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat, begitu pula hanya pendidikan
umum juga tidak akan cukup. Di sinilah peran madrasah dimunculkan
sehingga bisa menjadi daya tarik tersendiri, utamanya bagi masyarakat
santri modern.
b. Pesantren
Membicarakan pesantren tidak akan pernah lepas dari sosok
seorang Kyai. Menurut Imam Bawani posisi Kyai dalam pesantren
laksana jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas peran Kyai yang
begitu kuat dalam membina pesantren disebabkan karena merekalah
yang umumnya menjadi perintis, pendiri, dan bahkan juga pemilik
tunggal dari pesantren.13 Oleh karena itu wajar bila pola
kepemimpinan pesantren didasarkan pada keturunan dari pendiri
pesantren tersebut karena pesantren merupakan “hak” pribadi.
Meskipun demikian, Kiai dengan kharismanya juga mampu
menggandeng masyarakat dan tentunya untuk ikut membangun dan
mengembangkan pesantren menjadi lebih besar.
Pesantren juga erat kaitannya dengan paradigma dikotomi
dalam memandang sebuah ilmu. Yakni, memisahkan antara ilmu
agama dengan ilmu umum. Keduanya diyakini memiliki derajat,
hukum, dan fungsi yang berbeda. Menurut Muhammad Kholid Fathoni
paradigma tersebut bisa terjadi karena dilandasi oleh pola fikir
semacam ini:
1) Pesantren merupakan benteng terakhir bagi “keutuhan” agama dan
budaya Islam di Indonesia.
2) Pengaruh politik penjajahan yang menyemai perlawanan di
kalangan rakyat sehingga berujung pada penolakan atas corak
pendidikan umum yang notabene produk atau dibawa oleh
Belanda.

13
Ibid, h. 10
3) Doktrin-doktrin dari kita klasik di pesantren yang mengutamakan
ilmu agama (Wajib) dari pada ilmu umum (fardu kifayah).
Termasuk di dalamnya terdapat acara anti “cinta dunia” secara
berlebihan.14
Karakteristik pesantren yang terkesan kaku tersebut bukan berarti
sepenuhnya tak memiliki makna (nilai positif) sama sekali. Bahkan,
berdasarkan fakta-kongkrit di masyarakat menunjukkan bahwa pesantren
bisa memajukan mutu pendidikan dengan cara mereka sendiri. Tentunya
dengan kadar kompetensi lulusan yang mereka bangun sendiri (sesuai
dengan ciri khas pesantren masing-masing). Kepatuhan lembaga
pendidikan terhadap aturan dari pemerintah mereka nilai berdampak pada
fenomena pendidikan yang terkooptasi oleh birokrasi. Dampaknya, visi
dan misi yang dibangun sejak awal dapat dihilangkan sehingga terjadi
pengumpulan pandangan pesantren dalam membaca arah kebutuhan
(bukan kemauan atau keinginan) masyarakat yang sebenarnya.15
Disamping itu, selama ini pesantren telah menawarkan budaya
tersendiri. Yakni, adanya nilai-nilai tauhid, kesederhanaan, kemanusiaan,,
keadilan, kejujuran, kepedulian, kemandirian, dan sebagainya. Bagi
pesantren, ukuran keberhasilan bukan semata-mata dilihat dari seberapa
banyak harta terkumpul dan pekerjaan atau karir apa yang tercapai. Akan
tetapi dijangkau dari seberapa dekat diri manusia kepada Tuhan. Dengan
demikian, pesantren harus dilihat sebagai pesantren, bukan yang lainnya.
Pesantren memiliki orientasi hidup tersendiri dalam pengertian seluas-
luasnya. Pesantren tidak perlu ditarik-tarik ke dalam budaya hidup
hedonis, materialis, dan kapitalis yang cenderung menindas rakyat kecil
yang menjadi mayoritas.16
Dapat disimpulkan, bahwa selama ini pesantren dikesankan hanya
melatih siswa (santri) untuk bertirakat sebagai upaya mendekatkan diri

14
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 44.
15
Ibid, h. 45
16
Ibid,
kepada Allah hanya dengan jalan “ibadah.” Sedangkan “tarikat” dengan
jalan mempelajari ilmu pengetahuan umum (kecuali praktik ilmu sosial:
komunikasi, antropologi dan sosiologi untuk kepentingan dakwah agama)
belum pernah ada. Padahal dengan menyingkap alam beserta fenomenanya
(sebagai ayat kauniyah) secara komprehensif bisa menghantarkan manusia
dekat kepada Tuhannya. Serta tentu pada akhirnya juga bisa mewujudkan
pengembangan IPTEK secara produktif sehingga bermanfaat bagi umat
Islam. Peran inilah yang selanjutnya bisa diambil oleh Madrasah secara
utuh.
B. Kecenderungan Masyarakat dalam memilih bentuk Pendidikan Islam
Dalam menghadapi masa (pasca) transisi pendidikan Islam sekarang
ini, sikap orang tua dalam memilih sekolah untuk anaknya dapat di bagi dalam
tiga kecenderungan garis beras:
1. Menjadikan agama sebagai hal yang lebih penting dari pada sekolah.
Kendati terpaksa harus dimasukan pada sekolah umum, maka akan
diselingi dengan pendidikan agama di pesantren.
2. Menjadikan sekolah umum (utamanya favorit) sebagai tujuan utama.
Dengan pertimbangan pendidikan agama bisa dikesampingkan karena bisa
dipelajari lewat media atau jalur pendidikan lain.
3. Menjadikan sekolah dan agama sebagai pilihan yang sama-sama penting.
Orang tua seperti ini sebisa mungkin akan menghindari sekolah yang
berbasis non muslim.17
Sedangkan Menurut Malik Fajar yang dikutip oleh Agus Sholeh
mengemukakan ada tiga alasan yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam
memilih lembaga pendidikan, yaitu nilai (agama), status sosial, dan cita-cita.
Masyarakat yang terpelajar akan semakin beragam pertimbangannya dalam
memilih pendidikan untuk anak-anaknya.18
Dari penjelasan tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa madrasah,
pesantren, dan sekolah memiliki pangsa pasar tersendiri yang fanatik. Meski

17
Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma al-Qur’an: Pergulatan Membangun
Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam (Malang: UIN Malang, 2004), hlm. 224
18
Ibid,
keadaan madrasah dan pesantren serba minim, akan tetapi masih tetap ada
yang meminatinya
C. Konsep Bentuk Pendidikan Islam yang Ideal
1. Konsep PAI di Madrasah
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan bahwa
pesantren dan madrasah kini mampu tampil percaya diri dalam melakukan
perubahan-perubahan. Bahkan bisa dikatakan madrasah menjadi
pengendali “model” bukan sekedar sebagai “pengikut” arus model
pendidikan di Indonesia.19 Dengan pengertian itu, sesungguhnya upaya
pembaharuan Madrasah harus terus dilakukan. Baik terkait dengan
kurikulum, sarana-prasarana, akuntabilitas, pelayanan, dan sebagainya.
Pada akhirnya Madrasah bisa menjadi madrasah yang sesungguhnya dan
sesuai dengan semangat awal berdirinya, yaitu semangat pembaharuan.
Selain itu menurut Nur Kholis Setiawan, madrasah juga diklaim
telah berhasil mendidik anak bangsa dalam dua hal secara sekaligus.
Yakni, ilmu (intelektual) dan moral (akhlakul karimah). Jarang sekali atau
bahkan tidak pernah ditemukan siswa dari madrasah melakukan tawuran.
Hal inilah yang menjadi keunggulan sekaligus kekuatan madrasah. Lebih
lanjut indikator keberhasilan pendidikan di Madrasah adalah ketika
mampu mencetak siswa dengan penguasaan ilmu pengetahuan sekaligus
mampu mempertanggungjawabkan atas ilmunya. Oleh karena itu semua
guru diharapkan selalu menggali dan mengkaji sekaligus menerapkan
teori-teori pengetahuan Islam untuk mengembangkan mutu madrasah.
Diharapkan adanya penguasaan mata pelajaran umum harus diimbangi
dengan penguasaan ilmu agama.
Sebagaimana pembahasan sebelumnya, sesungguhnya Madrasah
berdiri, tumbuh, dan berkembang karena adanya keterlibatan masyarakat.
Dengan demikian, sesungguhnya Madrasah telah lebih dulu menerapkan

19
Ibid, h. 225
konsep pendidikan berbasis masyarakat.20 Masyarakat sebagai individu
maupun organisasi telah membangun madrasah untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan agama sekaligus pendidikan “formal” untuk
mereka. Di mana hal itu sesuai dengan isi Undang-undang Sisdiknas 2003
Pasal 55 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Masyarakat berhak
menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan
formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial,
dan budaya untuk kepentingan masyarakat.”
Adapun menurut Muhaimin Kurikulum madrasah perlu
dikembangkan secara terpadu, dengan memposisikan nilai-nilai Islam
sebagai petunjuk dan sumber konsultasi bagi pengembangan berbagai
mata pelajaran umum. Secara operasional, guru mata pelajaran umum
bekerja sama dengan guru PAI untuk menyusun disain pembelajaran
secara konkret dan detail. Dengan kata lain, dalam madrasah perlu
dilakukan upaya spirtualisasi pendidikan atau menginternalisasikan nilai-
nilai Agam Islam melalui proses pendidikan ke dalam seluruh aspek
pendidikan Madrasah. Hal ini untuk mengintegrasikan nilai-nilai ilmu
pengetahuan umum dan seni dengan keimanan dan kesalehan dalam diri
siswa.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk
pendidikan madrasah sesungguhnya memiliki nilai potensial yang lebih
besar dari pada yang lainnya. Hal itu dengan artian bahwa madrasah harus
mampu mengadakan pengintragasian antara ilmu umum dengan ilmu
agama. Bukan hanya mengadakan penambahan (penjumlahan) antara jam
di pendidikan sekolah dengan jam pendidikan di pesantren tanpa diadakan
integrasi.
2. Konsep PAI di Pesantren
Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua di Indonesia.
Sampai sekarang pun sistem pendidikan –yang murni- pesantren masih

20
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah,
dan Perguruan Tinggi (Jakarta: RajaGrafindo, 2005), hlm. 190
ada tak tergerus dengan dinamika zaman. Salah satu yang menjadi ciri
menarik dan tak tergerus zaman adalah sistem pendidikan di pesantren
terdapat keintegrasian antara keislamaan dengan keindonesiaan (budaya),
kesederhanaan, dan hubungan kyai dengan santri yang begitu emosional.21
Meskipun pada sebagian pesantren tertentu telah mengadakan
keterbukaan, penyerapan, bahkan melakukan pembaharuan pada sistem
pendidikannya. Mulai yang paling ringan adalah membolehkan santri
untuk mengikuti pendidikan umum di luar lingkungan pesantren, karena
pesantren tidak memfasitilasi pembelajaran ilmu umum. Adapun yang
paling berani adalah pesantren (utamanya yang baru/mulai didirikan) telah
merubah sistem pendidikan pesantren lama, dari tradisional menjadi benar-
benar baru (modern).
Keungulan pesantren dalam karekter kehidupan adalah melatih
peserta didik untuk istiqomah (disiplin), beradab unggul (berkarakter), dan
adanya keberkahan (penuh makna).22 [45] Selama ini pesantren sebagai
lembaga pendidikan dikesankan sebagai lembaga yang tradisional, tak
tersentuh dinamika masyarakat, dan terselimuti oleh bentuk pembelajaran
yang monoton. Dalam konteks sistem pendidikan Nasional sekarang ini,
pernyataan itu tidak sepenuhnya benar. Pada masa sekarang ini, banyak
pesantren yang sudah melakukan transformasi diri. Baik dari segi
kurikulum, manajemen serta pengelolaan (kepemimpinan), metode
pengajaran, dan metode pendekatan terhadap zaman.

21
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 5
22
Ibid,
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari semua pembahasan dapat disimpulkan pelaksanaan pendidikan
Islam di Indonesia secara “kurikulum” tidak pernah bisa lepas dari pengaruh
tokoh agama (kiai dan ulama). Sedangkan pengembangan dan
pembangunannya tidak bisa lepas dari peran serta masyarakat dan kekuasaan
(pemerintah). Kedudukan madrasah dan pesantren tidak hanya sebagai
identitas (simbol) keislaman, tapi juga sebagai tempat untuk indoktrinasi nilai-
nilai Islam. Sedangkan sekolah umum belum tentu akan mau menanamkan
nilai-nilai Islam dalam setiap aktivitasnya.
Dengan kata lain, Kemandirian (independensi) madrasah dan pesantren
ditentukan oleh masyarakat bukan pemerintah. Asumsinya, masyarakat
“dapat” merubah madrasah dan pesantren, serta sebaliknya madrasah dan
pesantrenlah yang merubah masyarakat.
Dengan demikian, sebagai dasar konsistensi dan standar maka konsep
pendidikan Islam yang ideal adalah pendidikan Madrasah yang benar-benar
menjadi “Madrasah” sesungguhnya. Yakni, yang melakukan integrasi ilmu
secara konsisten. Bukan madrasah “kamuflase” yang hanya menggabungkan
jam pelajaran antara jam pelajaran agama di pesantren dengan jam pelajaran di
sekolah umum. Sedangkan pilihan lainnya adalah konsep pendidikan
berbentuk sekolah yang berbasis pesantren. Yakni, pengintegrasian nilai-nilai
luhur atau budaya (ciri khas) pesantren serta nilai Islam disertai dengan
mempelajari ilmu pengetahuan umum.
B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan
manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA

Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di


Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.

Fathoni, Muhammad Kholid. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional


[Paradigma Baru]. Jakarta: Depag RI Dirjend Kelembagaan Agama
Islam, 2005.

Haningsih, Sri. “Peran Strategis Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Islam di


Indonesia,” el-Tarbawi Jurnal Pendidikan Islam No. 1 Vol. 1 2008, 27-39.

Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana


Ilmu, 1999.

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,


Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo, 2005.

Qomar, Mujamil. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju


Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga, Tanpa Tahun.

Sholeh, Agus. “Posisi Madrasah di Tengah Tuntutan Kualtas,” dalam Sejarah


Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan. Jakarta: Kencana, 2005.

Suprayogo, Imam. Pendidikan Berparadigma al-Qur’an: Pergulatan Membangun


Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang, 2004.

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang,
2003), hlm. 4, 13.

Anda mungkin juga menyukai