Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DAN BUDAYA


SEKOLAH/MADRASAH/PESANTREN

Mata Kuliah : Manajemen Lembaga Pendidikan


Islam
Dosen Pengampu : Dr. Edy Kusnadi, M.Phil
Dr. Abdullah Yunus, M.Pd.I

Disusun oleh :
FAHRIZAL NOVER
NIM. 801210132

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. Shalawat dan salam
kita panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. karena atas
hidayah-Nya-lah makalah ini dapat diselesaikan.
Makalah ini penulis sampaikan kepada pembina mata kuliah
Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. sebagai salah satu syarat kelulusan
mata kuliah tersebut. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada bapak dosen
yang telah berjasa mencurahkan ilmu kepada penulis dalam mengajar mata
kuliah ini.
Penulis memohon kepada bapak khususnya. umumnya para
pembaca untuk memberikan saran perbaikan apabila menemukan kesalahan atau
kekurangan dalam sistematika penulisan maupun dalam penyampaian isi. Selain
itu. penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada
semua pembaca demi lebih baiknya karya-karya tulis yang akan datang.

Jambi. Oktober 2022

Penulis
A. Pendahuluan
Kajian tentang perbandingan madrasah, pondok pesantren, dan sekolah
sebagai tiga “bentuk pendidikan” yang terbesar di Indonesia khususnya terkait
dengan implementasi Pendidikan Agama Islam bukan sebuah hal baru. Diskusi
tentang itu sesungguhnya telah ada sejak pemerintah Indonesia meresmikan
“madrasah” melalui SKB Tiga Menteri Tahun 1975 sebagai lembaga pendidikan
yang diakui sebagaimana sekolah umum. Lalu pada akhir-akhir inipun pesantren
sebagai corak pendidikan asli milik masyarakat Indonesia pasca disahkan UU
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 juga telah mendapat tempat yang “sejajar” dengan
lembaga pendidikan lainnya di mata pemerintah. Mesikipun keberadaan pesantren
“murni” di mata pemerintah diletakkan pada jalur pendidikan nonformal. 1 Oleh
sebab itu wajar bila setelahnya terjadi penilaian, perbandingan, dan pembaharuan
terhadap masing-masing (tiga) bentuk pendidikan tersebut.
Diakui atau tidak, perkembangan yang dilakukan secara terencana maupun
secara “alami” oleh ketiga bentuk pendidikan tersebut tidak lepas dar fenomena di
luar.  Di antaranya  semakin bertambahnya jumlah penduduk, semakin kritisnya
orang tua murid, dan semakin kompleksnya permasalahan (konteks sosial)
masyarakat. Tentu intervensi pemerintah juga memiliki peranan, melalui
peraturan (Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dll). Dari keadaan tersebut
mulai muncul kesadaran, bahwa pendidikan nonformal saja terlebih lagi informal
dipandang tidak cukup. Hal ini bisa dilihat ketika ada seseorang yang punya
keahlian tertentu yang tidak diragukan, tapi bila tidak memiliki ijazah maka ia
tidak bisa “melamar” atau berkarir pada bidang pekerjaan formal. Misalnya
menjadi PNS, menjadi bupati, melamar caleg, dan bahkan untuk melanjutkan ke
jenjang pendidikan selanjutnya. Oleh karena itu, formalisasi pendidikan Islam,
khususnya di pesantren pada akhir-akhir ini merupakan sebuah keniscayaan. Salah
satunya dengan cara mendirikan pesantren formal, mendirikan madrasah atau
sekolah “umum” yang berada di bawah naungan pesantren. Bisa juga dengan

1
Pasal 1 nomor 11 dan 12 serta Pasal 13 ayat 1 pada Undang-undang Republik Indonesia No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta:
Cemerlang, 2003), hal. 4, 13
melaui program paket A, B, dan C terlebih dahulu untuk mendapatkan ijazah
formal.
Oleh sebab itu, kajian ini dipandang masih tetap layak untuk dibahas,
terutama dalam menghadapai dinamika masyarakat yang senantiasa terus berjalan
cepat. Dengan demikian, idealnya mempelajari dan mendalami dunia pendidikan
berarti juga harus mempelajari ilmu lain, yakni ilmu politik, sosiologi,
antropologi, psikologi, ilmu informasi, dan yang relevan. Di mana, dalam konteks
ini kajian ilmu tersebut sangat penting untuk digunakan. Yakni, sebagai dasar
analisis keadaan sosio-psikologis masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan.
Oleh karena itu, sebagai sebuah konsep dasar, maka “mengkritisi” bentuk
pendidikan madrasah, pondok pesantren, dan sekolah secara detail
merupakan  modal awal yang sangat penting.
Apabila melihat pada keadaan sebelum lahirnya UU Sisdiknas No. 20
Tahun 2003, sesungguhnya posisi pesantren diasingkan dan terdiskriminasi dari
sistem pendidikan Nasional. Pada waktu itu pesantren dipandang bukanlah
sebagai lembaga pendidikan yang “pantas” untuk disandingkan dengan lembaga
sekolah umum. Meski demikian, peran pesantren dalam pembangunan bangsa
Indonesia sangat besar, utamanya dalam mendidik moral anak bangsa yang
sebagian besar dari kalangan “miskin” dan termarjinalkan. Dari sudut pandang itu
dapat dirasakan jasa mencolok pesantren selama ini adalah meningkatkan
keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.2
Adapun dari sudut perbandingan, secara istilah (terminologi), antara
madrasah dan pesantren tidak memiliki perbedaan. Artinya, keduanya sama-sama
sebagai lembaga pendidikan yang ciri utamanya adalah untuk mendalami dan
mengamalkan nilai-nilai Islam. Namun demikian, sesungguhnya tetap ada
perbedaan. Utamanya dari tinjauan historis, bahwa awal berdirinya madrasah di
Indonesia ditengarai banyak keinginan untuk mengadakan pembaruan

2
Hal isi sesuai dengan amanat Amandemen ke-4 Undang-undang Dasar 1945 secara jelas dan
meyakinkan bahwa pada Pasal 31 ayat 1 dikatakan “setiap warga negara berhak untuk
mendapatkan pendidikan.”  Serta Pada ayat 3 disebutkan “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-
undang.” Lihat, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-4.
(transformasi) sistem pendidikan Islam yang lama, yaitu pesantren. Pada akhirnya,
tujuan secara terperinci dan metode pengelolaan (manajemen) dari kedua bentuk
lembaga pendidikan Islam tersebut benar-benar berbeda.
Lebih rinci, sesungguhnya pesantren secara formal diposisikan ke dalam
jenis pendidikan keagamaan. Sedangkan madrasah dan sekolah (MI/SD,
MTs/SMP, MA/SMA) diposisikan sebagai jenis pendidikan umum, serta
(MAK/SMK) masuk dalam jenis pendidikan kejuruan. Dari situ dapat dikatakan
bahwa pesantren hanya memfokuskan diri pada pembelajaran keagamaan Islam
saja, sedangkan madrasah selain mempelajari ilmu agama Islam juga memberikan
ilmu umum. Implikasinya, pesantren cenderung diminati oleh masyarakat yang
ingin mendalami agama Islam saja tanpa ilmu lain. Serta Madrasah diminati oleh
masyarakat yang mendambakan keterpaduan di antara dua ilmu tersebut.3
Berangkat dari semua asumsi penulis di atas, maka pembahasan ini
seoptimal mungkin bisa terbebas dari kesubjektifitasan. Yakni, adanya pengaruh
“emosional” dan keterikatan batin penulis dengan bentuk lembaga pendidikan
tertentu. Hal ini ditekankan karena biasanya kalangan dari lulusan (alumni) atau
yang peduli terhadap madrasah akan mengunggulkan bentuk pendidikan madrasah
dalam setiap pengkajian dengan berbagai argumennya. Sebaliknya pula pada
bentuk pendidikan pesantren maupun sekolah. Atas dasar itu, maka faktor
“kefanatikan” tersebut dalam pembahasan ini akan dikesampingkan oleh penulis.
Oleh karena itu penulis akan mengumpulkan referensi sebanyak dan seheterogen
mungkin untuk menemukan sebuah kesimpulan “asumsi” yang terpercaya.
Dengan harapan agar bisa ditemukan konsep bentuk pendidikan yang ideal dan
bisa menjadi solusi terbaik bagi umat Islam dan bangsa.

3
Muh. Sain Hanafy, “Paradigma Baru Pendidikan Islam dalam Upaya Menjawab Tantangan
Global,” Lentera Pendidikan, Vol. 12 No.2 (Desember, 2009), hal. 174
B. Pembahasan
1. Bentuk Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Sebenarnya bentuk dan penyebutan lembaga Pendidikan di Indonesia
sangat banyak. Namun, secara garis besar salah satunya yang mempunyai siswa
terbanyak adalah lembaga pendidikan yang berbentuk madrasah, pesantren, dan
sekolah. Menurut Mohammad Ali Pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga bentuk. Pertama, pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk
Pendidikan Agama Islam (PAI) di satuan pendidikan pada semua jenjang dan
jalur pendidikan. Itu artinya dalam pemahaman penulis, pendidikan Islam hanya
berwujud alokasi mata pelajaran saja pada sekolah umum, yang wajib diberikan
pada muridnya. Kedua, pendidikan umum yang berciri khas Islam pada satuan
pendidikan di semua jenjang dan jalur pendidikan. Menurut penulis, baik
Madrasah maupun Sekolah umum yang bercirikan Islam (sekolah islam) misalnya
SMP Islam atau SMP Maarif masuk ke dalam bentuk nomer dua ini. Ketiga,
pendidikan keagamaan Islam pada berbagai satuan pendidikan diniyah dan
pesantren yang diselenggarakan pada semua jalur pendidikan (tidak ada
penjelasan tentang jenjang pendidikannya).4
Dari pernyataan tersebut, pemahaman yang ada pada penulis tentang
pesantren adalah pendidikan keagamaan secara “kejenjangan” pendidikan tidak
bisa disetarakan dengan pendidikan Madrasah dan sekolah. Implikasinya, peserta
didik dari pesantren murni (tanpa terlebih dahulu berproses di madrasah atau
sekolah umum) atau diniyah tidak bisa berpindah (utamanya) ke jenjang
pendidikan dasar dan menengah pada sekolah umum. Di sisi lain, apabila
didasarkan pada UU Sisdiknas 2003 (pasal 26 ayat 6 dan pasal 27) digambarkan
bahwa pendidikan keagamaan (termasuk pesantren dan diniyah) masuk dan diakui
keberadaannya sederajat dan setera (sesudah diadakan penilaian penyetaraan yang
mengacu pada Standar Nasional Pendidikan) dengan pendidikan formal lain
(Madrasah dan sekolah umum). Implikasinya adalah seluruh bentuk pendidikan

4
Sri Haningsih, “Peran Strategis Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Islam di Indonesia,” el-
Tarbawi Jurnal Pendidikan Islam No. 1 Vol. 1, 2018, hal. 27-39
yang dikatakan sederajat bisa saling menerima pindahan atau pendidikan lanjutan,
tanpa mempersoalkan latar belakang jenis pendidikan sebelumnya.5
Dari pembahasan di atas, maka dipandang perlu untuk mendefinisikan
istilah madrasah, pesantren, dan sekolah secara lebih konkrit yang didasarkan
konteks kekinian. Hal ini untuk membatasi pengertian dan adanya dasar pijakan
jelas agar terhindar dari kerancuan atau multi tafsir. Oleh karena itu perlu
dirumuskan penjelasan istilah sebagai berikut: 
a. Madrasah
Madrasah adalah sekolah atau perguruan yang didasarkan pada agama
Islam. Sedangkan jenjangnya ada Madrasah Ibtidaiyah yaitu sekolah agama Islam
tingkat dasar (SD), Madrasah Sanawiyah yaitu sekolah agama (Islam) pada
tingkat menengah pertama (SMP), dan Madrasah Aliah yaitu sekolah agama
(Islam) pada tingkat menengah atas (SMA).6 Sedang bila ditinjau dari aspek
sejarah, setidaknya ada dua faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan
madrasah. Pertama, adanya penggugatan atas sistem pendidikan Islam tradisional
yang kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya
kekhawatiran atas cepatnya perkembangan lembaga “sekolah” yang dipelopori
oleh Belanda, sehingga bisa menimbulkan pemikiran yang sekuler di Masyarakat.
Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut masyarakat Muslim (utamanya
modernis) berusaha melakukan reformasi melalui upaya pengembangan
pendidikan dan pemberdayaan madrasah.7
Dapat disimpulkan madrasah adalah lembaga pendidikan yang diakui
secara hukum yang orientasi utamanya untuk mengadakan pembaharuan
pendidikan Islam. Baik dari segi keilmuan, manajemen, sistem pembelajaran, dan
pasca terbitnya SKB 3 Menteri 1975 yaitu untuk memenuhi formalitas (ijazah dll).
Dengan maksud bisa tercapainya generasi umat islam yang mampu menguasai
ilmu pengetahuan agama sekaligus ilmu pengetahuan umum secara seimbang.
Madrasah juga bisa dimaksudkan sebagai bentuk eksistensi sekaligus identitas
5
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003
6
Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5,  http://kbbi-
offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 27 Oktober 2022.
7
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi (Jakarta: Raja Grafindo, 2005), hal. 183
kultur keagamaan umat Islam dalam dunia pendidikan Modern. Artinya, dengan
memberikan label atau istilah “madrasah” pada lembaga pendidikan maka
terkesan memiliki nilai kelebihan sendiri.
b. Pesantren
Kata pesantren berasal dari kata dasar “santri” sehingga bisa menjadi
kata pesantrian atau yang lebih dikenal dengan pesantren. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia kata pesantren berarti “asrama tempat santri atau tempat murid-
murid belajar mengaji” atau bisa diartikan sebagai “pondok.” Sedangkan
kata pondok punya arti pertama “bangunan untuk tempat sementara” (seperti yang
didirikan di ladang, di hutan), kedua “rumah (sebutan untuk merendahkan
diri),” ketiga bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak dan berdinding bilik
dan beratap rumbai (tempat tinggal beberapa keluarga), empat “madrasah dan
asrama (tempat mengaji, belajar agama Islam).”8
Secara terminology, pesantren didefinisikan sebagai lembaga pendidikan
tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan
sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Perlu dijelaskan bahwa pengertian
“tradisional” dalam definisi ini bukan berarti kolot atau ketinggalan zaman, tetapi
menunjuk pada pengertian bahwa lembaga ini telah hidup sejak ratusan yang lalu.9
Menurut Yacub, pesantren berarti lembaga pendidikan Islam yang
umumnya dengan cara non-klasikal, pengajarnya seorang yang mempunyai ilmu
agama Islam melalui kitab-kitab agama Islam Klasik (kitab kuning) dengan
tulisan Arab dalam Bahasa melayu kuno dalam Baharasa arab. Sedangkan
(almarhum) K.H. Imam Zarkasyi mendefinisikan pondok pesantren sebagai
“lembaga pendidikan agama Islam dengan system asrama atau pondok, di mana
kyai sebagai figure sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya,

8
Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5,  http://kbbi-
offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 27 Oktober 2022.
9
Muljono Damopolii, Pesantren Modern IMMIM Pencetak muslim modern (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2011), hal.56
dan pengajaran agama islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai
kegiatan utamnya.10
Jadi dari beberapa pengertian pondok pesantren diatas, penulis dapat
menarik kesimpulan, yaitu pondok pesantren adalah lembaga pendidikan modern
atau tradisional dengan system asrama, untuk memahami, mengamalkan,
mendalamkan, serta mengahayati ajaran islam, dimana kyai sebagai figure
utamanya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran
agama islam dibawah bimbingan kyai dan santri sebagai kegiatan utamanya.
Dengan demikian, pesantren merupakan lembaga yang tumbuh dari
bawah, yaitu karena dikehendaki dan dibangun oleh masyarakat bahkan oleh
perangkat pemerintahan desa. Namun demikian, peran Kiai sebagai sosok utama
dalam pendirian dan pengembangannya sangat dominan. Bisa dikatakan bahwa
pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang paling otonom. Artinya
lembaga yang tidak bisa diintervensi dari sudut pandang apapun oleh pihak-pihak
luar kecuali atas izin Kiai. Dari sini dapat dilihat bahwa Kiai merupakan sosok
pemimpin yang menentukan kebijakan secara mutlak, sebagai pusat kurikulum,
dan sebagai “pemilik” pondok pesantren.
c. Sekolah
Kata “sekolah” salah satunya memiliki arti “bangunan atau lembaga untuk
belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran.” Serta salah
satu dari beberapa arti lainnya yaitu “usaha menuntut kepandaian (ilmu
pengetahuan); pelajaran; pengajaran.” Sedangkan secara khusus sekolah agama
diartikan sebagai sekolah yang memberikan pendidikan dalam bidang
keagamaan.11 Dari pengertian tersebut apat diartikan bahwa pendidikan sekolah
diselenggarakan tidak hanya dikhususkan untuk mempelajari ilmu pengetahuan
umum saja. Akan tetapi sebuah usaha untuk menuntu kepandaian dan
pembelajaran pada semua aspek ilmu pengetahuan, termasuk agama.

10
Abdullah syukri zarkasyi, Gontor & Pembaharuan Pendidikan pesantren (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), hal. 3
11
Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5,  http://kbbi-
offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 27 Oktober 2022
Menurut H. A. R Tilaar yang dikutip oleh Agus Sholeh dalam sejarahnya,
sekolah merupakan lembaga pendidikan yang didirikan oleh Kolonial Belanda.
Oleh sebab itu wajar bila lembaga sekolah diposisikan secara istimewa, sehingga
tidak memberikan ruang yang proposional bagi umat Islam untuk mngembangkan
potensinya.12 Dapat disimpulkan bahwa “sekolah” bukan merupakan produk
sistem pendidikan asli Nusantara. Tidak seperti halnya pesantren yang secara
kultur merupakan asli Indonesia.

2. Karakteristik Pendidikan Agama Islam pada Madrasah, Pesantren, dan


Sekolah
Menurut banyak kalangan, proses pendidikan banyak dipengaruhi atau
malah ditentukan oleh dinamika politik (kekuasaan), budaya, dan dinamika
masyarakat luas. Dengan demikian corak atau karakteristik pendidikan juga pasti
mengalami perubahan sesuai dengan keadaan zaman. Meskipun ada nilai-nilai
serta identitas (simbol) tertentu yang tidak bisa digerus zaman dengan mudah,
bahkan bisa dikatakan sangat sulit dirubah bahkan oleh kekuasaan politik
sekalipun. Lembaga seperti ini biasanya memiliki basis pendukung (utamanya
masyarakat) yang kuat sehingga bisa mempertahkan diri dari intervensi luar.
Meski pada sudut lainnya dengan terpaksa harus mengikuti perkembangan zaman.
Fenomena seperti di atas yang akan menjadi titik tekan penulis.  Yakni,
karakteristik Pendidikan Agama Islam seperti apakah yang sedang “terjadi”
sekarang ini pada Madrasah, Pesantren, dan Sekolah. Apakah masing-masing dari
mereka benar-benar kehilangan karakter atau corak (identitas) yang sejak awal
telah melekat kuat. Atau malah masing-masing malah  semakin menjauh satu
sama lain lalu saling bertolak belakang dan saling bertentangan. Kemungkinan
lain bisa jadi dari ketiga bentuk pendidikan tersebut melakukan “akulturasi”
sistem pendidikan. Yakni, melakukan tambal sulam dengan mengambil sistem
pendidikan lain yang dipandang cocok diterapkan dengan karakteristik awal.

12
Agus Sholeh, “Posisi Madrasah di Tengah Tuntutan Kualtas,” dalam Sejarah Sosial Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 243
Namun tetap mempertahankan dengan kuat semangat dan tujuan awal dari
didirikannya lembaga tersebut.13
Sebagai kasus sebagai dasar analisis fenomena di atas, telah
ditemukan hasil pada sebuah penelitian pada sebuah pesantren di Pekanbaru. Di
mana tiap pola dan sistem pendidikan yang diterapkan antara pesantren tradisional
dan modern masing-masing memberikan keunggulan (dampak positif) dan
kelemahan (dampak negatif) yang berbeda satu sama lain. Pertama, keunggulan
pola pesantren tradisional adalah fokus perhatian sekaligus penghafalan al Quran
dan upaya penggalian “kitab kuning” bisa terlestarikan. Adapun kelemahannya
adalah sulit bersaing dengan lembaga lain yang berbentuk sekolah umum dan
dalam pengembangan Ilmu pengetahuan teknologi. Sedangkan yang kedua
keunggulan pola pesantren modern adalah mampu bersaing dengan lulusan
sekolah unggulan umum. Akan tetapi kelemahan dalam bidang bahasa dan kajian
kitab kuning (kitab klasik) tidak optimal. Namun demikian adanya keberagaman
pola pendidikan pesantren tersebut membuat kekayaan khazanah pendidikan
Islam semakin nampak.14
Dari penjelasan di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa corak atau model
pesantren modern dengan pesantren tradisional juga akan menghasilkan
kompetensi (corak) peserta didik yang berbeda pula. Walaupun resikonya adalah
akan tercipta kader-kader umat Islam yang beranekaragam kemampuannya.
Dengan adanya dialog antar “keragaman” tersebut, diharapkan akan terjadi
pengembangan-pengembangan terbaru. Yakni, yang bisa menemukan solusi
permasalahan yang tepat bagi kebutuhan masyarakat.
Berangkat dari semua penjalasan di atas maka penulis menganggap perlu
diadakan pembedahan pada tiga bentuk pendidikan. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui perbedaan karakteristik masing-masing. Dengan itu diharapkan bisa
ditemukan kelebihan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, penulis
memaparkan secara detail terkait hal itu sebagai berikut:

13
Nurhasanah Bakhtiar, “Pola Pendidikan Pesantren: Studi Terhadap Pesantren se-Kota
Pekanbaru,” ftk.uin-suska.ac.id/attachments/article/12/nurhasanah_pola.pdf, diakses tanggal 08
Oktober 2014.
14
Ibid.,
a. Madrasah
Sebagaimana yang telah banyak diketahui, bahwa Madrasah merupakan
lembaga pendidikan pembaharuan dari pola pendidikan pesantren. Walaupun
menurut Arief Furchan pembaharuan pada awalnya hanya sekedar mekanisme dan
tampilan saja. Sedangkan kurikulumnya 100% masih berisi pelajaran agama.
Perbedaannya dengan pesantren adalah di Madrasah terdapat bangku, papan tulis,
ulangan, ujian, dan adminstrasi lainnya. Akibatnya, karena kurikulumnya berbeda
maka lulusan atau siswa dari madrasah pada masa itu tidak dapat melanjutkan
atau pindah ke sekolah umum. Adapun orang tua yang ingin anaknya mendapat
ilmu agama sekaligus ilmu umum harus menyekolahkan anaknya di dua tempat,
di sekolah umum dan di madrasah.15 Dengan kata lain madrasah seperti itu
hakikatnya adalah pesantren tapi berlabel madrasah.
Menurut Maksum, “Dibandingkan dengan pesantren, madrasah relatif
terorganisasi secara baik, dalam hal tujuan, kurikulum, kepemimpinan, dan proses
belajar mengajarnya.” Contoh konkrit dari lembaga pendidikan madrasah adalah
Madarasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah
(MA).16 Dengan kata lain, sesungguhnya Madrasah secara konsep merupakan
bentuk pendidikan yang lebih “mapan” dari pada bentuk pendidikan di pesantren.
Padak perkembangan selanjutnya, pembaharuan pada madrasah selanjutnya
dilakukan dengan cara pengkombinasian pemikiran, konsep, kurikulum, dan
manajemen dari lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga sekolah. Bisa
dikatakan, bahwa masyarakat (khususnya masyarakat Islam) seiring dengan
perkembangan zaman tidak hanya membutuhkan pengkaderan umat dalam bidang
keagamaan saja (menjadi ahli agama, ulama, dan kia). Namun, di sisi lain umat
Islam juga butuh pengkaderan umat dalam bidang ilmu umum. Dapat
disimpulkan, pendidikan pesantren saja dirasa tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, begitu pula hanya pendidikan sekolah umum juga tidak

15
Arief Furchan, “Pemberdayaan Madrasah dan Tantangan
Globalisasi,” http://www.pendidikanislam.net/index.php/makalah/41-makalah-tertulis/293-
pemberdayaan-madrasah-, diakses tanggal 27 Oktober 2022
16
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal.
8
akan cukup. Di sinilah peran madrasah dimunculkan sehingga bisa menjadi daya
tarik tersendiri, utamanya bagi masyarakat santri modern.
b. Pesantren
Membicarakan pesantren tidak akan pernah lepas dari sosok seorang Kyai.
Menurut Imam Bawani posisi Kyai dalam pesantren laksana jantung bagi
kehidupan manusia. Intensitas peran Kyai yang begitu kuat dalam membina
pesantren disebabkan karena merekalah yang umumnya menjadi perintis, pendiri,
dan bahkan juga pemilik tunggal dari pesantren.17 Oleh karena itu wajar bila pola
kepemimpinan pesantren didasarkan pada keturunan dari pendiri pesantren
tersebut karena pesantren merupakan “hak” pribadi. Meskipun demikian, Kiai
dengan kharismanya juga mampu menggandeng masyarakat dan tentunya untuk
ikut membangun dan mengembangkan pesantren menjadi lebih besar.
Pesantren juga erat kaitannya dengan paradigma dikotomi dalam
memandang sebuah ilmu. Yakni, memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu
umum. Keduanya diyakini memiliki derajat, hukum, dan fungsi yang berbeda.
Menurut Muhammad Kholid Fathoni paradigma tersebut bisa terjadi karena
dilandasi oleh pola fikir semacam ini:
1) Pesantren merupakan benteng terakhir bagi “keutuhan” agama dan budaya
Islam di Indonesia.
2) Pengaruh politik penjajahan yang menyemai perlawanan di kalangan rakyat
sehinga berujung pada penolakan atas corak pendidikan umum (sekolah) yang
notabene produk atau dibawa oleh Belanda.
3) Doktrin-doktrin dari kita klasik di pesantren yang mengutamakan ilmu agama
(Wajib) dari pada ilmu umum (fardu kifayah). Termasuk di dalamnya
terdapat acara anti “cinta dunia” secara berlebihan.18
Karakteristik pesantren yang terkesan kaku tersebut bukan berarti
sepenuhnya tak memiliki makna (nilai positif) sama sekali. Bahkan, berdasarkan
fakta-kongkrit di masyarakat menunjukkan bahwa pesantren bisa memajukan
17
Zuman Malaka, “Peranan Pondok Pesantren Dalam Tatanan
Global,” http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=berita&var=detail&id=323, 18 Pebruari
2012, diakses tanggal 08 Oktober 2014
18
Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [Paradigma
Baru] (Jakarta: Depag RI Dirjend Kelembagaan Agama Islam, 2005), hal. 160
mutu pendidikan dengan cara mereka sendiri. Tentunya dengan kadar kompetensi
lulusan yang mereka bangun sendiri (sesuai dengan ciri khas pesantren masing-
masing). Kepatuhan lembaga pendidikan terhadap aturan dari pemerintah mereka
nilai berdampak pada fenomena pendidikan yang terkooptasi oleh birokrasi.
Dampaknya, visi dan misi yang dibangun sejak awal dapat dihilangkan sehingga
terjadi penumpulan pandangan pesantren dalam membaca arah kebutuhan (bukan
kemauan atau keinginan) masyarakat yang sebenarnya.19
Disamping itu, selama ini pesantren telah menawarkan budaya tersendiri.
Yakni, adanya nilai-nilai tauhid, kesederhanaan, kemanusiaan,, keadilan,
kejujuran, kepedulian, kemandirian, dan sebagainya. Bagi pesantren, ukuran
keberhasilan bukan semata-mata dilihat dari seberapa banyak harta terkumpul dan
pekerjaan atau karir apa yang tercapai. Akan tetapi dijangkau dari seberepa dekat
diri manusia kepada Tuhan. Dengan demikian, pesantren harus dilihat sebagai
pesantren, bukan yang lainnya. Pesantren memiliki orientasi hidup tersendiri
dalam pengertian seluas-luasnya. Pesantren tidak perlu ditarik-tarik ke dalam
budaya hidup hedonis, materialis, dan kapitalis yang cenderung menindas rakyat
kecil yang menjadi mayoritas.20
Dapat disimpulkan, bahwa selama ini pesantren dikesankan hanya melatih
siswa (santri) untuk bertirakat sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah
hanya dengan jalan “ibadah.” Sedangkan “tarikat” dengan jalan mempelajari ilmu
pengetahuan umum (kecuali praktik ilmu sosial: komunikasi, antropoligi dan
sosiologi untuk kepentingan dakwah agama) belum pernah ada. Padahal dengan
menyingkap alam beserta fenomenanya (sebagai ayat kauniyah) secara
komperhensif bisa menghantarkan manusia dekat kepada Tuhannya. Serta tentu
pada akhirnya juga bisa mewujudkan pengembangan IPTEK secara produktif
sehingga bermanfaat bagi umat Islam. Peran inilah yang selanjutnya bisa diambil
oleh Madrasah secara utuh.
c. Sekolah

19
Ibid., hal. 98
20
Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma al-Qur’an: Pergulatan Membangun Tradisi dan
Aksi Pendidikan Islam (Malang: UIN Malang, 2004), hal. 224
Sekolah dalam pendidikan Islam memiliki kewajiban untuk membimbing
peserta didiknya dalam mendalami Pendidikan Agama Islam. Di mana menurut
Haidar Putra Daulay, bahwa peran trilogi pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Di mana pendidikan agama Islam di sekolah hanya sebagian dari
upaya pendidikan. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan agama harus ada
jaringan kerja sama antar tiga wilayah tersebut. Setidaknya sejauh mana hubungan
antara sekolah dengan keluarga (rumah tangga).21
Sekolah yang “murni” dari warisan budaya Belanda, sekaligus warisan
kebijakan dan ideologi pendidikan kolonialismenya yang diskriminatif belum
sepenuhnya hilang. Buktinya, ada kesan seakan-akan kebijakan pemerintah lebih
mengutamakan dan mensuperiorkan sekolah dari pada bentuk pendidikan lain.
Sebab secara tersirat, pemisahan antara sekolah yang menjadi anak emas
pemerintah dengan madrasah dan pesantren yang didukung oleh masyarakat
masih terus berlanjut.22
Dapat disimpulkan bahwa keberadaan “istilah” sekolah sekarang ini
merupakan produk dari Belanda. Akan tetapi diharapkan semangat dan tujuan
pendidikannya tidak mengacu pada “sekolah” di zaman Belanda. Bagaimanapun
Indonesai bukanlah Belanda. Oleh karena itu sistem pendidikan nasionalnya
hendaknya juga didasarkan pada konteks masyarakat Indonesia.

3. Tujuan Pendidikan Agama Islam di Madrasah, Pesantren, dan Sekolah


Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa merupakan sebuah nilai yang tidak bisa dielakkan. Setiap elemen warga
negara wajib mengimplimentasikan perilaku, aturan, dan termasuk juga
pendidikan yang didasarkan pada Ketuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain,
semua yang bersangkut paut pada dunia pendidikan dimuarakan pada satu dasar
utama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Baru kemudian diturunkan ke dasar-

21
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 44
22
Nunu Ahmad An-Nahidl, dkk., Posisi Madrasah dalam Pandangan Masyarakat (Jakarta: Gaung
Persada, 2007), hal. 14-15
dasar yang lain. Untuk cara pelaksanaannya lebih rinci tergantung pada masing-
masing bentuk pendidikan.23
Hal tersebut sesuai dengan pembahasan halaman sebelumnya, yaitu
tentang UUD 1945 amandemen ke-4 Pasal 31 ayat 3. Serta menurut amanat UU
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003  bahwa “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”24
Lebih rinci berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55
Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan disebutkan bahwa tujuan
penyelenggaraan pendidikan pesantren adalah untuk menanamkan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk
mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk
menjadi ahli ilmu agama Islam seta menjadi muslim yang memiliki keterampilan
atau keahlianan sebagai penunjang pembangunan kehidupan yang Islami di
masyarakat.25
Dari pemaparan di atas menurut penulis ada beberapa implikasi yang harus
dilaksanakan oleh seluruh elemen bangsa, yaitu:
1) Tidak ada pandang bulu atau pengecualian bahwa semua jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan harus bermuatan nilai-nilai ”ketuhanan.”
2) Pendidikan “berketuhanan” lebih diutamakan, baru kemudian pendidikan
ilmu lain.
Dapat disimpulkan, dari tiga bentuk pendidikan dalam pembahasan ini
maka tujuan pendidikan Islamnya tidak serta merta secara detail harus disamakan.
Harus diadakan assessment outcome, yaitu menelaah terlebih dahulu tolak ukur
23
Alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945
24
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003), 
25
Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan, Pasal 26
ayat 1
“kesuksesan” seperti apa yang ingin dicapai atau diutamakan. Hal itu sekaligus
dikaitkan dengan pengetahuan pendidik tentang sejauh mana kemampuan peserta
didik. Misalnya, tolak ukurnya adalah bisa mengerjakan sholat dhuha secara rutin,
bisa membaca bacaan sholat dengan benar, membaca kitab kuning, bisa
memimpin tahlilan, atau bisa menghafal ayat Al-Quran dan sebagainya. Oleh
karena itu, setiap lembaga pendidikan harus memperhatikan hasil pendidikan
Islam yang berupa produk, output, dan outcome seperti apa yang ingin dicapai.

4. Kecenderungan Masyarakat dalam memilih bentuk Pendidikan Islam


Dalam menghadapi masa (pasca) transisi pendidikan Islam sekarang ini,
sikap orang tua dalam memilih sekolah untuk anaknya dapat di bagi dalam tiga
kecenderungan garis beras:
a. Menjadikan agama sebagai hal yang lebih penting dari pada sekolah. Kendati
terpaksa harus dimasukan pada sekolah umum, maka akan diselingi dengan
pendidikan agama di pesantren.
b. Menjadikan sekolah umum (utamanya favorit) sebagai tujuan utama. Dengan
pertimbangan pendidikan agama bisa dikesampingkan karena bisa dipelajari
lewat media atau jalur pendidikan lain.
c. Menjadikan sekolah dan agama sebagai pilihan yang sama-sama penting.
Orang tua seperti ini sebisa mungkin akan menghindari sekolah yang berbasis
non muslim.26
Sedangkan Menurut Malik Fajar yang dikutip oleh Agus Sholeh
mengemukakan ada tiga alasan yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam
memilih lembaga pendidikan, yaitu nilai (agama), status sosial, dan cita-cita.
Masyarakat yang terpelajar akan semakin beragam pertimbangannya dalam
memilih pendidikan untuk anak-anaknya.27
Dari penjelasan tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa madrasah,
pesantren, dan sekolah memiliki pangsa pasar tersendiri yang fanatik. Meski

26
Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma al-Qur’an: Pergulatan Membangun Tradisi dan
Aksi Pendidikan Islam (Malang: UIN Malang, 2004), hal . 224
27
Sholeh, Agus. “Posisi Madrasah di Tengah Tuntutan Kualtas,” dalam Sejarah Sosial Pendidikan
Islam, ed. Suwito dan Fauzan. Jakarta: Kencana, 2005). Hal. 226
keadaan madrasah dan pesantren serba minim, akan tetapi masih tetap ada yang
meminatinya.

5. Konsep Bentuk Pendidikan Islam yang Ideal


a. Konsep PAI di Madrasah
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan bahwa pesantren
dan madrasah kini mampu tampil percaya diri dalam melakukan perubahan-
perubahan. Bahkan bisa dikatakan madrasah menjadi pengendali “model” bukan
sekedar sebagai “pengikut” arus model pendidikan di Indonesia.28 Dengan
pengertian itu, sesungguhnya upaya pembaharuan Madrasah harus terus
dilakukan. Baik terkait dengan kurikulum, sarana-prasarana, akuntabilitas,
pelayanan, dan sebagainya. Pada akhirnya Madrasah bisa menjadi madrasah yang
sesungguhnya dan sesuai dengan semangat awal berdirinya, yaitu semangat
pembaharuan.
Selain itu menurut Nur Kholis Setiawan, madrasah juga diklaim telah
berhasil mendidik anak bangsa dalam dua hal secara sekaligus. Yakni, ilmu
(intelektual) dan moral (akhlakul karimah). Jarang sekali atau bahkan tidak pernah
ditemukan siswa dari madrasah melakukan tawuran. Hal inilah yang menjadi
keunggulan sekaligus kekuatan madrasah. Lebih lanjut indikator keberhasilan
pendidikan di Madrasah adalah ketika mampu mencetak siswa dengan penguasaan
ilmu pengetahuan sekaligus mampu mempertanggungjawabkan atas ilmunya.
Oleh karena itu semua guru diharapkan selalu menggali dan mengkaji sekaligus
menerapkan teori-teori pengetahun Islam untuk mengembangkan mutu madrasah.
Diharapkan adanya penguasaan mata pelajaran umum harus diimbangi dengan
penguasaan ilmu agama.29
Sebagaimana pembahasan sebelumnya, sesungguhnya Madrasah berdiri,
tumbuh, dan berkembang karena adanya keterlibatan masyarakat. Dengan
demikian, sesungguhnya Madrasah telah lebih dulu menerapkan konsep

28
Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma al-Qur’an: Pergulatan Membangun Tradisi dan
Aksi Pendidikan Islam (Malang: UIN Malang, 2004), hal. 125
29
Ibid.,
pendidikan berbasis masyarakat.30 Masyarakat sebagai individu maupun
organisasi telah membangun madrasah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan
agama sekaligus pendidikan “formal” untuk mereka. Di mana hal itu sesuai
dengan isi Undang-undang Sisdiknas 2003 Pasal 55 ayat 1 yang menyatakan
bahwa “Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat
pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama,
lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.”31
Adapun menurut Muhaimin Kurikulum madrasah perlu dikembangkan
secara terpadu, dengan memposisikan nilai-nilai Islam sebagai petunjuk dan
sumber konsultasi bagi pengembangan berbagai mata pelajaran umum. Secara
operasional, guru mata pelajaran umum berkerja sama dengan guru PAI untuk
menyusun disain pembelajaran secara konkret dan detail. Dengan kata lain, dalam
madrasah perlu dilakukan upaya spirtualisasi pendidikan atau
menginternalisasikan nilai-nilai agam Islam melalui proses pendidikan ke dalam
seluruh aspek pendidikan Madrasah. Hal ini untuk mengintegrasikan nilai-nilai
ilmu pengetahuan umum dan seni dengan keimanan dan kesalehan dalam diri
siswa.32
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk pendidikan
madrasah sesungguhnya memiliki nilai potensial yang lebih besar dari pada yang
lainnya. Hal itu dengan artian bahwa madrasah harus mampu mengadakan
pengintragasian antara ilmu umum dengan ilmu agama. Bukan hanya mengadakan
penambahan (penjumlahan) antara jam di pendidikan sekolah dengan jam
pendidikan di pesantren tanpa diadakan integrasi.
b. Konsep PAI di Pesantren
Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua di Indonesia. Sampai
sekarangpun sistem pendidikan –yang murni- pesantren masih ada tak tergerus
dengan dinamika zaman. Salah satu yang menjadi ciri menarik dan tak tergerus

30
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi (Jakarta: RajaGrafindo, 2005), hal. 190
31
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003), 
32
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi (Jakarta: RajaGrafindo, 2005), hal. 191
zaman adalah sistem pendidikan di pesantren terdapat keintegrasian antara
keislamaan dengan keindonesiaan (budaya), kesederhaan, dan hubungan kyai
dengan santri yang begitu emosional.33
Meskipun pada sebagian pesantren tertentu telah mengadakan
keterbukaan, penyerapan, bahkan melakukan pembaharuan pada sistem
pendidikannya. Mulai yang paling ringan adalah membolehkan santri untuk
mengikuti pendidikan umum di luar lingkungan pesantren, karena pesantren tidak
memfasitilasi pembelajaran ilmu umum. Adapun yang paling berani adalah
pesantren (utamanya yang baru/mulai didirikan) telah merubah sistem pendidikan
pesantren lama, dari tradisional menjadi benar-benar baru (modern).
Keungulan pesantren dalam karekter kehidupan adalah melatih peserta
didik untuk istiqomah (disiplin), beradab unggul (berkarakter), dan adanya
keberkahan (penuh makna). Selama ini pesantren sebagai lembaga pendidikan
dikesankan sebagai lembaga yang tradisional, tak tersentuh dinamika
masyarakat,  dan terselimuti oleh bentuk pembelajaran yang monoton. Dalam
konteks sistem pendidikan Nasional sekarang ini, pernyataan itu tidak sepenuhnya
benar. Pada masa sekarang ini, banyak pesantren yang sudah melakukan
transformasi diri. Baik dari segi kurikulum, manajeman serta pengelolaan
(kepemimpinan), metode pengajaran, dan metode pendekatan terhadap zaman.
3.    Konsep PAI di Sekolah berbasis Pesantren
Dalam bentuk pendidikan “sekolah,” penulis memandang ada dua persepsi
yang bisa dibangun. Pertama, sekolah didudukan sebagai sekolah umum yang
menyelenggerakan pembelajaran ilmu umum dan juga diwajibkan untuk
memberikan sedikit sekali mata pelajaran PAI, misalnya
SDN/SMPN/SMAN. Kedua, sekolah didudukan sebagai sebuah lembaga
Pendidikan Islam. Yakni, lembaga sekolah yang bercirikan atau bernafaskan nilai-
nilai Islam secara penuh. Misalkan Sekolah berbasis Pesantrean seperti ar Risalah
Lirboyo Kediri, sekolah berbasis atau berciri khas agama Islam SD/SMP/SMA al
Maarif atau al Falah, dan SD/SMP/SMA Muhammadiyah. Khusus untuk persepsi

33
Ibid., hal. 192
yang kedua, yaitu sekolah umum berbasi pesantren menurut Mujamil Qomar ada
dua latar belakang timbulnya sekolah umum di pesantren:
1) Bentuk adaptasi pesantren terhadap perkembangan sistem pendidikan
nasional, atau menurut Mastuhu karena dampak global dari pembangunan
nasional serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2) Kepentingan menyelamatkan “nyawa” pesantren dari kematian selamanya.
Bentuk penyelematan pesantren ini merupakan tindakan yang strategis dan
spontan.34
Dengan adanya sekolah yang berbasis pesantren tersebut para Kiai bisa
menempuh kebijakan dua jalur. Pertama, Santri dilibatkan dalam pendidikan
umum (sekolah) agar bisa melanutkan pendidikan ke jenjang berikutnya
(mendapat ijazah/pengakuan). Kedua, Siswa pada pendidikan umum (sekolah)
diwajibkan mengikuti kekgiatan pesantren. Kedua jalur tersebut memadukan
antara kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga bisa saling
melengkapi. Santri dari pesantren bisa menyerap ilmu pengetahuan umum
sedangkan siswa SD, SMP, dan SMA dapat menyerap ilmu agama yang cukup
mendalam dari pesantren.35
Secara terperinci dengan adanya sekolah berbasis pesantren ini bisa
menghasilkan peserta didik bisa memperoleh nilai-nilai yang berciri khas
pesantren. Beberapa diantaranya adalah nilai keberkahan, keikhlasan,
ketawadhu’an, do’a Kiai atau ustad, menutup aurat, dan terpisahnya antara peserta
didik putra. dengan putri. Nilai-nilai tersebut merupakan kurikulum tersembunyi
yang ada pada pesantren. Sehingga apabila dibuat tabel akan tergambar sebagai
berikut:

Tabel. Nilai-nilai Karakter pada sekolah berbasis Pesantren.36


34
Qomar, Mujamil. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi. (Jakarta: Erlangga, 2022), hal. 98
35
Ibid., hal. 98
36
Abdulloh Hamid dan Putu Sudira, “Penanaman Nilai-nilai Karakter Siswa SMK Salafiyah
Program Keahlian Tekni Komputer dan Jaringan (TKJ) Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah,”
Nilai Dasar Nilai Personal Nilai Sosial
Moderat Keamanan Kemampuan baik dalam kinerja
Seimbang Ketakwaan Sopan-santun
Toleran Kemampuan baik Menghormati guru
Adil Disiplin Memuliakan kitab
Kepatuhan Menyayangi teman
Kemandirian Uswah hasanah
Cinta Ilmu Tawadhu’
Ikhlas Do’a guru
Menutup aurat Berkah
Pisah antara siswa-siswi

C. Kesimpulan
Dari semua pembahasan dapat disimpulkan pelaksanaan pendidikan Islam
di Indonesia secara “kurikulum” tidak pernah bisa lepas dari pengaruh tokoh
agama (kiai dan ulama). Sedangkan pengembangan dan pembangunannya tidak
bisa lepas dari peran serta masyarakat dan kekuasaan (pemerintah). Kedudukan
madrasah dan pesantren tidak hanya sebagai identitas (simbol) keislaman, tapi
juga sebagai tempat untuk indoktrinasi nilai-nilai Islam. Sedangkan sekolah
umum belum tentu akan mau menanamkan nilai-nilai Islam dalam setiap
aktivitasnya. Bila sekolah “umum” itu berbasis pesantren maka nilai-nilai Islam
akan ditanamkan. Namun, bila sekolah itu berbasis “nasional” dan “dikendalikan”
pemerintah maka akan menanamkan nilai-nilai keindonesaan. Tentunya itu juga
akan tergantung Stakeholders dan otoritas dari sekolah tersebut.
Dengan kata lain, Kemandirian (idependensi) madrasah dan pesantren
ditentukan oleh masyarakat bukan pemerintah. Asumsinya, masyarakat “dapat”
merubah madrasah dan pesantren, serta sebaliknya madrasah dan pesantrenlah
yang merubah masyarakat. Dengan kata lain dinamika madrasah tidak lepas dari
arah dinamika masyarakat, begitu juga sebaliknya.  Sedangkan untuk pendidikan
berbentuk sekolah (utamanya manajemen) lebih banyak yang tunduk pada aturan
“kaku” pemerintah. Pada kenyataannya, harus diakui pada akhir-akhir ini bahwa
teori semacam itu sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat yang mulai
kritis dalam memilih pendidikan bagi generasi mudanya.

Jurnal Pendidikan Vokasi, Vol 3, Nomor 2, Juni 2013


Dengan demikian, sebagai dasar konsistensi dan standar maka konsep
pendidikan Islam yang ideal adalah pendidikan Madrasah yang benar-benar
menjadi “Madrasah” sesungguhnya. Yakni, yang melakukan integrasi ilmu secara
konsisten. Bukan madrasah “kamuflase” yang hanya menggabungkan jam
pelajaran antara jam pelajaran agama di pesantren dengan jam pelajaran di
sekolah umum. Sedangkan pilihan lainnya adalah konsep pendidikan berbentuk
sekolah yang berbasis pesantren. Yakni, pengintegrasian nilai-nilai luhur atau
budaya (ciri khas) pesantren serta nilai Islam disertai dengan mempelajari ilmu
pengetahuan umum.

Daftar Rujukan
Abdullah syukri zarkasyi, Gontor & Pembaharuan Pendidikan pesantren. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2011.
Abdulloh Hamid dan Putu Sudira, “Penanaman Nilai-nilai Karakter Siswa SMK
Salafiyah Program Keahlian Tekni Komputer dan Jaringan (TKJ) Kajen,
Margoyoso, Pati, Jawa Tengah,” Jurnal Pendidikan Vokasi, Vol 3, Nomor
2, Juni 2013
Agus Sholeh, “Posisi Madrasah di Tengah Tuntutan Kualtas,” dalam Sejarah
Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2011.
Arief Furchan, “Pemberdayaan Madrasah dan Tantangan
Globalisasi,” http://www.pendidikanislam.net/index.php/makalah/41-
makalah-tertulis/293-pemberdayaan-madrasah-, diakses tanggal 27
Oktober 2022
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma al-Qur’an: Pergulatan Membangun
Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang, 2004.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi
1.5,  http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip,
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999.
Muh. Sain Hanafy, “Paradigma Baru Pendidikan Islam dalam Upaya Menjawab
Tantangan Global,” Lentera Pendidikan, Vol. 12 No.2. Desember, 2009
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: RajaGrafindo, 2005.
Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional
[Paradigma Baru]. Jakarta: Depag RI Dirjend Kelembagaan Agama
Islam, 2005.
Muljono Damopolii, Pesantren Modern IMMIM Pencetak muslim modern.
Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011.
Nunu Ahmad An-Nahidl, dkk., Posisi Madrasah dalam Pandangan Masyarakat.
Jakarta: Gaung Persada, 2007.
Nurhasanah Bakhtiar, “Pola Pendidikan Pesantren: Studi Terhadap Pesantren se-
Kota Pekanbaru,” ftk.uin-suska.ac.id/ attachments/ article/12/
nurhasanah_pola. pdf,
Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan
Keagamaan, Pasal 26 ayat 1
Qomar, Mujamil. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga, 2022.
Sri Haningsih, “Peran Strategis Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Islam di
Indonesia,” el-Tarbawi Jurnal Pendidikan Islam No. 1 Vol. 1, 2018,
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya. Jakarta: Cemerlang,
2003.
Zuman Malaka, “Peranan Pondok Pesantren Dalam Tatanan
Global,” http://www.pejuangislam.com/main.php?
prm=berita&var=detail&id=323

Anda mungkin juga menyukai