PENDIDIKAN ISLAM DI
INDONESIA
Posted on December 11, 2012
H. Ifnaldi Nurmal[1]
A. Latar Belakang
Proses
pendidikan
Keberhasilan
dan
kegagalan
yang
disebabkan
oleh
memerhatikan Evidence
Information Based
yakni
terkait
Islam
di
Indonesia.
Sejumlah
literatur
tentang
sejarah
perubahan
menadasar
dalam
dinamika
pengajaran
dan
sedangkan
pendidikan
Barat (ilmu-ilmu
umum)
lebih
pemikir
dan
tokoh
Islam
dalam
pengembangan
ilmu
pesantren;
Islam
di
masing-masing.
Konsekuensinya,
penyelenggaraan
ormas
tetap
ingin
mempertahankan
jati
diri
dan
kebersamaan
antara
kedua
ormas
tersebut
dalam
masih
jauh
dari
harapan
rakyat
Indonesia
yang
mayoritas
dalam
tataram
praksis
perhatian
penyelenggara
Negara
(dibawah
pengawasan
Kemendiknas)
baik
dari
sis
teknis
Otonomi
ini
meliputi
juga
sektor
pendidikan,
sehingga
(2009)
manajemen
pendidikan
memerlukan
keterpaduan
Islam
di
persada
Nusantara.
Sejak
lama
masyarakat
Islam
kala
itu.
Hanya
saja
stigma
pendidikan
Islam
untuk
tidak
memisahkan
keduanya.
2.HambatanKultural:InternaldanEksternal
Kita sangat menyayangkan hingga kini lembaga-lembaga pendidikan
Islam masih sulit dijadikan model lembaga pendidikan yang paripurna dan
berlaku umum di Indonesia. Hal ini disebabkan lemahnya kinerja yang
ditunjukkan
serta
rendahnya
motivasi
untuk
menjadikan
lembaga
rendahnya
budaya
membaca,
belajar
dan
bekerja
keras
tersebut.
Sehingga
kedua-duanya
(kultural
internal
dan
pada
masalah
agama
dan
kurang
menaruh
perhatian
pada
dan
peningkatan
kualitas
pendidikan.
Munculnya
Islam
di
Indonesia.
Padahal
manajemen
profesional
dalam
Undang-undang
Nomor
tahun
1989,
yang
dunia
terutama
pendidikan
persekolahan/madrasah,
oleh
Islam
kepala
tugas-tugas
sekolah/madrasah.
merupakan
fenomena
manajerial
Dualisme
yang
biasa
dilakukan
manajemen
di
lembaga
pendidikan swasta yang memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah
dan ketua yayasan (atau pengurus). Meski telah ada garis kewenangan
yakni kepala madrasah memegang kendali akademik sedangkan ketua
yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan prasarana, di
dalam praktik terjadi overlapping. Masalah ini bertambah buruk jika di
antara pengurus yayasan ada yang menjadi staf pengajar. Di samping
ada kesan mematai-matai kepemimpinan kepala madrasah, juga ketika
staf pengajar tersebut melakukan tindakan indisipliner (sering datang
terlambat), kepala madrasah merasa tidak berdaya menegumya .
4. Hambatan SDM: Profesionalisme Pengawas, Kepala Madrasah
dan Guru
Istilah professional berasal dari profession, yang mengandung arti sama
denganoccupation atau
pekerjaan
yang
memerlukan
keahlian
yang
kesulitan
menyusun
dokumen-dokumen
pembelajaran,
ketinggalan
informasi
pembaharuan
bidang
pembelajaran,
hubungan
kolegial
guru
melakukan
tukar
pengalaman
yang
bisa
diakses
oleh
guru
dan
lain-lain.
Semua
dan
menggunakan
ketrampilan
mengajar
dengan
tepat.
pelaksanaan
supervisi
pembelajaran
yang
dilakukan
oleh
tentu
membutuhkan
waktu
persiapan
yang
cukup
lama
Hal
lain
yang
belum
dibahas
UU
tersebut
adalah
empat
kategori,
yaitu
kompetensi
pedagogik,
kompetensi
pendidikan
tenaga
kependidikan.
Berbagai
program
kompetensi
emosional
yang
berdasarkan
hasil
penelitian
bersifat
negatif
yang
menjadi
tersendiri
bagi
guru
dalam
menyikapi
kepercayaan
masyarakat ini. Dalam hal ini, guru haruslah memiliki kualitas yang
memadai. Kualitas ini tidak hanya pada tataran normative semata, akan
tetapi juga pada aspek yang berkaitan dengan kompetensi pedagogik,
kompetensi
personal
(kepribadian),
kompetensi
sosial
maupun
kompetensi profesional.
Permasalahan yang terjadi dilapangan seringkali menjadi hambatan bagi
proses yang berlangsung. Dalam hal ini diperlukan adanya satu formula
yang tepat untuk dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan proses yang sedang berlangsung, khususnya dalam
proses belajar mengajar. Supervisi sebagai salah satu alternatif solusi
bagi pemecahan masalah yang dihadapi dalam proses belajar mengajar
disekolah khususnya dikelas menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan,
sehingga kemungkinan-kemungkinan yang bersifat negatif yang menjadi
penghambat dalam proses itu dapat teratasi tentunya dengan cara-cara
yang bijak dan professional
5. Hambatan Ekonomis: Internal dan Eksternal
Berdasarkan data yang diperoleh siswa putus sekolah (drop out dari
madrasah cukup tinggi, tercatat Pada tahun ajaran 2008/ 2009, siswa
yang putus sekolah di tingkat madrasah ibtidaiyah (MI) tercatat 12.161
dari 2.916.227 siswa, madrasah tsanawiyah (MTs) 18.723 dari 2.437.262
siswa, dan madrasah aliyah (MA) 4.290 dari 397.366 siswa. Sementara
pada tahun ajaran 2009/2010, jumlah siswa yang putus sekolah di MI
sebanyak 7.364 siswa, MTs 9.101 siswa, dan MA sebanyak 3.405 siswa.
Meski menurun, angka tersebut masih lebih tinggi dibanding jumlah siswa
putus sekolah di lembaga pendidikan umum. Tingginya angka putus
sekolah di madrasah sebagian besar dilatarbelakangi faktor ekonomi. Hal
ini karena para orang tua siswa yang umumnya hidup dengan tingkat
kesejahteraan dan perekonomian yang rendah. Kondisi ini berimbas pada
citra yang dilekatkan pada lembaga pendidikan madrassah yakni sebagai
lembaga pendidikan bagi siswa tak mapu. Padahal, tak sedikit siswa
madrasah
(Kementerian
Agama)
memiliki
dana
pendidikan
yang
kualitas
pengelolaan
penyusunan
dana
anggaran,
pendidikan
dan
pengawasan
pengelolaan
dana
pendidikan,
sedangkan
kualitas
laporan
keuangan
tidak
sedikit
dibanding
jumlah
madrasah
swasta.
Itu
berarti
tidak
hanya
terpaku
membantu
persoalan
pendanaan
Hambatan
Pengembangan
Usaha Produktif
Sekolah berkualitas tidak selalu harus mahal, tetapi memang untuk
menjadikan sekolah itu berkualitas memerlukan dana yang tidak sedikit.
Mahal bersifat relative dan erat berkaitan dengan biaya. Biaya tinggi
(high cost) seolah telah menjadi fenomena dunia pendidikan dalam
menjadi
jauh
dari
keefektifan
pembiayaan
(cost
effectiveness).
Pola
pikir
mengelola
penyelenggara
dana
sekolah/madrasah
pendidikan.
Efisiensi
yang
perlu
dirubah
bertumpu
dalam
pada cost
pada
dunia
pendidikan
dalam
konteks
tata
school/university atau
kewirausahaan telah
pendidikan
berwawasan
untuk
menumbuhkembangkan
jiwa
kewirausahaan
dan