Anda di halaman 1dari 16

PROBLEMATIKA

PENDIDIKAN ISLAM DI
INDONESIA
Posted on December 11, 2012

H. Ifnaldi Nurmal[1]
A. Latar Belakang
Proses

pendidikan

terejawantahkan sebagai hasil

kajian dari ilmu

pendidikan yang lebih bersifat praksis. Ilmu pendidikan tidak dapat


dipelajari dari belakang meja tanpa peserta didik dan pendidik, tanpa
tujuan pendidikan dan kebijakan pendidikan. Keadaan ilmu pendidikan di
Indonesia sudah sejak lama oleh sebagian kalangan pakar pendidikan
dikatakan dalam status stagnasi karena terputus hubungannya dengan
praktik pendidikan. Dengan sendirinya banyak kebijakan pendidikan yang
bukan ditentukan oleh data dan informasi di lapangan.
Proses pendidikan terjadi dalam lingkungan pendidikan dengan para
stakeholder-nya yaitu peserta didik, pendidik, orang tua, masyarakat dan
pemerintah.

Keberhasilan

dan

kegagalan

yang

disebabkan

oleh

pelaksanaan kebijakan pendidikan adalah informasi untuk perumusan


kembali kebijakan. Kebijakan pendidikan Islam tidak terlepas dari model
H.AR Tilaar (2009) yang menyatakan bahwa pendidikan di Indoensia
seharusnya

memerhatikan Evidence

Information Based

yakni

terkait

antara teori, riset, kebijakan dan praktik pendidikan.[2]


Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung lama bersamaan dengan
masuknya

Islam

di

Indonesia.

Sejumlah

literatur

tentang

sejarah

perkembangan Islam mensinyalir bahwa Islam masuk dan disebar ke


Indonesia melalui pedagang-pedagang yang beragama Islam baik dari
Asia maupun Timur Tengah. Semula pendidikan Islam terlaksana secara
informal antara pedagang dan atau mubaligh dengan masyarakat sekitar.

Kegiatan pendidikan berlangsung di mesjid ataupun di surau/langgar.


Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pendidikan Islam berada
dibawah pengawasan dan tanggungjawab kerajaan. Penyelenggaraan
pendidikan Islam tidak hanya di mesjid dan langgar tetapi juga
berkembang ke tempat khusus untuk belajar ilmu agama Islam secara
lebih mendalam, teratur dan tertib dalam penyampaian pesan-pesan
ajaran Islam tersebut. Tempat menuntut ilmu Islam ini dikenal masyarakat
sebagai pesantren.
Masuknya penjajah (khususnya penjajah Barat) di Indonesia membawa
banyak

perubahan

menadasar

dalam

dinamika

pengajaran

dan

pendidikan agama Islam di Indonesia. Penjajahan yang memiliki ciri ingin


melanggengkan kekuasaan di negeri jajahannya itu sedikit banyak telah
berhasil menanamkan paradigma di masyarakat tentang perbedaaan
antara pendidikan Islam dan pendidikan Barat. Sehingga memunculkan
pandangan bahwa pendidikan Islam di Pesantren lebih pada masalah
keakheratan,

sedangkan

pendidikan

Barat (ilmu-ilmu

umum)

lebih

bertumpu pada persoalan keduniawian belaka. Paradigma ini terus


berlanjut hingga kini. seperti dikemukakan diatas bahwa sesungguhnya
pendidikan Islam itu telah berlangsung sejak lama. bahkan jauh sebelum
pendidikan umum diselenggarakan oleh penjajah Belanda di bumi
Nusantara ini. Disisi lain, seperti telah disinggung dimuka bahwa
sumbangan

pemikir

dan

tokoh

Islam

dalam

pengembangan

ilmu

pengetahuan (sebagian mengenalnya sebagai ilmu pengetahuan Barat)


tidak diragukan lagi. Ide, gagasan atau pandangan yang digali dari wahyu
Ilahi berupa ayat-ayat qauliyah serta hasil-hasil penelitian sebagai
fenomena kauniyah merupakan landasan berpijak para cendikiawan
Muslim tatkala mengembangkan suatu ilmu.
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang semula berangkat dari
prakarsa dan kemandirian, bebas pengaruh otoritas kebijakan, sedikit
banyak mulai terpengaruh. Madrasah sebagai bagian dari lembaga

pendidikan Islam cukup dinamis dalam menanggapi kondisi kekinian


masyarakat. Pada awalnya kurikulum Madrasah menitikberatkan pada
pendidikan agama dari pada ilmu-ilmu umum, tapi kini berbalik yakni:
70% ilmu umum dan 30% agama.[3]
B. Persoalan dan Hambatan
Pada tataran filosofis dan praksis pendidikan Islam di Indonesia tak luput
dari bermacam persoalan baik yang bersifat akut maupun faktual.
Persoalan akut seperti diskursus yang tak kunjnung usai antara ilmu
agama dan ilmu umum. Sementara problema faktual lebih terkait pada
masalah-masalah teknis implementatif pelaksanaan pendidikan Islam.
Peta pendidikan Islam meliputi pertama: pendidikaan keagamaan yakni
diniyah,

pesantren;

kedua: matakuliah/ pelajaran Agama

Islam

di

IAIN/Perguruan Tinggi & TK//SD/SMP/A; serta ketiga: pendidikan umum


bercirikan Islam seperti TKI/RA/BA, SDI/MI/MTs, SMUI/MA/K dan PTAI.
Dalam makalah ini pembahasan problematika pendidikan Islam lebih
dititik beratkan pada hambatan terjadi di pendidikan umum bercirikan
Islam terutama tingkat sekolah dasar hingga menengah yakni Madrasah
Ibtidaiyah (SD). Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA).
Berdasarkan data yang dikeluarkan (Center for Informatics Data and
Islamic Studies (CIDIES) Departemen Agama dan data base EMIS
(Education Management System) Dirjen Pendidikan Islam Kementerian
Agama, jumlah Madrasah Ibtidaiyah/MI, Madrasah Tsanawiyah/MTs dan
Madrasah Aliyah/MA sebanyak 36.105 madrasah (tidak termasuk diniyah
dan pesantren). Dari jumlah itu 90,08 % berstatus swasta dan hanya 9,92
% yang berstatus negeri. Atas dasar itu, madrasah-madrasah swasta
yang jumlahnya lebih banyak daripada madrasah negeri yakni 32.523
buah mengalami masalah yang mendasar yaitu berjuang keras untuk
mempertahankan hidup atau l yamtu wal yahya diplesetkan menjadi
kurang bermutu dan perlu biaya (agar lebih bermutu dan tidak mati)).
Namun demikian, madrasah bagi sebagian masyarakat Indonesia tetap
memiliki daya tarik. Hal ini dibuktikan dari adanya peningkatan jumlah

siswa madrasah dari tahun ke tahun rata-rata sebesar 4,3 %, sehingga


berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006 saja diperkirakan jumlah
siswanya mencapai 5,5 juta orang dari sekitar 57 juta jumlah penduduk
usia sekolah di Indonesia.[4]
Berbagai persoalan dan hambatan mencuat dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam tak dapat dielakkan sebagai ekses dari implementasi
kebijakan pendidikan nasional yang di disain pemerintah. Persoalan di
hulu yang berkaitan filosofis pendidikan Islam telah menimbulkan
diskursus, demikian pula di hilir pada tataran implementatif pendidikan
Islam masih jauh dari kesempurnaan spirit ajaran Islam. Senyata dan
sejatinya nilai-nilai Islam sangat universal dan pengejawantahan nilai-nilai
Islam akan membawa manfaat bagi semua (rahmatan lil alamin).
1.HambatanPolitis:Internal dan Eksternal
Secara internal hambatan politis terjadi disebabkan terlalu campur
tangannya organisasi massa (ormas) Islam yang memayungi sekolahsekolah berbasis keislaman. Keinginan ormas untuk menunjukkan jati diri
politis cukup kental dengan memasukkan sejumlah matapelajaran yang
berkaitan dengan asal usul pendirian ormas tersebut. Sebut saja misalnya
ada materi kemuhammadiyahan yang diberikan mulai dari sekolah dasar
hingga ke perguruan tinggi. Demikian pula materi ahlus sunnah wal
jamaah diberikan untuk sekolah yang berbasis ormas Nadhatul Ulama
(NU) atau yang di dirikan oleh para tokoh NU. Sekolah atau madrasah
yang terkait kedua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu
seolah ingin menunjukkan jati diri meraka masing-masing sebagai sekolah
yang paling benar dalam mengemban misi dan visi keislaman. Alhasil,
muatan kurikulum sekolah-sekolah berbasis ormas ini seakan over dosis
karena kelebihan beban. Sekolah-sekolah umum berbasis Islam ini tidak
hanya harus mengikuti kebijakan politis ormas yang melahirkannya
dengan mengejawantahkan kebijakan tersebut ke dalam kurikulum
sekolah. Tetapi juga tentunya harus mengkuti ketentuan dan kebijakan

pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional sebagai


Pembina utama sekolah-sekolahtersebut.
Persoalan politis yang berasal dari internal umat Islam ini memang sudah
menjadi ciri khas dari kedua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia
itu. Mereka saling berupaya secara sendiri-sendiri ingin menampilkan
keunggulannya

masing-masing.

Konsekuensinya,

penyelenggaraan

pendidikan Islam yang ada di Indonesia ini berkembang tanpa sinergitas


dan perbedaan yang diramu untuk suatu keunggulan yang lebih besar.
Masing-masing

ormas

tetap

ingin

mempertahankan

jati

diri

dan

kekhasannya sendiri-sendiri. Maka, untuk kondisi saat ini masih sulit


memimpikan

kebersamaan

antara

kedua

ormas

tersebut

dalam

bekerjasama untuk melahirkan sekolah-sekolah Islam yang efektif dan di


segani tidak hanya di Indonesia tetapi di kancah iternasional.
Dari hambatan politis bersifat internal antar umat Islam (baca: ormas
Islam) di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan Islam juga dihadapkan
hambatan politis yang bersifat eksternal. Hambatan disebabkan berbagai
kebijakan pemerintah yang kurang memerhatikan maksimal terkait
dengan penyelenggaraan pendidikan Islam.Walau diakui ada kemajuan
tapi

masih

jauh

dari

harapan

rakyat

Indonesia

yang

mayoritas

berpenduduknay beragama Islam.


Secara politis kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
diatur melalui UU sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 diakui
memang memuat keberadaan pendidikan Islam seperti madrasah dan
pesantren. Namun pencantuman Madrasah dalam UU itu sekedar
pelengkap komponen utama pendidikan nasional. Kenapa demikian?
Karena

dalam

tataram

praksis

perhatian

penyelenggara

Negara

tampaknya lebih menaruh perhatian dan fokus pada sekolah-sekolah


umum

(dibawah

pengawasan

Kemendiknas)

baik

dari

sis

teknis

peningkatan mutu persekolahan maupun sisi anggaran yang tersedia.

Padahal, menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN),


madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga
pendidikan lainnya (persekolahan). Dengan kenyataan ini seringkali
tatkala membahas pengembangan persekolahan, sistem pendidikan Islam
(madrasah) tidak ikut dikaji secara baik oleh pemangku kebijakan bahkan
cenderung diabaikan neglected community.
Desentralisasi, demokrasi dan otonomi merupakan isu yang mengemuka
sekarang ini sebagai dampak dari implementasi UU no.22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang itu menyatakan bahwa
desentralisasi adalah azas dan proses pembentukan otonomi daerah dan
penyerahan wewenang pemerintah di bidang tertentu oleh Pemerintah
Pusat.

Otonomi

ini

meliputi

juga

sektor

pendidikan,

sehingga

menampakkan kesan dualisme dalam pengelolaan pendidikan antara


Pusat dan Daerah. Pada bagian lain pendidikan umum berciirikan Islam
(madrasah) ditangani Kementerian Agama sedangkan sekolah umum
bercirikan Islam diawasi Kementereian Pendidikan Nasional. Padahal
berdasarkan teori sistem yang dikemukakan David Easton dalam HAR
Tilaar

(2009)

manajemen

pendidikan

memerlukan

keterpaduan

penggerakan system sebagai syara tpenting keberhasilan sistem.


Secara sociocultural politis pendidikan Islam berlangsung semenjak
masuknya

Islam

di

persada

Nusantara.

Sejak

lama

masyarakat

menumbuh-kembangkan pendidikan Islam baik di mesijid maupun


pesantren dengan cara bergotong royong. Kemandirian adalah cirri utama
pemdidikan

Islam

kala

itu.

Hanya

saja

stigma

pendidikan

Islam

merupakan urusan akherat begitu mengental hingga mempengaruhi


tumbuh kembang disiplin ilmu selain agama. Padahal, dunia Barat maju
seperti sekarang ini tidak terlepas dari hasil kajian cendekiawan Muslim
terdahulu. Di Indonesia, dalam konteks sociocultural politics, skenario
penjajah yang berciri devide et impera sukses memisahkan urusan
dunia dan ukhrowi, efeknya terasa hingga kin tatkala muncul kesadaran

untuk

tidak

memisahkan

keduanya.

2.HambatanKultural:InternaldanEksternal
Kita sangat menyayangkan hingga kini lembaga-lembaga pendidikan
Islam masih sulit dijadikan model lembaga pendidikan yang paripurna dan
berlaku umum di Indonesia. Hal ini disebabkan lemahnya kinerja yang
ditunjukkan

serta

rendahnya

motivasi

untuk

menjadikan

lembaga

pendidikan Islam ini sebagai kawah candradimuka para intelektual yang


agamis dan para ulama yang intelektual. Kurangnya kesungguhan
penyelenggara pendidikan Islam dalam mengelola lembaga pendidikan
Islam seperti madrasah dan sekolah berbasis keislaman disinyalir karena
kesadaran umat Islam atas kewajiban menuntut ilmu masih rendah.
Gejala

rendahnya

budaya

membaca,

belajar

dan

bekerja

keras

menunjukkan bahwa pemahaman umat Islam tentang nilai-nilai Islam


belum merata dan menjadi hambatan untuk maju berprestasi. Pengelola
merupakan pencerminan dari kondisi umat islam yang tidak terlepas dari
hambatan kultural internal tersebut. Pengelola belum mampu bangkit
menjadi agent of change, para pembaharu perilaku dan budaya untuk
menerapkan nilai-nilai Islam dalam bentuk ketauhidan social seperti
menegakkan disiplin sekolah secara ajeg dan konsisten, menyebarkan
budaya membaca dan bekerja keras serta nilai-nilai social keislaman
lainnya.
Kondisi internal umat Islam yang masih lemah untuk menanam-suburkan
nilai-nilai Islam itu oleh para penyelenggara dan pengelola pendidikan
Islam, pada akhirnya berpengaruh juga pada persepsi masyarakat
terhadap lembaga pendidikan Islam. Fenomena kondisi cultural umat
Islam yang menyelenggarakan pendidikan Islam merupakan aspek
internal yang saling kait mengkait dengan persepsi umat Islam di luar
lembaga

tersebut.

Sehingga

kedua-duanya

(kultural

internal

dan

eksternal) menjadi hambatan bagi kemajuan dan pengembangan mutu


penyelenggaraaan pendidikan Islam. Persepsi masyarakat sudah terlanjur
terpengaruh dengan paradigm bahwa pendidikan Islam hanya berkutat

pada

masalah

agama

dan

kurang

menaruh

perhatian

pada

pengembangan aspek-aspek lainnya seperti kecerdasan intelektual dan


sosial.
Hambatan kultural baik yang berasal dari dalam (internal) maupun dari
luar (eksternal) masih ditambah dengan sistem pendidikan nasional yang
terkesan juga terjebak diskursus dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan
agama. Persepsi masyarakat sudah terlanjur terbentuk sangat kuat
tentang hal itu. Terlebih lagi penguasaan agama sebagian umat Islam
juga masih rentan dipengaruhi budaya-budaya lokal setempat yang
ternyata ssulit dihilangkan, bahkan cenderung dapat menguburkan nilainilai Islam sesungguhnya. Budaya-budaya lokal yang diadopsi tanpa
landasan filosofis yang kuat bisa menjadi boomerang kemajuan umat
Islam.
3. Hambatan Manajerial- Internal dan Eksternal
Hambatan penyelenggaraan pendidikan Islam dari sisi manajerial terjadi
juga secara internal dan eksternal. Praktek kepemimpinan di madrasah
sering menunjukkan model tradisional, yakni kepemimpinan paternalistik,
feodalistik dan karismatik. Dominasi senioritas terkadang mengganggu
perkembangan

dan

peningkatan

kualitas

pendidikan.

Munculnya

kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap


yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini memunculkan
kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan senior
dianggap tabiat buruk atau suul adab. Iklim ini berlangsung dalam
pendidikan

Islam

di

Indonesia.

Padahal

manajemen

profesional

mempersyaratkan perlunya top down serta juga bottom up approach.


Menurut Yukl dan Sharplin dalam Sonhadji (2003) model kepemimpinan
yang mengandalkan sifat dan karismatik tidak akan bertahan lama dan
organisasi modern tidak menerapkannya karena tidak mampu membuat
sistem yang baik.

Perwujudan tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana diamanatkan dan


dirumuskan

dalam

Undang-undang

Nomor

tahun

1989,

yang

diperbaharui melalui UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan


Nasional, seharusnya melibatkan berbagai sumber daya baik sumber
daya manusia maupun non manusia seperti dana, sarana prasarana, alatalat, media dan sebagainya. Orang yang bertanggungjawab untuk
mengelola, mengatur, memadukan, dan mengarahkan semua bentuk
sumber daya itu dalam lapangan pendidikan disebut manajer pendidikan.
Di

dunia

terutama
pendidikan

persekolahan/madrasah,
oleh
Islam

kepala

tugas-tugas

sekolah/madrasah.

merupakan

fenomena

manajerial
Dualisme

yang

biasa

dilakukan

manajemen
di

lembaga

pendidikan swasta yang memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah
dan ketua yayasan (atau pengurus). Meski telah ada garis kewenangan
yakni kepala madrasah memegang kendali akademik sedangkan ketua
yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan prasarana, di
dalam praktik terjadi overlapping. Masalah ini bertambah buruk jika di
antara pengurus yayasan ada yang menjadi staf pengajar. Di samping
ada kesan mematai-matai kepemimpinan kepala madrasah, juga ketika
staf pengajar tersebut melakukan tindakan indisipliner (sering datang
terlambat), kepala madrasah merasa tidak berdaya menegumya .
4. Hambatan SDM: Profesionalisme Pengawas, Kepala Madrasah
dan Guru
Istilah professional berasal dari profession, yang mengandung arti sama
denganoccupation atau

pekerjaan

yang

memerlukan

keahlian

yang

diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus. Jadi, para professional


adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoleh pendidikan
atau pelatihan yang khusus untuk suatu pekerjaan.. Oleh karena itu
dituntut kompetensi atau kemampuan profesional dari seorang guru.
Kompetensi profesional merujuk pada kemampuan guru untuk menguasai
materi pembelajaran. Guru harus memiliki pengetahuan yang baik
mengenai subyek yang diajarkan, mampu mengikuti kode etik profesional
dan menjaga serta mengembangkan kemampuan profesionalnya.

Berbagai permasalahan pembelajaran yang sering dikeluhkan masyarakat


antara lain rendahnya minat guru dalam mengajar, ketidakmampuan guru
mengatasi

kesulitan

menyusun

dokumen-dokumen

pembelajaran,

kesulitan guru melaksanakan tugas mengajar menggunakan ketrampilan


mengajar yang sesuai dengan tuntutan materi pelajaran, ada guru yang
selalu

ketinggalan

informasi

pembaharuan

bidang

pembelajaran,

kurangnya koordinasi antar kolega, model dan strategi pembelajaran


yang tidak efektif dan permasalahan lain yang berkaitan dengan
pembelajaran.
Di lain pihak ada pemahaman di antara guru bahwa kegiatan supervisi
baik yang dilakukan oleh pengawas sekolah/madrasah maupun kepala
sekolah/madrasah diidentikkan dengan evaluasi sehingga guru lebih
cenderung resah ketika menerima supervisi tersebut karena merupakan
program dari atasan. Pelaksanaan supervisi selama ini sifatnya mencari
kelemahan para guru sehingga para guru merasa waswas bila didatangi
supervisor. Sasaran pengamatan yang dilakukan supervisor terlalu luas
dan bersifat umum sehingga sukar memberikan umpan balik yang terarah
dan bermanfaat bagi pembelajaran siswa di kelas. Umpan balik hanya
bersifat pengarahan yang mengedepankan power bahkan serangkaian
instruksi yang berbau ancaman dan tidak melibatkan guru dalam
menganalisis dirinya serta tidak menemukan cara mengatasi kesulitan
guru dalam mengajar. Selain itu supervisor jarang melakukan monitoring
keberadaan proses belajar di dalam kelas, hanya mengandalkan laporan
dokumen yang diberikan guru.
Munculnya permasalahan pembelajaran tersebut tentu saja disebabkan
berbagai hal misalnya pembinaan yang kurang efektif dari supervisor,
rendahnya

hubungan

kolegial

guru

melakukan

tukar

pengalaman

mengenai pembelajaran, terlalu sedikitnya informasi baru mengenai


pembelajaran

yang

bisa

diakses

oleh

guru

dan

lain-lain.

Semua

permasalahan tersebut sebetulnya tidak perlu terjadi jika profesionalisme


yang tinggi ada pada supervisor dan juga pendidik. Jika ada kemauan

bersama untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran


maka permasalahan kesulitan mengajar bagi guru akan dapat teratasi
melalui kegiatan supervisi pembelajaran yang dilakukan oleh pengawas
sekolah/madrasah, kepala sekolah/madrasah dan teman sejawat guru
melalui kegiatan supervisi (Sagala, 2010).
Adapun sasaran utama supervisi pembelajaran adalah guru, yaitu
membantu guru dengan cara melakukan perbaikan situasi belajarmengajar

dan

menggunakan

ketrampilan

mengajar

dengan

tepat.

Bantuan melalui kegiatan supervisi pembelajaran guru akan mampu


mengidentifikasi perilaku guru yang mendasari konsep pembelajaran.
Dalam hal ini supervisor membantu guru antara lain menyusun silabus
dan RPP mengacu pada standar isi, memberikan contoh dan menjelaskan
penggunaan model dan strategi pembelajaran, mengulang pertanyaan
dan penjelasan jika siswa tidak memahaminya (Sagala, 2010).
Melalui

pelaksanaan

supervisi

pembelajaran

yang

dilakukan

oleh

supervisor maka kondisi nyata di kelas tentang rendahnya mutu layanan


belajar dapat dilihat bersama. Rendahnya mutu layanan belajar di kelas
dapat saja sebagai akibat antara lain dari tata kelola sekolah yang tidak
baik, pengawasan sekolah yang kurang berkualitas, rendahnya kualitas
guru dalam mengajar, minimnya fasilitas pembelajaran yang kesemuanya
itu berdampak negatif terhadap keberhasilan sekolah.
Keberadaan yang salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan
profesionalisme guru ternyata pada prakteknya menemui berbagai
kendala dan persoalan. Beban kerja yang mempersyaratkan guru
melakukan tatap muka paling sedikit 24 jam/minggu cukup memberatkan.
Kenapa demikian? Karena merancang tatap muka yang efektif, seorang
guru

tentu

membutuhkan

waktu

persiapan

yang

cukup

lama

bahkan effort-nya berat. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan,


guru berkewajiban merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses

pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil


pembelajaran

Hal

lain

yang

belum

dibahas

UU

tersebut

adalah

kedudukan, kesejahteraan dan keikutsertaan para guru swasta dalam


sertifikasi yang dipersyaratkan UU Guru dan Dosen. Kompetensi guru
terkait dengan profesionalisme. Profesi keguruan merupakan jabatan
yang dilandasi oleh berbagai kemampuan dan keahlian.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi
Guru menjelaskan bahwa kompetensi yang diperlukan oleh guru terbagi
atas

empat

kategori,

yaitu

kompetensi

pedagogik,

kompetensi

kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Keempat


macam kompetensi ini dijadikan landasan dalam rangka mengembangkan
sistem

pendidikan

tenaga

kependidikan.

Berbagai

program

pengembangan profesionalisme guru selama ini lebih memerhatikan


kompetensi pedagogik dan professional (penguasaan metode dan materi
ajar). Padahal kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial merupakan
domain

kompetensi

emosional

yang

berdasarkan

hasil

penelitian

Goleman (1995, 1998) telah terbukti menyumbang 80% keberhasilan


kinerja/pekerjaan seseorang (achieved performance).
Guru sebagai orang yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan
potensi yang ada pada siswa memiliki tanggung jawab besar yang
memungkinkan berhasil atau tidaknya ia mengembangkan potensi
siswanya. Dalam prosesnya
kemungkinan-kemungkinan

hingga kini masih banyak ditemukan


yang

bersifat

negatif

yang

menjadi

penghalang keberhasilan tujuan yang diharapkan. Tidak semua guru yang


dididik dalam lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan kualified. Jika
boleh dikata, masyarakat kita saat ini sudah terlanjur mempercayai,
mengakui dan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan
anak-anaknya kepada guru. Kepercayaan masyarakat terhadap guru
untuk mendidik anak-anak mereka merupakan implikasi dari pengakuan
masyarakat akan profesi guru. Namun kenyataan dilapangan tidak
berbanding lurus dengan apa yang diharapkan. hal ini tentunya menjadi
permasalahan

tersendiri

bagi

guru

dalam

menyikapi

kepercayaan

masyarakat ini. Dalam hal ini, guru haruslah memiliki kualitas yang
memadai. Kualitas ini tidak hanya pada tataran normative semata, akan
tetapi juga pada aspek yang berkaitan dengan kompetensi pedagogik,
kompetensi

personal

(kepribadian),

kompetensi

sosial

maupun

kompetensi profesional.
Permasalahan yang terjadi dilapangan seringkali menjadi hambatan bagi
proses yang berlangsung. Dalam hal ini diperlukan adanya satu formula
yang tepat untuk dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan proses yang sedang berlangsung, khususnya dalam
proses belajar mengajar. Supervisi sebagai salah satu alternatif solusi
bagi pemecahan masalah yang dihadapi dalam proses belajar mengajar
disekolah khususnya dikelas menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan,
sehingga kemungkinan-kemungkinan yang bersifat negatif yang menjadi
penghambat dalam proses itu dapat teratasi tentunya dengan cara-cara
yang bijak dan professional
5. Hambatan Ekonomis: Internal dan Eksternal
Berdasarkan data yang diperoleh siswa putus sekolah (drop out dari
madrasah cukup tinggi, tercatat Pada tahun ajaran 2008/ 2009, siswa
yang putus sekolah di tingkat madrasah ibtidaiyah (MI) tercatat 12.161
dari 2.916.227 siswa, madrasah tsanawiyah (MTs) 18.723 dari 2.437.262
siswa, dan madrasah aliyah (MA) 4.290 dari 397.366 siswa. Sementara
pada tahun ajaran 2009/2010, jumlah siswa yang putus sekolah di MI
sebanyak 7.364 siswa, MTs 9.101 siswa, dan MA sebanyak 3.405 siswa.
Meski menurun, angka tersebut masih lebih tinggi dibanding jumlah siswa
putus sekolah di lembaga pendidikan umum. Tingginya angka putus
sekolah di madrasah sebagian besar dilatarbelakangi faktor ekonomi. Hal
ini karena para orang tua siswa yang umumnya hidup dengan tingkat
kesejahteraan dan perekonomian yang rendah. Kondisi ini berimbas pada
citra yang dilekatkan pada lembaga pendidikan madrassah yakni sebagai
lembaga pendidikan bagi siswa tak mapu. Padahal, tak sedikit siswa

madrasah

berpotensi (Angka Putus Sekolah di Madrasah Masih Tinggi,

Republika, 23 Maret 2011).


Pemerintah

(Kementerian

Agama)

memiliki

dana

pendidikan

yang

terbatas sementara jumlah madrasah sangat banyak. Oleh karena itu


pengelolaan dana pendidikan menjadi hal yang mendesak diperhatikan.
Suatu sekolah haruslah memiliki kemampuan dalam mengelola dan
mengalokasikan dana pendidikan sehingga sumber daya yang berupa
uang dapat diberdayakan secara optimal. Dari hasil analisis menunjukkan
bahwa

kualitas

pengelolaan

penyusunan

dana

anggaran,

pendidikan

dan

partisipasi stakeholder dalam

pengawasan

pengelolaan

dana

pendidikan oleh komite sekolah berpengaruh secara signifikan terhadap


kualitas

pendidikan,

sedangkan

kualitas

laporan

keuangan

tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas pendidikan.


Problem putus sekolah yang masih tinggi di madrasah disinyalir karena
pengelolaan dana pendidikan belum maksimal. Jumlah madrasah negeri
sangat

sedikit

dibanding

jumlah

madrasah

swasta.

Itu

berarti

Kementerian Agama sebagai Pembina dan Pengendali operasional sekolah


madrasah

tidak

hanya

terpaku

membantu

persoalan

pendanaan

madrasah negeri, sebab mayoritas populasi siswa madrasah berada di


madrasah swasta. Terlebih lagi kondisi lingkungan kemasyarakatan dan
status sosial keluarga siswa madrasah swasta belum sepenuhnya
menunjang kelancaran program madrasah dalam meningkatkan kualitas
siswa secara optimal. Masalah ekonomi dan pengelolaan dana pendidikan
menjadi hal yang krusial.
6.

Hambatan

Paradigma Entrepreneurship &

Pengembangan

Usaha Produktif
Sekolah berkualitas tidak selalu harus mahal, tetapi memang untuk
menjadikan sekolah itu berkualitas memerlukan dana yang tidak sedikit.
Mahal bersifat relative dan erat berkaitan dengan biaya. Biaya tinggi
(high cost) seolah telah menjadi fenomena dunia pendidikan dalam

mengelola dana-dana yang dibutuhkan bagi operasionalisasi kegiatan


persekolahaan. Kegiatan pendidikan memang memerlukan dana, tetapi
jika tidak dikelola dengan paradigma yang tepat maka pembiayaan
pendidikan

menjadi

jauh

dari

keefektifan

pembiayaan

(cost

effectiveness).
Pola

pikir

mengelola

penyelenggara
dana

sekolah/madrasah

pendidikan.

Efisiensi

yang

perlu

dirubah

bertumpu

dalam

pada cost

effectiveness semestinya dapat menjadi prinsip kerja pengelola dana


pendidikan. Prinsip manajemen ekonomi yaitu sinergi antara efektifitas
dan efisiensi yang memunculkan produktivitas kiranya dapat diterapkan
juga

pada

dunia

pendidikan

dalam

konteks

tata

pandang entrepreneurship atau kewirausahaan di madrasah.


Entrepreneurial

school/university atau

kewirausahaan telah

pendidikan

berwawasan

menjadi motto dan perhatian dunia pendidikan.

Namun kenyataan lingkungan sekolah belum sepenuhnya sadar secara


faktual akan

pentingnya membentuk jiwa kewirausahaan. Sebagian

mereka tampak kurang menyadari akan arti penting mengembangkan


usaha produktif. Birokrasi sekolah tidak selalu kondusif bagi untuk
mengaktualisasi dan mengekspresikan jiwa dan semangat bisnisnya.
Padahal,

untuk

menumbuhkembangkan

jiwa

kewirausahaan

dan

membentuk karakter entrepeneurial di sekolah membutuhkan lingkungan


kondusif. Kegiatan/ program menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan
di sekolah mulai perlu disosialisasikan.
Paradigma entrepreneurship berbeda dengan komersialisasi. Jika karakter
kewirausahaan menanamsuburkan pola-pola pikir kreatif, menciptakan
produk/gagasan dan menjadikannya memiliki nilai tambah ekonomis,
maka komersialisasi merupakan kegiatan menghalalkan segala cara
melanggar rambu etika dengan memanfaatkan wewenang dan peluang
yang dimiliki. Contoh dari komersialisasi di dunia pendidikan misalnya
menjadikan obyek terdidik (siswa dan mahasiswa) sebagai sumber
penghasilan dengan memperoleh pemasukan dari biaya buku, biaya
gedung, SPP yang mahal dan lain-lain. Bentuk komersialisasi seperti ini

harus dikikis dan jauh dari mentalitas penyelenggara pendidikan diganti


dengan paradigma entrepreneurship. Saat ini pemangku kepenting lebih
mudah menaikkan SPP untuk menutupi dana operasional.
Daftar Bacaan
1. Fathi Ali Yunus. 2009. At-Tarbiyah ad-Diniyah al- Islamiyah baina alAshalal wa al-Muasharah.
2. Jurnal Ilmiah. Gontor Media Perekat Umat. Edisi 12 April 2011.
3. Ibnu Kaldun. 2010. Sosiologi Islam. Rineka Cipta; Yogjakarta,
4. Majalah Gontor, Edisi 01 IX Mei 2011/Jumadil Kahir 1432 H
5. Efendi, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran
dan Praktik Islam di Indonesia; Paramadina. Jakarta.
6. IG.A.K. Wardani, dkk. 2009. Persfektif Pendidikan di SD. Universitas
Terbuka. Jakarta.

[1] Dosen Tarbiyah STAIN Curup


[2] H. A .Tilar. 2009. Kebijakan Pendidkan di Indonesia. Jakareta: Ganexa
Press
[3] Ibid, hal 239
[4] Cides, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai