Anda di halaman 1dari 15

KURIKULUM PONDOK PESANTREN

Disusun untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Sejarah pendidikan islam
Dosen : Riza Agustina M,Pd

DISUSUN OLEH :
FARHAH FEBRIYANTI (2017008)

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, puji
syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telahberkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat
bagi penulis dan umumnya pembaca.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................1
C. Tujuan Penelitian................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
A. Kurikulum Pendidikan Islam di Pondok Pesantren........................................2
B. Model Pembelajaran di Pesantren....................................................................7
C. Tradisi Pesantren................................................................................................9
D. Proses Pembelajaran di Pesantren...................................................................10

BAB III PENUTUP...........................................................................................................12


A. Kesimpulan..........................................................................................................12
B. Saran....................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dunia pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan islam dimana didalamnya
belajar ilmu agama. Seperti kitab-kitab kalasik, dan kitab-kitab syariat lainnya. Dan pada
perkembangannya pondok pesantren mengalami kemajuan yang tidak hanya berkutat
pada pengkajian agama atau kitab-kitab klasik, Melaikan pengajaran tentang ilmu-ilmu
pengetahuan umum modern yang sudah diperkenalkan termasuk teknologi.
Adanya berbagai macam bidang kemajuan keilmuan yang diadopsi oleh pesantren
tetap menjadi perhatian dan pengawasan pesantren, karena hal ini perlu dilakukan oleh
pesantren untuk mengantisipasi adanya masalah, utamanya dalam menyaring dampak
negatif keilmuan-keilmuan modern yang akan merusak citra pondok pesantren itu
sendiri, sehingga pemprogramannyapun dibatasi dan hanya sebagai kepentingan
tertentu saja.
Sehubungan dengan hal tersebut pondok pesantren tidak hanya sebagai wadah
pengkajian ilmu agama islam melainkan juga sebagai wahana pemberdaya umat. hal ini
dikarenakan kemajuan pondok pesantren dari masa ke masa, Seperti yang kita ketahui
bersama bahwa visi dan misi pondok pesantren bukanlah rahasia publik akan tetapi
fungsi maupun peran pesantren memanglah benar sebagai pemberdaya umat baik dari
berbagai bidang seperti; syi’ar keagamaan (dakwah) pengkajian kitab, sejarah, seni
budaya, ilmu pengatahuan alam, astronomi, teknologi, olahraga, politik, bidang
ekonomi, dan lain sebagainya.
Secara kasat mata ada timbal balik antara pondok pesantren dan masyarakat
(umat) tidak bisa dipisahkan karena keduanya adalah dua sisi yang bersinambungan,
olek karena itu penyusun akan menguraikan peran pondok pesantren dalam
pemberdayaan umat. Dengan latar belakang diatas serta rumusan masalah yang
diambil diharapkan menjadikan titik temu bukti terhadap adanya judul makalah diatas.

B. Rumusan Masalah
Apa visi, misi dan tujuan dari pendidikan yang ada di Pondok Pesantren ?
Bagaimana kurikulum yang ada di Pesantren ?
Bagaimana model belajar dipesantren ?
Bagaimana tradisi yang ada di Pesantren ?
Bagaimana proses pembelajaran yang ada di Pesantren ?

1
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kurikulum yang ada di pesantren
2. Untuk mengetahui model pembelajaran di pesantren
3. Untuk mengetahui tradisi di pesantren

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kurikulum Pendidikan Islam di Pondok Pesantren


Pembahasan kurikulum sebenarnya belum banyak dikenal pesantren.Bahkan di Indonesia
tema kurikulum belum pernah popular pada saat proklamasi kemerdekaan, apalagi
sebelumnya.Berbeda dengan kurikulum, istilah materi pelajaran justru mudah dikenal dan mudah
dipahami dikalangan pesantren.Namun untuk pemaparan berbagai kegiatan baik yang
berorientasi pada pengembangan intelektual, keterampilan, pengabdian maupun secara umum
kepribadian agaknya lebih tepat digunakan istilah kurikulum.
Pemaknaan dan pemahaman kurikulum dalam pandangan para ahli pendidik telah mengalami
pergeseran secara horizontal. Jika asalnya sebagaimana ditegaskan S. Nasution bahwa kurikulum
dipahami sebagai sejumlah mata pelajaran di sekolah yang harus ditempuh untuk mencapai suatu
ijazah atau tingkat, maka sekarang pengertian itu berusaha diperluas. Perluasan cakupan
kurikulum ini telah di diprakarsai beberapa pakar sekitar 1950-an hingga 1970-an. Formulasi
definitive dari J. Galen Saylor dan William M. Alexander seperti dilansir Nasuition kiranya
dapat mewakili upaya perluasan cakupan makna kurikulum tersebut. Mereka berdua
merumuskan bahwa, “The curriculum is the sum total of schools efforts to influence learning.
Whether in the classroom, on the play ground, our out of school.”Kurikulum yang dimaksudkan
adalah segala sesuatu usaha yang ditempuh sekolah untuk mempengaruhi (merangsang) belajar,
baik berlangsung di dalam kelas, dihalaman sekolah maupun di luar sekolah.2
Untuk selanjutnya, terkait dengan kurikulum pesantren akan menggunakan pengertian yang
di utarakan oleh Saylor dan Alexander. Penggunaan pengertian ini akan meliputi segala bentuk
kegiatan baik intra-kurikuler maupun ekstra-kurikuler yang diperankan oleh santri maupun oleh
kyai, disertai dengan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat wajib untuk di ikuti maupun hanya
sekedar anjuran.
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kurikulum dalam pesantren juga
selalu mengalami perkembangan. Hal tersebut bisa dilihat dari perubahan pembelajaran yang di
ajarkan di pesantren, antara lain:
1. Materi dasar-dasar keislaman dan ilmu islam
Dasar-dasar keislaman selalu diterapkan di pesantren, hal tersebut bisa dilihat dari
kurikulum pembelajaran di pesantren yang dulu lebih menekankan pada 3 komponen
ajaran islam yang berupa iman, islam dan ihsan. Sebab disesuaikan dengan tingkat
intelektual dengan masyarakat (santri) dan kualitas keberagamannya pada waktu itu,
sehingga isi pengajian di pesantren berkisar soal rukun iman, rukun islam, akhlak dan
ilmu hikmah.

3
Pengajaran dasar-dasar keislaman ini ditempuh karena disesuaikan dengan tingkat
kemampuan santri yang banyak dari masyarakat yang baru saja memeluk islam
(muslim). Mereka perlu diberikan materi pelajaran agama yang paling dasar sesuai
dengan keperluan awal bagi seorang yang mulai mempelajari dan memahami islam.
Selain itu, dari ilmu yang diajarkan juga mengalami perubahan, yang mula-mula ilmu
yang diajarkan di pesantren adalah ilmu sharaf dan nahwu, kemudian ilmu fiqh, tafsir,
ilmu tauhid, akhirnya sampai kepada ilmu tasawuf.
Dalam perkembangan selanjutnya, santri perlu diberikan bukan hanya ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan ritual keseharian yang bersifat praktis, melainkan ilmu-ilmu yang
berbau penalaran yang menggunakan referensi wahyu, seperti ilmu kalam, bahkan
ilmu-ilmu yang menggunakan cara pendekatan yang tepat kepada Allah.
Dalam perkembangannya ilmu-ilmu dasar keislaman seperti tauhid, fiqh, dan tasawuf
selalu menjadi mata pelajaran favorit bagi para santri. Tauhid memberikan pemahaman
dan keyakinan terhadap keesaan Allah, fiqh memberikan cara-cara beribadah sebagai
konsekuensi logis dari keimanan yang telah dimiliki seseorang, sedangkan tasawuf
membimbing seseorang pada penyempurnaan ibadah agar menjadi orang yang benar-
benar dekat dengan Allah.
Sehubungan dengan itu, cukup dapat dipahami jika kondisi pendidikan pesantren
diorientasikan pada ibadah kepada Allah dan serangkaian amalan yang
mendukungnya.
2. Penambahan dan perincian materi dasar
Pada abad ke-19, sulit ditemukan rincian materi pelajaran di pesantren, namun ada
sedikit petunjuk secara implisit dari hasil penelitian L.W.C. Van den Berg sebagaimana
yang dikutip Steenbrink bahwa materi tersebut meliputi fiqh, tata bahasa arab, ushul al-
Din, tasawuf, dan tafsir.
Kemudian kurikulum pesantren berkembang menjadi bertambah luas lagi
dengan penambahan ilmu-ilmu yang masih merupakan elemen dari materi pelajaran
yang diajarkan pada masa awal pertumbuhannya.Pengembangan kurikulum tersebut
lebih bersifat rincian materi pelajaran yang sudah ada daripada penamabahan disiplin
ilmu yang baru. Penambahan materi pelajaran tersebut antara lain: Al-Qur’an dengan
tajwid dan tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam, fiqh dengan ushul fiqh dan qawaid al-fiqh,
hadits dengan mushthalah hadits, bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu,
sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan ‘arudh, tarikh, mantiq, tasawuf, akhlak, dan falak.
Tidak semua pesantren mengajarkan ilmu tersebut secara ketat.Kombinasi ilmu
tersebut hanyalah lazimnya diterapkan di pesantren.Beberapa pesantren lainnya
menerapkan kombinasi ilmu yang berbeda-beda karena belum ada standarisasi
kurikulum pesantren yang baik yang berskala lokal, regional maupun nasional.Upaya
standarisasi kurikulum selalu berhadapan dengan otonomi pesantren sebagai
pantulandari otoritas kyai dengan spesifikasi ilmu yang didalaminya.Maka standarisasi

4
kurikulum barangkali tidak pernah berhasil diterapkan di seluruh pesantren. Sehingga,
pesantren tetap pada kekhususan masing-masing, karena dengan adanya variasi
kurikulum pada pesanten akan menunjukkan ciri khas dan keunggulan masing-masing.
Sedangkan penyamaan kurikulumterkadang justru membelenggu kemampuan santri
seperti pengalaman madrasah yang mengikuti kurikulum pemerintah.Lulusan madrasah
ternyata hanya memiliki kemampuan setengah-setengah.
3. Penggunaan kitab-kitab referensi
Perkembangan kitab-kitab yang dijadikan referensi pesantren dimulai masa
walisongo.Pada masa walisongo yang digunakan referensi memakai Al-Qur’an, hadits,
dan kitab sittina’.Kemudian pada abad ke-18, pesantren di mataram memakai kitab
matan taqrib, bayan al-hidayat karangan Imam Ghazali dalam ilmu akhlak.
Mulai abad ke-19, kitab-kitab referensi di kalanganpesantren mengalami perubahan
yang sangat drastis. Perubahan ini bukan saja penambahan kitab-kitab dalam satu
disiplin ilmu, melainkan juga penambahan kitab-kitab yang memuat disiplin ilmu yang
berlainan, antara lain sebagai berikut:
a. Bidang fiqh meliputi Safinat al-Najah, Sullam al-Taufiq, Masail al-Sittah, Minhaj al-
Qawim, al-Risalah, Tuhfat al-Habib, al-Muharrar, Minhaj Thalibin, Fath al-Mu’in dan lain-
lain.
b. Bidang tata bahasa arab meliputi Muqaddimah al-Ajurumiyah, Mutammimah, al-
Fawaqihal-Janniyyah, al-Awamil al-Mi’at, Inna Awla, Alfiyah, Minhaj al-masalik, Tamrin
al-Thullab, al-Rafiyyah, Mujib al-Nida’, al-Mishbah dan lain-lain
c. Bidang Ushul al-Din meliputi Bahjat al-Ulum, Aqidah al-Sanusi, al-Mufid, Jawharat
al-tauhid dan lain-lain
d. Bidang tasawuf meliputi Ihya’ al-Ulum al-Din, Bidayat al-Hidayat, Minhaj al-Abidin,
al-Hikam, Su’ab al-Iman, dan Hidayat al-Azkiya’ ila Thariq al-Awliya’
e. Bidang tafsir hanya Tafsir Jalalain
Pada abad ke-20 ditambah lagi dengan kitab-kitab di bidang hadits,tarikh, ushul fiqh,
mantiqdan falak karena tuntutan masyarakat lebih kompleks. Beberapa peneliti
menyebutkan kitab-kitab referensi pada abad ini bervariasi antara lain: dalam bidang
nahwu, Sharaf, fiqh, tauhid, mantiq, balaghah, akhlak, hadits, tafsir, dan tarikh.
Kemudian pada abad ke-21 kitab yang paling popular di kalangan pesantren adalah
Alfiyah dan taqrib.
4. Materi pelajaran umum dan ketrampilan
Selain mempertahankan kitab-kitab islam klasik sebagai upaya pelestarian khazanah
yang lama, pada awal abad ke-20 beberapa pesantren juga mulai bersikap progresif
dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum.Tebuireng misalnya, terdapat
program-program yang sengaja dirancang secara terintegrasi antara program pondok

5
yang dipahami sebagai masjid dan tempat ilmu, dengan membuka program yang
disebut “majlis ilmi” dengan “pesantren” yang dipahamisebagai pelajaran diniyyah yang
berbasis pada kitab kuning, dan biasanya diintegrasikan oleh setiap unit pendidikan
pesantren Tebuireng, yaitu SMA, MA, SMP dan MTs. Seluruh siswa sekolah ini, setelah
mengikuti pelajaran formal dan kembali ke pondok diwajibkan mengikuti program
pondok.
Para santri dengan program pondok ini, dapat mendalami Al-Qur’an dan kitab kuning.
Untuk pengajian Al-Qu’an dibagi dalam 3 kelompok, yaitu:Kelompok pengajian ba’da
subuh, kelompok Tilawah Al-qur’an dan kelompok Fasahah.
Sementara untuk pengajian kitab kuning terbagi dalam 3 kelompok antara lain:
a. Pengajian Takhassus. Terdiri dari takhassus Bandongan dan Sorogan
b. Diskusi. Untuk kegiatan diskusi biasanya menggunakan kitab standar Fathu al-
Qarib, dilaksanakan setiap malam selasa ba’da isya’ sampai pukul 23.00 WIB. Kegiatan
ini diikuti oleh santri setingkat SLTA, MA, SMA, dan Madrasah.
c. Adapun kurikulum dan metode pembelajarannya masing-masing tingkatan berbeda.

B. Model Pembelajaran di Pesantren


Pesantren salaf juga memiliki ciri khas yang unik lainnya, yaitu metode
pengajaran (atau model pembelajaran) kitab dengan cara wetonan atau
bandongan, sorogan, dan hafalan. Wetonan atau bandongan adalah metode
pengajaran dengan cara santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai.
Kyai membacakan kitab yang dipelajari saat itu,santri menyimak kitab masing-masing
dan membuat catatan. Metode ini dilakukan dalam rangka memenuhi mereka.
Memang di dalam bandongan, hampir tidak pernah terjadi diskusi antara kyai dan
para santrinya. Sedangkan sorogan adalah metode pengajaran dengan cara
menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari.
Metode sorogan ini adalah metode yang paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan
di pesantren. Sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin
pribadi dari murid. Sistem sorogan telah terbukti sangat efektif sebaga taraf pertama
bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang mualim. Sistem ini
memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal
kemampuan seorang murid dalam menguasai bahasa Arab.Dan menurut peneliti,
kesemestaan metode sorogan juga sangat efektif diterapkan dalam sistem pendidikan
modern, tentunya juga tidak terbatas pada bahasa Arab atau bahasa-bahasa lain tetapi
juga kitab-kitab keilmuan lain, seperti sains dan teknologi. Metode hafalan adalah
metode yang paling umum dalam pesantren, terutama untuk hafalan al-Qur’an dan
Hadis. Jumlah kualitas hafalan surat atau ayat menjadi penentu tingkat keilmuan santri.

6
Selain itu, ada juga metode kilatan/secara cepat, yaitu program pengajian yang
melaksanakan satu beberapa kitab agama dalam waktu cepat untuk keperluan
memperbanyak referensi sebelum pada waktunya didalami lebih lanjut. Metode
mudzakarah, pertemuan keilmuwan untuk menghimpun dan mengkaji berbagai
pendapat yang kesimpulannya bermuatkan pilihan sikap para peserta/arahan bagi
masyarakat.1 Metode musyawarah merupakan suatu forum untuk saling bertukar pikiran
dan argumentasi guna mendapatkan hasil terbaik yang menjadi kesepakatan
bersama.Dan metode muthala’ah bermakna meninjau kembali pemahamannya atas
teks setelah bergumul dalam kehidupan nyata di masyarakat; dan berarti membaca,
memahami arti teks, serta bahtsul masail dan pengkajian masalah-masalah.
Pesantren,diharapkan tetap mempertahankan metode belajar-mengajar di pondok
pesantren memungkinkan penguasaan materi serta skill sekaligus, kemudian
dilanjutkan dengan penghayatan, akhirnya berujung pada pelaksanaan secara praktek.
Untuk menghadapi tantangan masa depan maka pesantren dituntut mencari bentuk
baru (new model) yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan kemajuan ilmu
dan teknologi, tetapi juga memegang prinsip yang senantiasa dipegang teguh oleh para
pengasuh (kyai), yakni mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi
baru yang dianggap lebih baik serta tetap dalam kandungan iman dan takwa kepada
Allah.2
Berkaitan dengan hal tersebut, Malik M Thaha 3 menyatakan bahwa sistem pendidikan
yang diterapkan di pesantren modern adalah menyangkut penerapan kurikulum dan
metodologi.Modernisasi kurikulum diterapkan dengan cara tetap memberikan
pengajaran ajaran Islam sekaligus memasukkan mata pelajaran umum sebagai
substansi pendidikan. Pembaharuan metodologi adalah dengan menerapkan sistem
klasikal atau penjenjangan. Metodenya tidak lagi menggunakan model sorongan dan
bandongan tetapi telah mulai menggunakan berbagai metode pengajaran yang
diterapkan di sekolah umum seperti metode tanya jawab, diskusi, sosiodrama, hafalan,
study tour.
Pembelajaran secara berhadap-hadapan dalam sistem sorogan memang
memungkinkan kyai menguji pengetahuan santri secara individu. Metode ini
mengakibatkan kedekatan antara kyai dengan santri sehingga kyai mampu
mengetahui dan memahami problem-problem yang dihadapi santrinya. Kedekatan
semacam ini hampir tidak lagi dijumpai di dalam sistem pendidikan formal karena telah
ternodai oleh kecenderungan guru untuk menjual ilmu kepada siswa.
Akibatnya selesai menyampaikan pelajaran, guru menganggap selesai tugasnya.
Sedangkan penerapan metode bandongan mengakibatkan santri bersikap pasif. Sebab
1
Masykur, Anis, Menakar Modernisasi Pendidikan Pesantren, (Depok: Barnea Pustaka,
2010), 55.14
2
HM Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah
Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 339.18
3
A MAlik M Thaha Tuanaya, Modernisasi Pesantren, (Jakarta: Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama, 2007), 75. 1

7
kreatifitas dalam proses belajar mengajar didominasi oleh ustadz atau kyai,
sementara santri hanya mendengarkan dan memperhatikan keterangannya.
Sementara, metode hafalan masih tetap dipertahankan bagi dalil-dalil naqli dan kaidah-
kaidah. Metode ini juga masih relevan diterapkan pada murid-murid usia anak-
anak, tingkat dasar dan tingkat menengah 4Tetapi,pendidikan yang menekankan proses
pembelajarannya hafalan itu, keberhasilannya adalah semu. Keberhasilan pendidikan
harus diukur dari semangat lulusan-lulusannya untuk mengembangkan pelajaran yang
telah diperoleh melalui tahapan menguasai, mengoreksi, mengkritik, memberikan
solusi dan mengembangkannya.5

C. Tradisi Pesantren
Tradisi pesantren adalah sitem pendidikan Islam yang tumbuh sejak awal
kedatangan Islam di Indonesia, yang dalam perjalanan sejarah menjadi objek kajian
penelitian. Kebanyakan gambaran tentang kehidupan pesantren hanya menyentuh
tentang kesederhanaan bangunan-bangunan, cara gaya hidup santriwan-santriwati,
kepatuhan mutlak para santri pada kyai, dan pelajaran-pelajaran kitab klasik.
Kepentingan politik pesantren sangat terbatas pada legitimasi kekuasaan keagamaan.
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional
dimana siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang guru.
Lembaga pendidikan pesantren didirikan tidak hanya berawal dari tujuan
mensyiarkan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga wadah kegiatan sosial-
kemasyarakatan, termasuk sebagai wadah pergerakan nasional kemerdekaan melawan
penjajah. Pesantren tersebut membuat pesantren tidak lepas dari akar sosial
masyarakatnya. Tradisi dan amaliyah keagamaan yang berkembang di pesantren juga
dipraktikkan oleh masyarakat.
Di dalam pondok pesantren terdapat lima eleman penting yang harus ada. Lima
elemen tersebut adalah pondok, kyai, santri, masjid, pengajaran kitab Islam klasik (kitab
kuning). Pondok atau asrama merupakan bangunan yang diyakini penuh dengan
barokah. Ia di bangun semata-mata untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar di
pesantren. Di sinilah tempat keseharian para santri, terlebih bagi santri pendatang (di
luar daerah pondok).
Biasanya rumah kyai juga berada di lingkungan pondok. Pondok atau asrama putra
dan putri jelas terpisah. Keadaan kamar-kamar di pondok sangat sederhana. Ia tidak
menyediakan kamar perorangan untuk santri, melainkan satu kamar di tempati oleh 15
sampai 20 orang sesuai kapasitas dan kebijakan pondok yang telah ditetapkan.
4
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metolodologi Menuju Demokrasi Institusi,
(Jakarta: Erlangga, 2007), 154.2
5
Mujamil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam, Dari Metode Rasional Hingga Metode
Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), 230.

8
Biasanya kamar ini hanya di gunakan untuk menyimpan baju dan buku, untuk istirahat
(tidur) hanya sebagian santri yang memilih di dalam kamar.
Sebagian besar santri memilih untuk tidur di serambi masjid ataupun di aula.
Disamping menjadi elemen penting dari tradisi pesantren, bangunan pondok juga
merupakan faktor utama perkembangan pesantren. Meski terkesan penuh sesak,
sempit, dan sederhana namun tempat ini diyakini memiliki nilai keberkahan yang sangat
besar, dapat lebih mempererat hubungan para santri, menumbuhkan ikatan
kekeluargaan yang sangat erat, serta mampu menciptakan kenangan yang indah dalam
memori setiap santri, dan menjadikannya tempat yang selalu dirindukan.
Di samping ngaji yang menjadi ciri khas santri, tidak lupa dengan masalah akhlak
juga menjadi salah satu prioritas pengajaran di dalam suatu pesantren.Kehidupan di
pesantren merupakan kehidupan yang sangat nyaman dan merupakan pembelajaran
sehari-hari dalam kehidupan nyata. Tradisi inilah yang membentuk nilai-nilai etika,
sosial, dan kebudayaan mulai berkembang dan menciptakan wajah Islam pluralis dan
humanis.

D. Proses Pembelajaran di Pesantren

Pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah sebuah
asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan
belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan
mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam
kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan
kegiatan keagamaan lainnya.
Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran
agama, umumnya dengan cara nonklasikal, dimana seorang kiai mengajarkan ilmu
agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa
Arab, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok atau asrama dalam pesantren
tersebut.
Pendidikan berbasis pesantren sangat berbeda dengan pendidikan non-pesantren.
Ciri khas pembelajaran pesantren adalah mengamalkan sistem integrasi yang di
antaranya adalah intelektual, emosional, dan spiritual. Dalam hal proses pembelajaran,
pesantren menerapkan suri tauladan dalam bentuk belajar dan menetap selama 24
jam, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Hingga kini, pesantren masih eksis dengan
budaya tersebut.
Model pendidikan pesantren bisa dimaknai sebagai model pendidikan yang
mengedepankan pendidikan karakter. Pemahaman terhadap agama, moral-etika, dan
etos kerja, menjadi basis keunggulan pesantren. Penanaman karakter atau akhlak

9
terhadap para santri memang menjadi prioritas agar bisa menjadi fondasi sekaligus
pilar yang kokoh jika para santri sudah keluar dari pondok. Dengan demikian,
pendidikan karakter atau akhlak di pesantren tidak hanya sebagai pelengkap belaka
namun justru menjadi salah satu modal bagi santri untuk tetap kokoh dalam kepribadian
di tengah keragaman persoalan dan tantangan kehidupan.
Guru-guru di pesantren pada umumnya belum memiliki perencanaan atau persiapan
mengajar secara tertulis. Terkait dengan strategi apa yang akan digunakan dalam
kegiatan belajar mengajar, bagaimana teknis evaluasinya, dan apa saja media
pembelajarannya, ada didalam benak masing-masing guru, dan banyak dipengaruhi
oleh pengalaman guru mereka ketika mereka masih menjadi santri. Sedangkan kitab
pegangan dan mata pelajaran yang akan diajarkan, serta kelompok mana yang akan
diajar, waktu dan tempat pembelajaran, para guru sudah bisa mengetahui dari bagian
pengajaran pondok pesantren. Terkait dengan perencanaan persiapan mengajar,
dalam hal ini yang dilakukan guru biasanya berupa :
1. Menyiapkan kitab pegangan sesuai degan mata pelajaran yang akan diajarkan.
2. Menentukan batas awal dan batas akhir materi pelajaran yang terdapat dalam
kitab pegangan untuk suatu pertemuan atau tatap muka.
Secara umum persiapan yang dilakukan oleh guru sebelum mengajar adalah sebagai
berikut:
1. Menelaah materi suatu kitab tertentu yang akan diajarkannya kepada santri
dalam pertemuan/tatap muka baik di kelas, musholla maupun di ruang belajar
lainnya;
2. Menelaah atau mempelajari kitab-kitab lain yang memiliki keterkaitan dengan
persoalan serupa pada materi yang akan diajarkan. Dalam hal ini, guru juga
membuka kembali kitab-kitab tertentu (minimal satu tingkat di atasnya) dan kitab-
kitab lain yang menjadi rujukan ustadz;
3. Membuat catatan-catatan khusus tentang masalah-masalah yang dianggap
penting dari hasil penelaahan terhadap kitab-kitab yang akan diajarkan;
4. Merancang dan mempersiapkan alat bantu yang dibutuhkan untuk mengajarkan
materi pelajaran.
Dengan demikian, pada dasarnya ustadz atau ustadzah yang menjadi guru pada
pondok pesantren salafiyah sudah melakukan persiapan mengajar. Hanya saja
persiapan tersebut belum dituangkan dalam bentuk tertulis. Hal ini menjadi bagian yang
sulit untuk dipelajari dan dievaluasi.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam keadaan aslinya pondok pesantren memiliki sistem pendidikan dan
pengajaran non klasikal, yang dikenal dengan nama bandungan, sorogan, dan
wetonan. Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran ini berbeda antara satu
pondok pesantren dengan pondok pesantren lainnya, dalam arti tidak ada
keseragaman sistem dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya.
Secara umum metode pembelajaran yang diterapkan pondok pesantren mencakup dua
aspek, yaitu metode yang bersifat tradisional (salaf) dan metode pembelajaran modern
(tajdid). Namun secara rinci dapat disebutkan beberapa model pembelajaran pesantren
yaitu model sorogan, wetonan (bandongan), musyawarah (bahtsul masa’il), pengajian
pasaran, muhafadzah (hapalan), demonstrasi, muhawarah, dan mudzakarah.
Perlu adanya pengembangan model pembelajaran di pesantren yaitu dengan
menggunakan metode pembelajaran yang lebih baik yakni mempergunakan kegiatan
murid-murid sendiri secara efektif dalam kelas, merencanakan dan melaksanakan
kegiatan-kegiatan sedemikian rupa secara kontinu dan juga melalui kerja kelompok.
Pola pengembangan pembelajaran yang dimaksud adalah metode pembelajaran
terbimbing dan metode mengajar teman sebaya.

B. Saran
Semoga dengan adanya Pesantren diharapkan dapat meningkatkan pendidikan
karakter kepemimpinan santri agar menjadi lebih baik lagi dan dapat menanamkan nilai-
nilai agama.

11
DAFTAR PUSTAKA

abdimadrasah.com/2015/01/struktur-kurikulum-2013-kombinasi-kurikulum-2006-pada-
madrasah.html.
Rusman. 2010. Model-model Pembelajaran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

12

Anda mungkin juga menyukai