Disusun Oleh:
7 PAI G
Kami menyadari bahwa apa yang disajikan dalam makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Untuk itu dengan segala kerendahan hati kami mengharap
kepada semua pihak atas segala saran dan kritiknya demi kesempurnaan makalah
ini. Akhirnya dengan syukur Alhamdulillah atas terselesainya makalah yang
sederhana ini diiringi doa semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan pembaca
pada umumnya.
Kelompok 10
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan .................................................................................................... 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN) bab II pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan menyatakan
bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan berahlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Serta Bab
III pasal 4 yang menyatakan “Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat.” Dan bab IV pasal 5 yang menyatakan “Setiap warga Negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.” Berdasarkan
undang-undang tersebut maka sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan
harus melaksanakan amanat yang telah digariskan dengan cara
menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dan relevan agar siswa memiliki
kualitas sesuai dengan profil peserta didik yang sesuai dengan amanat UU
tersebut.
1
berbudi pekerti luhur.1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kultur sekolah ?
2. Bagaimana cara mengidentifikasi kultur sekolah ?
3. Bagaimana perspektif kultur sekolah ?
4. Bagaimana cara membangun dan mengembangkan kultur sekolah ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi dan peran dari kultur sekolah.
2. Untuk mengetahui bagaimana cara mengidentifikasi kultur sekolah.
3. Untuk mengetahui perspektif kultur sekolah.
4. Untuk mengetahui bagaimana cara membangun dan mengembangkan kultur
sekolah.
1
Zamroni, Panduan Teknis Pengembangan Kultur Sekolah, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional,
2009).
2
Sujatma, Pengembangan Kultur Sekolah, (Subang, 2012).
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
yang istimewa, namun seringkali tak terdefinisikan, tentang sekolah
mereka, tentang sesuatu yang sangat kuat namun sulit untuk dijelaskan.3
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa kultur sekolah
merupakan karakteristik suatu sekolah yang merepresentasikan keadaan
sekolah tersebut meliputi kepercayaan, norma-norma, nilai-nilai, tradisi, dan
sikap beserta tingkah laku warga sekolah baik peserta didik, kepala sekolah,
guru, karyawan.4
3
Ariefa Efianingrum, “Kultur Sekolah”. Jurnal Pemikiran Sosiologi. Vol.2 No.1, Mei 2013. Hlm 22-23.
4
Andi Atas, “Revitalisasi Kultur Sekolah dalam Pembangunan Karakter Peserta Didik”. Jurnal Pendidikan
Sosial dan Budaya. Vol.3 No.1, 2021. Hlm 29.
5
Sukadari, “Peranan Budaya Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan”. Jurnal Pendidikan Luar
Biasa. Vol.1 No.1, Maret 2020. Hlm 82.
4
tersebut sesuai dengan pendapat Moerdiyanto yang menyatakan bahwa “Kultur
sekolah terdiri dari kultur positif dan kultur negatif. Kultur positif adalah budaya
yang membantu mutu sekolah dan mutu kehidupan bagi warganya”. Dalam
pengertian mutu sekolah dan mutu kehidupan dapat dimaksudkan sebagai mutu
yang berhubungan dengan kehidupan yang bernilai moralitas dan agamis
masyarakat sekolah. Aktifitas siswa dalam kesehariannya tidak akan lepas dari
keterlibatan kultur sekolah pada proses bersikap, berbuat dan memandang
bahkan berfikirnya. Mutu kehidupan siswa yang diharapkan adalah siswa yang
memiliki prilaku baik dalam sudut pandang etika dan agama. Kultur positif ini
akan memberi peluang sekolah beserta warganya untuk membentuk dan
maningkatkan kemampuan dan kecerdasan spiritual siswa.
Kultur positif dan kuat memiliki kekuatan dan menjadi modal dalam
melakukan pendidikan yang memperhatikan dimensi kecerdasan spiritual siswa
dan perbaikan kondisi-kondisi agar dapat lebih kondusif terhadap tumbuh dan
berkembangnya kecerdasan tersebut. Sedangkan kultur negatif adalah budaya
yang bersifat anarkis, negatif, beracun, bias, dan dominatif. Sekolah yang hanya
melihat dan menargetkan hasil pendidikan yang berupa kemampuan intelegensi
dan mengabaikan dimensi spiritaual siswa merupakan bagian dari kultur
negatif, karena mereka cenderung tidak melakukan upaya yang mengarah
kepada terbentuk dan berkembangnya kecerdasan spiritual siswa. Kultur
sekolah bersifat dinamis. Perubahan pola perilaku dapat mengubah sistem nilai
dan keyakinan pelaku dan bahkan mengubah sistem asumsi yang ada, walaupun
ini sangat sulit. Namun yang jelas dinamika kultur sekolah dapat saja
menghadirkan konflik dan jika ini ditangani dengan bijak dan sehat dapat
membawa perubahan positif. Dan kultur sekolah itu milik kolektif dan
merupakan perjalanan sejarah sekolah, produk dari berbagai kekuatan yang
masuk ke sekolah. Sekolah perlu menyadari secara serius mengenai keberadaan
aneka kultur subordinasi yang ada seperti kultur sehat dan tidak sehat, kultur
kuat dan lemah, kultur positif dan negatif, kultur kacau dan stabil, dan
konsekuensinya terhadap perbaikan sekolah.
6
Moerdiyanto, Fungsi Kultur Sekolah Menengah Atas (2012) hal.7
5
Dari pengelompokan ini maka dapat dipisahkan antara kultur yang dapat dilihat
dengan yang tidak dapat dilihat, dan lapisan yang bisa diamati antara lain desain
arsitektur gedung, tata ruang, desain eksterior dan interior sekolah, kebiasaan,
peraturan-peraturan, cerita-cerita, kegiatan upacara, ritual, simbol-simbol, logo,
slogan, bendera, gambar-gambar yang dipasang, tanda-tanda yang dipasang,
sopan santun, cara berpakaian warga sekolah. Sedangkan hal-hal di balik itu
tidak dapat diamati, tidak kelihatan dan tidak dapat dimaknai dengan segera.
Lapisan pertama ini berintikan norma perilaku bersama warga organisasi yang
berupa norma-norma kelompok, cara-cara tradisional berperilaku yang telah
lama dimiliki suatu kelompok masyarakat (termasuk sekolah). Norma-norma
perilaku ini sulit diubah, yang biasa disebut sebagai artifak. Lapisan kedua
merupakan nilai-nilai bersama yang dianut kelompok berhubungan dengan apa
yang penting, yang baik, dan yang benar. Lapisan kedua ini semuanya tak dapat
diamati karena terletak dalam kehidupan bersama. Kultur pada lapisan kedua
ini sangat sulit atau bahkan sangat kecil kemungkinannya untuk diubah serta
memerlukan waktu yang lama.
a. Artifak di permukaan
7
Moerdiyanto, loc. Cit.
6
Artifak adalah adalah lapisan kultur sekolah yang paling mudah diamati,
seperti misalnya aneka ritual sehari-hari di sekolah, berbagai upacara, benda-
benda simbolik di sekolah, dan aneka ragam kebiasaan yang berlangsung di
sekolah. Lapisan yang lebih dalam berupa nilai-nilai dan keyakinan yang ada di
sekolah. Sebagian berupa norma-norma perilaku yang diinginkan sekolah,
seperti slogan-slogan rajin pangkal pandai, air beriak tanda tak dalam, menjadi
orang penting itu baik tetapi lebih penting menjadi orang baik, hormati orang
lain jika anda ingin dihormati. Lapisan yang paling dalam adalah asumsi-asumsi
yaitu simbol-simbol, nilai-nilai dan keyakinan yang tak dapat dikenali tetapi
berdampak pada perilaku warga sekolah, seperti misalnya:
b. Sekolah bermutu adalah hasil kerja sama sekolah dan masyarakat, dan
8
Zamroni, Kultur Sekolah, Yogyakarta: Gavin Kalam Utama, 2016.
7
berkembang tidak hanya di kalangan guru dan siswa, bahkan orang tua
siswa. Secara umum trust merupakan aspek yang paling penting dalam
pengelolaan sekolah. Keberadaan kultur trust di sekolah akan dapat
mencegah siswa berbohong, mencontek, ataupun berperilaku yang tidak
jujur lainnya.
3. Kultur sekolah optimis pencapaian prestasi
Berkembangnya kultur sekolah efikasi serta kultur sekolah trust akan
melahirkan kultur sekolah optimis akan prestasi. Ini merupakan suatu
keyakinan bahwa warga sekolah mampu meraih berbagai prestasi yang
membanggakan.
4. Kultur sekolah kontrol siswa
Perspektif lain kultur sekolah adalah kultur sekolah yang menekankan perlu
adanya pengendalian dan kontrol atas siswa, agar mereka belajar keras dan
hidup teratur demi meraih prestasi mereka yang tinggi. Kultur sekolah
kontrol ini akan mengembangkan kultur autokratik, dimana dengan kendali
kekuasaan dan kontrol yang ada pada guru untuk mengendalikan para siswa.
Kontrol atas para siswa ini berdasarkan suatu keyakinan para siswa
merupakan pribadi yang belum bisa rasional dan tidak disiplin sehingga
perlu kendali dengan berbagai aturan dan sanksi. Pada sekolah dengan
kultur ini pada umumbya muncul nilai sinisme, perilaku tidak manusiawi,
dan saling tidak percaya mempercayai.
5. Kultur sekolah humanis
Kultur sekolah humanis ditunjukan dengan kehidupan sekolah dalam belajar
didasarkan pada kebersamaan dalam mewujudkan prestasi. Pembelajaran
senantiasa bertumpu pada kebersamaan, sehingga model-model
pembelajaran kooperatif, problem base learning and teaching mendapat
tempat disekolah.
Penekanan agar siswa mampu mengontrol dan mendisiplinkan diri
memperoleh tempat sebagai pengganti kontrol siswa oleh sekolah. Sekolah
senantiasa mengedepankan penciptaan kondisi yang dapat memenuhi
kebutuhan siswa. Nilai-nilai dan norma-norma humanitas dikembangkan di
sekolah.
8
D. Membangun dan Mengembangkan Kultur Sekolah
Dalam melakukan kegiatan membangun, dibutuhkan suatu cara dan
perbuatan, hal ini merupakan proses pembangunan. Pembangunan berisi suatu
kompleks tindakan manusia yang cukup rumit yang melibatkan sejumlah pranata
dalam masyarakat. Hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Dalam
pembangunan, masyarakat menjadi pelaku dan sekaligus objek dari aktivitas
pembangunan. Keterkaitan atau korelasi antara masyarakat dan pembangunan
akan terjadi melalui pengendalian dari kebudayaan. Di dalam kebudayaan, tatanan
nilai menjadi inti dan basis bagi tindakan manusia. Fungsi elemen nilai (cultural
value) bagi pembangunan adalah untuk mengevaluasi proses pembangunan agar
tetap sesuai dengan standar dan kadar manusia. Manusia menjadi fokus bagi
proses pelaksanaan pembangunan. Salah satu yang utama dari proses tersebut
adalah terbentuknya mentalitas pembangunan yang dapat mendorong secara
positif gerak pembangunan. Mentalitas pembangunan ini terwujud karena
berbasiskan nilai budaya yang luhur, positif dan inovatif bagi pemunculan ide-ide
dan gerak pembangunan.
10
intelligences) yang bervariasi.
Adapun kultur sekolah yang dapat dikembangkan antara lain yang kondusif
bagi pengembangan:
1. Prestasi Akademik
2. Non-Akademik
3. Karakter
12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istilah “kultur” pada mulanya datang dari disiplin ilmu Antropologi Sosial.
Apa yang tercakup dalam definisi budaya sangatlah luas. Istilah kultur dapat
diartikan sebagai totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan
semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan kondisi suatu
masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia9, budaya (cultural) diartikan sebagai pikiran, adat istiadat, sesuatu yang
sudah berkembang, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah.
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan seyogyanya memiliki kultur
sekolah yang positif agar secara terus menerus dapat meningkatkan mutunya. Kultur
sekolah yang positif akan menyemaikan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan
sehingga sekolah benar-benar dapat menjadi agen perubahan untuk menjadikan
manusia Indonesia yang utuh, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berahlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kultur sekolah harus dibangun berlandaskan visi, misi dan tujuan sekolah
dengan menerapkan manejemen partisipatif dan terbuka sehingga benar-benar
dipahami dan dihayati oleh seluruh warga sekolah dan para pemangku kepentingan
sehingga dapat diimplemntasikan secara ikhlas dan konsisten untuk mencapai cita-
cita yang telah ditetapkan dalam visi dan tujuan sekolah.
Jika diimplementasikan dengan baik dan konsisten, kultur sekolah dapat
meningkatkan kualitasnya secara terpadu untuk kepuasan pelanggan, baik pelanggan
internal maupun pelanggan eksternal.
9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Balai Pustaka,
1991) hal.149
13
DAFTAR PUSTAKA
14