Anda di halaman 1dari 17

KULTUR SEKOLAH DAN MUTU PENDIDIKAN

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Antropologi Pendidikan

Dosen Pengampu : Tri Wibowo M.Pd.I.

Disusun Oleh:

1. Giras Rahmat Perdana 1917402299


2. Ilma Fadhilatul Khusna 1917402261
3. Eri Susanti 1917402276
4. Lukmanul Hakim 1917402263

7 PAI G

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. KH. SAIFUDDIN ZUHRI


PURWOKERTO
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT., atas


segala limpahan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan penulisan makalah tepat pada waktunya. Makalah ini adalah materi
untuk mata kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif di Universitas Islam Negeri Prof
K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata
kuliah Antropologi Pendidikan yang diampuh oleh Bapak Tri Wibowo M.Pd.I.
Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan sedikit kontribusi
bagi para pembaca khususnya mahasiswa dalam mengenal mata kuliah ini. Makalah
ini terdiri dari beberapa komponen dengan pemaparan atau penjelasan yang nanti
akan dijelaskan.

Kami menyadari bahwa apa yang disajikan dalam makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Untuk itu dengan segala kerendahan hati kami mengharap
kepada semua pihak atas segala saran dan kritiknya demi kesempurnaan makalah
ini. Akhirnya dengan syukur Alhamdulillah atas terselesainya makalah yang
sederhana ini diiringi doa semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan pembaca
pada umumnya.

Purwokerto, 09 September 2022

Kelompok 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

C. Tujuan Masalah ............................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi dan Peran Kultur Sekolah ............................................................... 3

B. Identifikasi Kultur Sekolah .......................................................................... 3

C. Berbagai Perspektif Kultur Sekolah ............................................................. 8

D. Membangun dan Mengembangkan Kultur Sekolah..................................... 9

BAB III PENUTUP

Kesimpulan .................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN) bab II pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan menyatakan
bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan berahlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Serta Bab
III pasal 4 yang menyatakan “Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat.” Dan bab IV pasal 5 yang menyatakan “Setiap warga Negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.” Berdasarkan
undang-undang tersebut maka sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan
harus melaksanakan amanat yang telah digariskan dengan cara
menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dan relevan agar siswa memiliki
kualitas sesuai dengan profil peserta didik yang sesuai dengan amanat UU
tersebut.

Salah satu faktor penentu keberhasilan penyelanggaraan proses pendidikan


adalah kultur yang dibangun dengan baik. Kultur sekolah yang baik diharapkan
akan berhasil meningkatkan mutu pendidikan yang tidak hanya memiliki nilai
akademik namun sekaligus bernilai afektif. Bulach, Malone dan Castleman
(1994) telah melakukan penelitian yang dilakukan di 20 sekolah menunjukkan
bahwa perbedaan kultur sekolah menunjukkan perbedaan yang berarti yang
ditunjukkan dengan perbedaan prestasi akademik siswa yang berasal dari
sekolah yang berkultur baik dibandingkan dengan prestasi siswa dari sekolah
yang berkultur kurang baik. Hal ini berarti bahwa sekolah yang berhasil
membangun dan memberikan kultur yang baik akan menghasilkan prestasi
belajar yang tinggi dan tidak hanya bernilai akademik tapi juga menghasilkan
kultur dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih baik, berbudaya, berahlak dan

1
berbudi pekerti luhur.1

Paparan di atas menunjukkan bahwa pengembangan kultur sekolah harus


menjadi prioritas penting. Sekolah harus secara positif membangun kultur
sekolah yang dilakukan dengan sebaik-baiknya, mengimplementasikannya
secara konsisten, memperbaikinya secara berkelanjutan melalui peningkatan
mutu terpadu agar sekolah benar-benar menjadi sebuah lembaga pendidikan
yang terhormat yang berhasil melaksanakan amanat UUSPN untuk
meyelenggarakan pendidikan yang bermutu yang dapat menghasilkan siswa
yang cerdik cendikia, mandiri dan berbudi luhur.2

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kultur sekolah ?
2. Bagaimana cara mengidentifikasi kultur sekolah ?
3. Bagaimana perspektif kultur sekolah ?
4. Bagaimana cara membangun dan mengembangkan kultur sekolah ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi dan peran dari kultur sekolah.
2. Untuk mengetahui bagaimana cara mengidentifikasi kultur sekolah.
3. Untuk mengetahui perspektif kultur sekolah.
4. Untuk mengetahui bagaimana cara membangun dan mengembangkan kultur
sekolah.

1
Zamroni, Panduan Teknis Pengembangan Kultur Sekolah, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional,
2009).
2
Sujatma, Pengembangan Kultur Sekolah, (Subang, 2012).
2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Peran Kultur Sekolah

a. Pengertian kultur sekolah


Terdapat beberapa pendapat ahli mengenai pengertian kultur sekolah,
diantaranya:
• Deal dan Peterson (2011), yang mengemukakan bahwa kultur sekolah
merupakan suatu himpunan norma, nilai-nilai dan keyakinan, ritual dan
upacara, simbol serta cerita yang membentuk suatu persona sekolah.
Disini tertulis harapan untuk membangun dari waktu ke waktu sebagai
guru, administrator, orang tua, dan siswa bekerja sama, memecahkan
masalah, menghadapi tantangan dan mengatasi kegagalan. Setiap
sekolah memiliki seperangkat harapan tentang apa yang dapat dibahas
pada rapat staf, bagaimana teknik mengajar yang baik, dan pentingnya
pengembangan staf. Budaya sekolah juga merupakan cara berpikir
tentang sekolah dan berurusan dengan budaya dimana mereka bekerja.

• Menurut Schein (2002), Budaya sekolah merupakan jaringan tradisi dan


ritual yang kompleks, yang telah dibangun dari waktu ke waktu oleh
guru, siswa, orangtua, dan administrator yang bekerja sama dalam
menangani krisis dan prestasi. Pola budaya sangat abadi, memiliki
dampak yang kuat pada kinerja, dan membentuk bagaimana orang
berpikir, bertindak, dan merasa.
• Sedangkan Willard Waller (2011), menjelaskan bahwa sekolah memiliki
budaya yang pasti tentang diri mereka sendiri. Di sekolah, ada ritual
yang kompleks dalam hubungan interpersonal, satu set kebiasaan, adat
istiadat, dan sanksi irasional, kode moral yang berlaku di antara mereka.
Orangtua, guru, kepala sekolah, dan siswa selalu merasakan sesuatu

3
yang istimewa, namun seringkali tak terdefinisikan, tentang sekolah
mereka, tentang sesuatu yang sangat kuat namun sulit untuk dijelaskan.3
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa kultur sekolah
merupakan karakteristik suatu sekolah yang merepresentasikan keadaan
sekolah tersebut meliputi kepercayaan, norma-norma, nilai-nilai, tradisi, dan
sikap beserta tingkah laku warga sekolah baik peserta didik, kepala sekolah,
guru, karyawan.4

b. Peran Kultur sekolah

Kultur sekolah dianggap qmemiliki peran dalam menghasilkan kinerja


yang terbaik pada masing-masing individu, kelompok kerja atau unit kerja
sekolah. Oleh karena itu, sekolah sebagai satu institusi, perlu membangun
hubungan sinergitas antar warga sekolah yang positif agar memperbaiki
kualitas sekolah yang bersangkutan. Beberapa penelitian mutakhir
menjelaskan bahwa penentu kualitas pendidikan bukan hanya yang
menekankan faktor fisik saja, seperti keberadaan guru yang berkualitas,
kelengkapan peralatan laboratorium dan buku perpustakaan, tetapi juga dalam
wujud nonfisik, yakni berupa budaya sekolah.

Selain itu, Budaya sekolah diharapkan dapat memperbaharui mutu


sekolah, kinerja sekolah, serta mutu kehidupan yang bercirikan sehat,
dinamik, aktif, positif dan profesional. Budaya yang kokoh dan kuat
memberikan indikasi bahwa sekolah telah memasuki ketiga tingkatan
kehidupan, yaitu terpendam dalam asumsi dasar, termuat dalam nilai dan
keyakinan, dan terpateri dalam tindakan.5

B. Identifikasi Kultur Sekolah

Kultur Sekolah merupakan budaya sekolah yang dapat memberikan


pengaruh terhadap kehidupan masyarakat sekolah baik pengaruh positif
maupun pengaruh negatif sebagaimana karakteristik kultur tersebut. Hal

3
Ariefa Efianingrum, “Kultur Sekolah”. Jurnal Pemikiran Sosiologi. Vol.2 No.1, Mei 2013. Hlm 22-23.
4
Andi Atas, “Revitalisasi Kultur Sekolah dalam Pembangunan Karakter Peserta Didik”. Jurnal Pendidikan
Sosial dan Budaya. Vol.3 No.1, 2021. Hlm 29.
5
Sukadari, “Peranan Budaya Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan”. Jurnal Pendidikan Luar
Biasa. Vol.1 No.1, Maret 2020. Hlm 82.
4
tersebut sesuai dengan pendapat Moerdiyanto yang menyatakan bahwa “Kultur
sekolah terdiri dari kultur positif dan kultur negatif. Kultur positif adalah budaya
yang membantu mutu sekolah dan mutu kehidupan bagi warganya”. Dalam
pengertian mutu sekolah dan mutu kehidupan dapat dimaksudkan sebagai mutu
yang berhubungan dengan kehidupan yang bernilai moralitas dan agamis
masyarakat sekolah. Aktifitas siswa dalam kesehariannya tidak akan lepas dari
keterlibatan kultur sekolah pada proses bersikap, berbuat dan memandang
bahkan berfikirnya. Mutu kehidupan siswa yang diharapkan adalah siswa yang
memiliki prilaku baik dalam sudut pandang etika dan agama. Kultur positif ini
akan memberi peluang sekolah beserta warganya untuk membentuk dan
maningkatkan kemampuan dan kecerdasan spiritual siswa.

Kultur positif dan kuat memiliki kekuatan dan menjadi modal dalam
melakukan pendidikan yang memperhatikan dimensi kecerdasan spiritual siswa
dan perbaikan kondisi-kondisi agar dapat lebih kondusif terhadap tumbuh dan
berkembangnya kecerdasan tersebut. Sedangkan kultur negatif adalah budaya
yang bersifat anarkis, negatif, beracun, bias, dan dominatif. Sekolah yang hanya
melihat dan menargetkan hasil pendidikan yang berupa kemampuan intelegensi
dan mengabaikan dimensi spiritaual siswa merupakan bagian dari kultur
negatif, karena mereka cenderung tidak melakukan upaya yang mengarah
kepada terbentuk dan berkembangnya kecerdasan spiritual siswa. Kultur
sekolah bersifat dinamis. Perubahan pola perilaku dapat mengubah sistem nilai
dan keyakinan pelaku dan bahkan mengubah sistem asumsi yang ada, walaupun
ini sangat sulit. Namun yang jelas dinamika kultur sekolah dapat saja
menghadirkan konflik dan jika ini ditangani dengan bijak dan sehat dapat
membawa perubahan positif. Dan kultur sekolah itu milik kolektif dan
merupakan perjalanan sejarah sekolah, produk dari berbagai kekuatan yang
masuk ke sekolah. Sekolah perlu menyadari secara serius mengenai keberadaan
aneka kultur subordinasi yang ada seperti kultur sehat dan tidak sehat, kultur
kuat dan lemah, kultur positif dan negatif, kultur kacau dan stabil, dan
konsekuensinya terhadap perbaikan sekolah.

Kotter memberikan gambaran tentang kultur dengan melihat dua lapisan.


Lapisan pertama sebagian dapat diamati dan sebagian lainnya tidak diamati.6

6
Moerdiyanto, Fungsi Kultur Sekolah Menengah Atas (2012) hal.7
5
Dari pengelompokan ini maka dapat dipisahkan antara kultur yang dapat dilihat
dengan yang tidak dapat dilihat, dan lapisan yang bisa diamati antara lain desain
arsitektur gedung, tata ruang, desain eksterior dan interior sekolah, kebiasaan,
peraturan-peraturan, cerita-cerita, kegiatan upacara, ritual, simbol-simbol, logo,
slogan, bendera, gambar-gambar yang dipasang, tanda-tanda yang dipasang,
sopan santun, cara berpakaian warga sekolah. Sedangkan hal-hal di balik itu
tidak dapat diamati, tidak kelihatan dan tidak dapat dimaknai dengan segera.
Lapisan pertama ini berintikan norma perilaku bersama warga organisasi yang
berupa norma-norma kelompok, cara-cara tradisional berperilaku yang telah
lama dimiliki suatu kelompok masyarakat (termasuk sekolah). Norma-norma
perilaku ini sulit diubah, yang biasa disebut sebagai artifak. Lapisan kedua
merupakan nilai-nilai bersama yang dianut kelompok berhubungan dengan apa
yang penting, yang baik, dan yang benar. Lapisan kedua ini semuanya tak dapat
diamati karena terletak dalam kehidupan bersama. Kultur pada lapisan kedua
ini sangat sulit atau bahkan sangat kecil kemungkinannya untuk diubah serta
memerlukan waktu yang lama.

Kultur sekolah beroperasi secara tidak disadari oleh para pendukungnya


dan telah lama diwariskan secara turun temurun. Kultur mengatur perilaku dan
hubungan internal serta eksternal. Hal ini perlu dipahami dan digunakan dalam
mengembangkan kultur sekolah. Nilai-nilai baru yang diinginkan tidak akan
segera dapat beroperasi bila berhadapan/berbenturan dengan nilai-nilai lama
yang telah berurat berakar akan dapat menghambat introduksi perilaku baru
yang diinginkan. Stolp dan Smith7 membedakan antara kultur sekolah dan iklim
sekolah. Kultur sekolah merupakan hal-hal yang sifatnya historis dari berbagai
tata hubungan yang ada dan hal-hal tersebut telah diinternalisasikan oleh warga
sekolah. Sedangkan iklim sekolah berada di permukaan dan berisi persepsi
warga sekolah terhadap aneka tata hubungan yang ada saat ini. Kultur sekolah
memiliki tiga lapisan kultur yaitu:

a. Artifak di permukaan

b. Nilai-nilai dan keyakinan di tengah, dan

c. Asumsi yang berada di lapisan dasar.

7
Moerdiyanto, loc. Cit.
6
Artifak adalah adalah lapisan kultur sekolah yang paling mudah diamati,
seperti misalnya aneka ritual sehari-hari di sekolah, berbagai upacara, benda-
benda simbolik di sekolah, dan aneka ragam kebiasaan yang berlangsung di
sekolah. Lapisan yang lebih dalam berupa nilai-nilai dan keyakinan yang ada di
sekolah. Sebagian berupa norma-norma perilaku yang diinginkan sekolah,
seperti slogan-slogan rajin pangkal pandai, air beriak tanda tak dalam, menjadi
orang penting itu baik tetapi lebih penting menjadi orang baik, hormati orang
lain jika anda ingin dihormati. Lapisan yang paling dalam adalah asumsi-asumsi
yaitu simbol-simbol, nilai-nilai dan keyakinan yang tak dapat dikenali tetapi
berdampak pada perilaku warga sekolah, seperti misalnya:

a. Kerja keras akan berhasil,

b. Sekolah bermutu adalah hasil kerja sama sekolah dan masyarakat, dan

c. Harmoni hubungan antar warga adalah modal bagi kemajuan.

C. Berbagai Perspektif Kultur Sekolah

Penekanan sekolah pada suatu aspek-aspek tertentu disebut sebagai


perspektif kultur sekolah. Dalam suatu sekolah muncul berbagai perspektif kultur
dan tergantung penekanan beberapa pada aspek tertentu. Perspektif kultur sekolah
antara lain:
1. Kultur sekolah Efikasi
Kultur sekolah efikasi menunjukan bahwa suatu sekolah para guru dan
siswa memegang teguh persepsi bersama bahwa para guru memiliki
kemampuan untuk melaksanakan pembelajaran secara baik sehingga bisa
memberi kesempatan para siswa berprestasi maksimal. Kultur sekolah
efikasi ini menekankan pada prestasi akademik dan norma-norma yang
mendorong siswa belajar keras, berpikir positif dan pengambilan keputusan
secara rasional.8
2. Kultur sekolah Trust
Perspektif kultur sekolah trust yaitu kultur sekolah dimana para pemangku
sekolah meyakini bahwa para guru dan staf administrasi adalah orang-orang
yang dapat dipercaya. Saling percaya mempercayai ini tumbuh dan

8
Zamroni, Kultur Sekolah, Yogyakarta: Gavin Kalam Utama, 2016.
7
berkembang tidak hanya di kalangan guru dan siswa, bahkan orang tua
siswa. Secara umum trust merupakan aspek yang paling penting dalam
pengelolaan sekolah. Keberadaan kultur trust di sekolah akan dapat
mencegah siswa berbohong, mencontek, ataupun berperilaku yang tidak
jujur lainnya.
3. Kultur sekolah optimis pencapaian prestasi
Berkembangnya kultur sekolah efikasi serta kultur sekolah trust akan
melahirkan kultur sekolah optimis akan prestasi. Ini merupakan suatu
keyakinan bahwa warga sekolah mampu meraih berbagai prestasi yang
membanggakan.
4. Kultur sekolah kontrol siswa
Perspektif lain kultur sekolah adalah kultur sekolah yang menekankan perlu
adanya pengendalian dan kontrol atas siswa, agar mereka belajar keras dan
hidup teratur demi meraih prestasi mereka yang tinggi. Kultur sekolah
kontrol ini akan mengembangkan kultur autokratik, dimana dengan kendali
kekuasaan dan kontrol yang ada pada guru untuk mengendalikan para siswa.
Kontrol atas para siswa ini berdasarkan suatu keyakinan para siswa
merupakan pribadi yang belum bisa rasional dan tidak disiplin sehingga
perlu kendali dengan berbagai aturan dan sanksi. Pada sekolah dengan
kultur ini pada umumbya muncul nilai sinisme, perilaku tidak manusiawi,
dan saling tidak percaya mempercayai.
5. Kultur sekolah humanis
Kultur sekolah humanis ditunjukan dengan kehidupan sekolah dalam belajar
didasarkan pada kebersamaan dalam mewujudkan prestasi. Pembelajaran
senantiasa bertumpu pada kebersamaan, sehingga model-model
pembelajaran kooperatif, problem base learning and teaching mendapat
tempat disekolah.
Penekanan agar siswa mampu mengontrol dan mendisiplinkan diri
memperoleh tempat sebagai pengganti kontrol siswa oleh sekolah. Sekolah
senantiasa mengedepankan penciptaan kondisi yang dapat memenuhi
kebutuhan siswa. Nilai-nilai dan norma-norma humanitas dikembangkan di
sekolah.

8
D. Membangun dan Mengembangkan Kultur Sekolah
Dalam melakukan kegiatan membangun, dibutuhkan suatu cara dan
perbuatan, hal ini merupakan proses pembangunan. Pembangunan berisi suatu
kompleks tindakan manusia yang cukup rumit yang melibatkan sejumlah pranata
dalam masyarakat. Hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Dalam
pembangunan, masyarakat menjadi pelaku dan sekaligus objek dari aktivitas
pembangunan. Keterkaitan atau korelasi antara masyarakat dan pembangunan
akan terjadi melalui pengendalian dari kebudayaan. Di dalam kebudayaan, tatanan
nilai menjadi inti dan basis bagi tindakan manusia. Fungsi elemen nilai (cultural
value) bagi pembangunan adalah untuk mengevaluasi proses pembangunan agar
tetap sesuai dengan standar dan kadar manusia. Manusia menjadi fokus bagi
proses pelaksanaan pembangunan. Salah satu yang utama dari proses tersebut
adalah terbentuknya mentalitas pembangunan yang dapat mendorong secara
positif gerak pembangunan. Mentalitas pembangunan ini terwujud karena
berbasiskan nilai budaya yang luhur, positif dan inovatif bagi pemunculan ide-ide
dan gerak pembangunan.

Pembangunan dapat diartikan sebagai proses menata dan mengembangkan


pranata-pranata dalam masyarakat, yang didalam pranata tersebut berisi nilai-nilai
dan norma-norma untuk mengatur dan memberi pedoman bagi eksistensi tindakan
masyarakat. Sejumlah pranata tersebut, antara lain pendidikan, agama, ekonomi,
politik, ekologi, akan membentuk suatu keterkaitan fungsional guna mendukung,
melegitimasi dan mengevaluasi komplek tindakan manusia tersebut. Dengan kata
lain, pembangunan akan menyinggung isu pemeliharaan nilai dan norma
masyarakat, namun sekaligus membuka ruang bagi isu perubahan sosial. Hal ini
logis, karena setiap kegiatan dari pembangunan akan menuntut dan mengadopsi
berbagai kondisi kemapanan yang telah diciptakan oleh masyarakat untuk terus
dinamis. Diasumsikan bahwa perubahan demi perubahan akan terjadi di dalam
pembangunan. Dengan demikian, adaptasi akan menjadi salaha satu strategi
utama dalam aktivitas masyarakat terhadap proses pembangunan.

Beberapa upaya membangun kultur masyarakat sekolah dapat dilakukan


dengan beberapa alternatif pilihan seperti yang akan diuraikan dibawah ini.
Pertama, perlunya manajemen sekolah berbasis motivasi. Hal ini penting,
mengingat problem terbesar bangsa ini adalah masalah motivasi dan etos.
9
Motivasi akan mampu meciptakan komitmen, komitmen akan melahirkan etos,
etos menciptakan daya gerak, daya gerak akan menciptakan perubahan. Kultur
sekolah yang baik, adalah yang mampu menciptakan perubahan. Dan, perubahan
bermuara pada motivasi.

Kedua, Perlunya manajemen sekolah berbasis komunikasi. Manajemen ini,


menekankan akan pentingnya kesadaran bahwa etos profesionalitas (mutu),
sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi. Semakin jernih komunikasi sekolah,
dapat diprediksi kultur sekolah yang jernih pula. Sekolah dalam manajemen
prasangka, misalnya, tidak akan terjadi karena chanel komunikasi telah
terfasilitasi.

Ketiga, perlunya manajemen sekolah berbasis reward and punishmen.


Artinya, dalam kepemimpinan modern dua hal itu merupakan “bahasa
komunikasi professional” yang mutlak dibutuhkan. Sehingga penempatan orang
didasarkan penghargaan atas kualitas kerja bukan pada like dan dislike.
Sedangkan, hukuman penting dipikirkan untuk menegakkan aturan main institusi
sehingga kultur sekolah berjalan atas aturan baku yang mengikat dan tidak
pandang bulu.

Keempat, perlunya manajemen sekolah berbasis baca tulis. Manajemen ini,


nyaris tidak pernah tersentuh oleh sekolah. Tak pernah terpikirkan bahwa guru
(komponen sekolah) setiap saat penting untuk meningkatkan kualitas melalui dua
budaya ini. Hal ini, mengingat dua hal tersebut merupakan unsur penting dalam
tradisi pengembangan SDM mutakhir untuk menuju kultur sekolah yang
berkualitas.

Kelima, perlunya manajemen sekolah berbasis jaringan. Kemajuan sekolah


di era mutakhir, mau tidak mau, sangat ditentukan oleh kemampuan membangun
jaringan dengan pihak eksternal. Pengembangan kultur di masing-masing sekolah
dapat disesuaikan dengan aspek-aspek yang dianggap penting oleh masing-
masing sekolah, seperti: visi-misi, kondisi dan potensi sekolah. Sejumlah sekolah
lebih menekankan kultur sekolah yang fokus untuk mendorong pencapaian
prestasi akademik. Namun sejumlah sekolah yang lain lebih fokus pada aspek
non-akademik. Hal tersebut sangat dimungkinkan, mengingat para siswa yang
mendapatkan layanan pendidikan memiliki kecerdasan majemuk (multiple

10
intelligences) yang bervariasi.

Adapun kultur sekolah yang dapat dikembangkan antara lain yang kondusif
bagi pengembangan:

1. Prestasi Akademik

Di sekolah yang menghargai prestasi akademik, terjadi proses penciptaan


iklim akademik (academic athmosphere) yang bertujuan untuk mencapai
prestasi akademik. Prestasi akademik ini biasanya terkait dengan sejumlah
mata pelajaran pokok yang dipelajari di sekolah. Sebagian besar orang tua
siswa cenderung menghargai prestasi akademik daripada prestasi lainnya.

2. Non-Akademik

Prestasi non-akademik juga dapat dikembangkan melalui kultur sekolah yang


menghargai prestasi olah-raga, seni, dan ketrampilan lainnya. Nilai-nilai
kreativitas dan demokrasi juga dapat dikembangkan melalui kultur sekolah
yang memberi ruang (space) yang memadai, sehingga siswa memiliki
keleluasaan untuk berpartisipasi, berkreasi, berpikir secara kritis, berperilaku
humanis. Selama ini kebanyakan sekolah menganggap penting prestasi
akademik siswa. Profil kecerdasan majemuk siswa yang bervariasi seringkali
terabaikan. Padahal dalam realitasnya, kesuksesan seseorang tidak hanya
ditentukan oleh prestasi akademik yang telah dimiliki, melainkan juga
disebabkan oleh prestasi non-akademiknya.

3. Karakter

Karakter berkaitan dengan moral dan berkonotasi positif. Pendidikan untuk


pembangunan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi,
proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong, dan
memudahkan seseorang mengembangkan kebiasaan yang baik. Karakter
bersifat inside-out,maksudnya bahwa perilaku yang berkembang menjadi
kebiasaan baik ini terjadi karena adanya dorongan dari dalam, bukan karena
paksaan dari luar (HB X, 2012). Adapun variasi nilai karakter yang dapat
dikembangkan melalui kultur sekolah antara lain: yang kondusif bagi
pengembangannilai-nilai religius, nilai demokrasi, kedisiplinan, kejujuran,
ramah anak, anti kekerasan, dan lain-lain.
11
4. Kelestarian Lingkungan Hidup

Sejumlah sekolah di berbagai level (SD, SMP, SMA) mendapatkan


penghargaan dan predikat sebagai sekolah adiwiyata, yaitu sekolah menjaga
kelestarian lingkungan hidup. Penghargaan tersebut perlu diapresiasi dalam
menstimulasi terwujudnya sekolah berwawasan lingkungan. Namun
demikian, predikat sekolah adiwiyata tidak muncul dengan sendirinya tanpa
diupayakan melalui pengembangan kultur sekolah ramah lingkungan.
Sejumlah sekolah yang fokus dalam pengembangan sekolah hijau (green
school) memiliki visi-misi yang berorientasi pada kehidupan dan kondisi
lingkungan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan (sustainability).
Untuk mewujudkannya, memerlukan komitmen bersama seluruh warga
sekolah dalam pengembangan kultur sekolah yang ramah lingkungan.

12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istilah “kultur” pada mulanya datang dari disiplin ilmu Antropologi Sosial.
Apa yang tercakup dalam definisi budaya sangatlah luas. Istilah kultur dapat
diartikan sebagai totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan
semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan kondisi suatu
masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia9, budaya (cultural) diartikan sebagai pikiran, adat istiadat, sesuatu yang
sudah berkembang, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah.
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan seyogyanya memiliki kultur
sekolah yang positif agar secara terus menerus dapat meningkatkan mutunya. Kultur
sekolah yang positif akan menyemaikan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan
sehingga sekolah benar-benar dapat menjadi agen perubahan untuk menjadikan
manusia Indonesia yang utuh, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berahlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kultur sekolah harus dibangun berlandaskan visi, misi dan tujuan sekolah
dengan menerapkan manejemen partisipatif dan terbuka sehingga benar-benar
dipahami dan dihayati oleh seluruh warga sekolah dan para pemangku kepentingan
sehingga dapat diimplemntasikan secara ikhlas dan konsisten untuk mencapai cita-
cita yang telah ditetapkan dalam visi dan tujuan sekolah.
Jika diimplementasikan dengan baik dan konsisten, kultur sekolah dapat
meningkatkan kualitasnya secara terpadu untuk kepuasan pelanggan, baik pelanggan
internal maupun pelanggan eksternal.

9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Balai Pustaka,
1991) hal.149
13
DAFTAR PUSTAKA

Andi Atas, “Revitalisasi Kultur Sekolah dalam Pembangunan Karakter Peserta


Didik”. Jurnal Pendidikan Sosial dan Budaya. Vol.3 No.1, 2021. Hlm 29.
Ariefa Efianingrum, “Kultur Sekolah”. Jurnal Pemikiran Sosiologi. Vol.2 No.1,
Mei 2013. Hlm 22-23.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1991)
Moerdiyanto, Fungsi Kultur Sekolah Menengah Atas (2012)
Sujatma, Pengembangan Kultur Sekolah, (Subang, 2012).
Sukadari, “Peranan Budaya Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan”.
Jurnal Pendidikan Luar Biasa. Vol.1 No.1, Maret 2020.
Zamroni, Kultur Sekolah, Yogyakarta: Gavin Kalam Utama, 2016.
Zamroni, Panduan Teknis Pengembangan Kultur Sekolah, (Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, 2009).

14

Anda mungkin juga menyukai