Anda di halaman 1dari 16

PERAN GURU DALAM MEMBANGUN KULTUR SEKOLAH

PERAN GURU DALAM MEMBANGUN KULTUR SEKOLAH

A. Kultur Sekolah

Pentingnya kultur sekolah telah diingatkan oleh Seymour Sarason seperti Goodlad (1961 : 16)
yang mengatakan bahwa sekolah-sekolah mempunyai kultur yang harus dipahami dan harus dilibatkan
jika suatu usaha mengadakan perubahan terhadapnya tidak sekedar kosmetik. Kultur sekolah akan
dapat menjelaskan bagaimana sekolah berfungsi dan seperti apakah mekanisme internal yang terjadi.

Sekolah dalam posisinya sebagai bagian dari kultur nasional diperlukan untuk menghidupkan
kultur nasional dan memadukan dengan kultur setempat. Para siswa masuk ke sekolah dengan bekal
kultur mereka miliki, sebagian sejalan dengan kultur nasional. Kondisi ini membawa akibat terjadinya
konflik kultur yang akan mempengaruhi perilaku belajar para siswa di sekolah. Setiap sekolah yang
ingin memperbaiki kinerja sekolah perlu memperhitungkan kondisi kultur yang saat ini ada di sekolah
yang bersangkutan dengan mengidentifikasi kondisi aneka kultur yang saat ini yang ada dan posisi
kultur tersebut dalam kaitannya dengan belajar.

Budaya sekolah menurut Wagner (2004) bukanlah sebuah deskripsi demografis yang
berhubungan dengan ras, sosio-ekonomik, atau factor-faktor geografi. Namun, tentang bagaimana
orang-orang memperlakukan orang lain, menilai orang lain, dan bagaimana mereka bekerja dan
bersama-sama menghasilkan kemajuan baik secara professional maupun personal. Setiap sekolah
memiliki keunikan budayanya sendiri-sendiri yang melekat dalam ritual dan tradisi sejarah dan
perlakuan sekolah.

Setiap sekolah memiliki keunikan budayanya sendiri-sendiri yang melekat dalam ritual-ritual dan
tradisi-tradisi sejarah dan pengalaman sekolah Cavanagh dan Dellar (1998) menyatakan bahwa budaya
sekolah dihasilkan dari persepsi individu dan persepsi kolektif yang ada di sekolah serta dari interaksi
antar personal-personal sekolah, orangtua, dan system pendidikan.

Pengertian kultur sekolah menurut beberapa ahli :

1. Deal dan Kennedy (1999) mendefinisikan Kultur sekolah sebagai keyakinan dan nilai-nilai milik
bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai warga suatu masyarakat.

2. Hoy, Tarter, dan Kotkamp (Roach dan Thomas, 2004) budaya sekolah didefinisikan sebagai sebagai
sebuah sistem orientasi bersama (norma-norma, nilai-nilai, dan asumsi-asumsi dasar) yang di pegang
oleh anggota sekolah, yang akan menjaga kebersamaan unit dan memberikan identitas yang berbeda.

3. Stchein (1992) kultur sekolah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan atau pengembangan
oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta
dianggap valid, dan alhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam memandang,
memikirkan dan merasakan masalah-masalah tersebut.

4. Stolp dan Smith (1995) budaya sekolah adalah pola makna yang terdiri dari norma-norma,nilai-nilai,
kepercayaan, tradisi dan mitos yang dipahami oleh anggota-anggota dalam komunitas sekolah.

5. Paterson (2002) budaya sekolah adalah kumpulan dari norma-norma, nilai-nilai dan kepercayaan,
ritual-ritual dan seremonial, symbol-simbol dan cerita-cerita yang menghiasi kepribadian.

Dari definisi tersebut dikatakan bahwa budaya sekolah memiliki unsur-unsur yang terdiri dari
asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, sikap dan norma yang dipegang oleh anggota-anggota sekolah dan
kemudian mengarah pada bagaimana mereka berperilaku serta akan menjadi karakteristik sekolah
mereka.

B. Peran Kultur Sekolah dalam Membangun Mutu Sekolah


Dalam kaitannya dengan peningkatan mutu sekolah, Stoll dan Fink (2000) mengidentifikasi 10
norma-norma budaya yang mempengaruhi perbaikan sekolah adalah:

1. Tujuan bersama (shared goals) kata kuncinya “Kami tahu kemana kami menuju”.

2. Tanggung jawab akan kesuksesan (responsiblity for succeed) “Kami harus sukses”.

3. Kolegial (collegiality) “Kami bekerja bersama-sama”.

4. Perbaikan kontinu (continuous improvement) “Kami mampu mendapat yang lebih baik”.

5. Pembelajaran yang abadi (lifelong learning) “Pembelajaran untuk semua orang”.

6. Mengambil risiko (risk taking) “Kami belajar dengan mencoba yang baru”.

7. Dukungan (support) “Selalu ada seseorang yang ditolong”.

8. Saling menghoramati (mutual respect) “Semua orang memiliki sesuatu yang diberikan”.

9. Keterbukaan (openness) “Kami dapat mebedakan perbedaan-perbedaan kami”.

10. Perayaan dan humor (celebration and humor) “Kami merasa baik dengan diri kami”.

Adapun ritual-ritual dan seremonial, simbol-simbil, cerita-cerita, dan mitos-mitos menurut Hoy
dan Miskel (2005) merupakan sekelompok simbo-simbol yang mengkomunikasikan budaya-budaya
sekolah. Tiga sistem simbol yang mengkomunikasikan budaya sekolah adalah cerita-cerita, ikon-ikon,
dan ritual.

1. Cerita

Merupakan naratif-naratif yang berdasarkan pada peristiwa-peristiwa yang benar, tetapi kombinasi
dari kebenaran dan fiksi. Mitos merupakan cerita-cerita yang mengkomunikasikan suatu kepercayaan
yang tidak disangkal dan tidak bisa ditunjukkan oleh fakta. Legenda yang berupa cerita yang
diceritakan turun temurun dan diuraikan dengan rincian-rincian fiksi.

2. Ikon-ikon

Merupakan artifak-artifak secara fisik yang digunakan untuk mengkomunikasikan budaya seperti logo,
semboyan, dan tropi.

3. Ritual-ritual

Adalah rutinitan seremonial-serenomial dan upacara-upacara yang mengisyaratkan tentang yang


penting di dalam organisasi. Rutinitas ritual atau seremonial ini, menurut Wager dan Copas (2002)
disebut tradisi dari sebuah sekolah.

C. Peran Guru dalam Membentuk Kultur Sekolah yang Positif

Pada dasarnya kualitas sebuah lembaga pendidikan bisa dilihat dari sejauh mana
keberhasilannya dalam meningkatkan kualitas mulai dari kultur organisasi atau institusi. Khusus dalam
lembaga pendidikan formal seperti sekolah kultur yang dibangun adalah nilai-nilai atau norma-norma
yang dianut dari generasi ke generasi.

Peran kultur di sekolah akan sangat mempengaruhi perubahan sikap maupun perilaku dari warga
sekolah. Kultur sekolah yang positif akan menciptakan suasana kondusif bagi tercapainya visi dan misi
sekolah, demikian sebaliknya kultur yang negatif akan membuat pencapaian visi dan misi sekolah
mengalami banyak kendala. Kultur sekolah yang baik misalnya kemauan menghargai hasil karya orang
lain, kesungguhan dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, motivasi untuk terus berprestasi,
komitmen serta dedikasi kepada tanggungjawab. Sedangkan kultur yang negatif misalnya kurang
menghargai hasil karya orang lain, kurang menghargai perbedaan, minimnya komitmen, dan tiadanya
motivasi berprestasi pada warga sekolah.

Berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia, juga perlu diciptakan kultur yang baik.
Pada semua tenaga pendidik dan tenaga kependidikan harus ada komunikasi dan kolaborasi yang apik
sehingga mendukung sebuah lembaga untuk terus berinovasi, untuk terus melakukan perubahan yang
positif, atau Tajdid dalam bahasa persyarikatan kita. Tenaga pendidik dan kependidikan yang memiliki
kultur yang baik akan meciptakan suasana pembelajaran kepada peserta didik yang juga
menyenangkan, dilakukan dengan kesungguhan dan sepenuh hati.

Untuk siswa perlu ditingkatkan motivasi belajar dan pentingnya kedisiplinan, kejujuran dan
motivasi berprestasi sehingga kompetisi antar siswa akan tercipta. Contoh kultur negatif yang masih
sering dilakukan siswa antara lain masih kurang diperhatikannya persoalan kedisiplinan, ini terbukti
dari angka keterlambatan yang cukup tinggi.

Budaya inovasi juga perlu ditingkatkan dalam semua elemen dan warga sekolah. Misalnya saja
guru harus membudayakan untuk terus berinovasi dalam pembuatan media pembelajaran. Metode
pembelajaran yang konvensional harus diganti dengan metode baru yang kontemporer dan
profesional tanpa meninggalkan penekanan kepada makna dan kearifan lokal.

Setiap perubahan budaya menuju perbaikan jelas akan menemui tantangan, terutama oleh
mereka yang merasa sudah mapan, status quo yang yang sudah terlanjur nyaman dengan kemapanan.
Kelompok pembaharu umumnya akan ditentang, memang karena perubahan itu akan terkesan
menakutkan bagi sebagian orang. Dalam manajemen organisasi ini sesuatu yang wajar namun tetap
perlu dikendalikan.

Solusinya, harus ada kemauan untuk membangun budaya yang kondusif bagi pembelajaran itu
dari semua pihak. Lembaga sekolah harus melakukan berbagai pendekatan agar terjadi komunikasi
yang baik antara sekolah dengan warga sekolah. Pendekatan yang dilakukan bisa massal maupun
personal. Namun agaknya kecenderungan yang lebih efektif adalah pendekatan personal. Dalam
pendekatan itu sekolah wajib menyadarkan warga sekolah akan kebutuhan terhadap perubahan itu
sendiri, dilakukan sosialisasi, pelatihan dan sebagainya. Disamping juga peraturan yang sudah dibuat
melalui konsensus itu mesti ditegakkan.

Bagi guru, agar mudah menerima perubahan maka mesti memperluas wawasan, sharing
perkembangan yang sudah terjadi di luar sana sehingga bisa berpikir lebih akomodatif terhadap
perubahan positif kebudayaan. Dan yang tidak kalah penting, kepada siswa perlu dilakukan sosialisasi
mengenai tantangan dunia ke depan sehingga mereka termotivasi untuk menyiapkan diri menghadapi
tantangan zaman.

Terhadap kultur yang dibawa oleh kecanggihan teknologi memang tidak semuanya baik. Kita
perlu menyaring, memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik. Tidak semuanya
konsekuensi teknologi itu kita biarkan, diperlukan adaptasi, bukan adopsi. Namun adanya sisi negatif
itu bukan berarti kita harus menutup diri dari teknologi, kalau kita antipati maka kita pasti semakin
tertinggal.

Menurut Senge, pemimpin sebagai guru tidak berarti seperti pakar yang memiliki otoritas
mengajar tentang padangan yang benar tentang realitas. Peran pemimpin sebagai guru adalah
membantu setiap orang dalam organisasi sekolah, yang mencakup memfasilitasi, membimbing, atau
melatih. Pemimpin sebagai guru harus memperhatikan esensi bahasa untuk membangun batas
perubahan kultur. Selanjutnya, dijelaskan bahwa pemimpin sebagai guru memerlukan perhatian
terhadap bahasa, baik verbal maupun non verbal. Dengan bahasa inilah, ia akan menjalin komunikasi
dengan berbagai pihak. Proses ini menurut Senge mencakup: (1) membuat rangka batas diskusi; (2)
memperhatikan nilai bersama dalam proses administrasi, konteks sejarah praktek tradisional, atau
perbedaan kultur; (4) membuat semua anggota sadar akan kerangka kerja yang digunakan
membimbing dialog.
DAFTAR PUSTAKA

http://artikeltugaskuliah.blogspot.com/2012/04/membangun-kultur-sekolah-dan-masyarakat.html

Pentingnya Membangun Kultur Sekolah


Dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan

Drs. Firmansyah, M.T.

Salah satu persoalan penting dan genting dunia pendidikan kita adalah bagaimana meningkatkan mutu
pendidikan di sekolah. Masyarakat kini semakin sadar bahwa pendidikan adalah salah satu jembatan
untuk meraih kehidupan masa depan yang lebih baik (better education better life), pendidikan yang
bermutu menjadi kebutuhan, tuntutan dan harapan seluruh lapisan masyarakat.

Berbagai usaha meningkatkan mutu pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah, seperti pendidikan
dan pelatihan guru, pengadaan sarana dan prasarana, peningkatan kompetensi dan profesionalisme
guru melalui lesson study dan sertifikasi guru, studi banding di dalam maupun ke luar negeri,
peningkatan kesejahteraan guru melalui tunjangan sertifikasi dan sebagainya, tetapi fakta
menunjukkan bahwa disebagian besar sekolah semua usaha tersebut tidak berdampak signifikan
terhadap peningkatan mutu. Hal ini tentunya menimbulkan tanda tanya, “Sebenarnya dimana letak
masalahannya?”

Sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan erat dengan mutu
sekolah, yakni: proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur
sekolah. (Zamroni, 2013). Peningkatan mutu sekolah sebagian besar hanya menekankan pada aspek
pertama, yakni meningkatkan mutu proses belajar mengajar dan sarana/prasarana, sedikit menyentuh
aspek kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan sama sekali tidak pernah menyentuh aspek kultur
sekolah. Sudah barang tentu pilihan tersebut tidak terlalu salah. Namun, sejauh ini bukti-bukti telah
menunjukkan, bahwa sasaran peningkatan mutu pada aspek PBM dan sarana/prasarana saja tidak
cukup, faktor penentu mutu pendidikan ternyata tidak hanya dalam wujud fisik saja, tetapi perlu
dibarengi dengan pendekatan non fisik yakni dengan membangun dan mengembangkan kultur
sekolah.

(Djemari, 2004) mengemukakan bahwa Stolp&Smith (1994) mendeskripsikan kultur sekolah sebagai
pola makna yang dipancarkan secara historis yang mencakup norma, nilai, keyakinan, seremonial,
ritual, tradisi, dan mitios dalam derajat yang bervariasi yang ditunjukkan oleh warga sekolah. Senada
dengan pernyataan tersebut, Zamroni(2009) mengemukakan bahwa kultur sekolah adalah norma-
norma, nilai-nilai, keyakinan, sikap, harapan-harapan, dan tradisi yang ada di sekolah dan diwariskan
antar generasi, dipegang bersama baik oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa dan
mempengaruhi pola pikir (mindset), sikap, dan tindakan seluruh warga sebagai dasar mereka dalam
memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di sekolah.

Konsep kultur di dunia pendidikan merupakan situasi yang akan memberikan landasan dan arah untuk
berlangsungnya suatu proses pembelajaran yangefektif dan efisien. Djemari(2004) menyatakan bahwa
kultur sekolah yang positif dapat memperbaiki kinerja sekolah, membangun komitmen warga sekolah
serta membuat suasana kekeluargaan, kolaborasi, ketahanan belajar, semangat terus maju, dorongan
bekerja keras, dan tidak mudah mengeluh. School culture sangat vital perannya bagi sebuah proses
pendidikan, banyak anak yang memiliki bakat hebat, tapi karena kondisi sekolahnya tidak mendukung,
anak dimaksud tidak tumbuh optimal, bakatnya terpendam, bahkan mati. Sebaliknya,anak yang
kepintaran dan bakatnya sedang-sedang saja, tapi karena lingkungan sekolahnya bagus, anak tersebut
tumbuh sebagai anak yang mandiri dan sukses (Hidayat, 2010). Hal ini senada dengan yang
dikemukakan Zamroni (2010) bahwa: “Pembelajaran yang baik hanya dapat berlangsung pada sekolah
yang memiliki kultur positif. Kultur sekolah yang sehat akan berdampak kesuksesan siswa dan guru
dibandingkan dengan dampak bentuk reformasi pendidikan lainnya. Kultur sekolah yang sehat dan
positif berkaitan erat dengan motivasi dan prestasi siswa serta produktivitas dan kepuasan guru”.

Contoh Kultur Positif di sekolah:

1. Warga sekolah memiliki keyakinan hanya mereka yang belajar keras dan sungguh-sungguh
yang akan memperoleh prestasi tinggi
2. Memegang teguh bahwa prestasi dan proses mencapainya seperti dua sisi mata uang yang
tidak dapat dipisahkan
3. Menjunjung tinggi nilai-nilai religius, norma sosial, etika dan moral
4. Membangun jembatan antara visi, misi, dan aksi
5. Kepala Sekolah, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan memiliki kinerja dan etos kerja yang baik
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di sekolah
6. Kepala Sekolah, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan memiliki spirit corp dan team workyang
tinggi
7. Komitmen seluruh warga sekolah (Kepala Sekolah, Pendidik dan Tenaga kependidikan) untuk
selalu belajar (belajar sepanjang hayat)
8. Menghargai prestasi siswa
9. Memiliki simbol-simbol yang menekankan penghargaan dan sangsi, sehingga mendorong
pencapaian prestasi dan menghambat pelanggaran dan tidak memiliki prestasi
10. Lingkungan sekolah yang bersih, rapi, sejuk, dan aman

Contoh Kultur Negatif di sekolah:

1. Siswa memiliki keyakinan belajar asal-asalan apa adanya pasti naik kelas dan lulus.
2. Siswa ingin meraih prestasi yang setinggi-tingginya dengan segala cara untuk mencapainya,
sekalipun melanggar norma dan nilai (misalnya : Nyontek, bekerja sama dalam ulangan, plagiat
dalam membuat tugas, dsb.).
3. Siswa tidak antusias menerima tugas karena hanya akan membikin mereka harus belajar lebih
banyak.
4. Siswa tidak khawatir dengan nilai rapor yang jelek dan hanya beberapa siswa yang selalu
mengerjakan PR karena mereka yakin dengan belajar sebagaimana sekarang ini saja mereka
akan naik kelas dan lulus mendapatkan ijazah. Ijazah dianggap sebagai sesuatu yang penting,
tetapi tidak diperlakukan sebagai simbol ilmu yang telah dikuasai.
5. Siswa malas belajar dikarenakan guru yang tidak menarik, tidak antusias dalam mengajar, dan
tidak menguasai materi.
6. Hasil karya siswa dan prestasi sekolah tidak dipajang sebagaimana mestinnya yaitu sebagai
suatu kebanggaan yang dapat memberikan motivasi untuk yang lainnya.
7. Guru sering melecehkan siswa dan tidak memperlakukan mereka sebagai anak yang dewasa
melainkan memperlakukan mereka sebagai anak kecil. Oleh karena itu, sebagai
balasannyasiswa tidak menghargai guru.
8. Sekolah tidak disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar dan menyalahkan siswa
atas prestasinya.
9. Kebijakan kepala sekolah bersifat pilih kasih.
10. Menghindari kolaborasi dan selalu ada pertentangan.
11. Mereka yang innovatif malah di kritik dan tidak disenangi.
12. Diktator, komentator, Agitator, Spektator.
13. Diantara warga sekolah tidak ada saling percaya dan selalu mencari kesalahan orang lain.
14. Banyak siswa dan guru yang terlambat datang ke sekolah.
15. Lingkungan sekolah yang kotor, membuang sampah tidak pada tempatnya.

Membangun dan melakukan perubahan kultur sekolah tidak bisa melalui ceramah, slogan, atau
himbauan saja (Zamroni, 2010). Perlu adanya kesungguhan dan komitmen yang kuat yang
dilaksanakan secara konsisten dengan program-program aksi yang konkrit dengan strategi
pengkondisian, pembiasaan, dan keteladanan, baik melalui pendekatan struktural maupun kultural.
Pendekatan struktural denganmembuat kesepakatan berupa regulasi (peraturan, tata tertib, dsb.)
yang mengikatsiswa, guru, dan seluruh warga sekolah lainnya, adanya program-program pembiasaan
(habituasi)yang lambat laun akan menjadi budaya/karakter, sedangkan pendekatan kultural melalui
interaksi dengan menanamkan nilai-nilai, sikap dan prilaku yang diintegrasikan pada setiap mata
pelajaran dan/ataumelalui kegiatan ekstra kurikuler,dan yang terpenting dengan cara pembudayaan
dengan keteladanan yang ditunjukkan oleh kepala sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya
di sekolah.“Setiap sekolah mempunyai kultur, tapi sekolah yang sukses hanyalah sekolah yang memiliki
kultur positif yang sejalan dengan visi dan misi pendidikan yang menjadi harapan dan cita-cita dari
seluruh warga sekolah” (Zamroni, 2010)

Arah Pengembangan Kultur Sekolah:

1. Standar moral yang tinggi


2. Tanggung jawab (kerja keras dan disiplin)
3. Jujur
4. Kebersamaan dan persaudaraan
5. Sopan santun
6. Bersih dan rapi
7. Cinta tanah air
8. Leadership & Enterpreneurship
9. Positive Thinking
10. Optimis, keyakinan akan berhasil
11. I Can Do It type
12. Sense of quality (memiliki budaya dan peka terhadap mutu)
13. Sense of Improvement
14. Selalu mau mencoba, tidak pernah menyerah
15. Berpegang pada tujuan
16. Pendidikan Karakter

Produk kultur sekolah yang positif (Djemari, 2009):

1. Peningkatan kinerja individu dan kelompok yang berdampak pada kesuksesan siswa dan guru
2. Peningkatan kinerja sekolah
3. Peningkatan kualitas yang berkelanjutan
4. Terjalin hubungan yang sinergi diantara warga sekolah
5. Tugas dilaksanakan dengan perasaan senang
6. Timbul iklim akademik
7. Kompetisi
8. kolaborasi
9. Interaksi menyenangkan

Peran Kepala Kekolah


Kepala sekolah harus memahami kultur sekolah yang ada sekarang ini, dan menyadari bahwa hal itu
tidak lepas dari struktur dan pola kepemimpinannya. Perubahan kearah kultur yang positif harus
dimulai dari kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah harus mengembangkan kepemimpinan
berdasarkan dialog, saling perhatian dan pengertian satu dengan yang lain. Biarlah guru, staf
administrasi bahkan siswa menyampaikan pandangannya tentang kultur sekolah yang ada dewasa ini,
mana segi positif dan mana negatif, khususnya berkaitan dengan kepemimpinan kepala sekolah,
struktur organisasi, nilai-nilai dan norma-norma, kepuasan terhadap kelas, kepuasan terhadap
pelayanan dan produktivitas sekolah, Pandangan ini sangat penting artinya bagi upaya untuk merubah
kultur sekolah.

Kultur sekolah berkaitan erat dengan visi yang dimiliki oleh kepala sekolah tentang masa depan
sekolahnya. Kepala sekolah yang memiliki visi untuk menghadapi tantangan sekolah di masa depan
akan lebih sukses dalam membangun kultur sekolah. Untuk membangun visi sekolah ini, perlu
kolaborasi antara kepala sekolah, guru,staf administrasi danorang tua siswa. Kultur sekolah akan baik
apabila: a) kepala sekolah dapat berperan sebagai model, b) mampu membangun kerjasama tim, c)
belajar dari guru, staf, dan siswa, dan, d) harus memahami kebiasaan yang baik untuk terus
dikembangkan. Kepala sekolah dan guru harus mampu memahami lingkungan sekolah yang spesifik
tersebut. Karena, akan memberikan perspektif dan kerangka dasar untuk melihat, memahami dan
memecahkan berbagai problem yang terjadi di sekolah. Dengan dapat memahami permasalahan yang
kompleks sebagai suatu kesatuan secara mendalam, kepala sekolah dan guru akan memiliki nilai-nilai
dan sikap yang amat diperlukan dalam menjaga dan memberikan lingkungan yang kondusif bagi
berlangsungnya proses pendidikan yang bermutu. (Subang, 2/2/13).

Daftar Pustaka:
Djemari, 2004; Pengembangan Kultur Sekolah, Materi Workshop, Yogyakarta
Hidayat, Komarudin, 2010; Membangun Kultur Sekolah, http://www.uinjkt.ac.id
Zamroni, 2010, Membangun Kultur Sekolah, Materi Workshop, Jakarta
Zamroni, 2009; Panduan Teknis Pengembangan Kultur Sekolah, Depdiknas, Jakarta
Zamroni, 2013; Paradigma Pendidikan masa depan,http://www.pakguruonline.pendidikan.net

KONSEP DASAR MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


Rabu, Juni 04, 2014 Manajemen Berbasis Sekolah 4 comments

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu masalah pendidikan yang kita hadapi dewasa ini adalah rendahnya mutu pendidikan
pada setiap jenjang dan satuan pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai
usaha telah dilakukan, antara lain memlalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru,
penyediaan dan perbaikan sarana/prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah.
Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata.
Sebagaian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu yang cukup
menggembirakan. Namun, sebagian lainnya masih memprihatinkan. Dari berbagai pengamatan dan
analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan
secara merata.

Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan


pendekatan educational production function yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan
ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipilih semua
input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan
menghasilkan output yang dikehendaki. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak
terjadi, mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production
function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses
pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga sekolah sebagai
penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan
yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian, sekolah kehilangan
kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk
peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan
selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat pada umumnya selama ini lebih banyak bersifat
dukungan dana, bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan
akuntabilitas). Berkaitan dengan akunfabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk
mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua
siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan dengan pendidikan.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah
satunya yang sekarang sedang dikembangkan adalah reorientasi penyelenggaraan pendidikan, melalui
manajemen sekolah (School Based Management).

B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah yang menjadi landasan MBS ?
2. Bagaimanakah konsep dasar manajemen berbasis sekolah ?
3. Bagaimanakah latar belakang adanya MBS ?

C. Tujuan
1. Mengetahui landasan-landasan MBS
2. Memahami konsep dasar manejemen berbasis sekolah.
3. Mengetahui latar belakang adanya MBS.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Manajemen Berbasis Sekolah


1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis MBS secara umum adalah cara hidup masyarakat. Maksudnya jika ingin
reformasi pendidikan itu sukses maka reformasi tersebut harus berakar pada cara dan kebiasaan hidup
warganya. Seandainya reformasi itu peduli terhadap cara dan kebiasaan warganya maka reformasi
tersebut akan mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan
melalui proses mencerdaskan kehidupan bangsa dalam konteks idiil negara kita merupakan tanggung
jawab pemerintah, sedangkan menurut praktisnya merupakan tanggung jawab bersama antara
keluarga, masyarakat dan pemerintah. Tanggung jawab tersebut, dilandasi oleh peran secara
profesional.
Artinya, pelayanan pendidikan tidak dapat dihindarkan dari batas-batas tanggung jawab
mengingat masing-masing mempunyai posisi dan keterbatasan. Keluarga dalam arti biologis
merupakan orang tua langsung (ibu dan bapak), mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan
pendidikan kepada anak – anaknya di rumah tangga, dari mulai hal yang bersifat sederhana dan
pribadi sampai pada hal yang komplek dan bermasyarakat. Tugas dan wewenang ini, bersifat alamiah
dan mendasar untuk membangun individu yang bertanggung jawab. Akan tetapi sebagai orang tua,
terdapat berbagai keterbatasan dalam pelayanan pendidikan yang bersifat normatif dan terukur, baik
yang bersifat keilmuan maupun keterampilan tertentu. Oleh sebab orang tua tidak dapat melayani
kebutuhan pendidikan anaknya, maka orang tua mempercayakan kepada sekolah baik yang
diselenggarakan oleh masyarakat (yayasan pendidikan) maupun pemerintah.
Konsekuensinya orang tua wajib memberikan dukungan kepada sekolah sesuai dengan batas
kemampuan dan kesepakatan. Oleh sebab itu tujuan penyelanggaraan pelayanan pendidikan hanya
bisa dicapai apabila terjadinya sinerjik dan integrasi dukungan dari berbagai sumber daya, untuk
terjadinya sinerjik dan integrasi dukungan dari berbagai sumber daya pendidikan, perlu adanya suatu
badan yang bersifat independen dengan asas keadilan dan kemanusiaan.
Landasan munculnya MBS yang berasal dari kehidupan masyarakat (dalam modul UT)
diantaranya:
a. Pendidikan nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat yaitu nilai–nilai kebersamaan yang bersumber
dari nilai sosial budaya yang terdapat di lingkungan keluarga dan masyarakat serta pada pendidikan
agama.
MBS merupakan salah satu pendekatan yang dapat diterapkan untuk mengakomodasi pendidikan
nilai. Pendidikan kewarganegaraan dan agama sangat penting untuk menumbuhkembangkan
tanggung jawab bersama di dalam kehidupan suatu masyarakat (baik secara lokal, nasional, regional,
global). Nilai-nilai spiritual diperlukan untuk menyempurnakan kesejahteraan manusia di dunia dan
alam sesudahnya sehingga kehidupan lebih bermakna. Nilai-nilai lokal tercermin dalam nilai sosial
budaya setempat yang diwujudkan dalam bentuk tata krama pergaulan, model pakaian, dan seni.
Nilai-nilai nasional berkaitan erat dengan penerapan kaidah-kaidah sebagai warga Negara yang baik
yang menjunjung tinggi kebangsaan. Kedua nilai tersebut membentuk budi pekerti dan keperibadian
yang kuat, hanya dapat dikembangkan melalui manajemen yang berbasis sekolah dengan dukungan
masyarakat. Manajemen berbasis sekolah dengan dukungan masyarakat berupaya memperkuat jati
diri peserta didik dengan nilai sosial budaya setempat, mensinergikannya dengan nilai-nilai
kebangsaan serta nilai-nilai agama yang dianut.

b. Kesepakatan-kesepakatan yang diberlakukan dalam kehidupan masyarakat.


Maksudnya adalah kesepakatan atas pranata sosial yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata lain
segala bentuk perubahan harus melibatkan masyarakat setempat agar semuanya lancar sesuai
harapan. Tuntutan penerapan MBS semakin nyata seiring dengan perubahan karakteristik masyarakat.
Perubahan dalam bidang sosial, ekonomi, hukum, pertahanan, keamanan, secara nasional, regional,
maupun global, mendorong adanya perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki
siswa. Artinya telah terjadi perubahan kebutuhan siswa sebagai bekal untuk terjun ke masyarakat luas
dimasa mendatang dibandingkan dengan masa lalu. Oleh karena itu, pelayanan terhadap siswa,
program pengajaran, dan jasa yang diberikan kepada siswa juga harus sesuai dengan tuntutan baru
tersebut. Secara umum perubahan lingkungan menuntut adanya pola kebiasaan dan tingkah laku baru
oleh semua pihak. Untuk menyesuaikan keadaan tersebut dibutuhkan adanya reformasi dalam
pendidikan, salah satunya dengan MBS.
2. Landasan Yuridis
Dasar Hukum Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)yaitu:
a. Dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN), pemerintah mengupayakan keunggulan masyarakat
bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Hal ini diharapkan dapat dijadikan landasan dalam
pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso
maupun mikro. Aspek makro erat kaitannya dengan desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat
ke daerah, aspek meso berkaitan dengan kebijakan daerah provinsi sampai tingkat kabupaten
sedangkan aspek mikro melibatkan sekolah yaitu seluruh sektor dan lembaga pendidikan yang paling
bawah serta terdepan dalam pelaksanaannya.
b. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun
2000-2004 pada bab VII tentang bagian program pembangunan bidang pendidikan khususnya sasaran
terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis pada sekolah dan masyarakat(school/ community
based management)”.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom.
d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya yang terkait
dengan MBS adalah Bab XIV, Pasal 51, Ayat (1), ”pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal
dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/ madrasah.”
e. Kepmendiknas nomor 087 tahun 2004 tentang standar akreditasi sekolah, khususnya tentang
manajemen berbasis sekolah.
f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
(khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab II, Pasal 3); “Badan hukum pendidikan bertujuan
memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/ madrasah pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan
tinggi”.

B. Konsep Dasar MBS


1. Pengertian
Manajemen berbasis sekolah atau School Based Management merupakan penyerasian sumber
daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan
yang terkait dengan sekolah yang dilakukan secara langsung dalam proses pengambilan keputusan
untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah.
2. Konsep dasar Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan manajemen yang bernuansa otonomi, kemandirian
dan demokratis.
a. Otonomi
Merupakan kewenangan sekolah dalam mengatur dan mengurus kepentingan sekolah dalam
mencapai tujuan sekolah untuk menciptakan mutu pendidikan yang baik.
b. Kemandirian
Merupakan langkah dalam pengambilan keputusan. Dalam mengelola sumber daya yang ada,
mengambil kebijakan, memilih strategi dan metode dalam memecahkan persoalan tidak tergantung
pada birokrasi yang sentralistik sehingga mampu menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dan dapat
memanfaatkan peluang-peluang yang ada.
c. Demokratif
Merupakan keseluruhan elemen-elemen sekolah yang dilibatkan dalam menetapkan, menyusun,
melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan untuk mencapai tujuan sekolah demi terciptanya mutu
pendidikan yang akan memungkinkan tercapainya pengambilan kebijakan yang mendapat dukungan
dari seluruh elemen-elemen sekolah.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memahami Konsep Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) diantaranya adalah:
a. Pengkajian Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) terutama yang menyangkut kekuatan
desentralisasi, kekuasaan atau kewenangan di tingkat sekolah, dalam system keputusan harus
dikaitkan dengan program dan kemampuan dalam peningkatan kinerja sekolah.
b. Penelitian tentang program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berkenaan dengan desentralisasi
kekuasaan dan program peningkatan partisipasi (local stake holders).Pendelegasian otoritas
pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pemberdayaan sekolah, perlu dibangun dengan
efektifitas programnya.
c. Strategi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) harus lebih menekankan kepada elemen manajemen
partisipatif. Kemampuan, informasi dan imbalan yang memadai merupakan elemen-elemen yang
sangat menentukan efektifitas program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam meningkatkan
kinerja sekolah.

3. Esensi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


Esensi dari MBS adalah otonomi dan pengambilan keputusan partisipasi untuk mencapai sasaran
mutu sekolah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu kemandirian dalam
mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk
mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan dengan peraturan perundang-
undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan
untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan
pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang
terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-
persoalan sekolah, kemampuan adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi danm berkaborasi, dan
kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri.
Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui
penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga sekolah (guru, karyawan,
siswa,orang tua, tokoh masyarakat) dkjorong untuk terlibatsecara langsung dalam proses
pengambilankeputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Pengambilan keputusan partisipasi berangkat dari asumsi bahwa jika seseorang dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan merasa memiliki
keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan bertanggung jawab dan berdedikasi
sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya makin besar tingkat partisipasi, makin besar
pula rasa memiliki, makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab, dan makin besar
rasa tanggung jawab makin besar pula dedikasinya.
Dengan pola MBS, sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) yang lebih besar dalam
mengelola manajemennya sendiri. Kemandirian tersebut di antaranya meliputi penetapan sasaran
peningkatan mutu, penyusunan rencana peningkatan mutu, pelaksanaan rencana peningkatan mutu
dan melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping itu, sekolah juga mmiliki kemandirian dalam
menggali partisipasi kelompok yang brekepentingan dengan sekolah. Di sinilah letak ciri khas MBS.
Berdasarkan konsep dasar yang telah diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penyesuaian dari
pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan-masa depan yang lebih
bernuansa otonomi yang demokratis.Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen dari yang lama
menuju yang baru tersebut, dewasa ini secara konseptual maupun praktik tertera dalam MBS.
Perubahan dimensi pola manajemen pendidikan dari yang lama ke pola yang baru menuju
MBS dapat digambarkan sebagai berikut:

Pola lama Menuju Pola baru

- Subordinasi ——> - Otonomi

- Pengambilan keputusan ——> - Pengambilan keputusan partisipasi


terpusat

- Ruang gerak kaku ——> - Ruang gerak luwes

- Pendekatan birokratik ——> - Pendekatan Profesional

- Sentralistik ——> - Desentralistik

- Diatur ——> - Motivasi diri

- Overregulasi ——> - Deregulasi

- Mengontrol ——> - Mempengaruhi

- Mengarahkan ——> - Memfasilitasi

- Menghindar Resiko ——> - Mengelola resiko

- Gunakan uang semuanya ——> - Gunakan seefisien mungkin

- Individu yang cerdas ——> - Informasi terbagi


- Informasi terpribadi ——> - Pemberdayaan

- Pendelegasian ——> - Organisasi datar

- Organisasi hirarkis

Mengacu pada dimensi-dimensi tersebut, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam
pengelolaan lembaganya. Pengambilan keputusan akan dilakukan secara partisipatif dengan
mengikutsertakan peran masyarakat sebesar-besarnya. Selanjutnya, melalui penerapan MBS akan
nampak karakteristik lainnya dari profil sekolah mandiri, di antaranya sebagai berikut:
a. Pengelolaan sekolah akan lebih desentralistik
b. Perubahan sekolah akan lebih didorong oleh motivasi internal dari pada diatur oleh luar sekolah.
c. Regulasi pendidkan menjadi lebih sederhana.
d. Peranan para pengawas bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi, dari mengarahkan
menjadi memfasilitasi dan dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko.
e. Akan mengalami peningkatan manajemen.
f. Dalam bekerja, akan menggunakan team work.
g. Pengelolaan informasi akan lebih mengarah ke semua kelompok kepentingan sekolah.
h. Manajemen sekolah akan lebih menggunakan pemberdayaan dan struktur organisasi akan lebih
datar sehingga akan lebih sederhana dan efisien.

4. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah


Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan
sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu
sekolah. Dengan kemandiriannya, maka:
a. Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman bagi dirinya dibanding dengan lembaga-lembaga lainnya.Dengan demikian sekolah dapat
mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan lembaganya.
b. Sekolah lebih mengetahui sumber daya yang dimilikinya dan input pendidikan yang akan
dikembangkan serta didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan
dan kebutuhan peserta didik.
c. Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah,
orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga sekolah akan berupaya semaksimal
mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan.
d. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu
pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan
pemerintah daerah setempat.
e. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
melalui pengambilan keputusan bersama.
f. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada masyarakat.
g. Meningkatkan persaingan yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang ingin dicapai.
Dengan demikian, secara bertahap akan terbentuk sekolah yang memiliki kemandirian tinggi.
Secara umum, sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tingkat kemandirian tinggi sehingga tingkat ketergantungan menjadi rendah.
b. Bersifat adaptif dan antisipatif memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani
mengambil resiko).
c. Bertanggung jawab terhadap input manajemen dan sumber dayanya.
d. Memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja.
e. Komitmen yang tinggi pada dirinya.
f. Prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
Selanjutnya dilihat dari sumber daya manusia sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Pekerjaan adalah miliknya
b. Bertanggung jawab
c. Memiliki kontribusi terhadap pekerjaannya
d. Mengetahui posisi dirinya dan memiliki kontrol terhadap pekerjaannya
e. Pekerjaan merupakan bagian hidupnya.
Dalam upaya menuju sekolah mandiri, terlebih dahulu kita perlu menciptakan sekolah yang
efektif. Ciri sekolah yang efektif adalah sebagai berikut:
a. Visi dan misi yang jelas dan target mutu yang harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan
secara lokal.
b. Sekolah memiliki output yang selalu meningkat setiap tahun.
c. Lingkungan sekolah aman, tertib, dan menyenangkan bagi warga sekolah.
d. Seluruh personil sekolah memiliki visi, misi, dan harapan yang tinggi untuk berprestasi secara
optimal.
e. Sekolah memiliki sistem evaluasi yang kontinyu dan komprehensif terhadap berbagai aspek
akademik dan non akademik.

5. Faktor- faktor yang di perhatikan


Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management) adalah bentuk alternative sekolah
dari program desentralisasi dalam bidang pendidikan. Faktor terpenting dalam penentu kinerja
sekolah yaitu kurikulum. Tujuan kurikulum yang akan dicapai dalam jangka panjang dari kurikulum
yang dirancang berdasar MBS yaitu:
a. Penguasaan ketrampilan dasar dan proses fundamental
b. Pengembangan intelektual
c. Pendidikan karir & pendidikan vokasional
d. Pemahaman interpersonal
e. Moral & karakter etika
f. Keadaan emosional dan fisik
g. Kreativitas & ekspresi estetika
h. Perwujudan diri.
i. Proses belajar mengajar yang relevan

C. Alasan Mengapa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


Pertimbangan mengapa diadakan MBS, yaitu:
1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yangberorientasi pada keluaran atau hasil pendi
dikan terlalumemusatkan pada masukan dan kurang memperhatikanproses pendidikan.
2. Penyelengaraan pendidikan dilakukan secarasentralistik. Hal
ini menyebabkan tingginyaketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkalikebijakan pus
at terlalu umum dan kurang menyentuh ataukurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolahsete
mpat. Di samping itu segala sesuatu yang terlaludiatur menyebabkan penyelenggara sekolah kehila
ngankemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal tersebutmenyebabkan usaha dan daya untuk menge
mbangkanatau meningkatkan mutu layanan dan keluaranpendidikan menjadi kurang termotivasi.
3. Peran serta masyarakat terutama orangtua siswa dalampenyelenggaraan pendidikan selama ini hanya
terbatas padadukungan dana. Padahal peranserta mereka sangat penting di dalam proses pendidikan
antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas.
Ada beragam alasan diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menurut Depdiknas
(2007), sebagai berikut:
1. Dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah, maka sekolah akan lebih insiatif/
kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah.
2. Dengan pemberian fleksibilitas/ keluwesan-keluwesan yang lebih besar kepada sekolah untuk
mengelola sumber dayanya, maka sekolah akan lebih luwes dan lincah dalam mengadakan dan
memanfaatkan sumber daya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah.
3. Sekolah lebih mengetahui kelemahan, kekuatan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehingga dia
dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.
4. Sekolah lebih mengetahui kebutuhannya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan
didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta
didik.
5. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan
sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya.
6. Penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat
setempat.
7. Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah
menciptakan transparansi dan akuntabilitas sekolah.
8. Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah,
orang tua, peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan mencapai sasaran mutu
pendidikan yang telah direncanakan.
9. Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain dalam peningkatan
mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif yang didukung oleh orang tua siswa, masyarakat
sekitar, dan pemerintah daerah setempat.
10. Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah
dengan cepat.
Alasan-alasan diterapkannya MBS yang diungkapkan oleh Mulyasa (2009) antara lain:
1. Adanya berbagai program pendidikan yang pengelolaannya terlalu kaku dan sentralistik sehingga
tidak memberikan dampak positif.
2. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya.
3. Sekolah lebih mengetahui kebutuhannya.
4. Keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
5. Angka partisipasi pendidikan nasional maupun kualitas pendidikan tetap menurun.
Maka muncullah pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada
sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas yang disebut manajemen
berbasis sekolah (MBS).
Alasan lain diterapkannya MBS menurut Nurkolis, 2003
dalam http://edukasi.kompasiana.com yaitu:
1. MBS di Indonesia yang menggunakan model MPMBS muncul karena alasan:
a. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman bagi dirinya sehingga sekolah
dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.
b. Sekolah lebih mengetahui kebutuhannya.Keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam
pengambilan keputusan dapat menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
2. Menurut Bank Dunia, alasan diterapkannya MBS:
a. Alasan ekonomis
b. Politis
c. Profesional
d. Efisiensi administrasi
e. Finansial
f. Prestasi siswa
g. Akuntabilitas
h. Evektivitas sekolah
Menurut Suryo Subroto, 2010 dalam http://edukasi.kompasiana.com menyatakan tentang
alasan diterapkannya MBS, bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota (Pasal 1 Ayat 2). Untuk dapat melaksanakan kewajiban
ini secara bertanggung jawab dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi penduduk daerah
yang bersangkutan, maka diperlukan strategi pengelolaan pendidikan yang tepat dan mengedepankan
kerja sama yang lebih dikenal dengan istilahcollaborative schoolmanagement yang selanjutnya
menjadi model pengelolaan sekolah yang dinamakan school based management atau manajemen
berbasis sekolah (MBS)
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan diterapkannya Manajemen Berbasis
Sekolah adalah karena adanya berbagai program pendidikan yang pengelolaannya terlalu kaku dan
sentralistik, pendidikan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
daerah kabupaten dan kota, dan untuk dapat melaksanakan kewajiban ini, maka diperlukan strategi
pengelolaan pendidikan yang tepat dan mengedepankan kerja sama, sekolah mempunyai otonomi
atau wewenang untuk merencanakan, mengatur, mengambil keputusan, melaksanakan dan
bertanggung jawab atas segala kegiatan yang ada di sekolah dan lingkungan sekolah dengan
keterlibatan warga sekolah serta masyarakat sekitar sehingga sasaran mutu pendidikan yang telah
direncanakan dapat tercapai, pada dasarnya sekolahlah yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan,
peluang, ancaman, serta kebutuhannya termasuk dalam hal finansial, prestasi siswa, akuntabilitas,
keefektifan sekolah, keefisienan administrasi, profesionalitas, politis dan keekonomian.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistem manajemen pendidikan yang sentralistis telah terbukti tidak membawa kemajuan yang
berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Bahkan dalam kasus-kasus tertehtu,
manajemen yang sentralistis telah menyebabkan terjadinya pemandulan kreatifitas pada satuan
pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Untuk mengatasi terjadinya stagnasi di bidang
pendidikan ini diperlukan adanya paradigma baru dibidang pendidikan.
Seiring dengan bergulirnya era dtonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi
paradigma pendidikan menuju ke arah desentralisasi pengelolaan pendidikan. Peluang tersebut
semakin tampak nyata setelah dikeluarkannya kebijakan mengenai otonomi pendidikan melaJui
strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS. MBS bukan sekedar mengubah
penedekatan pengelolaan sekolah dari yang sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui
MBS diyakini akan muncul kemandirian sekolah.
Melalui penerapan MBS, kepedulian masyarakat untuk ikut serta mengontrol dan menjaga
kualitas layanan pendidikan akan lebih terbuka untuk dibangkitkan. Dengan demikian kemandirian
sekolah akan diikuti oleh daya kompetisi yang tinggi akan akuntabilitas publik yang memadai.
Dasar hukum yang melandasi adanya Managemen Berbasis Sekolah meliputi landasan secara
filosofis dan landasan yuridis. Landasan filosofis MBS secara umum adalah cara hidup masyarakat.
Maksudnya jika ingin reformasi pendidikan itu sukses maka reformasi tersebut harus berakar pada
cara dan kebiasaan hidup warganya. Seandainya reformasi itu peduli terhadap cara dan kebiasaan
warganya maka reformasi tersebut akan mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan melalui proses mencerdaskan kehidupan bangsa dalam konteks idiil
negara kita merupakan tanggung jawab pemerintah, sedangkan menurut praktisnya merupakan
tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Tanggung jawab tersebut,
dilandasi oleh peran secara profesional.
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pemerintah mengupayakan keunggulan masyarakat bangsa
dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 pada bab VII tentang bagian program
pembangunan bidang pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya yang
terkait dengan MBS adalah Bab XIV, Pasal 51, Ayat (1), Kepmendiknas nomor 087 tahun 2004 tentang
standar akreditasi sekolah, khususnya tentang manajemen berbasis sekolah. Dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (khususnya yang terkait
dengan MBS adalah Bab II, Pasal 3).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan diterapkannya Manajemen Berbasis
Sekolah adalah karena adanya berbagai program pendidikan yang pengelolaannya terlalu kaku dan
sentralistik, pendidikan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
daerah kabupaten dan kota, dan untuk dapat melaksanakan kewajiban ini, maka diperlukan strategi
pengelolaan pendidikan yang tepat dan mengedepankan kerja sama, sekolah mempunyai otonomi
atau wewenang untuk merencanakan, mengatur, mengambil keputusan, melaksanakan dan
bertanggung jawab atas segala kegiatan yang ada di sekolah dan lingkungan sekolah dengan
keterlibatan warga sekolah serta masyarakat sekitar sehingga sasaran mutu pendidikan yang telah
direncanakan dapat tercapai, pada dasarnya sekolahlah yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan,
peluang, ancaman, serta kebutuhannya termasuk dalam hal finansial, prestasi siswa, akuntabilitas,
keefektifan sekolah, keefisienan administrasi, profesionalitas, politis dan keekonomian.
B. Saran
Manajemen sekolah sangat berpengaruh terhadap keefektifan kurikulum karena dengan
pengelolaan yang baik akan menghasilkan hasil yang baik pula (mutu pendidikan akan lebih
meningkat).
PERTANYAAN DAN JAWABAN

1. Ahmad Fahmi
Esensi MBS yaitu sekolah mandiri. Tetapi tidak semua sekolah mandiri. Apakah MBS masih bisa
diterapkan mengingat banyak sekolah yang hanya copy paste saja?
Justru hal itu terjadi karena mungkin tidak diberlakukannya MBS pada sekolah itu, ataupun lemahnya
managemen dalm sekolah tersebut, sehingga lemahnya kontrol yang mengontrol kinerja guru dalam
menjalankan tugasnya, baik dari pihak kepala sekolah, komite sekolah, teman sejawatnya maupun
masyarakat dan wali murid. Dengan lemahnya kontrol pengawasan atau regulasi dari pemerintah dan
lingkungan sekolah. Jadi justru akan baik jika MBS yang ketat dan dikelola dengan baik akan
memberikan hasil managemen yang optimal dalam segala aspek.
2. Ani Yuliani
Tentang nuansa MBS salah satunya sekolah mandiri. Bentuk Kemandirian seperti apa?
Kemandirian MBS meliputi penetapan sasaran peningkatan mutu, penyusunan rencana peningkatan
mutu, pelaksanaan rencana peningkatan mutu dan melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping
itu, sekolah juga memiliki kemandirian dalam menggali partisipasi kelompok yang brekepentingan
dengan sekolah.
3. Endro Prasetyo
Bentuk partisipasi masyarakat apa saja yang bisa diberikan kepada sekolah?
Partisipasi masyarakat bukan hanya sekedar dana tetapi masyarakat juga mendukung dalam
pelaksanaan program-program yang dibuat sekolah dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada
evaluasi.
4. Didit Wisnu P
Komponen apa yang paling berpengaruh dalam pelaksanaan MBS?
Komponen yang berpengaruh dalam pelaksanaan MBS:
a. Professional kepala sekolah dan guru
b. Administrasi
c. Tokoh masyarakat
d. Wali siswa
e. Siswa
f. Dunia industri
g. alumni

DAFTAR PUSTAKA

Laeli Fajriah. 2011. Yuk, Belajar Manajemen Berbasis Sekolah. Diakses


dari http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/23/yuk-belajar-manajemen-berbasis-sekolah-1-
350888.html. pada tanggal 15 Maret 2013
Mulyasa. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Umaedi, dkk. 2008. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai