A. Kultur Sekolah
Pentingnya kultur sekolah telah diingatkan oleh Seymour Sarason seperti Goodlad (1961 : 16)
yang mengatakan bahwa sekolah-sekolah mempunyai kultur yang harus dipahami dan harus dilibatkan
jika suatu usaha mengadakan perubahan terhadapnya tidak sekedar kosmetik. Kultur sekolah akan
dapat menjelaskan bagaimana sekolah berfungsi dan seperti apakah mekanisme internal yang terjadi.
Sekolah dalam posisinya sebagai bagian dari kultur nasional diperlukan untuk menghidupkan
kultur nasional dan memadukan dengan kultur setempat. Para siswa masuk ke sekolah dengan bekal
kultur mereka miliki, sebagian sejalan dengan kultur nasional. Kondisi ini membawa akibat terjadinya
konflik kultur yang akan mempengaruhi perilaku belajar para siswa di sekolah. Setiap sekolah yang
ingin memperbaiki kinerja sekolah perlu memperhitungkan kondisi kultur yang saat ini ada di sekolah
yang bersangkutan dengan mengidentifikasi kondisi aneka kultur yang saat ini yang ada dan posisi
kultur tersebut dalam kaitannya dengan belajar.
Budaya sekolah menurut Wagner (2004) bukanlah sebuah deskripsi demografis yang
berhubungan dengan ras, sosio-ekonomik, atau factor-faktor geografi. Namun, tentang bagaimana
orang-orang memperlakukan orang lain, menilai orang lain, dan bagaimana mereka bekerja dan
bersama-sama menghasilkan kemajuan baik secara professional maupun personal. Setiap sekolah
memiliki keunikan budayanya sendiri-sendiri yang melekat dalam ritual dan tradisi sejarah dan
perlakuan sekolah.
Setiap sekolah memiliki keunikan budayanya sendiri-sendiri yang melekat dalam ritual-ritual dan
tradisi-tradisi sejarah dan pengalaman sekolah Cavanagh dan Dellar (1998) menyatakan bahwa budaya
sekolah dihasilkan dari persepsi individu dan persepsi kolektif yang ada di sekolah serta dari interaksi
antar personal-personal sekolah, orangtua, dan system pendidikan.
1. Deal dan Kennedy (1999) mendefinisikan Kultur sekolah sebagai keyakinan dan nilai-nilai milik
bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai warga suatu masyarakat.
2. Hoy, Tarter, dan Kotkamp (Roach dan Thomas, 2004) budaya sekolah didefinisikan sebagai sebagai
sebuah sistem orientasi bersama (norma-norma, nilai-nilai, dan asumsi-asumsi dasar) yang di pegang
oleh anggota sekolah, yang akan menjaga kebersamaan unit dan memberikan identitas yang berbeda.
3. Stchein (1992) kultur sekolah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan atau pengembangan
oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta
dianggap valid, dan alhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam memandang,
memikirkan dan merasakan masalah-masalah tersebut.
4. Stolp dan Smith (1995) budaya sekolah adalah pola makna yang terdiri dari norma-norma,nilai-nilai,
kepercayaan, tradisi dan mitos yang dipahami oleh anggota-anggota dalam komunitas sekolah.
5. Paterson (2002) budaya sekolah adalah kumpulan dari norma-norma, nilai-nilai dan kepercayaan,
ritual-ritual dan seremonial, symbol-simbol dan cerita-cerita yang menghiasi kepribadian.
Dari definisi tersebut dikatakan bahwa budaya sekolah memiliki unsur-unsur yang terdiri dari
asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, sikap dan norma yang dipegang oleh anggota-anggota sekolah dan
kemudian mengarah pada bagaimana mereka berperilaku serta akan menjadi karakteristik sekolah
mereka.
1. Tujuan bersama (shared goals) kata kuncinya “Kami tahu kemana kami menuju”.
2. Tanggung jawab akan kesuksesan (responsiblity for succeed) “Kami harus sukses”.
4. Perbaikan kontinu (continuous improvement) “Kami mampu mendapat yang lebih baik”.
6. Mengambil risiko (risk taking) “Kami belajar dengan mencoba yang baru”.
8. Saling menghoramati (mutual respect) “Semua orang memiliki sesuatu yang diberikan”.
10. Perayaan dan humor (celebration and humor) “Kami merasa baik dengan diri kami”.
Adapun ritual-ritual dan seremonial, simbol-simbil, cerita-cerita, dan mitos-mitos menurut Hoy
dan Miskel (2005) merupakan sekelompok simbo-simbol yang mengkomunikasikan budaya-budaya
sekolah. Tiga sistem simbol yang mengkomunikasikan budaya sekolah adalah cerita-cerita, ikon-ikon,
dan ritual.
1. Cerita
Merupakan naratif-naratif yang berdasarkan pada peristiwa-peristiwa yang benar, tetapi kombinasi
dari kebenaran dan fiksi. Mitos merupakan cerita-cerita yang mengkomunikasikan suatu kepercayaan
yang tidak disangkal dan tidak bisa ditunjukkan oleh fakta. Legenda yang berupa cerita yang
diceritakan turun temurun dan diuraikan dengan rincian-rincian fiksi.
2. Ikon-ikon
Merupakan artifak-artifak secara fisik yang digunakan untuk mengkomunikasikan budaya seperti logo,
semboyan, dan tropi.
3. Ritual-ritual
Pada dasarnya kualitas sebuah lembaga pendidikan bisa dilihat dari sejauh mana
keberhasilannya dalam meningkatkan kualitas mulai dari kultur organisasi atau institusi. Khusus dalam
lembaga pendidikan formal seperti sekolah kultur yang dibangun adalah nilai-nilai atau norma-norma
yang dianut dari generasi ke generasi.
Peran kultur di sekolah akan sangat mempengaruhi perubahan sikap maupun perilaku dari warga
sekolah. Kultur sekolah yang positif akan menciptakan suasana kondusif bagi tercapainya visi dan misi
sekolah, demikian sebaliknya kultur yang negatif akan membuat pencapaian visi dan misi sekolah
mengalami banyak kendala. Kultur sekolah yang baik misalnya kemauan menghargai hasil karya orang
lain, kesungguhan dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, motivasi untuk terus berprestasi,
komitmen serta dedikasi kepada tanggungjawab. Sedangkan kultur yang negatif misalnya kurang
menghargai hasil karya orang lain, kurang menghargai perbedaan, minimnya komitmen, dan tiadanya
motivasi berprestasi pada warga sekolah.
Berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia, juga perlu diciptakan kultur yang baik.
Pada semua tenaga pendidik dan tenaga kependidikan harus ada komunikasi dan kolaborasi yang apik
sehingga mendukung sebuah lembaga untuk terus berinovasi, untuk terus melakukan perubahan yang
positif, atau Tajdid dalam bahasa persyarikatan kita. Tenaga pendidik dan kependidikan yang memiliki
kultur yang baik akan meciptakan suasana pembelajaran kepada peserta didik yang juga
menyenangkan, dilakukan dengan kesungguhan dan sepenuh hati.
Untuk siswa perlu ditingkatkan motivasi belajar dan pentingnya kedisiplinan, kejujuran dan
motivasi berprestasi sehingga kompetisi antar siswa akan tercipta. Contoh kultur negatif yang masih
sering dilakukan siswa antara lain masih kurang diperhatikannya persoalan kedisiplinan, ini terbukti
dari angka keterlambatan yang cukup tinggi.
Budaya inovasi juga perlu ditingkatkan dalam semua elemen dan warga sekolah. Misalnya saja
guru harus membudayakan untuk terus berinovasi dalam pembuatan media pembelajaran. Metode
pembelajaran yang konvensional harus diganti dengan metode baru yang kontemporer dan
profesional tanpa meninggalkan penekanan kepada makna dan kearifan lokal.
Setiap perubahan budaya menuju perbaikan jelas akan menemui tantangan, terutama oleh
mereka yang merasa sudah mapan, status quo yang yang sudah terlanjur nyaman dengan kemapanan.
Kelompok pembaharu umumnya akan ditentang, memang karena perubahan itu akan terkesan
menakutkan bagi sebagian orang. Dalam manajemen organisasi ini sesuatu yang wajar namun tetap
perlu dikendalikan.
Solusinya, harus ada kemauan untuk membangun budaya yang kondusif bagi pembelajaran itu
dari semua pihak. Lembaga sekolah harus melakukan berbagai pendekatan agar terjadi komunikasi
yang baik antara sekolah dengan warga sekolah. Pendekatan yang dilakukan bisa massal maupun
personal. Namun agaknya kecenderungan yang lebih efektif adalah pendekatan personal. Dalam
pendekatan itu sekolah wajib menyadarkan warga sekolah akan kebutuhan terhadap perubahan itu
sendiri, dilakukan sosialisasi, pelatihan dan sebagainya. Disamping juga peraturan yang sudah dibuat
melalui konsensus itu mesti ditegakkan.
Bagi guru, agar mudah menerima perubahan maka mesti memperluas wawasan, sharing
perkembangan yang sudah terjadi di luar sana sehingga bisa berpikir lebih akomodatif terhadap
perubahan positif kebudayaan. Dan yang tidak kalah penting, kepada siswa perlu dilakukan sosialisasi
mengenai tantangan dunia ke depan sehingga mereka termotivasi untuk menyiapkan diri menghadapi
tantangan zaman.
Terhadap kultur yang dibawa oleh kecanggihan teknologi memang tidak semuanya baik. Kita
perlu menyaring, memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik. Tidak semuanya
konsekuensi teknologi itu kita biarkan, diperlukan adaptasi, bukan adopsi. Namun adanya sisi negatif
itu bukan berarti kita harus menutup diri dari teknologi, kalau kita antipati maka kita pasti semakin
tertinggal.
Menurut Senge, pemimpin sebagai guru tidak berarti seperti pakar yang memiliki otoritas
mengajar tentang padangan yang benar tentang realitas. Peran pemimpin sebagai guru adalah
membantu setiap orang dalam organisasi sekolah, yang mencakup memfasilitasi, membimbing, atau
melatih. Pemimpin sebagai guru harus memperhatikan esensi bahasa untuk membangun batas
perubahan kultur. Selanjutnya, dijelaskan bahwa pemimpin sebagai guru memerlukan perhatian
terhadap bahasa, baik verbal maupun non verbal. Dengan bahasa inilah, ia akan menjalin komunikasi
dengan berbagai pihak. Proses ini menurut Senge mencakup: (1) membuat rangka batas diskusi; (2)
memperhatikan nilai bersama dalam proses administrasi, konteks sejarah praktek tradisional, atau
perbedaan kultur; (4) membuat semua anggota sadar akan kerangka kerja yang digunakan
membimbing dialog.
DAFTAR PUSTAKA
http://artikeltugaskuliah.blogspot.com/2012/04/membangun-kultur-sekolah-dan-masyarakat.html
Salah satu persoalan penting dan genting dunia pendidikan kita adalah bagaimana meningkatkan mutu
pendidikan di sekolah. Masyarakat kini semakin sadar bahwa pendidikan adalah salah satu jembatan
untuk meraih kehidupan masa depan yang lebih baik (better education better life), pendidikan yang
bermutu menjadi kebutuhan, tuntutan dan harapan seluruh lapisan masyarakat.
Berbagai usaha meningkatkan mutu pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah, seperti pendidikan
dan pelatihan guru, pengadaan sarana dan prasarana, peningkatan kompetensi dan profesionalisme
guru melalui lesson study dan sertifikasi guru, studi banding di dalam maupun ke luar negeri,
peningkatan kesejahteraan guru melalui tunjangan sertifikasi dan sebagainya, tetapi fakta
menunjukkan bahwa disebagian besar sekolah semua usaha tersebut tidak berdampak signifikan
terhadap peningkatan mutu. Hal ini tentunya menimbulkan tanda tanya, “Sebenarnya dimana letak
masalahannya?”
Sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan erat dengan mutu
sekolah, yakni: proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur
sekolah. (Zamroni, 2013). Peningkatan mutu sekolah sebagian besar hanya menekankan pada aspek
pertama, yakni meningkatkan mutu proses belajar mengajar dan sarana/prasarana, sedikit menyentuh
aspek kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan sama sekali tidak pernah menyentuh aspek kultur
sekolah. Sudah barang tentu pilihan tersebut tidak terlalu salah. Namun, sejauh ini bukti-bukti telah
menunjukkan, bahwa sasaran peningkatan mutu pada aspek PBM dan sarana/prasarana saja tidak
cukup, faktor penentu mutu pendidikan ternyata tidak hanya dalam wujud fisik saja, tetapi perlu
dibarengi dengan pendekatan non fisik yakni dengan membangun dan mengembangkan kultur
sekolah.
(Djemari, 2004) mengemukakan bahwa Stolp&Smith (1994) mendeskripsikan kultur sekolah sebagai
pola makna yang dipancarkan secara historis yang mencakup norma, nilai, keyakinan, seremonial,
ritual, tradisi, dan mitios dalam derajat yang bervariasi yang ditunjukkan oleh warga sekolah. Senada
dengan pernyataan tersebut, Zamroni(2009) mengemukakan bahwa kultur sekolah adalah norma-
norma, nilai-nilai, keyakinan, sikap, harapan-harapan, dan tradisi yang ada di sekolah dan diwariskan
antar generasi, dipegang bersama baik oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa dan
mempengaruhi pola pikir (mindset), sikap, dan tindakan seluruh warga sebagai dasar mereka dalam
memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di sekolah.
Konsep kultur di dunia pendidikan merupakan situasi yang akan memberikan landasan dan arah untuk
berlangsungnya suatu proses pembelajaran yangefektif dan efisien. Djemari(2004) menyatakan bahwa
kultur sekolah yang positif dapat memperbaiki kinerja sekolah, membangun komitmen warga sekolah
serta membuat suasana kekeluargaan, kolaborasi, ketahanan belajar, semangat terus maju, dorongan
bekerja keras, dan tidak mudah mengeluh. School culture sangat vital perannya bagi sebuah proses
pendidikan, banyak anak yang memiliki bakat hebat, tapi karena kondisi sekolahnya tidak mendukung,
anak dimaksud tidak tumbuh optimal, bakatnya terpendam, bahkan mati. Sebaliknya,anak yang
kepintaran dan bakatnya sedang-sedang saja, tapi karena lingkungan sekolahnya bagus, anak tersebut
tumbuh sebagai anak yang mandiri dan sukses (Hidayat, 2010). Hal ini senada dengan yang
dikemukakan Zamroni (2010) bahwa: “Pembelajaran yang baik hanya dapat berlangsung pada sekolah
yang memiliki kultur positif. Kultur sekolah yang sehat akan berdampak kesuksesan siswa dan guru
dibandingkan dengan dampak bentuk reformasi pendidikan lainnya. Kultur sekolah yang sehat dan
positif berkaitan erat dengan motivasi dan prestasi siswa serta produktivitas dan kepuasan guru”.
1. Warga sekolah memiliki keyakinan hanya mereka yang belajar keras dan sungguh-sungguh
yang akan memperoleh prestasi tinggi
2. Memegang teguh bahwa prestasi dan proses mencapainya seperti dua sisi mata uang yang
tidak dapat dipisahkan
3. Menjunjung tinggi nilai-nilai religius, norma sosial, etika dan moral
4. Membangun jembatan antara visi, misi, dan aksi
5. Kepala Sekolah, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan memiliki kinerja dan etos kerja yang baik
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di sekolah
6. Kepala Sekolah, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan memiliki spirit corp dan team workyang
tinggi
7. Komitmen seluruh warga sekolah (Kepala Sekolah, Pendidik dan Tenaga kependidikan) untuk
selalu belajar (belajar sepanjang hayat)
8. Menghargai prestasi siswa
9. Memiliki simbol-simbol yang menekankan penghargaan dan sangsi, sehingga mendorong
pencapaian prestasi dan menghambat pelanggaran dan tidak memiliki prestasi
10. Lingkungan sekolah yang bersih, rapi, sejuk, dan aman
1. Siswa memiliki keyakinan belajar asal-asalan apa adanya pasti naik kelas dan lulus.
2. Siswa ingin meraih prestasi yang setinggi-tingginya dengan segala cara untuk mencapainya,
sekalipun melanggar norma dan nilai (misalnya : Nyontek, bekerja sama dalam ulangan, plagiat
dalam membuat tugas, dsb.).
3. Siswa tidak antusias menerima tugas karena hanya akan membikin mereka harus belajar lebih
banyak.
4. Siswa tidak khawatir dengan nilai rapor yang jelek dan hanya beberapa siswa yang selalu
mengerjakan PR karena mereka yakin dengan belajar sebagaimana sekarang ini saja mereka
akan naik kelas dan lulus mendapatkan ijazah. Ijazah dianggap sebagai sesuatu yang penting,
tetapi tidak diperlakukan sebagai simbol ilmu yang telah dikuasai.
5. Siswa malas belajar dikarenakan guru yang tidak menarik, tidak antusias dalam mengajar, dan
tidak menguasai materi.
6. Hasil karya siswa dan prestasi sekolah tidak dipajang sebagaimana mestinnya yaitu sebagai
suatu kebanggaan yang dapat memberikan motivasi untuk yang lainnya.
7. Guru sering melecehkan siswa dan tidak memperlakukan mereka sebagai anak yang dewasa
melainkan memperlakukan mereka sebagai anak kecil. Oleh karena itu, sebagai
balasannyasiswa tidak menghargai guru.
8. Sekolah tidak disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar dan menyalahkan siswa
atas prestasinya.
9. Kebijakan kepala sekolah bersifat pilih kasih.
10. Menghindari kolaborasi dan selalu ada pertentangan.
11. Mereka yang innovatif malah di kritik dan tidak disenangi.
12. Diktator, komentator, Agitator, Spektator.
13. Diantara warga sekolah tidak ada saling percaya dan selalu mencari kesalahan orang lain.
14. Banyak siswa dan guru yang terlambat datang ke sekolah.
15. Lingkungan sekolah yang kotor, membuang sampah tidak pada tempatnya.
Membangun dan melakukan perubahan kultur sekolah tidak bisa melalui ceramah, slogan, atau
himbauan saja (Zamroni, 2010). Perlu adanya kesungguhan dan komitmen yang kuat yang
dilaksanakan secara konsisten dengan program-program aksi yang konkrit dengan strategi
pengkondisian, pembiasaan, dan keteladanan, baik melalui pendekatan struktural maupun kultural.
Pendekatan struktural denganmembuat kesepakatan berupa regulasi (peraturan, tata tertib, dsb.)
yang mengikatsiswa, guru, dan seluruh warga sekolah lainnya, adanya program-program pembiasaan
(habituasi)yang lambat laun akan menjadi budaya/karakter, sedangkan pendekatan kultural melalui
interaksi dengan menanamkan nilai-nilai, sikap dan prilaku yang diintegrasikan pada setiap mata
pelajaran dan/ataumelalui kegiatan ekstra kurikuler,dan yang terpenting dengan cara pembudayaan
dengan keteladanan yang ditunjukkan oleh kepala sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya
di sekolah.“Setiap sekolah mempunyai kultur, tapi sekolah yang sukses hanyalah sekolah yang memiliki
kultur positif yang sejalan dengan visi dan misi pendidikan yang menjadi harapan dan cita-cita dari
seluruh warga sekolah” (Zamroni, 2010)
1. Peningkatan kinerja individu dan kelompok yang berdampak pada kesuksesan siswa dan guru
2. Peningkatan kinerja sekolah
3. Peningkatan kualitas yang berkelanjutan
4. Terjalin hubungan yang sinergi diantara warga sekolah
5. Tugas dilaksanakan dengan perasaan senang
6. Timbul iklim akademik
7. Kompetisi
8. kolaborasi
9. Interaksi menyenangkan
Kultur sekolah berkaitan erat dengan visi yang dimiliki oleh kepala sekolah tentang masa depan
sekolahnya. Kepala sekolah yang memiliki visi untuk menghadapi tantangan sekolah di masa depan
akan lebih sukses dalam membangun kultur sekolah. Untuk membangun visi sekolah ini, perlu
kolaborasi antara kepala sekolah, guru,staf administrasi danorang tua siswa. Kultur sekolah akan baik
apabila: a) kepala sekolah dapat berperan sebagai model, b) mampu membangun kerjasama tim, c)
belajar dari guru, staf, dan siswa, dan, d) harus memahami kebiasaan yang baik untuk terus
dikembangkan. Kepala sekolah dan guru harus mampu memahami lingkungan sekolah yang spesifik
tersebut. Karena, akan memberikan perspektif dan kerangka dasar untuk melihat, memahami dan
memecahkan berbagai problem yang terjadi di sekolah. Dengan dapat memahami permasalahan yang
kompleks sebagai suatu kesatuan secara mendalam, kepala sekolah dan guru akan memiliki nilai-nilai
dan sikap yang amat diperlukan dalam menjaga dan memberikan lingkungan yang kondusif bagi
berlangsungnya proses pendidikan yang bermutu. (Subang, 2/2/13).
Daftar Pustaka:
Djemari, 2004; Pengembangan Kultur Sekolah, Materi Workshop, Yogyakarta
Hidayat, Komarudin, 2010; Membangun Kultur Sekolah, http://www.uinjkt.ac.id
Zamroni, 2010, Membangun Kultur Sekolah, Materi Workshop, Jakarta
Zamroni, 2009; Panduan Teknis Pengembangan Kultur Sekolah, Depdiknas, Jakarta
Zamroni, 2013; Paradigma Pendidikan masa depan,http://www.pakguruonline.pendidikan.net
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu masalah pendidikan yang kita hadapi dewasa ini adalah rendahnya mutu pendidikan
pada setiap jenjang dan satuan pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai
usaha telah dilakukan, antara lain memlalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru,
penyediaan dan perbaikan sarana/prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah.
Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata.
Sebagaian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu yang cukup
menggembirakan. Namun, sebagian lainnya masih memprihatinkan. Dari berbagai pengamatan dan
analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan
secara merata.
B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah yang menjadi landasan MBS ?
2. Bagaimanakah konsep dasar manajemen berbasis sekolah ?
3. Bagaimanakah latar belakang adanya MBS ?
C. Tujuan
1. Mengetahui landasan-landasan MBS
2. Memahami konsep dasar manejemen berbasis sekolah.
3. Mengetahui latar belakang adanya MBS.
BAB II
PEMBAHASAN
- Organisasi hirarkis
Mengacu pada dimensi-dimensi tersebut, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam
pengelolaan lembaganya. Pengambilan keputusan akan dilakukan secara partisipatif dengan
mengikutsertakan peran masyarakat sebesar-besarnya. Selanjutnya, melalui penerapan MBS akan
nampak karakteristik lainnya dari profil sekolah mandiri, di antaranya sebagai berikut:
a. Pengelolaan sekolah akan lebih desentralistik
b. Perubahan sekolah akan lebih didorong oleh motivasi internal dari pada diatur oleh luar sekolah.
c. Regulasi pendidkan menjadi lebih sederhana.
d. Peranan para pengawas bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi, dari mengarahkan
menjadi memfasilitasi dan dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko.
e. Akan mengalami peningkatan manajemen.
f. Dalam bekerja, akan menggunakan team work.
g. Pengelolaan informasi akan lebih mengarah ke semua kelompok kepentingan sekolah.
h. Manajemen sekolah akan lebih menggunakan pemberdayaan dan struktur organisasi akan lebih
datar sehingga akan lebih sederhana dan efisien.
A. Kesimpulan
Sistem manajemen pendidikan yang sentralistis telah terbukti tidak membawa kemajuan yang
berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Bahkan dalam kasus-kasus tertehtu,
manajemen yang sentralistis telah menyebabkan terjadinya pemandulan kreatifitas pada satuan
pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Untuk mengatasi terjadinya stagnasi di bidang
pendidikan ini diperlukan adanya paradigma baru dibidang pendidikan.
Seiring dengan bergulirnya era dtonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi
paradigma pendidikan menuju ke arah desentralisasi pengelolaan pendidikan. Peluang tersebut
semakin tampak nyata setelah dikeluarkannya kebijakan mengenai otonomi pendidikan melaJui
strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS. MBS bukan sekedar mengubah
penedekatan pengelolaan sekolah dari yang sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui
MBS diyakini akan muncul kemandirian sekolah.
Melalui penerapan MBS, kepedulian masyarakat untuk ikut serta mengontrol dan menjaga
kualitas layanan pendidikan akan lebih terbuka untuk dibangkitkan. Dengan demikian kemandirian
sekolah akan diikuti oleh daya kompetisi yang tinggi akan akuntabilitas publik yang memadai.
Dasar hukum yang melandasi adanya Managemen Berbasis Sekolah meliputi landasan secara
filosofis dan landasan yuridis. Landasan filosofis MBS secara umum adalah cara hidup masyarakat.
Maksudnya jika ingin reformasi pendidikan itu sukses maka reformasi tersebut harus berakar pada
cara dan kebiasaan hidup warganya. Seandainya reformasi itu peduli terhadap cara dan kebiasaan
warganya maka reformasi tersebut akan mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan melalui proses mencerdaskan kehidupan bangsa dalam konteks idiil
negara kita merupakan tanggung jawab pemerintah, sedangkan menurut praktisnya merupakan
tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Tanggung jawab tersebut,
dilandasi oleh peran secara profesional.
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pemerintah mengupayakan keunggulan masyarakat bangsa
dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 pada bab VII tentang bagian program
pembangunan bidang pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya yang
terkait dengan MBS adalah Bab XIV, Pasal 51, Ayat (1), Kepmendiknas nomor 087 tahun 2004 tentang
standar akreditasi sekolah, khususnya tentang manajemen berbasis sekolah. Dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (khususnya yang terkait
dengan MBS adalah Bab II, Pasal 3).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan diterapkannya Manajemen Berbasis
Sekolah adalah karena adanya berbagai program pendidikan yang pengelolaannya terlalu kaku dan
sentralistik, pendidikan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
daerah kabupaten dan kota, dan untuk dapat melaksanakan kewajiban ini, maka diperlukan strategi
pengelolaan pendidikan yang tepat dan mengedepankan kerja sama, sekolah mempunyai otonomi
atau wewenang untuk merencanakan, mengatur, mengambil keputusan, melaksanakan dan
bertanggung jawab atas segala kegiatan yang ada di sekolah dan lingkungan sekolah dengan
keterlibatan warga sekolah serta masyarakat sekitar sehingga sasaran mutu pendidikan yang telah
direncanakan dapat tercapai, pada dasarnya sekolahlah yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan,
peluang, ancaman, serta kebutuhannya termasuk dalam hal finansial, prestasi siswa, akuntabilitas,
keefektifan sekolah, keefisienan administrasi, profesionalitas, politis dan keekonomian.
B. Saran
Manajemen sekolah sangat berpengaruh terhadap keefektifan kurikulum karena dengan
pengelolaan yang baik akan menghasilkan hasil yang baik pula (mutu pendidikan akan lebih
meningkat).
PERTANYAAN DAN JAWABAN
1. Ahmad Fahmi
Esensi MBS yaitu sekolah mandiri. Tetapi tidak semua sekolah mandiri. Apakah MBS masih bisa
diterapkan mengingat banyak sekolah yang hanya copy paste saja?
Justru hal itu terjadi karena mungkin tidak diberlakukannya MBS pada sekolah itu, ataupun lemahnya
managemen dalm sekolah tersebut, sehingga lemahnya kontrol yang mengontrol kinerja guru dalam
menjalankan tugasnya, baik dari pihak kepala sekolah, komite sekolah, teman sejawatnya maupun
masyarakat dan wali murid. Dengan lemahnya kontrol pengawasan atau regulasi dari pemerintah dan
lingkungan sekolah. Jadi justru akan baik jika MBS yang ketat dan dikelola dengan baik akan
memberikan hasil managemen yang optimal dalam segala aspek.
2. Ani Yuliani
Tentang nuansa MBS salah satunya sekolah mandiri. Bentuk Kemandirian seperti apa?
Kemandirian MBS meliputi penetapan sasaran peningkatan mutu, penyusunan rencana peningkatan
mutu, pelaksanaan rencana peningkatan mutu dan melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping
itu, sekolah juga memiliki kemandirian dalam menggali partisipasi kelompok yang brekepentingan
dengan sekolah.
3. Endro Prasetyo
Bentuk partisipasi masyarakat apa saja yang bisa diberikan kepada sekolah?
Partisipasi masyarakat bukan hanya sekedar dana tetapi masyarakat juga mendukung dalam
pelaksanaan program-program yang dibuat sekolah dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada
evaluasi.
4. Didit Wisnu P
Komponen apa yang paling berpengaruh dalam pelaksanaan MBS?
Komponen yang berpengaruh dalam pelaksanaan MBS:
a. Professional kepala sekolah dan guru
b. Administrasi
c. Tokoh masyarakat
d. Wali siswa
e. Siswa
f. Dunia industri
g. alumni
DAFTAR PUSTAKA