Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SHOLAT DALAM PERSFEKTIF EMPAT MADZHAB


Makalah ini di ajukan untuk memenuhi tugas Mata kuliah Fiqih dan Ushul fiqih

Dosen Pengampu : Dr. H Mahrus As’ad, M. Ag. & Ahmad Basyori, M. Ag.

Kelompok 5

Annisa Humaira 1185010014


Atep Nurul Hidayat 1185010019

Diffa Syahzanan Fauzi 1185010029

SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2018 M/1440 H
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Alloh SWT yang maha menguasai seluruh alam semesta beserta
isinya. Lagi maha berkehendak atas segala sesuatu,dan telah menjadikan manusia
sebaik-baiknya ciptaan yang diberikan akal untuk berfikir. Rasa syukur saya ucapkan
karena berkat rahmat dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Sholawat serta alam semoga selalu tercurahkan kepada Nabiyullah Muhammad


SAW kepada keluarganya,para sahabatnya,dan kepada kita selaku umatnya. Semoga
limpahan rahmat yang diberikan Alloh kepada beliau sampai kepada kita semua.

Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqih dan Ushul
Fiqih”. Namun, saya sangat menyadari dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata
sempurna dan masih banyak kekurangan baik isi maupun penulisan. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Bandung,28-September-2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii
BAB I........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.......................................................................................................................3
A. Latar belakang......................................................................................................................3
B. Rumusan masalah................................................................................................................3
C. Tujuan masalah....................................................................................................................3
D. Batasan masalah..................................................................................................................3
BAB II.......................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.........................................................................................................................4
A. Definisi Rukun dan Shalat.................................................................................................4
B. Faraidh Shalat...................................................................................................................4
C. Rukun Shalat yang Disepakati...........................................................................................5
D. Rukun Shalat yang Diperselisihkan...................................................................................9
E. Kesimpulan.....................................................................................................................13
BAB III....................................................................................................................................14
PENUTUP...............................................................................................................................14
A. KESIMPULAN
.........................................................................................................................14
B. SARAN............................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................15
SOAL ESSAY...........................................................................................................................16
SOAL PILIHAN GANDA...........................................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sholat merupakan rukun kedua dari lima rukun Islam. Umat Islam sepakat bahwa
menjalankan ibadah shalat 5 waktu (subuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan isya') adalah
kewajiban. Tapi ternyata banyak perbedaan dalam menjalankan ibadah sholat, meskipun
hukumnya sama-sama wajib. Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang menentang
kewajiban sholat wajib lima waktu atau meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam,
sekalipun ia mengucapkan syahadat, karena sholat termasuk salah satu rukun Islam.

Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan sholat
karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa sholat itu wajib. Mazab Syafi'i,
Mazab Maliki dan Mazab Hambali : Harus dibunuh, Mazab Hanafi : Ia harus ditahan selama-
lamanya, atau sampai ia sholat.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana pendapat berbagai madzhab mengenai hokum melakukan takbirotul ihram ?

2. Bagaimana pendapat berbagai madzhab mengenai hokum membaca fatihah dalam shalat ?

3. Bagaimana pendapat berbagai madzhab mengenai hokum melakukan ruku’ dalam shalat ?

4. Bagaimana pendapat berbagai madzhab mengenai hokum sujud dalam shalat ?

C. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui pendapat berbagai madzhab mengenai hokum melakukan takbirotul
ihram.

2. Untuk mengetahui pendapat berbagai madzhab mengenai membaca fatihah dalam shalat.

3. Untuk mengetahui pendapat berbagai madzhab mengenai ruku’ dalam shalat.

4. Untuk mengetahui pendapat berbagai madzhab mengenai sujud dalam shalat.

D. Batasan masalah
Makalah ini disajikan hanya untuk membahas rukun dalam shalat mengenai rukun
membaca fatihah, rukun ruku’, rukun sujud.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Rukun dan Shalat


Rukun secara bahasa yaitu salah satu unsur yang dijadikan sandaran atas suatu
perkara. Dikatakan pula bahwa rukun ialah bagian dari sesuatu itu sendiri.
Shalat secara bahasa ialah ad-du’a yang berarti doa.
Adapun sholat secara istilah yaitu suatu ibadah yang terdiri dari berbagai gerakan yang
diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.

B. Faraidh Shalat
Fardhu ialah segala bentuk perbuatan yang mendapat pahala jika dikerjakan,
mendapat iqab atau balasan apabila ditinggalkan terutama syiar yang diperintahkan oleh
Syari’ dengan tegas.
Fardhu dalam shalat dapat diartikan sebagai rukun. Sebagai diketahui bahwa farraidh
yaitu bagian-bagian yang jika hilang darinya menyebabkan tidak ada pangkal atau kepala dari
shalat tersebut.
Para imam madzhab memiliki devinisi tersendiri mengenai rukun:
- Madzhab Hanafiyyah mengatakan, rukun terbagi menjadi 2: rukun aslidan rukun zaid
(tambahan). Rukun asli yaitu rukun yang dapat menggugurkan kewajiban seseorang
ketika dalam kondisi lemah. Seseorang tadi tidak diharuskan untuk mengganti dengan
perbuatan lain atas hilangnya kewajiban tersebut. Sedang rukun tambahan yaitu rukun
yang bisa jadi gugur dalam beberapa keadaan, walaupun seorang tersebut mampu
untuk melakukanya seperti membaca surat, sehingga dalam madzhab mereka
ma’mum hanya mengikuti bcaan imam.
Syarat sholat yang disepakati dalam madzhab mereka ada empat baik dari rukun Ashli
maupun tambahan. Yang termasuk rukun asli yaitu qiyam, ruku’ dan sujud. Sedang
rukun tambahan yaitu qiraah. Empat hal inilah yang dijadikan hakikat shalat dalam
madzhab mereka, sehingga jika salah seorang meninggalkan salah satu dari keempat
hal disini maka ia tidak dapat dikatakan sebagai shalat. Pada permasalahan sholat
terdapat berbagai hal yang ia bukan hakikat sholat akan tetapi berpengaruh pada
keabsahan nilai sholat, diantara hal tersebut terbagi menjadi dua. Pertama, yang keluar

4
dari mahiyah atau gerakan dhohir shalat yaitu suci dari hadats dan khabats, menutup
aurat, menghadap kiblat, masuk waktu sholat, niat, takbir ihram,semua ini masuk pada
kategori syarat sah sholat.
Yang kedua yaitu, hal-hal yang ada dalam rangkaian sholat akan tetapi tidak termasuk
hakikat sholat itu sendiri yaitu, qiraah ketika pada posisi qiyam, ruku’, sujud dan
lainya.
- Malikiyyah berpendapat bahwa faraidh sholat ada 15 diantaranya, niat, takbir ihram,
qiyam pada sholat fardhu, membaca Al-Fatihah, berdiri saat membaca Al-fatihah,
ruku’, I’tidal, sujud, duduk dianatara 2 sujud, salam, duduk tasyahud, salam,
thuma’ninah, tartib atau urut, niat ikut imam jika posisinya sebagai ma’mum.
Kesamaan fardhu shalat madzhab Maliki dan Hanafi terletak pada 4 hal, yaitu: berdiri
bagi yang mampu, ruku’, sujud, dan qira’ah. Pada poin qiraah terjadi ikhtilaf antara
madzhab Hanafi dan selainya. Madzhab Hanafi mengatakan bahwa yang diwajibkan
dibaca ketika sholat ialah apa saja dari Al-qur’an tanpa menentukan Al-fatihah,
sedang madzhab Maliki didukung oleh madzhab lainya mengatakan bahwa qiraah
yang diwajibkan untuk dibaca ketika sholat adalah surat Al-fatihah.
- Syafiiyah mengatakan bahwa fardhu sholat terdapat 13 fardhu. Lima fardhu qauly atau
yang berupa ucapan, dan delapan fardhu fi’li atau yang berupa gerakan. 5 qauli
tersebut ialah takbir ihram, membaca Al-Fatihah, tasyahud akhir, shalawat atas nabi,
salam pertama. Fardhu fi’liyahnya yaitu niat, qiyam bagi yang mampu, ruku’, I’tidal,
sujud pertama dan kedua, duduk diantara 2 sujud, duduk akhir atau tasayahud akhir,
tartib. Adapun thuma’ninah masuk pada syarat sempurnanya ruku’, I’tidal, sujud,
duduk diantara 2 sujud, dan duduk tasyahud harus dengan thuma’ninah walaupun
tidak termasuk rukun tambahan.
- Hanabilah mengatakan bahwa faraidh shalat ada 14 yaitu, qiyam, takbir ihram,
membaca Al-fatiha, ruku’ dan bangkit darinya, I’tidal, sujud dan bangkit darinya,
duduk diantara 2 sujud, tasyahud akhir, duduk pada tasyahud akhir dan 2 salam,
thuma’ninah pada setiap rukun, tartib pada bagian yang fardhu, dan 2 salam.

C. Rukun Shalat yang Disepakati


1. Takbiratul Ihram
Takbir pada permulaan sholat disebut sebagai takbiratul ihram dikarenakan dengan
takbir tersebut seseorang telah haram baginya melakukan segala sesuatu yang pada

5
sebelumnya dihalalkan sebab dapat merusak bahkan membatalkan shalat, seperti makan,
minum, berbicara dan lain sebagainya.
Takbiratul ihram dimulai setelah seseorang meniatkan diri dengan mantap hendak
melaksanakan shalat. Shalat seseorang tidak sah dan tidak dianggap adanya jika tidak
melafadzkan takbir tersebut bagi yang mampu. Hal ini berdasar sabda nabi SAW., “((‫صلوا كما‬
‫))رأيتموني أصلي‬, yang artinya “ shalatlah kalian sebagaiamana kalian melihatku shalat”.
Rasululloh SAW., juga bersabda (( ((‫ليم‬OO‫ا التس‬OO‫ وتحليلُه‬،‫ير‬OO‫ا التكب‬OO‫ وتحري ُمه‬،‫و ُء‬OO‫الة الوض‬OO‫ ِمفتا ُح الص‬  yang
artinya, “ kunci shalat adalah wudhu, pengharamnya adalah takbir, penghalalnya adalah
salam”.
Dalam hadits lain juga disebutkan, bahwa suatu hari seusai shalat ada seorang lelaki
yang datang pada nabi SAW., lalu mengucapkan salam pada nabi, kemudian nabi SAW.,
membalasnya dan bersabda, “ kembali dan ulangilah shalatmu! Sungguh engkau sama sekali
belum shalat”. Maka kemudian, si lelaki tersebut kembali dan mengulang shalatnya. Nabi
SAW., mengatakan hal yang serupa hingga tiga kali, sehingga silaelakipun berkata, “ Demi
yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak ada yang lebih baik aku lakukan selain ini, maka
ajarilah aku!”. Rasulpun bersabda, “ jika kau hendak mendirikan shalat maka
bertakbirlah…..”.
Apakah diperbolehkan melafadzkan lafadz yang lain selain Allohu Akbar yang masih
menunjukan hal tersebut?
Pada permasalahan ini terdapat ikhtilaf dikalangan fuqaha.
- Hanafiyyah menyebutkan bahwa selama masih mengandung maksud yang sama yaitu
ta’dhim lillah maka diperbolehkan, seperti kalimat tahmid, tasbih, tahlil maupun dzikir
yang mengandung makna sifat serupa seperti Ar-Rahmanu A’dham dan lainya.
- Abu Yusuf, ulama Hanafiyyah berbeda pendapat. Ia mengatakan bahwa tidak
diperbolehkan secara syar’I kecuali dengan lafadz pecahan takbir sendiri. Lafadz pecahan
tersebut ialah  ‫ير‬O‫ هللا الكب‬- ‫بر‬O‫ هللا األك‬- ‫هللا أكبر‬.Hal ini ditujukan bagi seorang yang tak dapat
membaca takbir.
- Syafi’iyyah berpendapat bahwa diperbolehkan dengan menggunakan lafadz - ‫هللا األكبر‬
- Adapun Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengganti
lafadz takbir ‫بر‬OO‫هللا أك‬ dengan selainya, sebab ia adalah ibadah. Ibadah itu bertawaqquf
dengan sima’ dan tidak memperbolehkan adanya qiyas.
2. Berdiri bagi yang mapu
Berdiri ketika shalat merupakan hal yang wajib. Hal ini ditetapkan berdasarkan pada
firman Alloh ta’ala ﴿ َ‫انِتِين‬OOَ‫وا هَّلِل ِ ق‬OO‫﴾ َوقُو ُم‬. Yang dimaksud qumu adalah berdiri ketika shalat. 

6
Dalam As-Sunnah disebutkan yang diriwayatkan dari Imran bin Hushain ia berkata, kala itu
aku sedang sakit ambeian. Kemudian aku menanyakan hal tersebut pada Rasul SAW., dan
beliau bersabda
“‫ب‬
ٍ ‫تطع فعلى َجن‬O‫إن لم تس‬O‫ ف‬،‫دًا‬O‫تطع فقاع‬O‫إن لم تس‬O‫ ف‬،‫ا‬O‫ ِّل قائ ًم‬O‫ ”ص‬yang artinya, “ Shalatlah kalian dengan
berdiri….”. Ijma’ juga mengatakan hal yang sama ketika shalat fardhu.
Ukuran qiyamnya seseorang yaitu dengan tegaknya tulang punggung mereka tanpa
tegaknya kepala, sebab kepala disunnahkan untuk ditundukkan ketika shalat. Jika seseorang
berdiri dengan posisi miring atau condong kesalah satu bagian kanan atau kiri yang tidak
dapat disebutkan dalam kategori berdiri lurus maka tidak sah qiyam mereka sebab
meninggalkan hal yang wajib.
3. Membaca surat Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah merupakan rukun dari berbagai rukun shalat. Shalat salah
seseorang tidak sah tanpa membacanya. Hal ini sudah menjadi kesepakatan diantara ulama
dan tidak ada seorangpun yang menyelisihinya. Tidak dibedakan antara shalat fardhu maupun
nafl. Hal ini didasari dengan sabda Rasul SAW dalam hadits yang menceritakan peristiwa
orang yang jelek shalatnya setelah beliau memerintahkanya untuk takbiratul ihram beliau
َّ ‫))ثم اقرأ ما‬ yang artinya ,” kemudian bacalah apa yag mudah
bersabda, “((‫رآن‬O‫ك من الق‬O‫ر مع‬O‫تيس‬
bagimu dari bagian Al-Qur’an”.
Yang menjadi khilaf dikalangan fuqaha yaitu seputar apa yang dibaca dalam mahiyah
shalat fardhu dan seputar tempat bacaan ang ajib dibaca tersebut.
- Mahiyah Shalat, Jumhur fuqaha dari kalangan madzhab Malikiyyah, Syafiiyyah dan
Hanabilah pada riwayat masyhur dikalangan mereka bahwa membaca Al-Fatihah
merupakan rukun dalam shalat, ia merupakan kewajiban yang harus ditunaikan, shalat
seseorang tidak sah tanpanya. Hal ini berdasarkan dalil dari hadits yang diriwayatkan
oleh Ubadah bin Shamit ra., bahwa nabi SAW., bersabda, “ ‫ ِة‬O‫رأ بفاتح‬OO‫الةَ لمن لم يق‬OO‫ال ص‬
‫ ”الكتاب‬yang artinya, “ tidak ada shalat bagi orang yang tidakmembaca fatihah kitab
(surat Al-Fatihah)”. Begitu juga tersebut dalam riwayat lain bahwa Rasululloh SAW
bersabda “((‫داج‬OO‫ فهي ِخ‬،‫رآن‬O‫ ” َمن صلَّى صالة لم يقرأ فيها بأ ِّم الق‬Barang siapa yang shalat tidak
membaca surat Al-Fatihah maka sia-sia. Khidaj disini yaitu kurang sempurna, batal
bahkan rusak.
- Hanafiyyah berpendapat bahwa yang diwajibkan ialah surat apa saja yang ada dalam
Al-qur’an, tanpa mensyaratkan Al-Fatihah. Kalaupun Al-Fatihah wajib menurut
mereka akan tetapi, mereka tidak menjadikanya sebagai rukun yang konsekuensi dari
hal tersebut ialah diperbolehkanya shalat tanpanya hanya saja mendapat dosa. Sebab,

7
wajib dalam madzhab Hanafi berbeda dengan fardhu. Bacaan Al-Fatihah bukan
termasuk rukun atau fardhunya sholat akan tetapi masuk pada kategori yang
diwajibkan dalam shalat, sebab madzhab Hanafi membedakan antara rukun atau
fardhiyyah dengan hal yang wajib.
Dalil yang melandasi pendapat mereka yaitu ﴿ ُ‫﴾ فَا ْق َرؤُوا َما تَيَ َّس َر ِم ْنه‬ ayat dari surat Al-
Mudatsir yangmereka berpendapat mengenai wajhul istidlalnya yaitu bahwa yang
diwajibkan adalah muthlaq qira’ah apa yang ada dalam Al-Qur’an tanpa ada
ketentuan. Adapun pendapat yang hanya menentukan bacaan Al-Fatihah mereka telah
menaskh kemutlakan ayat tersebut dengan khabar mutawatir, sedang naskh kitab tidak
diperbolehkan menurut Syafiiyah.
Pendapat Hanafiyyah menuai kritik dari jumhur, sebab penentuan Al-Fatihah
dikuatkan dengan bayak hadits yang diriwayatkan dari berbagai jalur.
Jadi, pendapat yang benar adalah pendapat yang dipegangi oleh jumhur. Pada hadits
yang mencantumkan sabda Rasul pada orang yang masih salah dalam shalatnya
memang tidak disebutkan ketentuan bacaannya adalah Al-Fatihah sebab itulah jika
ada seseorang yang tidak dapat membaca Al-Fatihah maka dapat diganti bacaan lain
jika tidak memungkinkan untuk mempelajarinya terlebih dahulu. Jika seoang tersebut
tidak memiliki sesuatupun dari hafalan Al-qur’an maka dapat digantikan dengan
membaca ‫وَّة إال بالل‬OOO‫ول وال ق‬OOO‫ وال ح‬،‫بر‬OOO‫ وهللا أك‬،‫ه إال هللا‬OOO‫ وال إل‬،‫د هلل‬OOO‫ والحم‬،‫بحان هللا‬OOO‫س‬. Hal ini
merupakan bentuk rukhsah, sebagaimana disebutkan dalam Nailul Authar bahwa jika
salah seorang tidak mampu membaca Al-fatihah berarti ia tidak mendapat taklif sebab
ketidak mapuan tersebut, sebab kempuan seseorang untuk melaksanakan kewajiban
syariat merupakan syarat adanya taklif. Dalam masalah ini, maka tidak mengapa
mengganti bacaan Al-Fatihah dengan bacaan lain.
- Tempat atau waktu  membaca Al-Fatihah. Membaca Al-Fatihah diwajibkan disetiap
rekaat menurut jumhur seperti Malik, Imam Asy-Syafii, Ahmad dalam riwayat shahih
madzhabnya dan lainya. Dalil yang mereka pegangi yaitu hadits yang diriwayatkan
oleh Qatadah dalam shahih Muslim bahwa nabi SAW., membaca surat Al-Fatihah dan
surat lainya pada 2 rekaat pertama, dan hanya membaca Al-Fatihah pada 2 rekaat
terakhir. Pada shahih tersebut juga disebutkan bahwa ketika shalat diwajibkan
membaca surat Al-Fatihah disetiap rekaatnya.
Ulama lain seperti dhahiry berpendapat bahwa wajibnya membaca Al-fatihah hanya
pada rekaat pertama saja, sebab hal itu telah memenuhi sabda Rasul yang berbunyi, “
tidak sah shalat salah seorang dari kalian tanpa membaca ummul kitab”. 

8
Hukum membaca Al-Fatihah tanpa Bahasa arab
Shalat dengan bacaan Al-fatihah tanpa Bahasa Arab tidak diperbolehkan menurut
madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Imam Abu yusuf juga berpendapat demikian jika orang
tersebut tidak dapat melafadzkanya dengan Bahasa Arab. Jika seseorang tersebut tidak dapat
melafadzkanya dengan Bahasa Arab maka ia dapat mendengarkan bacaan orang lain,
membacanya, atau diganti dengan tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan dzikir lainya. Hal ini pun
dilakukan jika waktu shalat sudah benar-benar sempit sehingga tidak ada waktu untuk
menghafalnya terlebih dahulu. Jika pada nyatanya seseorang memiliki waktu untuk
mengahafal terlebih dahulu maka ia wajib menghafalnya untuk shalat.
Menurut imam Abu Hanifah sah sholat seseorang yang membaca Al-Fatihah tanpa
Bahasa Arab, seperti Bahasa Persia atau lainya. Hal tersebut berlaku bagi orang yang dapat
membahasakan Arab atau tidak.

D. Rukun Shalat yang Diperselisihkan


1. Niat  yang berbarengan dengan takbiratul ihram
Menjadikan niat sebagai syarat  sah shalat sudah menjadi sebuah kesepakatan
dikalangan ulama. Hal ini dikarenakan bahwa shalat merupakan ra’sun (puncak, kepala) dari
berbagai bentuk ibadah yang telah disyariatkan oleh Alloh dengan maslahat yang tak dapat
kita lihat dengan mata telanjang.
Adapun dalam menentukan apakah niat masuk dalam kategori rukun atau syarat
ulama berbeda pendapat.
Ø Menurut Madzhab Hanafi
Niat dalam shalat termasuk pada kategori syarat. Mereka mengatakan bahwa rukun
merupakan gerakan atau amalan dhahir, sedangkan amalan batin termasuk kategori syarat.
Ø Menurut Madzhab Syafi’i:
Niat dalam shalat menurut madzhab Syafi’I masuk dalam kategori rukun. Imam Nawawi
dalam kitabnya Syarh al-Muhadzab menyebutkan bahwa niat merupakan suatu hal wajib
bahkan kewajiban tersebut mencapai derajat fardhu. Niat merupakan rukun dari berbagai
rukun shalat. Pendapat ini dilandasi dengan hadits nabi yang berbunyi, “  ،‫إنما األعمال بالنيات‬
‫ لك َل امرئ ما نوى‬ ‫إنما‬ ‫”و‬ yang artinya sesungguhnya segala bentuk perbuatan itu harus dengan
niat, dan setiap orang itu dinilai berdasarkan pada niatnya.
Beliau menambahkan bahwa niat ialah bentuk qurbah (kedekatan pada Alloh) yang bersifat
mahdhah sehingga jika amalan dikerjakan tanpanya menjadi tidak sah.

9
Ibnu Mundzir menyebutkan dalam kitabnya bahwa ulama telah berijma’ bahwa shalat
seseorang tidak sah kecuali harus disertai niat.
Dalam riwayat lain madzhab Syafi’I menyebutkan bahwa niat dalam shalat merupakan syarat
bukan rukun sebagaimana kedudukan wudhu dan menghadap kiblat. Ulama yang melazimi
pendapat ini ialah imam Abu Thayib, Ibnu Shibagh, dan juga merupakan pendapat yang
dpilih oleh imam Al-ghazali.
Hukum melafadzkan niat menurut madzhab Syafi’i.
Menurut sebagian ulama madzhab mengatakan bahwa niatshalat harus dalam hatidan
dilafadzkan pada lisan.
Waktu pelaksanaan niat, Imam asy-Syafi’I menyebutkan dalam kitabnya Al-Mukhtashar
bahwa jika salah seorang dari kalian telah ihram (takbir) niatlah pada waktu itu, sebab
shalatnya terletak pada saat takbir bukan sebelum atau sesudahnya. Niat dilaksanakan
beriringan dengan pengucapan takbir. Dalam hal ini ulama Syafiiyyah mensyaratkan hal
tersebut sebagai berikut:
Ø Niat dilakukan dalam hati, dengan melakukan takbir pula pada saat yang sama.
Ø Tidak wajib dilakukan bersamaan dengan takbir. Hal ini dikarenakan supaya pada saat
takbir niat yang kita kerjakan sudah sempurna. Pendapat ini terbagi menjadi dua.
a. Pendapat Ibnu Manshur bin Mihran Syeikh Abu Bakr al-Awdani, beliau mewajibkan
supaya lebih mendahulukan niat dari awal takbir dengan suatu hal yang ringan supaya
awal niat tidak tertinggal dari awal takbir.
b. Yang dimaksud dengan berdekatan yaitu pada saat takbir niat selalu mengiringinya
hingga akhir takbir.
Sebagai jalan tengah, Imam al-Haramain  dan imam al-Ghazali menyebutkan dalam
kitabnya al-Basithbahwa dalam masalah ini kita tidak diwajibkan untuk memperdalam
bagaimana muqaranah yang dimaksud. Akan tetapi kita cukup mengikuti urf muqaranah yang
ada dan yang umum dipraktekan, dengan syarat kita dapat menghadirkan niat kita dan tidak
melalaikanya dari shalat.
Menta’yin (menentukan) shalat. Imam Nawawi berpendapat bahwa disyaratkan menentukan
shalat dalam niat hanya terjadi pada shalat fardhu. Kaifiyahnya yaitu seseorang menentukan
shalat yang akan ia kerjakan apakah shalat dhuhur atau asar, wajaib atau nafl. Hanya saja
pada ketentuan wajib atau nafl ulama berbeda pendapat. Abu Ishaq berpendapat wajib guna
membedakan antara dhuhurnya anak kecil atau orang deawasa. Dhuhurnya shalat munfaridh
atau jama’ah.

10
Adapun menurut Abu Ula dari Abu Hurairah: Ia cukup meniatkan dhuhur atau asar saja,
sebab keduanya jelas shalat wajib.
Kesimpulanya, jika salah seorang hendak shalat fardhu maka hendaknya ia meniatkan 2 hal
terpenting:
a. Niat perbuatanya, maksudnya yaitu niat akan shalat.
b. Menentukan jenis shalatnya, maksudnya yaitu shalat dhuhur atau asar.
Begitu juga dalam shalat nafilah. Apabila yang dikerjakan adalah sholat nafl ratibah ataunafl
mutlaq  seperti shalat witir, sunnah fajar maka tidak sah jika tidak ditentukan jenisnya.
Sedang pada shalat nafl ghair ratibah cukup dengan niat shalat saja.
Ø Menurut Madzhab Hanbali
Tidak ada perbedaan dikalangan ulama mengenai wajibnya niat dalam shalat dan shalat tidak
sah tanpa niat. Apabila shalat yang dilakukan adalah shalat wajib, maka niat untuk shalat
yang wajib tersebut harus jelas, Dhuhur, Asar atau yang lainya. Dengan demikian seseorang
dalam kaitanya dengan shalat wajib membutuhkan niat untuk 2 hal, yaitu melakukan dan
menentukan.
2. I’tidal
I’tidal merupakan gerakan shalat berupa tegaknya tubuh  yang dilakukan usai
melaksanakan ruku’. Para ulama berbeda pendapat apakah I’tidal termasuk dalam rukun atau
hanya sebagai gerakan yang wajib dilakukan saja sehingga yang meninggalkanya berdosa
tanpa ada batal dalam shalat atau ia adalah rukun sehingga sholat seseorang tidak sah tanpa
salah satu rukunya dan jika terlupa mengharuskan adanya sujud sahwi.
Menurut madzhab Hanafy I’tidal merupakan bagian sholat dalam kategori hal yang
wajib dikerjakan dalam shalat bukan rukun shalat.
Adapun pada madzhab Syafi’I I’tidal merupakan rukun shalat. Pendapat imam Asy-
Syafi’i juga diamini oleh imam Malik dan Ahmad dalam madzhabnya sebagaimana yang
tertera dalam kitab Al-Mughni bahwa i’tidal merupakan sebuah rukun dengan dalil sabda
Rasululloh pada orang yang masih keliru dalam shalatnya. Dalil adanya I’tidal yaitu hadits
yang diriwayatkan dari Aisyah ra., ketika  dirinya menyifati sholat nabi ia berkata, “
Rasul SAW., ketika telah mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau tidak bsersujud kecuali
setelah tubuhnya benar-benar dalam posisi berdiri yang seimbang”. Alasan lain yang dilazimi
pendapat ini yaitu bahwa rasululloh SAW., selalu beri’tidal ketika sholat dan kita sebagai
umatnya wajib mengikuti gerakan Rasululloh sebagaimana termaktub dalam sebuah hadits, “
sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku sholat”.

11
Madzhab Syafii mensyaratkan sahnya I’tidal dengan hal-hal berikut:
- Seorang yang shalat tidak meniatkan I’tidal tersebut kecuali untuk ibadah.
- Tenang ketika posisi I’tidal dengan kadar waktu membaca tasbih
- Tidak memperpanjang I’tidalnya sebagaimana lamanya berdiri ketika membaca Al-
fatihah. I’tidal merupakan rukun yang rentang waktunya pendek sehingga tidak
diperbolehkan memperpanjangnya.
3. Duduk diantara dua sujud
Duduk dianatara dua sujud merupakan rangkaian dari berbagai rukun sholat menurut
madzhab Syafi’i. Pendapat ini didasari dengan sabda nabi kepada seseorang yang masih
keliru dalam sholatnya, beliau bersabda, “ kemudian bangkitlah sampai kau benar-benar
pada kondisi duduk yang seimbang”. Dalam sebuah riwayat juga disebutkan, “‫َط َمئِ َّن َجالِسًا‬ ْ ‫َحتّى ت‬
‫ك ُكلِهَا‬ َ ‫”ثُ َّم ا ْف َعلْ َذالِكَ فِي‬. Yang artinya “sampai kamu benar-benar tenang dalam posisi duduk,
َ ِ‫صاَل ت‬
dan lakukanlah hal seperti itu pada setiap sholatmu”. Pendapat seperti ini juga diamini oleh
madzhab Hanbali, dan Maliki. Adapun madzhab Hanafy mengatakan bahwa duduk diantara
dua sujud merupakan suatu yang wajib, disayariatkan untuk memisahkan antara 2 sujud
tersebut. Mereka tidak menganggapnya sebagai suatu yang farhu atau sebagai rukun
sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya mengenai perbedaan farhu atau rukun dengan
wajib pada madzhab Hanafy.
4. Membaca tasyahud akhir
Tasyahud akhir merupakan suatu yang ma’lum bagi kita semua. Dalam tasyahud akhir
terdapat sebuah bacaan yang kita kenal sebagai bacaan tasyahud atau lebih masyhur dengan
nama tahiyyat. Tahiyyat yang masyhur digunakan oleh Jumhur yaitu “،‫التحيات هلل الصلوات والطيبة‬
ً‫دا‬O‫وأن محم‬
ّ ‫ه إالّ هللا‬O‫هد أن ال إل‬O‫ أش‬، ‫الحين‬O‫ا وعلى عبادهللا الص‬O‫الم علين‬O‫الس‬،‫ه‬O‫ة هللا وبركات‬O‫بي ورحم‬O‫ا الن‬O‫ك أيه‬O‫الم علي‬O‫الس‬
‫رسوالهلل‬ "
5. Membaca shalawat nabi
6. Salam
7. Tertib
8. Tuma’ninah

12
E. Kesimpulan
Berikut ini kami lampiran tabel perbandingan dari ke-4 mazhab tentang rukun shalat.
Mazhab Hanafi Malik Syafi`i Ahmad
1. Niat X rukun rukun x
2. Takbiratul Ihram rukun rukun rukun rukun
3. Berdiri rukun rukun rukun rukun
4. Membaca rukun rukun rukun rukun
5. Ruku` rukun rukun rukun rukun
6. I`tidal/ Bangun Dari Ruku` X rukun rukun rukun
7. Sujud rukun rukun rukun rukun
8. Duduk Antara Dua Sujud X rukun rukun rukun
9. Duduk Tasyahhud Akhir rukun rukun rukun rukun
10. Membaca Tasyahhud Akhir X rukun rukun rukun
11. Membaca Shalawat Atas Nabi X rukun rukun rukun
12. Salam X rukun rukun rukun
13. Tartib X rukun rukun rukun
14. Tuma`ninah X rukun X rukun

13
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Telah kami uraiakan terkait definisi shalat, syarat, rukun, dan kaifiyah shalat dalam
pandangan madzahib. Sedikit kami dapat memberi kesimpulan bahwa shalat merupakan
ibadah yang sangat urgen, yang harus dilaksanakan bagi umat Islam dalam keadaan apapun.
Melaksanakan syarat dan rukun shalat adalah kunci keterimanya ibadah kita secara
formalistik, namun kita tidak boleh meninggalkan aspek substansi dan esensi dari
diwajibkannya shalat bagi kita.

Shalat yang dimulai dari takbiratul ihram sampai dengan salam sebagaimana telah
penulis uraikan dalam pembahasan, hampir dari seluruh rukun-rukun tersebut terdapat
perbedaan pendapat dalam penafsiran ulama madzhab. Baik dari eksistensi keberadaan rukun
itu sendiri, semisal i’tidal yang mana ulama Hanafi menghukumi tidak wajib, sedangkan
ulama yang lain mewajibkannya, maupun dari segi lafadz bacaan dalam aplikasi rukun
tersebut.

Begitu halnya rukun, syarat wajib dan syarat sah shalat juga terdapat pemahan yang
menghasilkan produk fiqih yang beda pula. Disini menurut penulis syarat wajib shalat adalah
segala sesuatu yang menjadikan seseorang tersebut diwajibkan untuk menunaikan shalat,
seperti Islam, baligh, berakal. Ketika seseorang tidak beragama islam, tidak baigh dan berakal
maka orang itu tidak ada kewajiban untuk shalat. Sedangkan syarat sah shalat adalah sesuatu
yang menjadikan shalat yang dikerjakannya tersebut menjadi sah, semisal menghadap kiblat,
mengetahui masuknya waktu shalat, menutup aurat, dan lain sebagainya.

B. SARAN
Demikianlah makalah yang dapat kami tulis dan kami paparkan kepada para pembaca
sekalian. Kami sadar dalam makalah ini tentu masih banyak kesalahan dan masih jauh dari
kesempurnaan dalam penulisan dan substansi pembahasan. Untuk itu, kami sangat
membutuhkan dan mengharapkan kritik saran dari pembaca sekalian. Kami ucapkan
terimakasih atas kesediaan pembaca untuk membaca makalah kami, mohon maaf atas segala
kekurangan dan kekhilafan.

14
DAFTAR PUSTAKA

  Taqiyuddin Yahya bin Syaraf An; Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Dar Kutub
Ilmiyyah: Lebanon, 2011).jild. 4, hlm. 256
  Dalam kitab Syarh Muhadzab disebutkan tanpa kata (‫)إنما‬
  Bukhori
  Qurbah Mahdhah yaitu shalat seseorang tidak sah tanpa adanya.
  Taqiyuddin Yahya bin Syaraf An; Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Dar Kutub
Ilmiyyah: Lebanon, 2011).jild. 4, hlm. 258
  Ibid, hlm. 260
o Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cet. Pertama, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),
terjemah oleh. Masturi Irham dan Muhammad Abidun Zuhri, jild. 2, hlm.13
  Musthafa Khin dan Mushtafa Bugha, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Imam
Syafi’I, cet. Keempat, (Lebanon: Dar Al-Qalam, 1992 M),  jild. 1, hlm. 134
Abi Thahir Aba Ibrahim bin ‘Abdushamad bin Basyir,  At-Tanbih ‘ala Mabadi’ At-
Taujih, cet. pertama, (Lebanon: Dar Ibnu Hazm, 2007 M ), jild. 1, Hlm. 415
o  Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jild. 2, hlm. 185
 Muslim, no. 498
o  Musthafa Khin dan Mushtafa Bugha, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab
Imam Syafi’I, jild. 1, hlm. 134-135

15
SOAL ESSAY

1. Bagaimana perintah riwayat sholat?

-perintah untuk melakukan shalat terdapat dalam al-quran antara lain surah al-baqoroh:43
yang artinya

"dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat"

al-quran juga menyebutkan sholat 5 waktu , dalam dalil

"dirikanlah sholat sejak sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikanlah juga
sholat fajar , eungguhnya sholat fajar diaksikan oleh malaikat "

( al-isra : 78)

2. Apa yang harus makmum lakukan jika imam sudah menyelesaikan bacaan nya dan
melanjutkan ke gerakan berikutnya sedangkan makmum masih belum menyeleaikan
bacaannya?

-menikuti imam segera setelah gerakan imam , namun disarankan agar imam tidak terlalu
cepat dan tidak terlalu lambat agar dapat diikuti oleh makmum yang bermacam-macam
kemampuan bacaannya.

3. Sah atau tidak sholatnya orang yang bertato?

- tato harus dihilangkan . namun demikian, agama islam tidak membebani seseorang
melebihi kemampuannya sehingga kalau bekas tato itu telah hilang diusahakan untuk dihapus
tapi tidak berhasil , atau karena yang berangkutan tidak mampu memikul biaya
menghapusnya , maka insha allah, tuhan akan mengampuninya selama yang berangkutan
tekah menyadari kealahannya , dan bertekad tidak mengulanginya lagi , dam memohon
ampunan-nya.halatnya pun insha allah akan diterima.

4. Apa hukum orang yang meninggalkan sholat menurut 4 madhzab?

-syafi’i, maliki dan hambali = harus dibunuh

- hanafi = ia harus ditahan selama-lamanya atau ampai ia sholat

5. Jelaskan perbedaan para ulama dalam memaparkan takhbiratul ihram!

- maliki dan hambali = allahu akbar tidak boleh kata-kata lainnya

- syafai = boleh mennganti allahu akbar dengan allahu al akbar ditambah alif lam pada kata
"akbar"

- hanafi = boleh dengan kata-kata lain yang sesuai artinya dengan kata tersebut . contohnya :
allahu al-ajal dan allahu al-adzam

16
6 . Apakah shalat duha harus membaca as-syam dan ad-duha ?

salat duha boleh membaca surat apa aja yang dikuasai , tidak harus as-syams dan ad-duha

7. Pentingkah meluruskan dan merapatkan saf , dan apa hukumnya bagi yang melalaikan ?

= melurukan dan merapatkan barisan (saf) shalat merupakan anjuran nabi saw untuk
menyempurkan sholat berjamaah . shalat berjamaah tetap sah meskipun barisan kurang lurus
atau kurang rapat , tapi ia menadi kurang sempurna dalam arti nilainya berkurang.

8. Sebutkan macam-macam sholat sunnah ?

- sholat sunnah tahajud , duha , istikhoroh , tasbih , taubat , hajat . safar , rawatib , istiqho
,witir , tahiyatul masjid , terawih , hari raya (idul fitri dan idul adha ) , dan dua gerhana .

9. Surat apa yang di baca setelah bacaan alfatihah saat sholat idul adha dan idul fitri?

- al- a'la dan al-ghasiyah

10. Sebutkan 4 madhzab yang ter mashyur di indonesia ?

- imam syafi'i,imam hanafi,imam hambali,imam maliki

17
SOAL PILIHAN GANDA

1. Apa itu makmum masbuk?


a. Makmum yang terlambat ikut sholat berjama’ah
b. Makmum yang ikut sholat berjama’ah
c. Makmum yang mendahului imam
Jawaban nya : a

2. Apakah boleh makmum mendahului imam ?


a. Makmum harus berbarengan dengan imam
b. Makmum boleh mendahului imam
c. Makmum tidak boleh mendahului atau berbarengan dengan gerakan imam
Jawaban nya : c

3. Sebab apakah seseorang dibolehkan untuk menjama’ sholatnya ?


a. Bila sedang melakukan perjalanan,yang bukan untuk maksiat
b. Ketika sedang berbelanja dan sangat mengantri
c. Ketika sedang malas
Jawaban nya : a

4. Salah satu rukun sholat yang tidak di pakai oleh imam hanafi adalah ?
a. Rukuk
b. Duduk diantara 2 sujud
c. Duduk tasyahud akhir
Jawaban nya : b

5. Bagaimana hokum mengqodlo sholat saat sakit ?


a. Sunnah
b. Mubah
c. Wajib
Jawaban nya : c

6. Apabila seorang imam laki-laki lupa saat sedang sholat berjama’ah,hal apa yang
seharusnya dilakukan oleh seorang makmu ?
a. Di ingatkan dengan membaca “subhanalloh”
b. Di ingatkan dengan syarat tepuk tangan
c. Dibiarkan saja
Jawaban nya : a

18
7. Rukun sholat yang manakah yang tidak di pakai oleh imam hambal ?
a. Membaca al-fatihah
b. Niat
c. Tumaninah
Jawaban nya : b

8. Bagaimanakah hokum sholat di rumah seseorang yang non muslim ?


a. Sangat dianjurkan
b. Tidak boleh,karena haram
c. Tidak ada larangan untuk sholat di tempat yg non muslim
Jawaban nya : c

9. Berapakah jumlah sholat sunnah rawatib yg sering dilakukan nabi,dalam sehari


semalam?
a. 10 raka’at
b. 17 raka’at
c. 32 raka’at
Jawaban nya : b

10. Surat apa yang diajurkan nabi untuk dibaca ketika sholat dhuha?
a. Surat asy-syams
b. Surat al-fajr
c. Surat al-lail

19

Anda mungkin juga menyukai