Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MUQARANAH MADZAHIB FI AL - JINAYAH

Pluralitas Pendapat dan Madzhab dalam Fiqh

DI SUSUN OLEH :

Kelompok 2

Rahayu Saputri Husain

Ifa Rahmatunnisa Lambe

Sriyuni S Baharu

Jurusan Hukum Pidana Islam

Fakultas Syariah

IAIN SULTAN AMAI GORONTALO

2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah menciptakan setiap manusia memiliki potensi yang berbeda-beda, yang
mengharuskannya bekerja sesuai dengan hikmah Illahi, dan ini menciptakan keragaman cara
berfikir manusia untuk menuju Tuhannya. Berangkat dari pernyataan ini, dalam Islam pun
sebenarnya memiliki keberagaman pandangan tersendiri dalam melaksanakan ibadah kepada
Tuhannya. Terdapat beberapa golongan yang masing-masingnya mengakui bahwa
pendapatnyalah yang paling benar. Golongan-golongan ini sering biasa kita dengar dengan
istilah “mazhab”.
Perbedaan paham disini lebih condong ke arah hukum furu’iyah, karena dalam
penetapan hukum itu diperhatikan masa dan musim, keadaan alam dan tempat, adat
kebiasaan dan lain sebagainya. Aboebakar Atjeh (1977: 9) menuliskan keterangannya
mengenai Mazhab dalam bukunya yang berjudul Perbandingan Mazhab; bahwa keadaan
alam, umat, adat istiadatnya, serta berbagai macam keyakinannya, tidaklah tetap dan kekal,
itu semua bisa berubahubah tergantung perkembangan zaman.
Dengan berkembangnya agama Islam di berbagai negeri maka timbulah pemahaman
masyarakat yang beragam. Artinya, perbedaan pendapat atau bisa disebut dengan istilah
“Khilafiyah” ini sudah terjadi sejak masa nabi, hanya saja pada zaman nabi apabila terjadi
khilafiyah di kalangan masyarakat ada yang memberikan keputusan akhir yaitu nabi sendiri.
Khilafiyah ini tidak memberikan pengaruh yang negatif sampai ke zaman imam-
imam mujtahidin. Mereka tahu pasti dimana dimungkinkan perbedaan pendapat, dan dimana
harus jadi kesepakatan. Dengan demikian apabila terjadi khilafiyah pada masa itu mereka
cukup toleran dan menghargai pendapat lain. Namun terkadang orang yang fanatik kepada
satu mazhab atau kepada satu pendapat ini sering mengakibatkan hal-hal yang tidak pada
tempatnya, melampaui batas-batas yang harus dipegang bersama, merusak persatuan dan
kesatuan umat serta ukhuwah Islamiyah yang dibina oleh Rasulullah SAW.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam madzhab ?
2. Bagaimana sebab-sebab munculnya madzhab ?
3. Apa saja macam-macam madzhab fiqh (sunni dan syi’ah) ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sebab – Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat dalam Madzhab

Menurut Abu Ameenah Bilal Philips, alasan utama adanya perbedaan dalam
ketetapan hukum di kalangan imam mazhab meliputi; (1).interpretasi makna kata dan
susunan gramatikal;(2). Riwayat hadith, (keberadaannya, kesahihannya, syarat-syarat
penerimaan, dan interpretasi atas teks hadits yang berbeda); (3). Diakuinya penggunaan
prinsip-prinsip tertentu (ijma’’, tradisi, istihsan, dan pendapat sahabat); dan (4). Metode-
metode qiyas.
Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf, perbedaan penetapan hukum tersebut
berpangkal pada tiga persoalan; (1). Perbedaan mengenai penetapan sebagian sumber-
sumber hukum (sikap dan cara berpegang pada sunah, standar periwayatan, fatwa
sahabat, dan qiyas); (2). Perbedaan mengenai pertentangan penetapan hukum dari
tasyri’(penggunaan hadith dan ra’yu) dan; (3). Perbedaan mengenai prinsip-prinsip
bahasa dalam memahami nash-nash syari’at ( ushlub bahasa).
Adapun Muhammad Zuhri, membagi dalam tiga hal penyebab terjadinya ikhtilaf
mazhab; (1),Berkaitan dengan sumber hukum; (2). Berkaitan dengan metode ijtihad (teori
tahsin wa taqbih,tema kebahasaan) dan; (3). Adat Istiadat.
Berikut penjelasan penyebab terjadinya perbedaan metode penetapan penggalian
hukum (thariqah al-istinbath) di kalangan Imam mujtahid, sebagai konklusi dari berbagai
macam pembagian menurut pendapat tokoh diatas. Dimana bisa disimpulkan secara garis
besar meliputi; Pertama: perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkam); Kedua:
perbedaan dalam cara memahami nash dan; Ketiga:perbedaan dalam sebagian kaidah
kebahasaan untuk meahami nash. Adapun penjelasannya sebagai berikut: Pertama;
Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam
4 (empat) perkara berikut, yaitu:

1. Periwayatan Hadith
Hal yang menyebabkan perbedaan hukum yang berkembang dikalangan ahli fiqh
dalam hal periwayatan dan penerapan hadith meliputi;
a. Keberadaan Hadith.
Ada banyak sekali kasus di mana periwayatan hadith-hadith tertentu tidak sampai
kepada sebagian ulama karena adanya fakta domisili sahabat yang meriwayatkan
hadith berbeda, demikian juga mazhab-mazhab besar tumbuh dan berkembang di
wilayah yang berbeda pula. Contoh: Imam Abu Hanifah menetapkan bahwa sholat
istisqa’ tidak termasuk sholat jamaah sunnat. Pendapatnya didasarkan atas
hadith yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik di mana Nabi saw. dalam suatu
kesempatan, berdoa secara spontan meminta hujan tanpa dengan melakukan sholat.
Sementara murid-muridnya Abu Yusuf dan Muhammad serta imam-imam lain
semuanya sepakat bahwa sholat istisqa adalah dibenarkan. Pendapat mereka
didasarkan pada riwayat Abbad ibn Tamim dan lainnya, yang menyatakan bahwa
Nabi saw. pergi ke tempat sholat, berdoa meminta hujan dengan menghadap kiblat,
membenahi jubahnya dan memimpin kaum muslimin mengerjakan dua rakaat
sholat.
b. Periwayatan hadith-hadith daif
Dalam beberapa kasus di mana sebagian ahli hukum mendasarkan ketetapannya
pada hadith yang dalam faktanya daif (lemah dan tidak dan dipercaya). Hal ini
disebabkan pendapat bahwa hadith daif digunakan untuk melakukan qiyas
(deduksi analogis). Contoh: Imam Abu Hanifah, rekan-rekannya serta Ahmad ibn
Hanbal berpendapat mengenai batalnya wudhu’ karena muntah dengan
mendasarkan ketetapannya pada hadith yang diriwayatkan Aisyah di mana dia
menyatakan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata:” Barang siapa yang mengalami
muntah, mimisan atau muntah karena mual-mual, hendaknya membatalkan
sholatnya. Hendaklah ia berwudhu’ dan kemudian melanjutkan rakaat yang tersisa”.
Imam Syafi’i, Imam Malik berpendapat dua alasan bahwa qay (muntah) tidak
membatalkan wudhu. Pertama, hadith yang disebutkan di atas tidak sahih dan kedua,
qay (muntah) tidak secara khusus disebutkan dalam sumber hukum Islam lainnya
sebagai suatu tindakan yang membatalkan wudhu.
c. Persyaratan penerimaan hadith
Perbedaan lain di kalangan para ahli fiqh di wilayah sunnah muncul dari
beragamnya persyaratan yang mereka tetapkan untuk menerima hadith. Para
mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan
sunnah mutawatirah dan sunnah masyhurah dari kalangan ahli fiqh; sedangkan para
mujtahidin Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yang
diamalkan penduduk Madinah. Adapun Imam-imam mujtahid lainnya berhujjah
dengan hadith yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan tsiqah tanpa
melihat mereka dari kalangan ahli fiqh atau bukan dan apakah sesuai amalan ahli
Madinah ataupun bertentangan.
2. Fatwa sahabat dan kedudukannya
Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama, bahwa fatwa (perkataan) sahabat
yang tidak hanya berdasarkan pikiran semata-mata, adalah menjadi hujjah bagi umat Islam.
Hampir semua ahli Ushul Fiqh menyatakan hal yang serupa ketika membahas tentang
fatwa sahabat. Alasannya, bahwa apa yang dikatakan para sahabat tentu berdasar apa
yang didengarnya dari Rasulullah saw.
Demikian juga perkataan sahabat yang tidak mendapat reaksi dari sahabat lain, bisa
menjadi hujjah bagi umat Islam. Adapun yang menjadi perselisihan para ulama terletak
pada perkataan sahabat yang semata-mata berdasar hasil ijtihad mereka sendiri dan
para sahabat tidak berada dalam satu pendirian. Abu Hanifah, misalnya, mengambil
fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak
memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Ucapan beliau
yang terkenal adalah: “ Apabila aku tidak mendapatkan ketenyuan dari Kitabullah dan
sunnah Rasulullah, maka aku mengambil pendapat dari sahabat beliau yang kukehendaki
dan meninggalkan pendapat sahabat yang tidak kukehendaki. Aku idak mau keluar dari
pendapat sahabat-sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain sahabat”.
Sebaliknya, Syafi’i memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad individual sehingga boleh
mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya.
3. Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma’
Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma’ dan hakikat
kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma’ Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang
lain berpendapat, Ijma’ Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi
menyatakan, Ijma’ Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan
Ijma’, sebagian menganggap Ijma’ menjadi hujjah karena merupakan titik temu
pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma’ bukan
karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan adanya dalil dari as-
Sunnah.
4. Ikhtilaf di sekitar Qiyas
Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyas sebagai
sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai sumber hukum
sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ Walaupun juga terdapat perbedaan dalam hal-hal
yang patut dijadikan illat hukum sebagai dasar penetapan hukum dalam qiyas. Sebagai
contoh mengenai perkawinan gadis yang masih di bawah umur, yang berpankal pada
peristiwa Siti Aisyah, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Bahwa Nabi
saw. kawin dengan Aisyah berumur enam tahun, kemudian tinggal bersama ketika
berumur sembilan tahun”.
Dari riwayat tersebut kita ketahui, bahwa Abu Bakar ra. mengawinkan Aisyah
ketika masih dibawah umur tanpa persetujuannya. Hal ini telah disepakati oleh para fuqaha.
Tetapi terjadi perbedaan tentang illat hukumnya, apakah karena di bawah umur ataukah
karena kegadisannya. Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah, illatnya adalah
“kegadisan”. Alasannya, bahwa yang mendorong syara’ memberikan wewenang kepada
ayah, karena anak gadis tersebut tidak mengetahui sebenarnya tentang perkawinan.
Oleh karenanya urusan nikahnya diserahkan kepada yang berkepentingan, yaitu
ayah atau kakek. Namun tujuan diberikan kewenangan tersebut oleh syara’ tidak nyata
dan terang batas-batasnya. Karena itu penetapan hukum tersebut dipertalikan dengan illat
yang tampak dan terang batas-batasnya, yaitu “kegadisan”.
Menurut Hanafiyah, illatnya adalah “di bawah umur”. Dimana ulama Hanafiyah
berpendapat, bahwa dalam usia yang demikian diperkirakan akal pikirannya belum
cukup matang dalam urusan nikah dengan akiba-akibatnya tidak diketahuinya. Jadi “di
bawah umur” inilah yang menjadi illat, bukan “kegadisan”. Sebab tidak semua anak gadis
tidak mengetahui mengetahui urusan nikah, seperti halnya gadis dewasa yang telah
mengetahui masalah nikah.
Kedua; Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash. Sebagian mujtahidin
membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka
disebut Ahl al-Hadits (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi
maknanya pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat
dipahami akal (ma‘qul). Mereka disebut Ahl ar-Ra‘yi (fukaha Irak). Dalam masalah zakat
fitrah, misalnya, para fukaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan
satu sha’ makanan secara tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan
harganya. Sebaliknya, fukaha Irak menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan
kecukupan kepada kaum fakir (ighna’ al-faqir), sehingga mereka membolehkan berzakat
fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha‘ (1 sha‘= 2,176 kg takaran gandum).
Ketiga; Mengenai perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk
memahami nash’ hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara
pengungkapan makna dalam bahasa Arab (uslub al-lughah al-‘arabiyah). Perbedaan yang
terjadi di antara ulama fiqh (Baca: Imam Mahzab) berkaitan dengan uslub al-lughah
al-‘arabiyah mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Kata-kata musytarak.
Kata musytarak ialah kata-kata yang mempunyai makna rangkap (multi
makna).Contoh kata musytarak yang menimbulkan perbedaan pendapat ialah kata-kata
quru’ (‫ )وء‬pada ayat berikut ini. “ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru' ”Kata quru’ adalah lafal musytarak, yaitu suci dan haid.
Menurut Imam Malik, Syafi’i ulama Madinah dan Abu Tsaur serta pengikutnya
berpendapat bahwa yang dimaksud quru’ itu adalah suci. Begitu juga Ibn Umar,
Zaid ibn Tsabit dan Aisyah. Jadi iddahnya dihitung menurut masa suci dan berakhir
dengan berakhirnya masa suci yang ketiga. Sementara Abu Hanifah, Tsauri, Auzai,
Ibn Abi Laila dan pengikutnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan quru’ adalah
haid.
b) Pengertian suruhan dan larangan.
Di kalangan Fuqaha terdapat perselisihan tentang penggunaan bentuk kata
suruhan/larangan (biasanya berbentuk fiil amr, fiil mudhari’ yang disertai huruf lam amr
dan kalimat berita yang bermakna suruhan), apakah menunjukkan wajib (wajib perbuatan
yang disuruh) atau sunat, atau menunujukkan irsyad (sekedar petunjuk).Contohnya
adalah suruhan menulis perjanjian utang-piutang dan mendatangkan dua saksi pada
dalam al-Quran: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan
datangkan dua orang saksi laki-laki di antara kamu”. Menurut jumhur fuqaha, perintah-
perintah tersebut hanya bersifat irsyad saja/sunat, sedangkan menurut fuqaha lainnya
diartikan wajib.
c) Kata-kata mutlaq dan muqayyad
Mutlaq adalah lafal khas yang tidak diberi qayyid (pembatasan) yang berupa lafal yang
dapat mempersempit keluasan artinya. Sedangkan muqayyad adalah lafal khas yang
diberi qayyid yang berupa lafal yang dapat mempersempit keluasan artinya.Seperti
kata raqabah (hamba sahaya) pada ayat berikut: “Barangsiapa membunuh seorang
mukmin Karena sengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh ) itu”.
Jadi kata-kata hamba sahaya disebutkan dengan batasan “mukmin”, dan dengan
demikian kata mukmin menjadi kata-kata muqayyad. Kemudian kata-kata tersebut
disebutkan dalam al-Qur’an yang lain tanpa batasan (qayyid). “Mereka yang
menzhihar isteri mereka, Kemudian menarik kembali apa yang mereka ucapkan,
Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur”. Kata-kata hamba sahaya di sini disebut dengan mutlaq. Menurut
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah antara kedua ayat tersebut tidak perlu dipertalikan.
Sementara menurut Ulama Syafi’iyah kata-kata mutlaq harus dibawa kepada kata-kata
muqayyad.
d) Mafhum Mukhalafah
Mafhum mukhalafah adalah penetapan lawan hukum yang diambil dari dalil yang
disebutkan dalam nash (manthuqbih) kepada suatu yang tidak disebutkan dalam nash
(maskut’anhu). Mafhum mukhalafah terbagi tujuh; mafhum washfi, mafhum syarat,
mafhum laqab, mafhum hasyr, mafhum ‘illat, mafhum ‘adad, dan mafhum ghayah.
Contoh mafhum mukhalafah syarat adalah: “Jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq)
itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin”.
Mengenai istri yang dicerai ba’in (thalaq tiga) dan hamil, maka sudah disepakati
tentang keharusan mendapat nafkah. Akan tetapi jika ia dicerai ba’in dan tidak hamil,
maka pendapat fuqaha tidak sama. Menurut jumhur fuqaha, tidak mendapatkan
nafkah, sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat tetap mendapat nafkah.
e) Kata-kata Haqiqiy dan Majazy
Suatu kata kadang dipakai dalam arti haqiqiy (arti sebenarnya) dan kadang dipakai
dalam arti majazy (bukan arti sebenarnya). Sebagai aturan pokok sudah diakui oleh
semua fuqaha, bahwa selama masih bisa memakai arti hakiki maka arti majazi tidak
boleh dipakai. Sebagai contoh dalam ayat berikut : “Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, yaitu supaya mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka
dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)”. Sumber
perselisihan adalah pada kata “nafa” (pembuangan). Ada dua pendapat, jumhur ulama
mengharuskan kata nafa diartikan sesuai dengan arti yang hakiki selama tidak ada yang
menunjukkan bahwa kata itu dipakai untuk arti lain. Sedang menurut Hanafi, kata “nafa”
dengan arti majazi, yaitu masuk penjara, sebab disini ada petunjuk yang menghendaki
tidak dipakai arti yang hakiki, yaitu kemustahilan membuang dari permukaan bumi,
kecuali dengan cara membunuhnya.
f) Istisna’ (pengecualian) setelah serangkain perkataan Contoh perbedaan pendapat dalam
memahami surta an-Nuur ayat 4-5: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak sangup mendatangkan empat orang saksi,
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang
fasik.Kecuali orang-orang yang bertaubat...........”. Dalam ayat ini terdapat tiga
ketentuan hukum, yaitu (1). hukuman jilid (dera), (2). penolakan persaksian dan (3).
kefasikan, kemudian ada pengecualian “kecuali mereka yang bertaubat”.
Perbedaan pendapat ulama sebagai berikut:
a. Jumhur ulama, pengecualian itu dikaitkan keseluruhan (tiga ketentuan hukum),
karena ketiganya memiliki nilai yang sama.
b. Sebagian ulama, pengecualian itu dipertalikan dengan dua ketentuan hukum yang
terakhir. Ulama Hanafiyah, pengecualian itu hanya dipertalikan kepada ketentuan
hukum yang terakhir.
B. Sebab-Sebab Munculnya Madzhab Fiqh
Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena
perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada
mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga
karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat Dari
fragmentasi sejarah, bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini merupakan
puncak Dari perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih itu
lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hokum romawi sebagaimana
yang dituduhkan oleh para orientalis.
Fenomena perkembangan tasyrik pada periode ini, seperti tumbuh suburnya kajian-
kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, bahwa
tasyri’ memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dan tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan lainnya. Munculnya madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari
zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzhab-madzhabfiqih pada periode ini. Seperti
contoh hokum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah
masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggalk mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda
pendapat dan mengikuti salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-
madzhab yang dianut.
Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup
sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong,
diantaranya :
1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islampun
menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
2. Muncunya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha
menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat studi tentang fiqih,
yang diberi nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat
menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.
3. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-
ulama madzhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah (kholifah)
merasa perlu menegakkan hukum islam dalam pemerintahannya.
Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal trntang masalah
politik seperti pengangkatan kholifah-kholifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi
munculnya berbagai madzhab hukum.
C. Macam – Macam Madzhab ( Sunni dan Syi’ah )
Macam-macam Mazhab Sunni yang Bertahan
1. Mazhab Hanafi
Kufah merupakan tempat kediaman kebanyakan fuqaha’ islam. Umar bin Khatab
mengutus Abdullah ibn Mas’ud kesana sebagai guru dan hakim pada tahun 23 H. Setelah itu
timbul Hammad ibn Abi Sulaiman, yaitu murid dari murid-murid Abdullah ibn Mas’ud.
Hammad ibn Abi Suliman menyatukan fiqh An-Nakha’i dengan fiqh Asy-Sya’bi dan
memberikan yang sudah disatukan itu kepada murid-muridnya, antaranya kepada Abu
Hanifah An-Nu’man. Murid-murid nya yang terkenal adalah Abu Yusuf, Muhammad, Zufar
dan Hasan ibn Ziyad. Mereka bersamaa-sama Abu Hanifah membentuk mazhab Hanafi, pada
permulaan abad kedua Hijrah, diakhir pemerintahn Amamiyah.
Abu Hanifah mempunyai kesanggupan yang tinggi dalam menggunakan mantiq dan
menetapkan hukum syara’dengan qiyas dan ihtisan. Beliau terkenal dengan ulama yang
sangat berhati hati dalam menerima hadist. Hadist-hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hanafi
banyak terkumpul pada kitab Jami’ul Masanied yagn dikumpulkan oleh Abu Mufid
Muhammad ibn Yusuf Al-Khawarizmi. Pada masa itu terjadi perbedaan pendapat.
a. Dasar-Dasar Madzhab Abu Hanifah
Abu Hanifah adalah seorang imam yang terkemuka dalam bidang qiyas dan istihsan
apabila beliau tidak memperoleh nash dalam Kitabullah, Sunnatur Rasul atau Ijma’. Abu
Hanifah menggunakan lima dasar dalam menentukan hukumfiqh dalam madzhabnya,
ialah: Al-Kitab, As-Sunnah, Al-Ijma’, Al-Qiyas dan Al-Istihsan
Pada masa sekarang ini madzhab Hanafi adalah madzhab resmi negara Mesir, Turki,
Syria dan Libanon. Dan madzhab inilah yang dianut oleh sebagian besar penduduk
Afghanistan, Pakistan, Turkistan, muslim India dan Tiongkok. Lebih sepertiga umat
Islam didunia ini yang menganut mazhab Hanafi.
2. Madzhab Maliki
Negeri Hejaz adalah tempat wahyu dan tempat berkembangnya Sunnah. Dinegeri
inilah didirikan madrasah yang mempunyai corak sendiri, yaitu Madasah Ali Hijaz atau
Madrasah Alil Madinah. Madrasah ini pada mulanya dibangun oleh Umar ibn Khatab,
Abdullah ibn Umar, Zaid ibn Abbas dan Aisyah. Kemudian madrasah ini dipimpin oleh
Fuqaha’ tujuh yaitu:
a. Sa’id ibn Musaiyab
b. Abu Bakar ibn Abdur-Rahman
c. Urwah ibn Zubair
d. Sulaiman ibn Jassar
e. Al Qasim ibn Muhammad
f. Kharijah ibn Zaid dan
g. Ubaidullah ibn Abdillah
Kota Madinah adalah Darul Hijrah, tempat Nabi s.a.w berdiam diam sesudah hijrah
dari Makkah. Kota inilah yang menajdi pusat ahli hadist dan disnilah lahir Malik ibn Anas Al
Ashbahi. Beliau dilahirkan dalam tahun 95 H. Beliau tidak pernah melawat kemana-mana
selain pergi berhaji. Beliau wafat pada tahun 179 H. Dimasa Harun Al Rayid.
Beliau terkenal sebagai pemuka fiqh didaerah Hejaz, menjadi guru Asy Syafi’i.Malik
mempelajari fiqh dari Rabi’ah ibn Rahman dan mempelajari hadist dari Nafi’, Az Zuhri,
Abie Zinad, Yahya ibn Sa’id Al Anshari. Beliau menyususn sebuah kitab Hadist yang
dinamai Al-Muwaththa’. Disusun secara kitab Fiqh. Isi kitabnya disepakati olehh para ulama.
Khalifah Al Manshur pernah bermaksud menjadikan Al-Muwaththa’sebagai buku peganggan
yang harus dianut isinya tetapi Malik menolaknya.
a. Dasar-Dasar Madzhab Maliki
Al-Qadli’Iyadl dalam kitab Al Madarik berkata : “Malik mendahulukan Kitabullah
menurut tertib tiap samarnya. Ya’ni beliau mendahulukan nash, kemudian yang dhahir,
kemudian yang mafhum. Sesudah itubeliau berpegang kepada As Sunnah. Dalam hal ini
beliau mendahulukan yang mutawatir atas yang masyhur, yang mashur atas ahad,
sebagaimana beliau mendahhulukan yang nash atas yang dhahir dan yang dhahir atas
mafhum.
Sesudah itu beliau berpegang kepada ijma’, baru kemudian beliau berpegang kepada
qiyas. Dalam pada itu Malik tidakmemberi kepada qiyas kedudukan yang diberikan oleh Abu
Hanafiah. Dan terkadang-kadang beliau mendahulukan amalan ulama-ulama Madinah atas
Hadist ahad.
Selain dari pada itu beliau mempergunakan maslahat mursalah yang dasar ini telah
dipakai oleh Umar dan sahabat-sahabat yang lain. Pada masa sekarang ini, mazhab Maliki
berkembang di Maroko, Aljazair, Tunusia, Lybia dan dipedalaman Mesir, Sudan, Bahrain
dan Kuwait. Penganut mazhab ini kira-kira berjumlah 45 juta orang.
3. Mazhab Syafi’i
a. Asal – Usul Mazhab Syafi’i
Nama Mazhab Syafi’i diambil dari nama Imam yang menjadi tokoh utama yang
pemikirannya banyak diikutioleh pengikut mazhab ini. Beliau adalah Imam Syafi’i, yang
memiliki nama asli Muhammad bin Idrisbin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin As-Sa’ib bin
Ubaid Abdu Yaziz bin Hasyim bin Murhalib bin Abdu Manaf.[4] Imam Syafi’i lahir di
Ghaza, Palestina, pada tahun 150 H. Ayah beliau wafat ketika beliau masih berada dalam
kandungan, sehingga beliau dibesarkan dalam keadaan yatim dan fakir.Dari silsilah
Ayahnya, Beliau merupakan anggota dari Suku Quraiys yang masih memiliki hubungan
kekerabatan dengan Nabi Muhammad SAW yang silsilah keduanya bertemu pada Abdul
Manaf. Ibunya berasal dari Suku alAzdi di Yaman.
Setelah ayahnya wafat, Ibunya pindah ke Mekkah yang merupakan kota leluhurnya.
Imam Syafi’i dikaruniai oleh Allah memiliki kecerdasan yang luar biasa. Diriwayatkan
bahwa beliau ketika berumur kurang lebih 10 tahun telah hafal Alquran dan telah pula
menguasai kitab Al Muwaththa’.Di Mekkah beliau banyak belajar hadits dari ulama- ulama
hadits, seperti Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Uyainahketika berusia 20tahun. Kemudian
Beliau juga belajar pada Imam Maliki di Madinah selama 7 tahun.Imam Syafi’i sangat
mengagumi Bahasa Alquran yang sangat indah. Oleh karena itu beliau pergi ke kabilah
Hudzail untuk mempelajari dan mendalami Sastra Arab serta mengikuti saran hidup
Muhammad SAW. Karena terlalu fakirannya,Imam Syafi’i sering memungut kertas yang
telah dibuang kemudain digunakannya untuk menulis hadits.
Karena terdesak oleh kebutuhan hidup, Imam Syafi’i memutuskan untuk bekerja di
Yaman. Namun sayangnya, di sana beliau justru mendapat musibah. Beliau dituduh terlibat
gerakan Syi’ah yang mengharuskan beliau untuk menghadap Khalifah Harun Al Rasyid di
Baghdad.Karena kecerdasan dan ketinggian ilmunya, atas bantuan Hasan Asy Syaibani,
murid Abu Hanifah, Imam Syafi’i dapat terhindar dari tuduhan tersebut. Beliau tidak
dijatuhi hukuman bahkan kemudian berguru kepada Hasan Asy Syaibani.
Hasan Asy Syaibani pernah belajar kepada Imam Maliki selama 3 tahun. Dari Hasan
Asy Syaibani, Imam Syafi’i mendapatkan pelajaran Fiqh Imam Abu Hanifah selama 2 tahun.
Kemudian beliau kembali lagi ke Mekkah. Pada saat musim haji, banyak ulama – ulama dari
berbagai belahan dunia berkunjung ke Mekkah. Dari situlah Fih Imam Syafi’I mulai
menyevbar di seluruh wilayah Islam. Setelah 7 tahu di Mekkah, Beliau kembali lagi ke
Bahgdad pada tahun 195 H. Beliau memberikan pelajaran kepada murid – muridnya, diantara
yang paling terkenal adalah Ahmad Ibn Hanbal yang sebelumnya pernah bertemu dengan
Beliau di Mekkah. Setelah 2 tahun di Baghdad, beliau kembali lagi ke Madinah tetapi tidak
lama kemudian pada tahun 198 H, beliau kembali lagi ke Baghdad kemudian ke Mesir pada
tahun 199 H. Di Mesir, Imam Syafi’i menyampaikan fatwa – fatwanya yang disebut dengan
Qaul Jadid. Sedangkan fatwanya saat di Baghdad disebut Qaul Qadim.Imam Syafi’I
meniniggal pada tahun 204 H atau 822 M di Mesir.
Dari riwayat hidupnya, tampak bahwa Imam Syafi’i meruapakan ulama fiqih yang
memadukan antara metode ijtihad Imam Maliki dengan Imam Abu Hanifah, sehingga beliau
dapat menemukan metode ijtihadnya sendiri. Sebab bagi Imam Syafi’i ibadah itu harus
membawa kepuasan dan ketenangan dalam hati. Oleh sebab itu diperlukan kehati-hatian.
Beliau sangat berhati-hati dalam berfatwa. Sehingga konsep ikhtiyat (prinsip kehati-hatian)
sangat mewarnai pemikiran Imam Syafi’i.
4. Imam Hambali
Nama Mazhab Hambali diambil dari tokoh Imam yang pemikirannya banyak diikuti,
yaituImam Ahmad bin Hambal. Beliau lahir di Baghdad, bulan Rabi’ul Awal tahun 164 H.
Bapak dan Ibunya berasal dari kabilah Asya’bani bagian dari Kabilah di Arab.[5] Imam
Ahmad hambal sudah menjadi yatim sejak beliau masih kecil.
Sejak kecil sudah tampak minatnya pada agama, beliau menghafal Alquran,
mendalami Bahasa Arab, belajar Hadits, Atsar sahabat dan tabi;in serta sejarah Nabi, dan
para sahabat. Beliau belajar Fiqh dari Abu Yusuf, murid dari Abu Hanifah, dan dari Imam
Syafi’i, tetapi perhatiannya pada hadits ternyata lebih besar. Beliau belajar Hadits di
Baghdad, Basrah, Kufah, Mekkah, Madinah, dan Yaman. Beliau selalu menuliskan hadits
dengan perowi – perowinya dan cara ini pun diharuskannya kepada murid – muridnya.[6]
Imam Hambali memiliki kepribadian yang sangat sabar dan ulet, memiliki keinginan
yang kuat dan teguh dalam pendirian, juga ikhlas dalam perbuatannya. Beliau menentang
pendapat Muktazilah, bahkan sampai pernah dijatuhi hukuman dan dipenjara oleh Khalifah
al-Ma’mum yang merupakan penganut Muktazilah. Keika kalifah Al Ma’mum wafat, beliau
masih tetap berada di dalam penjara, yaitu di masa Mu’tashim Billah. Sekeluarnya dari
penjara, beliau mengalami sakit – sakitan dan akhirnya wafat pada tahun 241 H.
Imam Hambali dikenal sebagai Imam yang tidak percaya terhadap Ijma’. Setelah
mendasarkan pada Alquran dan As sunnah, beliau memakai qaul para sahabat. Bahkan
ucapannya yang sangat terkenal, yaitu ; “ Siapa yang menyatakan terdapat Ijma’, maka dia
adalah pendusta”. Namun ijma’ yang dimaksud yang ditentang oleh beliau adlah ijma’
sesudah masa sahabat. Seperti yang telah dijelaskan di atas, beliau lebih banyak perhatiannya
terhadap hadits, namun ini bukan berarti beliau tidak memakai fiqh dalam memutuskan
fatwanya. Beliau memiliki ciri khas tersendiri dalam caranya berijtihad.
Tokoh yang mengembangkan Mazhab Hambali yang terkenal dan pengaruhnya masih
terasa hingga saat ini adalah Ibnu Taimiyah. Beliau lahir kurang lebih 450 tahun setelah
Imam Hambali wafat. Murid dari Ibnu Taimiyah adalah Ibnu Qoyyim.
Macam – Macam Syiah
Syiah telah terbagi dalam kelompok yang jumlahnya hampir tak terhitung. Namun
menurut Al-Baghdadi, pengarang kitab Al-Farqu baina Al-Firaq, secara umum mereka
terbagi menjadi empat kelompok. Setiap kelompok tadi, terdiri dari beberapa kelompok kecil.
Mengutip buku Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? yang ditulis M.
Quraish Shihab, cetakan kedua, April 2007, empat kelompok Syiah ini terdiri dari yang
paling ekstrem sampai Syiah "abu-abu". Berikut ulasannya:
1. Syiah Ghulat
Seorang ulama Ahlussunnah, Muhammad Abu Zahrah, mengatakan kelompok Syiah
ektremis ini hampir dapat dikatakan telah punah.
Di dalam Syiah Ghulat terdapat beberapa golongan, yakni As-Sabaiyah, Al-
Khaththabiyah, Al-Ghurabiyah, Al-Qaramithah, Al-Manshuriyah, An-Nushaiziyah, Al-
Kayyaliyah, Al-Kaisaniyah, dan lainnya.
Menurut Asy-Syahrastany, As-Sabaiyah adalah pengikut Abdullah bin Saba' yang
konon pernah berkata kepada Sayyidina Ali: “Anta Anta,” yang berarti "Engkau adalah
Tuhan". Ia juga menyatakan sahabat Nabi ini memiliki tetesan ketuhanan.
Sementara Al-Khaththabiyah adalah penganut aliran Abu Al-Khaththab Al-Asady
yang menyatakan Imam Ja'far Ash-Shadiq dan leluhurnya adalah Tuhan. Sementara Imam
Ja'far mengingkari dan mengutuk kelompok ini. Lantaran sikap tersebut, pemimpin
kelompok ini, Abu Al-Khaththab, mengangkat dirinya sebagai imam.
Golongan Al-Ghurabiyah percaya malaikat Jibril diutus Allah untuk Ali bin Ali
Thalib ra. Namun, mereka menilai malaikat Jibril keliru dan berkhianat sehingga
menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad.
Sementara Syiah Qaramithah dikenal sangat ekstrem karena menyatakan Syyidina Ali
bin Abi Thalib adalah Tuhan. Kelompok ini pernah berkuasa di Bahrain dan Yaman, serta
menguasai Mekah pada 930 Masehi.
2. Syiah Ismailiyah
Kelompok ini tersebar di banyak negara, seperti Afganistan, India, Pakistan, Suriah,
Yaman, serta beberapa negara barat, yakni Inggris dan Amerika Utara. Kelompok ini
meyakini Ismail, putra Imam Ja'far Ash-Shadiq, adalah imam yang menggantikan ayahnya,
yang merupakan imam keenam dari aliran Syiah secara umum. Ismail dikabarkan wafat lima
tahun sebelum ayahnya (Imam Ja'far) meninggal dunia. Namun menurut kelompok ini,
Ismail belum wafat. Syiah Ismailiyah meyakini kelak Ismail akan tampil kembali di bumi
sebagai Imam Mahdi.
3. Syiah Az-Zaidiyah
Ini adalah kelompok Syiah pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin
Husain bin Ali bin Abi Thalib r.a. Zaid lahir pada 80 H dan terbunuh pada 122 H. Zaid
dikenal sebagai tokoh yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan semena-mena yang
diterapkan Yazid, putra Muawiyah pada zaman Bani Umayyah.
Kendati golongan ini yakin kedudukan Ali bin Abi Thalib ra lebih mulia ketimbang
Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka tetap mengakui ketiganya sebagai khalifah yang sah.
Lantaran masih menganggap tiga sahabat nabi yang lain, Syiah Az-Zaidiyah dinamakan Ar-
Rafidhah, yakni penolak untuk menyalahkan dan mencaci.
Dalam menetapkan hukum, kelompok ini menggunakan Al-Quran, sunah, dan nalar.
Mereka tidak membatasi penerimaan hadis dari keluarga Nabi semata, tetapi mengandalkan
juga riwayat dari sahabat-sahabat Nabi lainnya.
4. Syiah Istna Asyariah
Kelompok ini dikenal juga dengan nama Imamiyah atau Ja'fariyah yang percaya 12
imam dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah SAW.
Syiah Istna Asyariah merupakan mayoritas penduduk Iran, Irak, dan ditemukan juga
di beberapa daerah di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, Saudi Arabia, dan beberapa daerah
bekas Uni Sovyet. Ini adalah kelompok Syiah mayoritas.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa perbedaan pendapat
di kalangan umat Islam bukanlah suatu fenomena baru, tetapi semenjak masa Islam yang
paling dini perbedaan pendapat itu sudah terjadi. Perbedaan terjadi adanya ciri dan
pandangan yang berbeda dari setiap mazhab dalam memahami Islam sebagai kebenaran yang
satu. Untuk itu kita umat Islam harus selalu bersikap terbuka dan arif dalam memandang
serta memahami arti perbedaan, hingga sampai satu titik kesimpulan bahwa berbeda itu tidak
identik dengan bertentangan – selama perbedaan itu bergerak menuju kebenaran – dan Islam
adalah satu dalam keragaman.
Perbedaan pendapat di kalangan umat ini, sampai kapan pun dan di tempat mana pun
akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir
manusia terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah  yang kemudian melahirkan mazhab-
mazhab Islam  yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing
mazhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan
pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya adalah pandangan mereka
terhadap kedudukan al-Qur’an dan al-Sunnah.
B. Saran
Setelah menelaah dan mengkaji tentang timbulnya berbagai madzhab dalam Islam ini
penulis berharap kita semua bisa jauh lebih baik dan perbedaan dalam madzhab yang kita
pegang jangan sampai menjadi terpecah belah ukhuwah Islamiyah di antara kaum muslimin.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Sulaiman, Abd. Al-Wahab Ibrahim, al-Fikr al-Ushuli, Jeddah : Dar al-Syuruq, Cet. I, 1983.

Hasan, M. Ali,  Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1997.

Hasjmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Imbabi, M. Musthofa, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo : al-Maktabah al-tijariyyah al-kubro, Cet. IX, 1986

Ismail, Ahmad satori, Pasang Surut Perkembangan Fiqh Islam, Jakarta : Pustaka Tarbiatuna, Cet. I, 2003

Khomis, Qasim Abdul Aziz, Aqwal al-Shahabah, Kairo : Maktabah al-Iman, 2002.

Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Cet. III, 2003.

Nasution, Harun,  Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta : UI Press, 2002.

Rahmat, Jalaluddin, Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh,  Artikel yayasan Paramadina, www.
Media.Isnet.org/islam/paramadina/konteks/sejarahfiqh01.html.

Anda mungkin juga menyukai