Anda di halaman 1dari 25

PERBDAAN

PENDAPAT DALAM
ISTINBATH
HUKUM ISLAM
Capaian pembelajaran

• Menganalis Asal Mula Perselisihan Pendapat


• Mengkritisi Macam-Macam Perbedaan Pendapat dalam Istinbath Hukum
• ,Mengidentifikasi Perbedaan dalam Memahami Al-Qur’an
• Mengidentifikasi Perbedaan dalam Mengartikan dan Memperhitungkan Kedudukan Hadis
• Menganalisis Perbedaan Metode Ijtihad
MAKNA ISTINBATH
• Pengertian Istinbāṭh Secara etimologi
Kata „istinbāṭh‟ berasal dari kata benda „an-nabṭ’, bentuk masdar dari
nabaṭa-yanbuṭu-nabṭan, menurut al-Farahidi berarti air yang keluar dari
dalam sumur yang kali pertama digali (al-Farahidi).
Menurut Haitsam Hilal kata „istinbāṭh’ berarti mengeluarkan air dari dalam
tanah (Hilal).
Menurut al-Wahbi kata „istinbāṭ’ digunakan dalam arti „al-istikhrāj’
(mengeluarkan) yaitu mengeluarkan atau menjelaskan sesuatu yang
sebelumnya masih belum jelas .
• Secara terminologis
Kata „istinbāṭh’ berarti upaya mengeluarkan makna dari nash (al-Qur‟an dan asSunnah) yang
berkaitan dengan hal-hal yang sulit dan penting dengan mencurahkan kekuatan nalar dan
kemampuan yang optimal . Pengertian secara istilah tersebut masih bersifat umum sehingga
„istinbāṭ’ bisa saja dilakukan oleh ulama‟ fiqh dan ulama yang ahli di bidang selain fiqh. Oleh karena
itu, pengertian „istinbāṭ’ secara terminologis harus dibatasi pada wilayah fiqh (hukum Islam).
Dengan adanya pembatasan pada wilayah hukum Islam, maka secara ringkas „istinbāṭ’ adalah upaya
untuk menarik, menggali hukum dari nash (al-Qur‟an dan as-Sunnah) dengan jalan ijtihad
Penggunakan istilah ijtihad memberikan isyarat bahwa „istinbāṭh’ harus dilakukan dengan
menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh sebagai pedoman .Definisi ijtihad menurut fuqaha‟ adalah
menghabiskan kemampuan dan mencurahkan daya upaya untuk menemukan hukum syar‟i
• Pada hakekatnya antara istinbāṭh dan ijtihad terdapat perbedaan. Ijtihad mempunyai ruang lingkup yang
lebih luas dibandingkan istinbāṭh, karena „istinbāṭh’ merupakan kerangka kerja dari ijtihad.
• Fokus istinbāṭh adalah nash al-Qur‟an dan as-Sunnah. Oleh karena itu, usaha pemahaman, penggalian dan
perumusan hukum dari kedua sumber ( al-Qur’an dan as- Sunnah) tersebut disebut istinbāṭ. Sedangkan
Ijtihad focus pada pemahaman, penggalian dan perumusan hukum yang dilakukan dengan mengunakan
kemampuan ro’yu/ daya akal melalui metode –metode Ijma’, yaitu kolektifitas pendapat ulama’, metode
Qiyas, yaitu membuat persamaan hukum pada kasus / masalah yang memiliki ciri yang sama ( kedua
metode ini yang disepakati oleh ulama’ fiqh) , atau menggunakan metode rasional lainnya yang masih
ikhtilaf ( terjadi perbedaan pendapat ulama , ssehingga penggunaannya tidak disepakati para ulama’)
seperti metode istiṣhāb, yaitu menetapkan hukum sesuatu berdasarkan keadaan hukum sebelumnyan
sampai datangnya hukum yang lain, dan metode istiṣlāh/maslahah yaitu menetapkan hukum karena
menganggap baik atau mencari kebaikan/kemaslahatan , metode ‘Urf, yaitu penetapan hukum
berdasarkan adat yang berlakun di masyarakat.
Hal-hal yang menimbulkan perbedaan Pendapat
( Prof Wahbah al-Zuhaili)
1. Adanya perbedaan arti dalam beberapa lafadz Bahasa Arab
Banyaknya lafadh Al-Qur’an yang mengandung banyak arti dalam bahasa arab, seprti “al-quru’” yang diartikan
“suci” daan juga dapat diartikan dengan “haidh”, pada ayat 228 surat Al-Baqarah, ayat tersebut membahas tentang
iddah seoranag wanita yang dicerai suami, arti ayat tersebut akhirnya manimbulkan perbedaan pendapat, ada 2
kelompok yang berbeda
• Pertama : Kelompok Sayyidah Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit r.a mengartikan kata al-quru’ yaitu “suci”
(artinya masa ‘idah wanita-wanita tersebut ditetapkan sesuain dengan masa suci yaitu selesai haid sebanyak
3x).
• Kedua: Kelompok Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib r.a
mengartikan al-quru’ dengan kata “haidl” sehingga idahnya dihitung setelah selesai datangnya masa haidl
sebanyak 3 x.
LANJUTAN……..

• Perbedaan pendapat dalam memahami tentang arti lafazd quruu’dari surat al-
Baqarah ini tidak hanya sampai pada masa Nabi saw, namun sampai pada masa
imam-imam madzhab, yaitu
Pendapat kelompok pertama (al-quru’ artinya suci), diikuti oleh Imam malik,
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal.
Sementara pandangan kelompok kedua (al-quru’-artinya haidl ) diikuti oleh
Imam Abu Hanifah
2. Adanya Perbedaan Jalur Riwayat (Ikhtilaaful Riwayaat) Hadis

Adanya beberapa jalur periwayatan hadits antara lain adalah


hadita yang sampai pada seorang ulama tapi tidak sampai pada
sebagian ulama lainnya, hadits yang sampai pada ulama akan
tetapi periwayatannya menggunakan sanad yang lemah (dlo’if),
akibatnya hadits tersebut tidak dapat digunakan untuk dasar
dalam istinbath hukum. Sedangkan ada pula hadits yang
periwayatannya menggunakan jalur sanad yang kuat (shahih)
sehingga hadits tersebut dapat dijadikan dalil/dasar istinbath
3. Perselisihan Sumber Dalil
Sumber dalil yang digunakan dalam berijtihad HUKUM ISLAM dibagi menjadi dua yaitu:

1) Sumber dalil yang disepakati antara lain: Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
2) Sumber dalil yang diperselisihkan (Al-Mukhtalaf Fiha), artinya tidak disepakati oleh para ulama antara lain:
• Al-Istihsan,
• Al-Mashlahah Almursalah,
• AL-Istihsab

• Syar’u Man Qablana,


• Al-‘Urf, dan lain-lain.

Mengenai sumber dalil yang kedua yang diperselisihkan tersebut, para pengguna ada yang memakai dan menolaknya,
ada juga yang menerima dengan syarat, dan hal inilah yang menimbulkan perbedaan pendapat
4. Perbedaan Qaidah-Qaidah Ushul Fiqh
Adanya perbedaan pendapat Dikalangan ulama mujtahid dalam menggunakan kaidah-kaidah
ushul fiqh sebagai dalil dalam istinbath/menggali hukum Islam.
• Seperti suatu pandangan dalam qaidah ushul bahwa : “Kalimat/Kata umum yang mempunyai
arti khusus, tidak dapat dijadikan dalil/hujjah”.
• Dan juga qaidah ushul yang digunakan dalil dalam madzhab Dhohiri : “Al-Mafhum Al-
Muwafaqoh” tidak bisa digunakan untuk beristinbath., tetapi dapat digunakan sebagai dalil
oleh madzhab-madzhab tertentu.
Jadi ada kaidah-kaidah ushul fiqh yang memang tidak semua ulama mau menggunakan kaidah
tersebut untuk istinbath hukum sehingga hasil istinbathnya menjadi berbeda terhadap masalah
yang sama
5. Mengurai Perselisihan dengan Metode Qiyas
• Mengurai perselisihan dengan menggunakan qiyas dapat menimbulkan banyaknya perbedaan
dikarenakan dalam qiyas sendiri mengandung banyak pedoman-pedoman, syarat-syarat serta
alasan-alasan (‘illah).
• Dan pada setiap ‘illah terdiri dari kapabilitas dan penerapannya yang sangat sulit. Hal ini
menyebabkan para ulama mujtahidin berbeda pandangan. Misalnya tentang“tertib” (urut-
urutan)
• Madzhab imam Syafi’i berpendapat, URUTAN dalam tatacara ibadah seperti wudlu yang
terdapat pada surat Al-Ma’idah ayat 6, yaitu: membasuh muka, membasuh tangan sampai siku,
mengusap kepala, kemudian membasuh kaki sampai dengan mata kaki, adalah hal yang fardlu
(wajib) dilakukan dan jika tidak dilakukan maka wudlunya dianggap tidak sah.
LANJUTAN……
• Tata cara wudhu tersebut sama halnya dengan ibadah lainnya seperti Sa’I yang juga
menggunakan dalil qiyas. Ibadah Sa’i yang dijelaskan dalam ayat 158 surat Al’-Baqarah,
yaitu bahwa ibadah sa’i dilakukan yang secara prosedur urutan dimulai dengan berlari
kecil “dari As-Shofa ke Al-Marwah”, hal ini sesuai dengan ayat yang menerangkan tentang
Sa’i dan tidak boleh dibalik dalam pelaksanaannya, misalnya berlari dimulai dari Al-
Marwa ke As-Shofa, juga
• Melakukan tertib urutan dalam beribadah , Sebagaimana Nabi SAW bersabda:
“Dahulukan apa yang didahulukan oleh Allah”
• Tetapi Ada juga mazdhab yang berpandangan bahwa tertib bukanlah suatu kewajiban
6. Kontradiksi dan Pengunggulan Dalil

• Pada dasarnya al-Qur’an daan as-Sunnah sama sekali tidak terkandung perselisihan didalamnya.
• Akan tetapi pertentangan tersebut terjadi karena keterbatasan dalam memahami dan menguasai
penafsiran. Hal inilah yang menjadi sebab utama dari perbedaan fatwa yang ditetapkan oleh
ulama.
• Sebagaai Contoh:
1. Tidak bolehnya menikah dan juga menikahkan pada saat ihrom,
Ini Pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, hal ini didasarkan pada
hadits Nabi SAW atas periwayatan Usman bin Affan bahwa sabda Rasulullah SAW bahwa :
“Orang yang sedang ihrom tidak boleh menikah atau menikahkan”. (Hadits Riwayat Imam
Muslim)
LANJUTAN

 Yazid bin Al-A’shom dari Maimunah r.a, juga meriwayatkan “Bahwa Nabi SAW
menikahinya setelah halal (selesai tahallul), dan kumpul dengan beliau dalam
keadaan halal (bebas ihrom)”. (Hadits diriwayat Imam Ahmad dan Imam
Turmudzi)
2. Boleh menikah saat sedang Ihram
 Sedangkan pendapat yang bertentangan tentang bolehnya menikah dalam ihrom
diutarakan oleh Imam Abu Hanifah, hal ini didasarkan pada hadits riwayat Ibnu
Abbas r.a, “Bahwa Nabi Muhammad SAW menikahi Maimunah ketika beliau
ihrom”.( Hadits Riwayat Imam Bukhari)
Macam-Macam Perbedaan dalam Istinbath Hukum
• Musthofa Sa’id Al-Khin mengatakan bahwa hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan para ulama’ Mujtahidin dalam
melakukan istinbath ada tujuh:
1. Perbedaan Bacaan

2. Tidak mengetahui adanya suatu hadis


3. Keraguan terhadap kebenaran suatu hadis
4. Perbedaan dalam memaahami dan menafsirkan Nash
5. Kerancuan makna dalam suatu kata
6. Kontradiksi beberapa dalil
7. Tidak adanya Nash dalam suatu masalah
1. Perbedaan bacaan
• Adanya pembacaan yang berbeda padaa salah satu kata atau kalimat dari ayat Al-Qur’an akan menimbulkan perbedaan
dalam menentukan suatu tata cara pelaksanaan ibadah.
• Contoh tentang hal cara memperlakukan ”kaki” ketika ber- wudhu. Masalah ini terdapat dalam surat Al-Ma’idah ayat 6
• Para imam yang menguasai Qira’at/bacaan : Nafi’, ibnu ‘Amir dan Al-Kisa’I menerjemahkan kata “Arjulakum” dengan
menasabkan (menfathahkan huruf lam-nya yang artinya membasuh kakimu7‫) َوأَ ْر ُجلَ ُك ْم‬. ) Akan tetapi imam: Ibnu Katsir,
Abu ‘Amr dan Hamzah, membaca “Arjulikum” dengan bacaan jar (mengkasrohkan huruf lam-nya) yang artinya mengusap
kakimu
• Jumhur (mayoritas) Ulama lebih dominan pada pendapat yang menasabkan huruf lam pada kata “Arjulakum” sehingga
hal yang harus dilakukan ketika berwudlu. yaitu membasuh dua kaki sampai pada masing-masing mata kaki, tidak cukup
hanya dengan “mengusapnya”.
• Hal ini karena lafadz “Arjulakum” bacaannya di sesuaikan kepada lafadz sebelumnya, yaitu : “Wujuhakum wa aidiyakum”
bukan disesuaikan diikutkan bacaannya pada lafadz “Bi-ru’uusikum
2. Tidak mengetahui adanya suatu Hadis
• Adanya –hadis hadits Nabi saw yang tidak banyak diketahui oleh para sahabat, ada yang beberapa yang
memahami dan sebagian tidak memahami tentang hadits tertentu, hal ini dikarenakan para sahabat tidak setiap
waktu bersama dengan Nabi saw sehingga mengakibatkan ketidaktahuan sabahat akan sabda/uccapan, kegiatan
yang dilakukan Nabi saw
• contohnya adalah, tentang sahnya atau tidaknya puasa seseorang yang masih dalam keadaan junub (masih
berhadats besar) saat subuh dan dalam keadaan berpuasa. berdasarkan hadits riwayat oleh Abu Hurairah r.a
bahwa: Barang siapa yang sampai waktu subuh masih junub maka tidak boleh melakukan puasa. Pada waktu itu
Abu Hurairah blm mengetahui adanya perkataan Aisyah ra dan Ummu Salamah ra bahwa Nabi Muhammad SAW
pernah bangun waktu subuh dalam keadaan masih junub, kemudian beliau tetap melakukan puasa Ramadlan.
(hadis Riwayat Al-bukhari )
• Setelah mengetahui hadis dari Aisyah tersebut kemudian Abu hurairah r.a mengubah pendapatnya seperti apa
yang dikatakan oleh ‘Aisyah dan Ummu Salamah tentang Nabi tetap berpuasa sedang dalam keadan junub
3. Keraguan terhadap kebenaran sebuah hadis
• Terhadap keberadaan hadits atau sunnah Nabi saw, para sahabat Nabi selalau memastikan dan membuktikan kebenarannya
terlebih dahulu sebelum melakukan sunnah tersebut.
• Dalam menguji kebenaannya suatu hadis seringnya terjadi perbedaan penilaian dan kesimpulan di kalangan para sahabat dan
ulama
• Sebagai contoh tentang masalah “wajib atau tidaknya qodlo bagi orang yang akan makan atau minum karena lupa pada siang hari
di bulan Ramadlan”.
• Pendapat Jumhur ulama (Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Ibnu Hambal), bahwa orang makan atau minum kaena lupa pada siang
hari bulan ramadlon tidak wajib qadla puasa dan tidak perlu bayar kafaroh (denda)
• Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad saw dari Abu Huraira r.a yang menjelaskan bahwa orang tersebut supaya
melanjutkan puasanya karena dianggap bahwa sebenarnya Allah-lah yang memberi makan dan minum (hadis Riwayat Al-
Bukhori, Muslim, dan lain-lainnya). Diperkuat hadis Nabi saw dari Abu Hurairah dengan sanad yang shohih yang menjelaskan
bahwa orang yang makan atau minum karena lupa pada saat puasa Ramadlon dianggap sebagai rezeki yang diberikan Allah
kepadanya.
4. Perbedaan dalam memahami dan menafsirkan nash al-Qur’an
• Sebuah contoh tentang tanah rampasan perang
• Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ada tanah rampasan perang milik musuh dari Iraq dan Mesir. Khalifah Umar
menginginka agar tanah tersebut tidak diberikan kepada prajurit yang ikut berjuang di medan perang, tetapi ditahan
sebagai asset kekayaan negara dan penggarapannya deserahkan kepada mantan pemiliknya dengan membayar pajak bumi
dan hasil bumi untuk dijadikan sumber pendpatan negara dan kepentingan public yang lebih luas, dengan alas an
berdasarkan pada surat Al-Hasyr ayat 6-10; surat Al-Anfal ayat 41 yang dikhususkan pada ayat-ayat dalam surat al-Hasyr.
• DI kalangan madzhab-madzhab ada perbedaan pendapat. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, bahwa
harta yang dihasilkan dalam peperangan (ghonimah) agar dibagikan pada para yang ikut serta dalam peperangan, apapun
bentuknya baik dalam bentuk benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak. Hal ini berlandaskan pada surat Al-
Anfal dan juga didasarkan pada kegiatan Nabi SAW saat membagikan lahan-lahan Khaibar kepada para prajurit yang
mengikuti peperangan. Harta rampasan perang boleh menjadi menjadi tahanan Negara apabila cara memperolehnya tidak
melewati sebuah peperangan, atau biasanya dikatakan dengat istilah “Al-Fai”.
LANJUTAN
• Imam Malik yang mengatakan bahwa bendaa /harta rampasan perang yang tidak dapat
bergerak seperti tanah, tidak boleh dibagikan kepada para prajurit, akan tetapi dijadikan
waqaf, yang nantinya hasil wakar tersebut akan digunakan untuk fasilitas bersama seperti
biaya operasional pemerintah, dan juga fasilitas sosial lainnya. Jika ada keperluan khusus
yang mmendesak maka harta waqaf boleh dibagi-bagikan oleh pemerinta
• Pendapat Imam Abu Hanifah dalam harta rampasan perang, memberikan kebebasan yaitu
tanah-tanah hasil rampasan perang di serahkan sepenuhnya kepada kepala negara yang
memiliki kekuasaan dalam mentukan kebijakan, apa mau mdnengikuti Nabi saw dengan
membagikan ghanimah kepada prajurit atau dijadikan sumber penghasilan yang akan
digunakan untuk kepentingan umum
5. Kerancuan makna dalam suatu kata
• Adanya lafadz / kata dalam ayat al-Qur’an yang tidak menunjukkan adanya kejelasan arti
• Contoh kasus, dalam memahami lafadz “ al-Ayyam- al-Ma’luumaat “ dalam surat al-Hajj ayat 28 yaitu tentang waktu
pelaksanaan penyembelihan hewan qurban atau Dam;
1. Mayoritas (Jumhur) ulama menyepakati penetapan hari penyembelihan hewan qurban pada bulan Dzulhijjah tanggal 10, 11,12
dan 13
2. Tetapi Terjadi perbedaan pendapat Ketika menentukan waktunya penyembelihannya :
• Mayoritas ulama’ yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ishaq dan Imam Abu Tsur. Membolehkan
penyembelihan pada waktu siang atau malam hari. Hanya saja Imam Syafi’i menghukumi makruh pada pemotongan hewan
qurban saat malam hari
• Imam Malik ,membolehkan penyembelihan hewan hanya pada siang hari saja, dan tidak boleh pada malam hari
• Timbulnya perbedaan ini karena bedanya penafsiran pada kata “Ayyam” dapat diartikan dengan “siang dan malam”, tapi juga
dapat diartikan dengan “siang” saja
6. Adanya kontradiksi pada beberapa dalil
• Ada kontradiksi beberapa dalil hadis yang menjelaskan tentang Tayamum sehingga terjadi perbedaan pendapat
Dikalangan ulama mazhab . Seperti
• Menurut pendapat Imam Ahmad bin Hambal (mazhab Hambali) , bahwa “tayamum” cukup dilakukan denga satukali
sentuhan debu, yang digunakan untuk mengusap wajah dan tangan. Pendapat tersebut diikuti oleh mayoritas ahli hadits.
Hal ini didasarkan pada dalil hadis diriwayatkan oleh ‘Ammar bin Yasir r.a yang mengemukakan, sabda Rasulullah
SAW bahwa: “Dalam bertayamum itu satu sentuhan/pukulan, untuk muka dan kedua tangan”. (hadis Riwayat Imam
Ahmad dan Imam Abu Dawud)
• Menurut pendapat madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanafi, bahwa dalam melakukan tayamum harus dengan dua kali
pukulan yaitu dengan menyentuh debu , satu sentuhan untuk mengusap wajah dan sentuhan yang kedua untuk
mengusap tangan.. Dasarnya adalah hadits yang dinyatakan oleh Ibnu Umar dan Abu Umamah, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW yaitu : “Tayamum itu dua kali sentuhan/ pukulan, sekali sentuh utnuk muka, dan sentuhan lainnya
untuk kedua tangan sampai dengan kedua siku”
7. Tidak terdapatnya Nash dalam suatu masalah
• Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, beberapa masalah muncul khususnya masalah-
masalah baru dikarenakan dinamika perkembangan zaman yang terjadi pada masalah sosial,
dan masalah baru tersebut belum terdapat nash al-Quran ataupun ketetapan hukum yang
ditunjukkan oleh Nabi SAW melalui hadis.
• Hal tersebut telah mendorong para sahabat dan ulama berijtihad dengan berbagai metode
ijtihad yang berbeda-beda :
Melalui kesepakatan para ahli (ijma’),
Melalui Qiyas , atau bahkan melalui metode-metode yang diperselisihkan ulama, seperti
Melalui metode yang penggunaannya masih diperselisihkan ulama seperti Istihsan (Imam
Hanafi) Maslahat Mursalat (Imam Syafii)
LANJUTAN
• Berbegai metode yang digunakan untuk berijtihad inilah yang kemudian menimbulkan perbedaan pendapat
• Sebagai contoh adalah tentang “Hak Waris Kakek” yang bersamaan dengan adanya hak waris sanak saudara
orang yang meninggal (Mirats al-jaddi ma’al ikhwati), ada dua pendapat sahabat Nabi saw tentang hal
tersebut
 Pertama, Ibnu Abbas r.a berpendapat: kakek lebih diutamakan daripada saudara-saudara orang yang
meninggal dalam kewarisan. Jika masih ada kakek dengan saudara bagi yang meninggal, maka kakek
menutup hak waris terhadap saudara. Ulama-ulama mujtahidin yang setuju mengikuti pada pendapat yang
pertama adalah Abu Hanifah, Zufar, Hasan bin Ziyad, Dawud Al-Dhohiri dan Ibnu Hambal
 kedua, kakek dan saudara-saudara yang meninggal samasama berhak mendapatkan warisan. Ulama
Mujtahid/Mazhab y ang setuju terhadap pendapat yang kedua adalah madzhab Syafi’i, Maliki dan Hambali
KESIMPULAN
Dari semua penjelasan perbedaan pendapat dalam istinbath ataupun Ijtihad hukum Islam ,
bahwasannya akar penyebab dari terjadinya perbedaan-perbedaan pendapat di antara para
fuqoha (ulama ahli fiqih) pada dasarnya dapat di klasifikasikan menjadi tiga sebab
(sebagaimana yang dikatakan Syeikh Ali Al-Khofif dan Prof Wahbah al-Zuhaili), yaitu:
1. Perbedaan tingkat Kemampuan berfikir pada setiap orang /ulama fiqh
2. Perbedaan tingkat Kemampuan Penguasaan dan pemahaman atas nash/dalil al-Qur’an
dan Sunnah(hadis Nabi)
3. Perbedaan metodologi yang dipakai para fuqaha’dalam melakukan ijtihad hukum Islam

Anda mungkin juga menyukai