Anda di halaman 1dari 35

A.

Pengertian Madzhab Shahabi


Madzhab Shahabi berarti “pendapat para sahabat
Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan Madzhab
Shahabat(pendapat sahabat) ialah pendapat para sahabat
yang tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik
berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat
atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus
yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya
ijma para sahabat yang menetapkan hukum tersebut.
Persoalan yang dibahas oleh para ulama ushul fiqh
adalah, apabila pendapat para sahabat itu diriwayatkan
dengan jalur yang shahih, apakah wajib diterima,
diamalkan, dan dijadikan dalil?
Setelah Rasulullah wafat, maka tampilah untuk memberi
fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum untuk
mereka, kelompok dari sahabat yang telah mengenal fiqh
dan ilmu, dan merekalah yang telah lama mempergauli
Rasulullah dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-
hukumnya. Dari mereka pula telah keluar beberapa fatwa
mengenai beberapa macam peristiwa. Sebagian para
tabi’in di antara para tabi’in dan tabi’in-tabi’in telah telah
memeperhatikan periwayatannya, sehingga diantara
mereka ada yang mengkondifikasikannya bersama sunah-
sunah Rasul.
Ringkasan pembicaraan dalam judul ini, adalah
bahwasanya tidak ada perselisihan mengenai ucapan
sahabat dalam hal yang tidak bisa terjangkau oleh
pendapat dan akal sebagai hujjah bagi umat Islam, karena
ucapan itu tidak boleh tidak diucapkan karena mendengar
dari Rasul, seperti ucapan Aisyah r.a.: “Tidaklah berdiam
kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun,
menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan
alat tenun”.
Contoh ini tidak dapat menjadi tempat ijtihad dan
pendapat, oleh sebab itu apabila hal tersebut sah,
sumbernya adalah pendengaran dari Rasul, maka
termasuk Sunnah, sekalipun pada lahirnya ialah dari
sahabat.
Dan tidak ada perselisihan juga bahwa ucapan sahabat
yang yang tidak diketahui dari kalangan sahabat lain
adalah yang menentang, adalah juga hujjah bagi umat
Islam, karena kesepakatan mereka atas hukum menegani
suatu peristiwa, dengan dasar atas dekatnya waktu mereka
bertemu dengan Rasul dan atas dasar pengetahuan mereka
terhadap rahasia-rahasia pembentukan hukum, juga atas
dasar perselisihan mereka dalam beberapa peristiwa selain
peristiwa tersebut, adalah sebagai dalil atas bersandar
mereka kepada dalil yang pasti. Hal ini seperti ketika
meraka telah sepakat atas pembagian waris kepada nenek-
nenek perempuan dengan bagian 1/6 (seperenam), maka
itu adalah hukum yang wajib diikuti, dan dalam masalah
itu tidak diketahui ada perselisihan antara umat Islam.
B. Siapa yang disebut dengan Sahabat?
Yang dimaksudkan dengan sahabat, menurut ulama usul
fiqh, adalah “seseorang yang bertemu dengan Rasulullah
SAW. Dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup
bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan
oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan
khusus dengan Rasulullah SAW., sehingga secara adat
dinamakan sebagai sahabat. Adapula ulama yang
mempersingkat identitas sahabat itu dengan “orang-orang
yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad
SAW. Serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup
lama.
C. Keadaan para Sahabat setelah Rasulullah SAW
wafat
Setelah Rasulullah SAW. Wafat, tampillah para sahabat
yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqh
untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dalam
mebentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling
lama bergaul dengan Rasulullah SAW. Dan telah
memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari
mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang
bermacam-macam. Para mufti dari kalangan Tabi’in dan
Tabi’it-Tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan
pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Di antara mereka ada
yang mengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah
Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-
sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan
nash. Bahkan, seorang Mujtahid harus mengembalikan
suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum
kembali kepada Qiyas. Kecuali kalau hanya pendapat
perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat
Islam.
D. Kehujjahan Madzhab Shahabi
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa
pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil
ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun
ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa
pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan
yang tidak dapat dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima
sebagai hujjah. Kemudian, para ulama ushul fiqh juga
sepakat bahwa ijma’ sahabat jelas, atau ijma’ sahabat
yang tidak diketahui ada yang mengingkarinya dapat
dijadikan hujjah, seperti kakek berhak menerima
pembagian warisan seperenam harta yang ditinggalkan
simayat (pewaris).
Persoalan yang menimbulkan perbedaan pendapat
dikalangan para ulama adalah pendapat para sahabat yang
berdasarkan ijtihad semata-mata, apakah menjadi hujjah
bagi generasi sesudahnya?
Ulama Hanafiyyah, Imam Malik, Qaul Qaddim Imam Al-
Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Hanbal,
menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah
dan apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan
qiyas (analogi) maka pendapat sahabat didahulukan.
Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman
Allah alam surat Ali-Imran,3: 110: yang artinya: “Kamu
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk menusia,
menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar…” menurut mereka, ayat ini ditunjukan kepada
para sahabat. Kemudian dalam ayat lain Allah SWT juga
berfirman, yang artinya “Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama (masuk Islam) diantara orang-orang
Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka… {Q.S.
Al-Taubah, 9: 100}.Dalam ayat ini, menurut mereka,
Allah secara jelas memuji para sahabat, karena merekalah
yang pertama sekali masuk Islam. Pujian ini juga
diberikan kepada generasi sesudah mereka yang
mengikuti langkah-langkah para sahabat.
Alasan ini yang mereka kemukakan adalah sabda
Rasulullah SAW, yaitu sahabatku ibarat bintang,
siapapun kamu ikuti, maka kamu akan mendapat
petunjuk. (H.R. Abu Daud). Dalam Hadits lain Rasulullah
juga bersabda: Hendaklah kamu berpegang sunnahku dan
sunnah khalifah yang empat sesudah saya…(H.R. Abu
Daud dan Ahmad ibn Hanbal).
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal,
kedua sabda Rasulullah SAW. Itu secara jelas
menunjukkan bahwa umat Islam diwajibkan untuk
mengikuti sunnah para sahabat. Selanjutnya Imam Malik
dan Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa adalah
sangat mungkin apa yang dilakukan dan dikatakan para
sahabat itu datangnya dari Rasulullah SAW., bahkan tidak
sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk
Rasulullah SAW. Disamping itu, para sahabat tidak akan
mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-hal yang
amat penting.
Sebagian ulama Syafi’iyyah, Jumhur al-Asya’irah,
Mu’tazilah dan Syi’ah mengatakan bahwa pendapat
sahabat itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan hukum, karena ijtihad mereka sama denga
ijtihad ulama lainnya yang tidak wajib diikuti mujtahid
lain. Dalam penelusuran terhadap pendapat para sahabat,
ditemukan bahwa sebagian pendapat mereka didasarkan
kepada ijtihad, dan terjadinya kesalahan dalam ijtihad itu
bukanlah suatu yang mustahil, karena tidak ada jaminan
bahwa mereka tidak akan salah dalam melakukan ijtihad.
Adakalanya para sahabat berbeda pendapat dalam
menetapkan hukum pada suatu kasus.
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Terhadap pendapat
orang yang tidak terlepas dari suatu kesalahan dan
kelalaian, pendapatnya tidak bisa dijadikan hujjah,
karena mereka bukanlah orang yang ma’shum (terhindar
dari kesalahan). Para sahabat sendiri sepakat untuk
berbeda pendapat, sehingga Abu Bakar Bin ‘Umar ibn
Khathab membiarkan saja orang-orang yang tidak
sependapat dengannya, bahkan mereka menganjurkan
agar setiap sahabat beramal sesuai dengan hasil
ijtihadnya masing-masing”.
Akan tetapi, Imam al-Syafi’I, menurut Mushthafa Dib al-
Bugha, banyak mengambil pendapat para sahabat, bahkan
ijma’ yang ia terima sebagai dalil dalam menetapkan
hukum adalah ijma’ yang dilakukan para sahabat.
Disamping hukum-hukum parsial yang diambilnya dari
pendapat para sahabat. Misalnya, apabila terjadi
perbedaan pendapat para sahabat, Imam al-Syafi’I
mengambil pendapat sahabat yang lebih dekat kepada
kandungan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, seperti pendapat
ibn ‘Abbas tentang tidak diterimanya kesaksian seorang
anak kecil. Dalam hubungan ini Imam al-Syafi’I
mengatakan pendapat ibn ‘Abbas lebih dekat kepada al-
Qur’an dan qiyas, Imam al-Syaafi’I juga mengambil
pendapat seorang sahabat yang tidak diketahui apakah
disetujui atau tidak oleh sahabat lain, seperti pendapat
Utsman ibn ‘Affan tentang hilangnya kewajiban shalat
jum’at apabila bertepatan dengan hari raya ‘Idul Fitri atau
‘Idul Adha. Tidak diketahui pendapat sahabat lain-setuju
atau tidak-berkaitan dengan pendapat Utsman ibn ‘Affan
ini. Pendapat sahabat seperti ini dapat diterima oleh ulama
Syafi’iyyah.
Ulama Hanifiyyah membedakan antara pendapat sahabat
yang sama sekali bukan permasalahan ijtihadiyyah
dengan pendapat para sahabat yang populer (tersebar
luas) dan tidak diketahui adanya sahabat lain yang tidak
menyetujui pendapat tersebut, serta pendapat sahabat
yang didasarkan kepada ijtihad tetapi tidak populer.
Apabila pendapat tersebut bukan dalam masalah
ijtihadiyyah dan tidak diketahui adanya sahabat lain yang
tidak menyetujuinya, menurut ulama Hanafiyyah,
pendapat itu dapat diterima sebagai hujjah dalam
menetapkan hukum syara’. Alasan mereka adalah, dalam
permasalahan yang tidak boleh dilakukan ijtihad, para
sahabat tidak mungkin melakukan ijtihad terhadap
permasalahan itu. Juga diduga keras bahwa pendapat itu
muncul dari petunjuk atau sikap Rasulullah SAW.
Pendapat seperti ini, menurut ulama Hanafiyyah,
statusnya sama dengan Sunnah Taqririyyah (pengakuan
Rasulullah SAW. Terhadap perbuatan para sahabat).
Terhadap pendapat sahabat yang didasarkan kepada hasil
ijtihad mereka dan pendapat tersebut tersebar luas
dikalangan sahabat serta tidak diketahui ada sahabat lain
yang tidak menyetujuinya, maka pendapat seperti ini,
menurut ulama Hanafiyyah, dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan hukum. Menurut mereka, pendapat sahabat
dalam kategori kedua ini sama statusnya dengan ijma’
sukuti (kesepakatan yang terbentuk dari pendapat seorang
mujtahid sedangkan mujtahid lainnya tidak membantah
atau diam saja). Ulama Hanafiyyah berprinsip bahwa
ijma’ sukuti dapat dijadikan hujjah alam menetapkan
hukum syara’. Misalnya, pendapat Abu Bakar tentang
bagian warisan nenek sebanyak seperenam harta waris.
Apabila pendapat para sahabat itu didasarkan kepada hasil
ijtihadnya dan tidak populer, ulama Hanafiyyah tidak
menjadikannya sebagai hujjah. Terhadap permasalahan
ini seluruh ulama ushul fiqh sepakat untuk menolaknya.
Dalam hubungan inilah Imam Abu Hanifah mengatakan,
“Mereka itu (sahabat) laki-laki (pahlawan, mujtahid) kita
juga laki-laki.
E. Dalil-Dalil tentang Madzhab Shahabi
Dalam menetapkan fatwa-fatwa Shahabat sebagai hujjah,
jumhur fuqaha mengemukakan beberapa argumentasi,
baik dengan dalil aqli maupun dalil naqli. Adapun dalil-
dalil naqli adalah sebagai berikut :
1. Firman Allah SWT. Yang Artinya :
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah”.
(At-Taubah : 100).
2. Sabda Rasulullah SAW. Yang berbunyi :
“Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercayai)
shahabatku, sedangkan shahabatku adalah kepercayaan
para umatku”.
Kalau kita lihat dari dalil naqli yang pertama (firman
Allah dalam surat at-Taubah : 100), sungguh allah swt.
Telah memberikan apresiasi bagi orang yang mengikuti
para Shahabat. Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa kita diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-
petunjuk mereka, dan oleh karena itulah fatwa-fatwa
mereka dapat juga dijadikan hujjah.
Adapun pada dalil naqli yang ke-dua (hadits Nabi),
kepercayaan umat kepada shahabat berarti menjadikan
fatwa-fatwa shahabat sebagai bahan rujukan karena
kepercayaan shahabat kepada Nabi berarti kembalinya
mereka kepada petunjuk Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan argumentsi yang bersifat akal atau rasional
(dalil aqli) ialah :
a. Para Shahabat adalah orang-orang yang lebih dekat
kepada Rasulullah SAW. dibanding orang lain. Dengan
demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’,
lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu
turunnya Al-Qur’an, mempunyai keikhlasan dan
penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada
petunjuk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi di mana
nash–nash Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-
fatwa mereak lebih layak untuk diikuti.
b. Pendapat-pendapat yang dikemukakan para Shahabat
sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Nabi dengan
alasan mereka sering menyabutkan hukum-hukum yang
dijelaskan oleh Rasulullah SAW. tanpa menyebabkan
bahwa hal itu datang dari Nabi, karena tidak ditanya
sumbernya. Dengan kemungkinan tersebut, di samping
pendapat mereka selalu didasarkan pada Qiyas atau
penalaran maka pandangan mereka lebih berhak untuk
diikuti, karena pandangan tersebut kenungkinan besar
berasal dari nash (hadits) serta sesuai dengan daya nalar
rasional.
c. Jika pendapat para Shahabat didasarakan pada Qiyas,
sedang para Ulama yang hidup sesudah mereka juga
nenetapkan hukum berdasarakan Qiyas yang berbeda
dengan pendapat Shahabat, maka untuk lebih berhati-hati,
yang kita ikuti adalah pendapat para Shahabat karena
Rasulullah SAW. bersabda :
“Sebaik-baik generasi, adalah generasiku di mana aku
diutus oleh Allah dalam generasi tersebut”.
BAB. III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat dipahami bahwa
tidak semua Ulama sepakat untuk mengambil dan
mengikkuti Madzhab Shahabat sebagi hujjah dalam
menetapkan suatu hukum. Akan tetapi sebagaimana
dijelaskan oleh Syeikh Muhammad Abu Zahrah jumhur
ulama mengikuti dan mengambil Madzhab Shahabat
sebagi hujjah dalam istimbath hukum, terutama Imam
Madzhab yang empat (Imam, Maliki, Imama Hanafi,
Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali).
Kemudian, alasan Ulama menggunakan pendapat
Shahabat sebagai hujjah, mereka berdasarkan beberapa
dalil baik naqli maupan aqli. Salah satu di antara dalil
tersebut adalah:
Firman Allah SWT. Yang Artinya :
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah”.
(At-Taubah : 100).
Dan juga dalil aqli, yaitu:
“Para Shahabat adalah orang-orang yang lebih dekat
kepada Rasulullah SAW. dibanding orang lain. Dengan
demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’,
lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu
turunnya Al-Qur’an, mempunyai keikhlasan dan
penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada
petunjuk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi di mana
nash-nash Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-
fatwa mereke lebih layak untuk diikuti”.
Juga dikatakan bahwa: Pendapat Shahabat tidak menjadi
hujjah atas Shahabat lainnya. Hal ini telah disepakati.
Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah
pendapat Shahabat bisa menjadi hujjah atas Tabi’n.
Ulama ushul memiliki tiga pendapat, di antaranya adalah:
1. Satu pendapat mengatakan bahwa Madzhab Shahabat
dapat menjadi hujjah. Pendapat ini berasal dari Imam
Maliki, Abu Baker Ar-Razi, Abu Said shahabat Imam
Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi’i dalam madzhab
qadimnya, termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam
salah satu riwayat.
2. Satu pendapat mengatakan bahwa Madzhab Shahabat
secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah/dasar hukum.
Pendapat ini berasal dari jumhur Asyariyah dan
Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam madzhabnya yang jadid
juga Abul Hasan Al-Kharha dari golongan Hanafiyah.
3. Ulama Hanafiyah, Imam Malik, Qaul Qadim Imam
Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad Bin
Hanbal, menyatakan bahwa pendapat shahabat itu
menjadi hujjah dan apabila pendapat shahabat
bertentangan dengan qiyas maka pendapat shahabat
didahulukan. Wallahu a’lam
Mazhab sahabi
 Pengertian
Mazhab sahabi di sebut juga dengan qaul shahabi.yakni
pendapat sahabat rasulullah SAW tentang suatu kasus di
mana hukumnya tidak di tetapkan secara tegas dalam al-
quran dan hadits.
Dan yang di maksud dengan sahabat rasulullah,
seperti di kemukakan oleh Muhammad ajjaj al- khatib ahli
hadits berkebangsaan syiria, dalam karyanya ushul al-
hadits mengatakan bahwa yang di maksud denagn sahabat
rasulullah SAW adalah setiap orang muslim yang hidup
bergaul dengan rasulullah dalam waktu yang cukup lama
serta menimba ilmu dari rasulullah.
 Macam- macam mazhab sahabi
1) Apa yang di sampaikan sahabat itu berupa berita yang
di dengarnya dari rasulullah, tetapi orang tersebut tidak
menjelaskan bahwa berita itu sebagai sunnah nabi SAW.
2) Apa yang di sampaikan sahabat itu sesuatau yang di
dengarnya dari orang yang pernah mendengarnya dari
nabi, tetapi orang tersebut tidak menjelaskan bahwa yang
di dengarnya itu berasal dari nabi SAW.
3) Sesuatu yang di sampaikan sahabat itu merupakan
pemahamannya terhadap ayat-ayat al- quran yang orang
lain tidak memahaminya.
4) Sesuatu yang di samapaikan sahabat itu telah di
sepakati di lingkungannya, namun yang menyampaikan
hanya sahabat itu seorang diri.
5) Apa yang di sampaikan sahabat merupakan hasil
pemahamannnya terhadap dalili- dalil karena
pemahamannya dalam bahasa dan dalam penggunaan
dalil lafal.
 Kehujahan mazhab sahabat
Yang dimaksud dengan kehujjahan di sini adalah
kekuatan yang emengikat untuk di jalankan oleh umat
islam. Para ulam berbeda pendapat mengenai kehujjahan
bagi orang lain selain sahabat.
Perbedaan tersebut di kemukakan oleh beberapa ulama,
diantranya :
1) Ulama kalam asy-ariyah, muktazilah, imam syafii
dalam satu qaulnya, ahmad dalam suatu riwayatnya dan
al- karakhi dari ulama malikiyah. Mereka mengtakan
bahwa pendapat sahabt yang berasal dari ijtihadnya
tidaklah menjadi hujjah hokum islam. Mereka
mengemukakan ayat al- quran surah an-nisa’ ayat 59.
Yang memiliki arti :
“jika kamu berselisih pendapat kembalilah kepada Allah
dan rasul “
2) Para ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat
itu menjadi hujjah mutlak di antaranya yaitu : hanafiah,
hambali, dan maliki. Ayang argument mereka gunakan
yaitu salah satunya surah al- Imran ayat 110. Yang
memiliki arti :
“ kamu adalah ummat terbaik yang di keluarkan kepada
manusia. Menyuruh berbuat ma’ruf.”

C. Sa’ad al- zara’i


 Pengertian
Sa’ad al- zarai tediri atas dua kata. Sadd artinya
menyumbat atau menutup. Sedangkan zara’I berarti
penrantara. Pengertian zarai sebagai wasilah di kemukan
oleh nasrun harun dan abu Zahra mengartikannya sebagai
jalan kepada sesuatu atau seuatu yang membawa kepada
sesuatu yang di larang atau mengandung kemudaratan.
Sedangkan ibnu taimiyyah mengartikan zarai perbuatan
yang zahirnya boleh tapi menjadi perantara kepada
perbuatan yang di haramkan. Maka dalam konteks
metodologi pemikkran hukumislam, saddus zarai dapat di
artikan sebagai suatu usaha yang sungguh- sungguh dari
seorang mujtahid untuk menetapkan hukum dengan
melihat akibat hukum yang di timbulkan yaitu dengan
menghambat sesuatu yang menjadi perantara pada
kerusakan.

 Contoh saad al- zara’i


1) Zina hukumnya haram, maka melihat aurat wanita
yang menghantarkan ke perbuatan zina juga merupakan
haram
2) Shalat jum’at merupakan kewajiban, maka
meniggalkan segala kegiatan untuk melaksanakan shalat
jum’at wajib pula hukumnya.
3) Nabi melarang membunuh orang munafik, Karena jika
membunuh mereka bisa menyebabkan nabi di tuduh
membunuh sahabatnya
4) Nabi melarang untuk menerima hadiah dari debitor
karena cara demikian bisa mengrahkan kepada riba
5) Nabi melarang fakir miskin dari bani hasyim
menerima bagian dari zakat agar tidak menimbulkan
fitnah bahwa nabi memperkaya diri dan keluarga dari
zakat
6) Janganlah kamu mencaci orang yang mencaci allah
SWT. Karena mereka akan mencaci Allah SWT. Lebih
dari itu.

 Objek saddu al- zarai


1) Perbuatan yang akibatnua menimbulkan kerusakan
atau bahaya, seperti menggali sumur di belakang pintu
rumah di jalan yang gelap, yang bisa membuat orang yang
akan masuk ke rumah jatuh ke dalamnya.
2) Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan atau
bahaya, seperti berjualan makanan yang tidak
menimbulkan bahaya, menanam anggur.
3) Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan
menimbulkan bahaya, tidak di yakini dan tidak pula di
anggpa jarang terjadi. Dalam keadaan ini, dugaan kuat di
samakan dengan yakin karena menutup pintu trhadap
kerusakan sedapat mungkin. Contohnya: menjual senjata
di waktu perang.
4) Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan,
tetapi belum mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan
itu, seperti jual beli yang menjadi sarana bagi riba, ini di
haramkan.

D. Dilalatul iqtiran
 Pengertian
Dalalatul iqtiran secara bahasa berarti dalil yang
bersama- sama, secara istilah adalah dalil yang
menunjukkan bahwa sesuatu itu sama hukumnya dengan
sesuatu yang di sebut bersama- sama.
 Contoh dilalatul iqtiran
1) Firman Allah SWT dalam surah an- nahl ayat 8. Yang
berarti : “ dan dia (jadikan) kuda, bighal dan keledai
untuk kamu jadikan kendaraan dan perhiasan.
2) Firman Allah SWT dalam surah al- baqarah ayat 196.
Yang memiliki arti :“ sempurnakanlah ibadah haji dan
umrah karena allah (QS. Al- baqarah /2: 196)
 Kedudukan dilalatul iqtiran
Para ulam berbeda pendapat mengenai dilalatul iqtiran
sebgai sumber hokum islam. Yaitu :
1) Sejumlah ulam yang yang berpendapat bahwa dilaaltul
iqtiran tidak dapat di jadikan hokum islam, mereka
beralasan : “ sesungguhnya bersama- sama dalam suatu
himpunan tidak mesti bersamaan dalam hokum”
2) Sebagian ulama yang lain dari golongan hanafiyah,
malikiyah, dan syafiiyah mengatakan bahwa dilalatul
iqtiran dapat di jadikan hujjag dengan alasan :
“sesungguhnya ‘athaf itu menghendaki masyarakat”
Hadits-hadits terkait
Ada beberapa hadits yang memang langsung terkait
tentang masalah ini. Yang Dzahirnya memang
menunjukkan adanya isyarat gugurnya kewajiban shalat
Jum’at dengan adanya hari raya yang jatuh pada hari itu.
1. Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy Syami, beliau
berkata, “Aku pernah menyaksikan Mu’awiyah bin
Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu bertanya Zaid bin
Arqam radhiyallahu ‘anhu: “Apakah kamu pernah
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
terjadi dua ‘Id terkumpul dalam satu hari? ”[1], ia
menjawab : “Iya (pernah)”, Mu’awiyah bertanya:
“Bagaimanakah yang beliau lakukan”, ia menjawab:
“Beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) shalat ‘Id
kemudian memberikan keringanan untuk pelaksanaan
shalat Jum’at, beliau bersabda : “Barangsiapa yang
berhendak shalat maka shalatlah ia”.[2]
2. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Pada hari ini terkumpul bagi kalian dua hari raya,
barangsiapa yang ingin mencukupkan dengan (shalat
id) dari shalat Jum’at, maka itu cukup baginya, tetapi
kami tetap shalat Jum’at bersama”.[3]
Perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini
Dalam memaknai hadits diatas, ulama terbagi menjadi
dua golongan. Sebagian ulama menyimpulkan bahwa
shalat Jum’at menjadi tidak wajib bila waktunya
bertepatan dengan jatuhnya hari ‘Id. Karena secara dzahir
tidak ada makna yang bisa disimpulkan dari hadits-hadits
tersebut kecuali memang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menjadikan adanya shalat ‘Id sebagai
keringanan untuk kewajiban shalat Jum’at.

Namun, mayoritas ulama berpendapat sebaliknya, shalat


Jum’at tetap wajib hukumnya sebagaimana asalnya, dan
kewajibannya tersebut tidak gugur meskipun waktunya
bertepatan dengan hari raya. Menurut jumhur, ada
beberapa sebab mengapa hadits-hadits diatas tidak bisa
menjadi pembatal atas kewajiban shalat Jumat,
sebagaimana yang akan kami sebutkan berikut ini.

Dalil pendapat yang tetap mewajibkan


Pertama : Keumuman firman Allah Ta’ala, “Hai orang-
orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.”
(QS. Al Jumu’ah: 9)

Kedua : Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at.


Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka
Allah akan mengunci pintu hatinya.”(HR. Abu Dawud)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Shalat
Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim
dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak,
[2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.” (HR.
Abu Dawud)

Ketiga : Karena shalat Jum’at dan shalat ‘Id adalah dua


shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama
berpendapat bahwa shalat ‘Id itu wajib), maka shalat
Jum’at dan shalat ‘Id tidak bisa menggugurkan satu sama
lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Id. Atau
bila shalat ‘Id dipandang berhukum sunnah, dianggap
tidak tepat bila bisa menghapus sebuah kewajiban, dalam
hal ini shalat Jum’at.

Keempat : Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi


yang telah melaksanakan shalat ‘Id yang dipahami dari
hadits-hadits diatas adalah berlaku khusus untuk ahlul
bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui), orang
yang tinggal diperkampungan, atau mereka yang jauh dari
tempat pelaksanaan shalat Jum’at.

Hal ini diperkuat oleh adanya riwayat dari Abu ‘Ubaid


bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan
radhiyallahu’anhu dan hari tersebut adalah hari Jum’at.
Kemudian beliau shalat ‘Id sebelum khutbah. Lalu beliau
berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia.
Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari
raya. Siapa saja dari yang nomaden ingin menunggu
shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin
pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.” (HR. Bukhari)

Kelima : sebagian ulama syafi’iyah ada yang berpendapat


bahwa hadits-hadits yang telah disebutkan diatas adalah
lemah.

Dalil pendapat yang tidak mewajibkan


Tentu saja para ulama dari kelompok pendapat ini tidak
rela begitu saja dengan sanggahan terhadapa hadits yang
telah disebutkan. Merekapun mengemukakan hujjah-
hujjah pendukung sebagaimana berikut ini :

Pertama: Makna dzahir dari hadits yang menyatakan


tercabutnya kewajiban Jum’at.

Sebagaimana lafadz : “Nabi Shallahu’alaihi Wassallam


melaksanakan shalat ‘Id (pada suatu hari Jumat)
kemudian beliau memberikan rukhshah (keringanan)
dalam shalat Jumat. Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa
yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah dia shalat.”

Dan Lafadz : “Sungguh telah berkumpul pada hari kalian


ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat
hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu
shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan
mengerjakan Jumat.”
Kedua : Mereka memandang hadits-hadits diatas adalah
shahih.

Asy Syaukani dalam As Sailul Jarar (1/304) mengatakan


bahwa hadits Muawiyah diatas tidak tepat dikatakan
lemah, karena memiliki syahid (riwayat penguat).
Demikian juga pernyataan dari salah satu pentolan ulama
syafi’iyah, al Imam An Nawawi dalam Al Majmu’
(4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara
shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam
Al Ahkam Ash Shugra (321) juga mengatakan bahwa
sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar
(2/373) juga turut mengatakan bahwa sanad hadits ini
baik.

Ketiga : Adanya amaliyah shahabat yang menguatkan.

Diriwayatkan dari ‘Atha’, bahwa Ibnu Zubair


radhiyallahu’anhu ketika hari ‘Id yang jatuh pada hari
Jum’at beliau shalat ‘Id bersama kami di awal siang.
Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Zubair
tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu berada di Tha’if. Ketika
Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu
Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun
mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah
(ajaran Nabi) (HR. Abu Dawud)
Demikian pula disebutkan adanya riwayat serupa dari
‘Umar bin Al Khattab. Dan ‘Ali bin Abi Thalib pernah
mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat
‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan
tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang
menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[4]

Keempat : Hukum hadits berlaku umum bukan hanya


untuk penduduk kampung/desa (ahlul badaawi / ahlul
‘aaliyah) tetapi juga bagi penduduk kota (ahlul amshaar /
ahlul madinah). Yang demikian itu karena nash-nash
hadits di atas bersifat umum, yaitu dengan adanya lafahz
“man” (barangsiapa/siapa saja) yang mengandung arti
umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk
kota. Dan lafazh umum tetap dalam keumumannya
selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya.
Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan
(takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh “man”
dalam hadits-hadits di atas berlaku secara umum.[5]

Ulama pendukung pendapat pertama (Jum’at tetap


wajib)
Mayoritas ulama dari mazhab Hanafiyah, Malikiyah dan
Syafi’iyah adalah pendukung pendapat tetap wajibnya
Jum’at yang bertepatan dengan ‘Id.[6] Namun bukan
berarti antar pendukung pendapat pertama ini tidak ada
perbedaan, ternyata mereka juga berbeda satu sama lain
dalam detail permasahalan.

Mazhab Syafi’i
Meskipun mazhab ini termasuk yang mewajibkan shalat
Jumat yang jatuh bertepatan pada hari raya, namun
mereka menetapkan kewajiban tersebut hanya berlaku
bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar).
Adapun penduduk desa/kampung atau penduduk padang
gurun (ahlul badawi) yang datang ke kota untuk shalat Ied
(dan shalat Jumat), sementara di tempatnya tidak
diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak
mengerjakan shalat Jumat.

Mazhab Hanafi dan Maliki


Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat
Jumat, baik bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul
amshaar), maupun penduduk desa/kampung atau
penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd
dalam Bidayatul Mujtahid menjelaskan argumentasi
kedua Imam tersebut : “Imam Malik dan Abu Hanifah
berkata, ‘Shalat hari raya adalah sunnah, sedang shalat
Jumat adalah fardhu, dan salah satunya tidak dapat
menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip
asal (al ashlu) dalam masalah ini, kecuali jika terdapat
ketetapan syara’, maka wajib merujuk kepadanya…”

Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu


Hanifah juga tidak menerima hadits-hadits yang
menerangkan gugurnya shalat Jumat pada hari raya.
Konsekuensinya, beliau berdua kemudian berpegang pada
hukum asal masing-masing, yakni kesunnahan shalat ‘Id
dan kewajiban shalat Jumat. Dasar pendapat mereka
sebenarnya sama dengan pendapat Imam Syafi’i. Namun
demikian, kedua imam ini memberikan perkecualian,
bahwa hukum asal tersebut dapat berubah, jika terdapat
dalil syar’i yang menerangkannya.

Ulama Pendukung pendapat kedua (Jum’at tidak


wajib)

Mazhab Hambali
Mazhab ini dikenal sebagai pemegang utama pendapat
bahwa shalat Jumat gugur apabila pada pagi harinya
seseorang telah melaksanakan shalat ‘Id. Ia hanya wajib
untuk mengerjakan shalat dzuhur.[7]

Tetapi, meskipun shalat Jum’at bagi orang yang telah


mengerjakan shalat ‘Id bukan lagi sebagai kewajiban,
mazhab ini tetap memandang, mengerjakan shalat Jum’at
adalah lebih utama dari meninggalkannya.

Mazhab imam Atha dan Rabi’ah


Sebagian ulama lainnya, yakni imam Atha’ dan Rabi’ah
berpendapat, bila shalat ‘Id telah dilaksanakan, maka
gugur pula kewajiban Jum’at dan demikian pula tidak ada
shalat Dzuhur. Pendapat ini didasarkan kepada 3 (tiga)
alasan, yaitu :

Pertama, berdasarkan amaliyah sahabat Ibnu Zubair yang


hanya mengerjakan shalat ‘Ashar disaat hari raya pada
hari Jum’at. (HR Abu Dawud).

Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal pada hari Jumat,


sedang shalat Dzuhur adalah hukum pengganti (al badal)
bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jika hukum asal telah
gugur, otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.

Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa


Rasul SAW telah memberi rukhshah pada shalat Jumat.
Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk shalat
zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat
Jumat.[8]

Yang disepakati oleh para ulama


Meskipun kita ketahui para ulama berbeda pendapat
tentang masalah ini. Namun ada beberapa poin yang
ternyata mereka menyepakatinya, yakni :
1. Para Ulama bersepakat bulat menetapkan bahwa
yang tidak mengerjakan shalat ‘Id, maka ia tetap
wajib menunaikan shalat Jum’at.
2. Pemerintah tetap wajib memerintahkan dibukanya
masjid-masjid untuk pelaksanaan shalat Jum’at bagi
mereka yang tidak mengerjakan shalat ‘Id.
A. MAZHAB SAHABI
1. Pengertian
Menurut ulama ushul Fiqih, sahabat adalah seorang
yang beriman kepada Rasulluallah mengikutinya dan
bergaul dalam waktu yang cukup lama. Sehingga di
jadikan rujukan oleh generasi sesudahnya, yang
mempunyai hubungan khusus dengan beliau, dan secara
adat bisa disebut sahabat. Setelah Rasul meninggal,
mereka menghasilkan fatwa-fatwa. Para tabi’in
mencurahkan perhatianya terhadap fatwa-fatwa tersebut,
sehingga banyak yang menghimpunya.
2. Macam-macam Mazhab Sahabiy
Fatwa para sahabat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
a. Fatwa yang berdasarkan sunnah Rasullullah SAW.
b. Fatwa yang berdasarkan iztihad para sahabat, tapi
sudah menjadi kesepakatan di antara mereka.
c. Fatwa para sahabat yang belum disepakati dikalangan
mereka.
Contoh dari hukum Fatwa Sahabat, misalnya para sahabat
telah sepakat bahwa bagian waris untuk nenek 1/6.
Sahabat Utsman Bin Affan memeberikan fatwa bahwa
shalat jum’at menjadi gugur, apabila harinya bertetapan
dengan hari raya idul fitri ataupun idul adha. Menurut
ibnu Abbas kesaksian anak kecil tidak dapat di terima.
3. Kedudukan Mazhab Sahabiy sebagai Sumber Hukum
Islam.
a. Fatwa-fatawa yang berdasarkan sunnah Rasullullah
SAW.
b. Fatwa sahabat yang berdasarkan ijtihadnya, tetapi
sudah disepakati oleh diantara mereka, para ulama,
sepakat dapat dijadikan hujah dan juga wajib di ikuti.
c. Fatwa para sahabat yang belum jadi kesepakatan di
kalanagan mereka, para ulama bebeda pendapat, yaitu :
 Dapat dijadikan hujah atau dasar hukum islam.
 Tidak dapat dijadikan hujah atau dasar hukum islam.

B. DALALAH IQTIRAN
a. Pengertian
Menurut arti bahasa ialah dalail yang menunjukan
kesamaan hukum terhadap sesutu yang disebutkan
bersamaan dengan sesuatu yang lain. Ulama ushul fikih
mendefinisikanya sebagai berikut:
“ Pendudukan lafal terhadap kesejajaran hukum, karena
ungkapanya dalam urutan sejajar”
b. Kedudukanaya sebagai sumber hukum
 Jumhur ulama berpendapat bahwa Dalalatul Iqtiran tidak
dapat dijadikan hujjah. Sebab bersamaan dalam satu
susunan tidak mesti bersamaan dalam hukum.
 Abu Yusuf dari golongan hanafiyyah, Ibnu Nasar dari
golongan malikiyyah, Ibnu Hurairoh dari kalangan
safi’iyyah, menyatakan dapat dijadikan hujjah alasan
mereka itu bahwa ‘athaf itu menghendaki musyarakah.
c. Kehujahan Dalalah Iqtiran sebagai sumber Hukum
Islam.
 Tidak menggunakan dlalah iqtiran sebagai sumber
hukum islam, demikan menurut mayoritas ulama.
Alasanaya adalah “sesungguhnya bersama-sama dalam
satu himpuanan tidak mengharuskan bersama-sama
dalam satu hukum”.
 Mneggunakan dalalah iqtiran sebagai hujah yaitu
pendapat ulama malikiyah, hanafiyah dan safi’iyah
lasanya adalah “ sesungguhnya Ataf itu menghendakai
bersama-sama ( Persekutuan )”.
d. Contoh dalalah iqtiran
Terdapat surah Al-Baqarah ayat 196 yang artinya, “
Dan sempurnakanlah ibdah haji dan Umrah karena
Allah”.
Menurut Imam Syafi’i menunjukan bahwa hukum
umrah adalah wjaib, karena disebut bersama-sama
kewajiban ibadah haji, bahkan di hubungkan dengan
huruf atau Wawu

Anda mungkin juga menyukai