Anda di halaman 1dari 4

Mazhab adalah aliran dalam fiqih Islam.

Jadi, terdapat masing-masing kelompok yang


berbeda dalam pemahaman. Jika terdapat perbedaan dalam hal Aqidah tetapi tidak membuat orang
tersebut keluar dari Islam disebut firqah.

Hari ini kita akan membahas mengenai bagaimana munculnya suatu mazhab. Sebelum
mengetahui hal tersebut, kita perlu megetahui dan memahami lebih dulu bagaimana secara fiqih
sebelum terbentuknya mazhab. Pembahasan sebelum terbentuknya fiqih dibagi menjadi 3 bagian:

1. Fiqih di mata Rasulullah


Fiqih sudah ada dan kaum muslimin telah belajar fiqih semenjak Rasulullah diutus.
Rasulullah menjadi satu-satunya sumber fiqih bagi kaum muslimin selama beliau hidup. Dalil
dalam hal ini terdapat dalam QS Al-Maidah ayat 67, QS An-Nahl ayat 44 dan dalam dalil ini
dijelaskan bahwa Rasul mengajari manusia, termasuk di dalamnya tentang hukum-hukum
fiqih. Namun, secara fiqih yang lebih menunjukkan karakter fiqih baru terlihat atau nampak
saat Rasulullah hijrah ke Madinah. Karena pada saat di Mekkah, meskipun sudah terdapat
beberapa ajaran tentang fiqih tetapi belum membentuk ilmu fiqih. Jadi, di Mekkah masih
ditekankan dalam urusan akidah. Quran turun 2/3 di Mekkah banyak tentang akidah dan
dakwah kepada Islam. Dan saat Rasulullah masih hidup, tidak ada satu pun sahabat yang
berani memberikan pendapat tentang hukum. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan
secara hukum. Ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa terdapat sahabat yang
berijtihad selama Rasul masih hidup. Namun, hasil ijtihad tersebut tidak menunjukkan
sumber hukum tetapi hanya menunjukkan pemahaman terhadap syariat berdasarkan
perintah Rasulullah. Jadi dapat disimpulkan bahwa fiqih di masa Rasulullah tersebut tidak
ada ikhtilaf atau belum membentuk aliran.
2. Fiqih di mata sahabat
Setelah Rasulullah wafat, mereka memandang bahwa mereka berkewajiban untuk
menyebarkan Islam termasuk diantaranya adalah menyebarkan fiqih. Karena fiqih tidak
mungkin didapatkan kecuali seseorang memahami quran dan sunnah maka para sahabat
juga menyebarkan quran dan sunnah sebagai sumber hukum fiqih. Ketika di masa sahabat-
sahabat ada masalah baru yang muncul dalam dan membutuhkan pemecahan hukum karena
sebelumnya belum pernah terjadi di masa Rasulullah. Akhinya para sahabat mulai
memberikan fatwa hukum berdasarkan pemahaman mereka terhadap alquran dan sunnah.
Karena tidak boleh ada masalah yang timbul tanpa ditegakkan hukum islam karena islam
harus diterapkan untuk menyelesaikan seluruh problematika kehidupan. Metode meraka
dalam berfatwa adalah mereka akan mengambil nash secara langsung bila memang terdapat
nash yang mudah menjelaskan tentang masalah tersebut. Namun jika tidak ada yang jelas
tentang masalah tersebut maka mereka akan berijtihad. Saat mereka berijtihad, mereka
bertumpu pada pengetahuan mereka terhadap nash dan juga bertumpu pada intensitas
interaksi mereka dengan Rasulullah, pengetahuan mereka, termasuk penerapannya. Mereka
tidak mau membuat suatu standar apakah itu bermanfaat atau berbahaya sebagai sumber
hukum. Mereka hanya mengikuti maslahat yang dijelaskan dalil. Mereka dikenal sangat
serius untuk mencari dalil dan tidak segan-segan untuk bertanya kepada kaum muslimin jika
masih ada kemungkinan kaum muslimin yang tau ada hadist nabi terkait masalah tersebut.
Umumnya para sahabat dalam memutuskan suatu fatwa atau memberikan ijtihad mereka
saling merujuk satu dengan yang lain, kemudian ada unsur diskusi, musyawarah,
mendebatkan suatu persoalan sebelum akhirnya mendapatkan hasil atau hukum terkait
permasalahan tersebut. Jadi, ikhtilaf pada zaman tersebut juga sangat kecil.
Kemudian terjadi penaklukan-penaklukan daerah sehingga para sahabat tersebar ke
berbagai tempat. Karena sudah terpisahkan oleh jarak, pertemuan sahabat menjadi lebih
sulit. Ketika ada masalah, masing-masing sahabat berijtihad menurut pengetahuan mereka
masing-masing sehingga di zaman ini mulai terlihat perbedaan dan ragam-ragamnya. Tetapi
perbedaan mereka hanya dari sisi pemahaman terhadap nash, belum mencapai perbedaan
pada metode ijtihad. Perbedaan pemaham ini dapat diakibatkan karena 2 faktor: perbedaan
dalam memahami lafaz dan terdapat sunnah yang belum tertulis sehingga ada sahabat yang
mengetahui dan yang lainnya belum mengetahui.
3. Fiqih di mata tabi’in
Fiqih di masa tabi’in, metode ijtihadnya tidak berbeda dengan para sahabat. Tetapi
terdapat tambahan sumber. Di samping quran dan hadis, mereka juga menggunakan fatwa-
fatwa para sahabat yang ada di berbagai tempat. Ikhtilaf di zaman tabi’in tidak berpengaruh
dalam kehidupan dan tidak membentuk mazhab.

Terbentuk mazhab karena tidak hanya terdapat perbedaan pemahaman tetepi juga terdapat
perbedaan metode ijtihadnya dan sumber-sumber yang menjadi dalil. Terdapat 2 peristiwa yang
menjadi penyebab munculnya istilah fiqih yang melahirkan mazhab.
1. Tragedi Usman
Setelah usman terbunuh dan ali diangkat menjadi khalifah, muawiyah menentang
hal tersebut. Akhirnya terjadi perang antara ali dan muawiyah. Kemudian berakhir dengan
majelis tahqim. Dari majelis tahqim ini muncul partai politik yang awalnya hanya membahas
fiqih terkait khalifah dan khilafah lalu akhirnya meluas ke semua cabang-cabang fiqih yang
lain.
Di zaman itu ada kelompok yang tidak senang dengan kepemimpinan usman dalam
menjalankan kekhilafannya. Kelompok ini juga tidak senang dengan ali karena menerima
majelis taqim. Kelompok ini juga tidak senang dengan muawiyah karena merebut kekuasaan
dengan senjata. Akhirnya kelompok ini tidak memutuskan untuk tidak memihak mereka
semua. Mereka sendiri berpendapat bahwa khalifah itu seharusnya dipegang oleh kaum
muslimin yang murni karena pilihan mereka karena tanpa paksaan. Menurut mereka, semua
orang berhak menjadi khalifah asalkan memenuhi syaratnya. Mereka juga memahami tidak
wajib taat kepada khalifah selain dalam batas-batas alquran dan sunnah. Kelompok ini tidak
mau mengambil hukum yang didasarkan hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat yang
mendukung salah satu diantara mereka. Kelompok ini hanya mau mengambil dari ulama-
ulama mereka dan orang-orang yang mereka ridhai. Kelompok ini disebut Khawarij.
Ada pula kelompok orang yang mencintai ali dan turunannya. Mereka berpendapat
bahwa hanya keturunan ali saja yang berhak memegang kekhilafahan. Kelompok ini juga
menolak hadis-hadis dan fatwa-fatwa yang muncul dari para sahabat. Mereka hanya
menerima hadis-hadis dari kalangan mereka saja. Mereka memiliki fiqih khusus yang disebut
syiah. Sementara mayoritas kaum muslimin adalah sunni.
2. Perdebatan di kalangan ulama
Pada pertengahan abad hijriah, metode-metode mulai semakin menonjol. Dan
setiap tabi’in yang punya majelis ijtihad diikuti sejumlah ulama. Generasi berikutnya
membuat ikhtilaf itu semakin luas karena perbedaannya menjangkau sumber-sumber dalil
dan juga makna-makna bahasa. Dari sini lah terbentuknya mazhab-mazhab yang sekarang
kita ketahui. Setiap mazhab mempunyai metode-metode tersendiri dan punya sumber-
sumber dalil tersendiri yang diakui. Perbedaan metode ijtihad itu kembali pada 3 hal:
a. Sumber dalil yang dipakai
Terdapat 4 perkara mengapa terdapat perbedaan sumber dalil yang
digunakan: perbedaan metode menentukan kevalidan as-sunnah dan hadis,
perbedaan sikap terhadap fatwa sahabat, perbedaan sikap terhadap qiyas,
perbedaan sikap terhadap ijma’.
b. Cara pandang terhadap nafsharah
Ada yang terikat pemahaman terhadap lafaz disebut ahlul hadis. Ada juga
yang memahami makna yang bisa dipahami dari lafaz selain makna lafaz itu sendiri
yang disebut sebagai ahlul ra’yi.
c. Pemaknaan bahasa
Ada yang mengambil makna manthuq (makna yang ditunjukkan oleh lafaz,
sesuai dengan ucapannya) dan mafhum (makna yang ditunjukkan oleh lafal, namun
tidak secara langsung melalui kata-kata tersebut dengan kata lain makna yang
tersirat).

Pindah dari suatu mazhab ke mazhab yang lain atau keluar dari suatu paham menuju paham
yang lainnya merupakan perbuatan wajar dan tidak tercela sama sekali. Dikatakan tidak tercela
selama perbedaan antar afiliasi masih tergolong ikhtilaf syar'i. Ikhtilaf syar'i merupakan perbedaan
mu'tabar dan perselisihan yang tidak mengeluarkan dari Islam atau menjatuhkannya pada kelompok
ahlul bid'ah. Ahlul bid'ah mengacu kepada mereka yang akidahnya menyimpang. Pindah paham
seperti ini dengan motivasi ingin memegang kebenaran maka bukan hanya tidak tercela melainkan
justru kemuliaan dan lebih dekat dengan ketakwaan. Terlebih jika berpindah dari afiliasi batil menuju
afiliasi haqq.

Namun, sebagian komunitas membuat pengikutnya menjadi takut saat ingin keluar dari
komunitas tersebut. Cara ini bisa bersifat positif dan negatif:

1. Positif: diberi jabatan dalam komunitas tersebut atau diberi panggung agar bisa terus eksis di
komunitas tersebut agar merasa bahwa dia sangat penting untuk komunitas tersebut. Bisa
juga dengan dinikahkan dengan orang dari komunitas tersebut, dibuatkan jaringan bisnis,
dibuat model pertemanan yang toxic sehingga jika ingin keluar dari komunitas tersebut akan
merasa sungkan.
2. Negatif: diputus pertemanan, diputus sumber rizkinya, diopinikan sakit hati, diopinikan
terpental dari jalan lurus, diopinikan termakan syubhat.

Semua hal duniawi yang dirancang untuk membuat seseorang tetap bertahan dalam sebuah
alifiasi itu bagi orang yang imannya kuat, kecintaannya kepada Allah dan Rasul lebih tinggi, dan
pembelaannya terhadap kebenaran lebih kuat maka sama sekali tidak akan berpengaruh. Dia akan
tetap memilih jalan hidup dengan mengikuti kebenaran, bukan mengikuti kehendak kelompok
meskipun harus keluar dari afiliasi tersebut.

Pindah mazhab dikatakan tidak tercela, tapi justru lebih dekat dengan ketakwaan karena
memang prinsip yang diajarkan Rasulullah adalah “taharri al-haqq” yang artinya selalu mencari
kebenaran.

Hal yang semacam ini biasa terjadi di masa lalu. Contohnya kisah salah seorang murid senior
Asy-Syafi’i yang bernama Al-Buwaithi. Kira-kira akhir tahun 199 H atau awal 200 H, Asy-Syafi’i
meninggalkan Irak dan berpindah ke Mesir. Waktu itu Mesir banyak didominasi oleh fikih Abu
Hanifah dan Malik. Sebentar saja di Mesir, Asy-Syafi’i sudah demikian berpengaruh. Sampai-sampai
ada tokoh dari dua mazhab itu (Hanafi dan Maliki) yang berpindah ke mazhab Syafi’i. Al-Muzani
awalnya bermazhab Hanafi, kemudian menjadi murid setia Asy-Syafi’i. Demikian pula Al-Buwaithi
yang awalnya bermazhab Maliki akhirnya takluk dengan mazhab Syafi’i.
Pindah mazhab/afiliasi hanya mungkin dilakukan oleh orang yang belum akut fanatisme
kelompoknya. Jika sudah akut ta’asshub/fanatisme itu, maka seumur hidup dan sampai mati mustahil
akan terjadi perpindahan mazhab/afiliasi.

Anda mungkin juga menyukai