Anda di halaman 1dari 8

PENGERTIAN MADZHAB SHAHABI DAN

PENERAPANNYA DALAM USHUL FIQIH


Oleh Ana Zakiyatul Muna

DutaIslam.Com - Sepeninggal Rasulullah Saw. banyak peristiwa dan kejadian baru yang
muncul di kalangan sahabat sehingga menuntut adanya madzhab shahabi. Kehujjahan
adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat Islam, sehingga akan berdosa
jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi Muhammad
Saw.

Kedudukan madzhab shahabi sebagai sumber hukum dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Madzhab shahabi yang berdasarkan sunah rasul wajib ditaati, madzhab shahabi yang
berdasarkan ijtihad dan sudah mereka sepakati (ijma’ shahabi) dapat dijadikan hujjah dan
wajib ditaati, madzhab shahabi yang tidak mereka sepakati tidak bisa dijadikan hujjah dan
tidak wajib ditaati.

Menurut jumhur ulama, sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah Saw. serta
iman kepadanya, dan bersamanya dalam waktu yang cukup lama, dan ketika meninggal
tetap dalam keadaan beriman. Dalam madzhab shahabi terdapat kehujjahan madzhab.
Salah satunya adalah kehujjahan madzhab shahabi menurut Imam Syafi’i.

Kehujjahan di sini membahas tentang perbedaan pendapat ulama di antaranya adalah, -


menurut jumhur ulama, dari kalangan Hanafiyyah, Imam Malik, Asy-Syafi’I yang lama (qaul
al-qadim) dan pendapat Ahmad bin Hanbal yang terkuat,- qaul ash-shahabi merupakan
hujjah.

Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan
berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’,
baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat
bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak dapat dinalar
logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah.

Namun menurut Imam Syafi’i hukum atau fatwa hanya boleh disandarkan kepada dalil
yang pasti yaitu Al-quran dan Sunnah. Dalil naqli yang digunakan oleh segolongan ulama’
atas kebolehan dijadikannya sebagai hujjah. Madzhab shahabi juga dapat di terapkan
dalam kehidupan bermasyarakat.

Pandangan ulama’ Syafi’iyah terhadap madzhab shahabi.


Di sini yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah “pendapat para sahabat Rasulullah
Saw. tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an
dan sunnah rasulullah.1

1
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait : An- Nasyr Wattawzi, 1978), hlm 21.

1
Sedangkan menurut ulama’ Fiqh, yang dimaksud madzhab shahabi yaitu pendapat yang
dikemukakan oleh seorang atau beberapa sahabat Rasulullah secara individu tentang suatu
hukum syara’ yang tidak terdapat ketentuannya dalam Al-Qur’an maupun sunnah
Rasulullah Saw.

Madzhab shahabi itu sendiri menunjukkan pengertian pendapat hukum para sahabat
secara keseluruhan tentang suatu syara’ yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah,
dimana pendapat para sahabat tersebut merupakan hasil kesepakatan di antara mereka.
Yang dimaksud madzhab shahabi menurut Syafi’iyah pendapat orang tertentu di kalangan
sahabat tidak dipandang sebagai hujjah. Beliau memperkanankan untuk mengistimbatkan
pendapat lain. Alasannya, pendapat mereka adalah pendapat ijtihad secara perseorangan
dari orang yang tidak ma’sum.2

Pengertian kehujjahan
Kehujjahan adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat islam, sehingga
akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah nabi
muhammad Saw.3

Contoh madzhab shahabi, antara lain: 1). Kasus pembagian warisan, nenek mendapat
bagian 1/6. 2). Pendapat Utsman bin Affan tentang hilangnya shalat Jumat apabila
bertepatan dengan Idul Fitri dan Idul Adha, 3). Pendapat Ibnu Abbas tentang tidak
diterimanya kesaksian anak kecil.

Kedudukan madzhab shahabi sebagai sumber hukum

Menurut pendapat para sahabat dibagi 3 yaitu :


1. Madzhab shahabi yang berdasarkan sunah rasul wajib ditaati.
2. Madzhab shahabi yang berdasarkan ijtihad dan sudah mereka sepakati (ijma’
shahabi) dapat dijadikan hujjah dan wajib ditaati.
3. Madzhab shahabi yang tidak mereka sepakati tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak
wajib ditaati.

Kehujjahan Madzhab Shahabi


Maksud kehujjahan di sini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat
Islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya
meninggalkan perintah Nabi. Pembicaraan tentang apakah mazhab shahabi itu
menyangkut beberapa segi yang menyangkut beberapa segi pembahasan yaitu: pendapat
sahabat yang berada di luar lingkup ijtihad atau hal lain yang secara qath’i berasal dari
Nabi meskipun secara terang tidak disebutkan berasal dari Nabi, dapat menjadi hujjah. Bila
terdapat dua pendapat atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini maka diselesaikan
dengan cara atau metode yang lazim (berlaku).

2
Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2005), hlm 97-98
3
Syarifudin Amin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2008), cet.4, hlm 381.

2
Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tafiq, tentang
kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu diberlakukan.

Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan
berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’,
baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat
bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak dapat dinalar
logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. Kemudian, para ulama ushul fiqh juga
sepakat bahwa ijma’ sahabat jelas, atau ijma’ sahabat yang tidak diketahui ada yang
mengingkarinya dapat dijadikan hujjah, seperti kakek berhak menerima pembagian
warisan seperenam harta yang ditinggalkan si mayat (pewaris).4

Para ulama’ juga sepakat, qaul ash-shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan dengan
ketentuan hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma’ ash-shahabi) baik
kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma’ ash-sharih) maupun yang
dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang berbeda dengan
pendapat yang berkembang (ijma’ as-sukuti), yang dalam istilah lain disebut dengan
mazhab ash-shahabi.

Sebaliknnya, para ulama’ juga sepakat bahwa qaul ash-shahabi yang merupakan hasil
ijtihad perorangan tidak menjadi hujjah terhadap sahabat lainya. Sebab fakta sejarah
menunjukan bahwa di kalangan sahabat sendiri terjadi perbedaan pendapat dalam
beberapa masalah hukum syara’ tertentu.

Sekiranya pendapat seorang sahabat menjadi hujjah terhadap sahabat lainya, tentu
perbedaan pendapat tersebut tidak terjadi. Pendapat perorangan merupakan hujjah bagi
generasi tabi’in dan generasi berikutnya.5

Madzhab Sahabat secara mutlak tidak menjadi hujjah/dasar hukum atas madzhab shahabi.
Pendapat ini berasal dari jumhur Asyariyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam
madzhabnya (Syafi’iyah) dan juga Abul Hasan Al-Kharha dari golongan Hanafiyah.
Alasannya adalah sebagai berikut:

1. Bahwa sahabat itu tidak maksum (terpelihara) dari kesalahan. Tidak lain halnya
dengan seorang mujtahid yang yang bisa berbuat kesalahan. Mengenai keutamaan
sahabat dengan ilmu dan takwanya, tidaklah mewajibkan untuk mengikutinya.
2. Bahwa sebagian sahabat itu menyelisihi sahabat lainnya.
3. Bahwa ada sebagian tabi’in yang menyalahi madzhab/qaul sahabat.6

Dalam hal ini Imam Syafi’i mengatakan sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahhab Khallaf
dalam kitabnya, begini : “Tidak menetapkan hukum atau memberikan fatwa kecuali dengan
dasar yang pasti, yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits, atau sebagaimana yang dikatakan para

4
Effendi Satria, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005). Hlm 406.
5
Dahlan Abdur Rahman, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Amzah, 2010), hlm 226.
6
Syarmin Syukur, Sumber-sumber Hukum Islam, (Surabaya ; Al-Ikhlas), hlm. 125-128.

3
ilmuan yang dalam suatu hal tidak berbeda pendapat (ijma’), atau dengan mengkiaskan
kepada sebagian dasar ini.7

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama di antaranya yaitu; Menurut jumhur
ulama, yaitu ulama Hanafiyyah, Imam Malik, pendapat Asy-Syafi’I yang lama (qaul al-
qadim) dan menurut pendapat Ahmad bin Hanbal yang terkuat: qaul ash-shahabi
merupakan hujjah.

Bahkan menurut mereka qaul ash-shahabi didahulukan dari pada al-qiyas. Pendapat ini
didasarkan kepada beberapa dalil sebagai berikut: Firman Allah SWT pada surah Ali Imran
(3): 110 yang berbunyi :

ِ ‫َّاس تَأْم رو َن بِا لْم ع ر‬


‫وف َوتَ نْ َه ْو َن عَ نِ ا لْ ُم نْ َك رِ َوتُ ْؤ ِم نُو َن بِال لَّهِ ۗ َولَ ْو‬ ِ ‫كُ نْ ت م خ ي ر أُمَّ ةٍ أُخ رِج‬
ُْ َ ُ ُ ِ ‫ت ل لن‬ ْ َ ْ ََْ ُْ
ِ َ‫اب لَ َك ا َن خ ي را ََل م ۗ ِم نْ ه م ا لْم ْؤ ِم نُو َن وأَ ْك ثَ ره م ا لْ ف‬
‫اس قُ و َن‬ ِ َ‫أَه ل ا لْ كِ ت‬
ُ ُُ َ ُ ُُ ُْ ًْ َ ُ ْ ‫آمَ َن‬
Artinya :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Menurut mereka qaul sahabat merupakan salah satu dalil naqli diantara dalil dalil yang
lain. Dan ayat ini ditunjukan kepada para sahabat. Kemudian dalam ayat lain Allah SWT
juga berfirman allah, yang lain (Q.S. Ali Imran, 3: 100).8

ِ ِ َّ ِ ‫السبِ ُقو َن ْاْل ََّولُو َن ِمن الْم ّٰه ِج ِرين و ْاْل‬


‫َع َّد‬ ُ ‫وهم بِِإ ْح ّٰس ٍن َّرض َى اللَّهُ َعْن ُه ْم َوَر‬
َ ‫ضواۗ َعْنهُ َوأ‬ ُ ُ‫ين اتَّبَ ع‬
َ ‫َنصار َوالذ‬
َ ََ ُ َ ّّٰ ‫َو‬
ِ ِ ِ ‫ت ََت ِرى ََتت ها ْاْلَنْ ّٰهر ّٰخلِ ِد‬ ٍ
﴾١۰۰:‫يم ﴿التوبة‬ َ ‫ين ف َيهاۗ أَبَ ًدا ۗ ّٰذل‬
ُ ‫ك الْ َف ْوُز الْ َعظ‬ َ ُ َ َْ ْ ّ‫ََلُ ْم َجّٰن‬
Artinya:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida
kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-
lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah, 9:100)9

Dan juga terdapat dalil aqli, yaitu :


Para sahabat adalah orang orang yang lebih dekat kepada Rasulullah SAW. Dibanding orang
lain. Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan tujuan syara’, lantaran mereka
menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Al-Qur’an, mempunyai keikhlasan dan
penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk petunjuk nabi, serta

7
Syeikh Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait : An-Nasyr Wattawzi’, 1978), hlm. 96.
8
Ibid, hlm 125-128.
9
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Darul Fikri Al-Arabi, 1957), hlm 212-213

4
mengetahui situasi di mana nash nash Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, fatwa fatwa
mereka lebih layak untuk di ikuti.

Ulama Syafi’iyyah, Jumhur al-Asya’irah, Mu’tazilah dan Syi’ah mengatakan bahwa pendapat
sahabat itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, karena ijtihad mereka
sama denga ijtihad ulama lainnya yang tidak wajib diikuti mujtahid lain. Dalam
penelusuran terhadap pendapat para sahabat, ditemukan bahwa sebagian pendapat
mereka didasarkan kepada ijtihad, dan terjadinya kesalahan dalam ijtihad itu bukanlah
suatu yang mustahil, karena tidak ada jaminan bahwa mereka tidak akan salah dalam
melakukan ijtihad. Adakalanya para sahabat berbeda pendapat dalam menetapkan hukum
pada suatu kasus.

Imam Al-Ghazali mengatakan: “terhadap pendapat orang yang tidak terlepas dari suatu
kesalahan dan kelalaian, pendapatnya tidak bisa dijadikan hujjah, karena mereka bukanlah
orang yang ma’shum (terhindar dari kesalahan). Para sahabat sendiri sepakat untuk
berbeda pendapat, sehingga Abu bakar bin Umar ibn khatab membiarkan saja orang orang
yang tidak sependapat dengannya, bahkan mereka manganjurkan agar setiap sahabat
beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya masing masing.

Akan tetapi, Imam al-Syafi’i,. Menurut Mushthafa Dib al-Bugha, banyak mengambil
pendapat para sahabat, bahkan ijma’ yang ia terima sebagai dalil dalam menetapkan
hukum adalah ijma’ yang dilakukan para sahabat. Disamping hukum-hukum parsial yang
diambilnya dari pendapat para sahabat.

Misalnya, apabila terjadi perbedaan pendapat para sahabat, Imam al-Syafi’I mengambil
pendapat sahabat yang lebih dekat kepada kandungan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, seperti
pendapat Ibn ‘Abbas tentang tidak diterimanya kesaksian seorang anak kecil. Dalam
hubungan ini, Imam al-Syafi’i mengatakan pendapat Ibn ‘Abbas lebih dekat kepada Al-
Qur’an dan Qiyas.

Imam Al-Syaafi’i juga mengambil pendapat seorang sahabat yang tidak diketahui apakah
disetujui atau tidak oleh sahabat lain, seperti pendapat Utsman ibn ‘Affan tentang
hilangnya kewajiban shalat Jum’at apabila bertepatan dengan hari raya ‘Idul Fitri atau ‘Idul
Adha. Tidak diketahui pendapat sahabat lain -setuju atau tidak- berkaitan dengan pendapat
Utsman ibn ‘Affan ini. Pendapat sahabat seperti ini dapat diterima oleh ulama Syafi’iyyah.

Pendapat selain Khulafa al-Rasyidin selain Ali menjadi hujjah. Pendapat ini dinukilkan dari
al-Syafi’i. Tidak dimasukkannya Ali dalam kelompok shahabat ini oleh al-Syafi’i bukan
karena kurang dari segi kualitasnya dibandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah
menjadi khalifah ia memindahkan kedudukanya ke khulafa dan waktu itu para sahabat
yang bisa menjadi nara sumber bagi khalifah dalam forum musyawarah pada masa
sebelum ‘Ali sudah tidak ada lagi.

5
Imam syafi’i menyatakan bahwa hukum atau fatwa hanya boleh disandarkan kepada dalil
yang pasti yaitu al-quran dan sunnah. Madzhab/qaul sahabat dianggap hujjah oleh
sebagian besar ulama, dan ditentang oleh sebagian kecil ulama.

Madzhab/qaul/fatwa sahabat tidak keluar dari enam kemungkinan, yaitu :


1. Fatwa yang didengar Sahabat dari rasulullah Saw.
2. Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Rasulullah Saw.
3. Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Al-Quran yang agak kabur
pemahaman ayatnya bagi kita
4. Fatwa yang disepakati oleh tokoh Sahabat sampai kepada kita melalui salah seorang
Sahabat
5. Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah
lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Rasulullah Saw. dan maksud-
maksudnya. Kelima hal inilah hujjah yang wajib diikuti
6. Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan ternyata
pemahamannya salah. Maka hal ini tidak jadi hujjah.10

Imam Syafi’i
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata dalam kitab al-Risalahnya sebagai
berikut: “Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat,
sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap
sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.”

Kemudian seorang teman diskusinya bertanya: “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal
ini?”. Dia menjawab: “Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an,
sunah, ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.

Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm (kitab yang
baru) berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam Al-Qur’an dan
sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka.
Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti)
pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam
ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah,
niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, juz 7, hal. 247 ).11

Keterangan di atas menunjukkan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam


Syafi’i mengambil dasar dari Al-Quran dan Sunnah, kemudian pendapat yang telah
disepakati oleh para sahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut
tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Alquran dan Hadist, maka dia mengikuti apa
yang dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin, karena pendapat mereka telah masyhur, dan
pada umumnya sangat teliti.

10
Dahlan Abdur Rahman, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Amzah, 2010), hlm 226.
11
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, cet 12, ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008, ) hlm 332-334.

6
Dalil naqli yang digunakan oleh segolongan ulama’ atas kebolehan menggunakan Syar’u
Man Qablana dijadikan sebagai hujjah, khususnya pengikut Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah
yaitu:

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu yang telah diwasiatkannya kepada nabi Nuh dan apa
yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : tegakkanlah agama dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang orang musyrik agama
yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendakinya dan memberi petunjuk kepada agamanya orang yang kembali kepadanya.

Ayat di atas menegaskan bahwa syariat yang allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW
juga telah di syari’atkan kepada nabi sebelum beliau. Ayat ini juga menunjukkan bahwa
pada dasarnya seluruh syari’at yang diturunkan allah SWT merupakan satu kesatuan.

Penerapan madzhab shahabi terhadap kehidupan masyarakat


Karena adanya perbedaan pendapat ulama’ mengenai hujjiyah qaul as- shahabi sebagai
salah satu sumber hukum, menyebabkan perbedaan pula dalam menghukumi suatu
permasalahan yang tidak ada nash sharih yang menjelaskan. Berikut ini adalah beberapa
contoh yang ada, yang erat kaitannya denag kehidupan sehari-hari.

Hukum sujud Tilawah apakah wajib atau sunnah?


Menurut Imam malik, As-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah
dan tidak mencapai wajib. Di sini Imam As-Syafi’i berdalilkan bahwa sujud dilakukan untuk
shalat. Adapun perintah untuk shalat telah dijelaskan secara global oleh Al-Qur’an dan
telah diterangkan oleh As-Sunnah secara terperinci. Maka hal ini menujukkan bahwa shalat
yang diwajibkan adalah shalat lima waktu, sedangkan selainnya tidaklah wajib.

Hukum shalat jumat bagi yang shalat’id


Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa kewajiban shalat Jumat bagi ahli balad. Adapun ahli
qura dirukhsah. Imam As-syafi’i berdalil sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam
malik dari ibnu Syihab dari Abi U’baid bekas hamba sahaya Ibnu Azhar, dia berkata: “Saya
melakukan shalat Id bersama Utsman bin Affan maka Utsman shalat lalu berkhutbah dan
berkata, sesungguhnya telah berkumpul pada hari dua Id. Maka barang siapa yang hendak
menunggu dari ahli a’liyah maka tunggulah dan barang siapa yang hendak pulang maka
telah diizinkan baginya.

Hukum potong tangan bagi seorang pembantu


Jumhur ulama’ berpendapat bahwa hukum bagi seorang pembantu yang mencuri harta
tuannya tidak dipotong.

Status pernikahan dalam masa ‘Iddah


Imam malik, Al-Auza’I dan Al-Laits berpendapat bahwa mereka harus dipisahkan, dan
wanita itu menjadi haram bagi laki-laki tersebut selamanya. Adapun pendapat bahwa
dipisahkan keduannya dan sang wanita boleh mendapatkan maharnya. Dan apabila telah

7
habis masa iddahnya apabila sang wanita berkehendak untuk menikahinya lagi maka tidak
apa apa. Sebagaimana dijelaskan oleh ali bin abi thalib.12 [dutaislam.com/ab]

Ana Zakiyatul Muna, mahasiswa UIN Walisongo Semarang.


Artikel disampaikan di hadapan dosen pengampu, Mishbah Khoiruddin Zuhri, M.A

DAFTAR PUSTAKA
Syarmin Syukur, Sumber-sumber Hukum Islam, (Surabaya ; Al-Ikhlas).
Abdul Wahhab Khallaf Syeikh, 1978, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait : An-Nasyr Wattawzi’).
Abu Zahrah Al-Imam Muhammad, 1957, Ushul Fiqh, (Darul Fikri Al-Arabi).
Dahlan Abdur Rahman, 2010, Ushul Fiqh, (Jakarta : Amzah).
Abu Zahra Muhammad, 2008, Ushul Fiqh, cet 12, (Jakarta: Pustaka Firdaus).
Jazuli, dkk, 2000, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada).

12
Jazuli, dkk, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000,) hlm 211-213.

Anda mungkin juga menyukai