Anda di halaman 1dari 22

Sikap Orang Mukmin dalam Menghadapi Perbedaan

Pendapat

FacebookTwitterGoogle+WhatsAppShare23

Gema Jumat, 30 Oktober 2015

Khutbah Jum’at, DR. Tgk. H. Syukri Muhammad Yusuf, Lc., MA, Pejabat pada Dinas
Syariat Islam Aceh

Perbedaan pendapat dalam memahami ajaran Islam adalah suatu keniscayaan. Karakter agam
a Islam yang universal harus bisa menyahuti perkembangan zaman, menyesuaikan diri dalam
konteks waktu dan tempat. Perbedaan pendapat adalah sunnatullah yang telah dimulai di
kalangan para sahabat semenjak Rasulullah SAW masih hidup. Perbedaan ini pada tataran
akademis adalah hal yang wajar dan diperbolehkan, namun jika menimbulkan fanatisme yang
pada akhirnya memicu perpecahan, bahkan permusuhan, maka hal inilah yang dilarang dalam
Islam. Dalam bahasa syariat, perbedaan pandangan ini diistilahkan dengan “ikhtilaf” dan
kadang disebut dengan “khilaf”. Keduanya memiliki arti yang sama, yaitu tiada kesepakatan
(‘adamul ittifaq) dalam suatu hal. Fiqh yang menyajikan perbedaan pendapat ulama dalam
masalah furu’iyah sering disebut dengan istilah “fiqh ikhtilaf”.

Dalam tradisi ulama Islam, fiqh ikhtilaf atau fiqh perbedaan pendapat dalam hal furu’
bukanlah sesuatu yang baru, apalagi dianggap tabu. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab,
karya ilmiah yang ditulis para ulama dan disusun khusus untuk merangkum, mengkaji,
membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbedabeda dengan
argumentasinya masing-masing.

Perbedaan pendapat antar ulama yang kemudian muncul madzhab-madzhab fiqh dalam Islam
adalah khazanah dan simbul kekayaan syariat yang besar yang merupakan kebanggaan dan
izzah bagi umat Islam. Hal ini menunjukkan betapa kayanya khazanah keilmuan dan
konsepkonsep pemikiran dalam Islam yang dapat diterapkan umat Muslim dalam
menjalankan agamanya sesuai perkembangan zaman, perbedaan tempat dan pergeseran
waktu. Ini merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat Islam sampai akhir zaman.

Dan sungguh indah ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam mengomentari


perbededaan pendapat antara dia dengan sahabatnya: “Perbedaan pendapat (Khilaf) yang
terjadi di antara kita adalah khilaf yang menggabungkan dan tidak menceraiberaikan, berbeda
dengan khilafnya orang lain”. Perbedaan pendapat ini oleh para ulama sering diistilahkan
dengan perbedaan keberagaman dan variatif (tanawwu’ wa itsra’) yang menawarkan banyak
solusi untuk setiap masalah, bukanlah perbedaan yang menggiring umat kepada perpecahan
dan konflik (tanazu’ wa tudhad).

Perbedaan fuqaha hanya terjadi dalam masalah-masalah cabang dan ijtihad fiqh, bukan dalam
masalah inti, dasar dan akidah. Karena itu perbedaan ini dinilai terpuji dan rahmat bagi umat,
selama dapat disikapi dengan bijak dan penuh tasamuh.

Bahkan ruang lingkup perbedaan ulama adalah berkisar seputar perbedaan pemahaman
manusia dalam menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan hukum, menangkap

1
rahasia syariat dan memahami illat hukum dari teks-teks syariat. Jadi, perbedaan terjadi
dikarenakan keterbatasan dan kelemahan manusia. Meski demikian tetap harus beramal
dengan salah satu pendapat yang ada untuk memudahkan manusia dalam beragama sebab
wahyu sudah terputus.

Adapun perbedaan yang tercela adalah perbedaan dalam masalah usul atau akidah, karena
sesungguhnya hal itu dapat memecah belah umat Islam serta melemahkan eksistensinya, atau
perbedaan dalam hal-hal yang bersifat qathi’i yang dipetik berdasarkan dalildalil qath’i,
demikian juga perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (dhanni) yang disikapi dengan
pertentangan dan perpecahan.

Ada beberapa sebab perbedaan ulama dalam perkara furu’, antara lain sebagai berikut:

1. Perbedaan makna lafadz teks Arab.


2. Perbedaan riwayat
3. Perbedaan sumber-sumber pengambilan hukum
4. Perbedaan kaidah usul fiqh
5. Ijtihad dengan qiyas
6. Pertentangan (kontradiksi) dan tarjih antar dalil-dalil menghadapi perbedaan

Menghadapi perbedaan

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang tidak ada halangan, alias boleh
mengemukakan pendapatnya, selama masih dalam koridor dan batasan ruang lingkup ijtihad
yang dibenarkan syariat dengan penuh adab, sopan tanpa celaan, cercaan, tidak saling
menyalahkan dan seterusnya, agar terpenuhi makna rahmat dalam perbedaan ummat.

“Dan bagi masingmasing ada kiblatnya yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-
lombalah kalian (dalam) kebaikan”. [Al-Baqarah : 14].

Namun yang paling penting adalah bukan melarang perbedaan pendapat atau
membumihanguskan pendapat yang berbeda, tetapi bagaimana sikap kita menghadapi
perbedaan pendapat dalam perkara ijtihadiyah agar perbedaan pendapat ini menjadi rahmat
bukan menjadi laknat. Dalam konteks ini ada pesan menarik dari Imam Syahid Hasan
Albanna yang kemudian dipopulerkan oleh generasi muridnya, antara lain Syeikh Dr. Yusuf
Qardhawi, yaitu: “Kita saling bekerja sama dan tolong menolong terhadap masalah yang kita
sepakati, sementara terhadap masalah yang kita perselisihkan semua kita harus menahan diri
dan saling menghargainya”. Artinya, sekiranya kita berbeda pendapat dalam hal qunut subuh,
(kita harus menghargainya) namun kita masih dapat bekerja sama dalam hal shalat subuh
karena semua kita sepakat shalat shubuh adalah wajib.

Untuk lebih jelas berikut ini kita angkat beberapa sikap yang harus menghiasi diri setiap
Mukmin dalam menghadapi perbedaan pendapat, yaitu:

Pertama, menghargai pendapat orang lain

Hal yang terpenting dalam menyikapi perbedaan pendapat terhadap masalah ijtihadiyah
adalah bagaimana seseorang bertindak lebih dewasa untuk dapat menghargai pendapat orang
lain, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para Imam Mazhab. Diriwayatkan bahwa
Imam Syafi’i rahimahullah ketika menziarahi kuburan Abu Hanifah di Kofah, beliau

2
melakukan shalat shubuh tanpa qunut yang dipandang berseberangan dengan pendapatnya.
Selesai shalat para jamaah yang berada bersamanya saat itu bertanya kenapa beliau
meninggalkan qunut sementara menurut mazhabnya qunut shubuh adalah sunat muakkad.
Dengan penuh rasa kedewasaan beliau menjawab: “saya sengaja meninggalkan qunut sebagai
penghormatan dan penghargaan kepada pemilik kuburan ini yang berpendapat bahwa qunut
shubuh tidak disunatkan”.

Demikian juga, Imam Ahmad bin Hambal pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca
basmalah dengan suara keras bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan
dengan mazhabnya sendiri yang menyatakan bahwa bacaan basmalah dalam shalat harus
dikecilkan. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Imam Ahmad demi menghormati paham ulama-
ulama di Madinah, waktu itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama
Madinah itu, mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat jihar itu lebih utama.

Kedua, tidak mengklaim bahwa pendapatnyalah yang benar

Menarik untuk disimak bahwa mulai dari generasi para sahabat sampai dengan ulama
mujtahid, mereka sangat berhati-hati dan tidak mau ijtihadnya disebut hukum Allah atau
syariat Allah. Namun mereka mengatakan, “Ini adalah pendapatku, jika benar ia berasal dari
Allah, jika salah maka ia berasal dari saya dan dari setan, Allah dan Rasul-Nya berlepas diri
darinya (pendapat saya).”

Demikian juga Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “jika hadits-hadits yang menjadi
peganganku dalam berijtihad shahih maka inilah pendapat mazhabku”. Dalam kesempatan
lain beliau pun tidak mau mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan tidak
pernah salah seraya berkata: “Pendapatku adalah benar tapi masih ada kemungkinan salah,
sementara pendapat orang lain adalah salah tapi masih ada kemungkinan benar”.

Ketiga, hindari sifat dengki, sombong dan meremehkan orang lain

Ketiga sifat ini dapat menutup hati dari menerima kebenaran dari orang lain. Setiap melihat
orang lain beramal atau beribadah berbeda dengan tata cara kita beribadah maka akan selalu
dikatakan mereka tidak punya ilmu, kita tidak perlu ikut-ikutan dan terpengaruh dengan
orang-orang bodoh beribadah seperti mereka. Sikap yang kita tampilkan itu terkesan seolah-
olah hanya kitalah yang paling benar, paling alim, paling cerdas dan paling paham segala-
galanya sehingga kita akan menutup diri untuk belajar dan berguru kepada orang-orang yang
berbeda pendapat dengan kita. Sampai-sampai tidak mau mendengarkan pendapat kecuali
hanya dari orang-orang tertentu saja dan telah dikultus.

3
Cara Nabi Menghadapi Perbedaan

Saat ini kadang dalam hal khilafiyyah/furu’iyah, meski masing-masing pihak punya
pegangan Al Qur’an dan Hadits, pihak yang lain mencaci yang lainnya. Dari membid’ahkan
pihak yang lain, hingga mengkafirkan. Berbagai caci-maki bahkan fitnah dan kebohongan
pun dilontarkan. Sungguh jauh dari ajaran Islam.

Sesungguhnya perbedaan pendapat itu hal yang biasa. Sunnatullah. Ada yang suka warna
biru. Ada yang merah. Rambut sama hitam, isi kepala berbeda-beda.

Di antara Suami-Istri, Kakak-Adik, para Ulama Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik,
Imam Syafi’ie, dan Imam Hambali saja biasa terjadi perbedaan pendapat. Bahkan para Nabi
pun seperti Nabi Daud dan Nabi Sulayman dijelaskan Allah dalam Surat Al Anbiyaa’ ayat 78
dan 79 berbeda pendapat. Jika kita saling menghormati, niscaya perbedaan pendapat itu jadi
rahmat. Kita bisa hidup rukun dan damai. Tapi jika tidak bisa menerima bahkan mencaci-
maki pihak lain, yang jadi adalah pertengkaran, perceraian, bahkan peperangan.

Bagaimana cara Nabi menghadapi perbedaan?

Kecuali menyangkut masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qoth’i, Islam dikenal
sangat menghargai perbedaan. Nabi Muhammad mencontohkan dengan dengan sangat indah
kepada kita semua.

Dalam Shahih al-Bukhari, Volume 6, hadits no.514, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab
pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan berbeda
dari yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan bahwa
Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua menghadap Rasulullah untuk
meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan
bahwa Al-Qur’an memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan (7
bacaan). “Faqra’uu maa tayassara minhu,” sabda Rasulullah s.a.w, “maka bacalah mana
yang engkau anggap mudah daripadanya.”

Lihat bagaimana Nabi tidak menyalahkan 2 pihak yang berbeda.

4
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada
peristiwa Ahzab:

‫ َال ُنَص ِّلي َح َّتى‬: ‫ َفَقاَل َبْعُضُهْم‬،‫ َفَأْد َر َك َبْعُضُهُم اْلَعْص َر ِفي الَّطِرْيِق‬.‫َال ُيَص ِّلَيَّن َأَح ٌد اْلَعْص َر ِإَّال ِفي َبِني ُقَر ْيَظَة‬
‫ َفُذ ِكَر َذ ِلَك ِللَّنِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َفَلْم ُيَعِّن ْف َو اِح ًدا‬. ‫ َلْم ُيِرْد ِم َّنا َذ ِلَك‬،‫ َبْل ُنَص ِّلي‬: ‫ َو َقاَل َبْعُضُهْم‬.‫َنْأِتَيَها‬
‫ِم ْنُهْم‬

Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”
Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah
sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan:
“Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian
hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW namun beliau tidak mencela salah
satunya.”

Sekali lagi Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu dengan kata-
kata bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela salah satunya. Masing-
masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi.
Namun mereka mencoba sholat di awal waktu sebagaimana diperintahkan Allah dan
RasulNya. Yang shalat belakangan di perkampungan Bani Quraizah juga bukan melanggar
perintah sholat di awal waktu. Namun mereka mengikuti perintah Nabi di atas.

Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu
dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur
Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di
dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu (Nabi Muhammad).’ Kemudian ia
menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau
telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-
mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu
menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360] an-
Nasa’i [709] dan Ahmad [20928]).

Lihat saat Hassan Bin Tsabit sang penyair tengah melantunkan syair yang memuji-muji Allah
dan RasulNya di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad tidak melarang atau
mencelanya. Beliau bahkan diam mendengarkannya.

Beda bukan dengan sekelompok orang yang memvonis bid’ah orang-orang yang berdzikir
atau bersholawat sebelum waktu sholat dengan dalih Nabi Muhammad tidak pernah
melakukannya. Memangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit, yaitu bersyair di Masjid
sebelum waktu sholat itu pernah dilakukan oleh Nabi? Meski Nabi tidak melakukannya,
namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata buruk seperti Bid’ah, sesat, dan sebagainya.
Bersyair saja dibolehkan oleh Nabi, apalagi kalau berdzikir atau bersholawat!

Saat berbeda pun dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling cela. Ada yang
berbuka, ada pula yang tetap berpuasa:

5
Anas bin Maalik berkata: “Kami sedang bermusafir bersama dengan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam semasa Ramadhan dan di kalangan kami ada yang
berpuasa, ada yang tidak berpuasa. Golongan yang berpuasa tidak menyalahkan orang
yang tidak berpuasa dan golongan yang tidak berpuasa tidak menyalahkan orang yang
berpuasa. [ hadist riwayat Bukhari and Muslim]

Perbedaan itu akan selalu ada. Namun sayangnya kelompok ekstrim seperti Salafi Wahabi
menafikan adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat dengan mereka
langsung disebut sebagai Ahlul Bid’ah, Musyrik, Kuffar, dan sebagainya. Bahkan mereka
mengolok-olok hadits “Perbedaan adalah Rahmat” dengan “Persatuan adalah laknat”.

Meski tidak bersumber ke Nabi, namun berasal dari Al-Qasim bin Muhammad, cucu Abu
Bakar Ash-Shiddiq. Beliau lahir di masa khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi penguasa.
Beliau adalah seorang imam yang menjadi panutan dan wafat tahun 107 hijriyah.

Imam Al-Baihaqi menyebutkan dalam kitab Al-Madkhal bahwa lafadz ini adalah perkataan
Al-Qasim bin Muhammad. Demikian juga komentar dari Al-Imam As-Suyuti sebagaimana
yang kita baca dari kitab Ad-Durar Al-Mutasyirah, lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin
Muhammad.

Jangankan manusia biasa. Nabi yang dibimbing Allah pun bisa berbeda pendapat dalam
memutuskan satu hal. Contohnya di Surat Al Anbiyaa’ ayat 78-79 dijelaskan bagaimana Nabi
Daud dan Nabi Sulayman berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal:

“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan
mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan
kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu,
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih
tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu
dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih
bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa’ 78-79]

[966]. Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di
waktu malam. maka yang empunya tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud a.s. Nabi
Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang empunya
tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman a.s. memutuskan
supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang empunya tanaman untuk
diambil manfaatnya. Dan prang yang empunya kambing diharuskan mengganti tanaman itu
dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya,
mereka yang mepunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi
Sulaiman a.s. ini adalah keputusan yang tepat.

Jelas orang yang suka mencaci tersebut tidak membaca dan memahami Al Qur’an dan Hadits
secara keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya pemikirannya jadi
ekstrim/sempit dan membuat ribut serta memecah-belah persatuan ummat Islam karena
kejahilannya.

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (QS Al-Humazah: 1)

6
Kadang ada kelompok yang menganggap kebenaran hanya 1, yaitu kelompoknya saja
sehingga bersikap ekstrim dalam menghadapi perbedaan:

“Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka
kecuali satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?”
Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR Abu Dawud,
At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim).

Padahal berdasarkan contoh-contoh di atas, Nabi dan para Sahabat sangat toleran dalam
perbedaan selama belum keluar dari syariat Islam.

Mereka menganggap “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan jumlahnya banyak sekali”.
Hal ini berasal dari pemahaman terhadap hadits Rasulullah SAW :

Rasulullah SAW bersabda: “Inilah jalan Allah yang lurus” Lalu beliau membuat beberapa
garis kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan (yang begitu
banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak kearahnya”
Kemudian beliau membaca ayat :

“Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-
beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
bertaqwa.” (QS Al-An’am 153).

(HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim) (Lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah
Bid’ah, hal. 47-48).

Padahal ayat di atas jika kita lengkapi dengan pemahaman Surat Al Fatihah yang biasa kita
baca, itu adalah Jalan Islam (orang-orang yang diberi nikmat Allah). Bukan jalan orang yang
dimurkai Allah (Yahudi) dan bukan pula jalan orang yang sesat (Nasrani).

Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru. Tidak terhitung
jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum
masalah perbedaan pandangan. Kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah, adalah sebuah
kitab yang menyangkut berbagai pandangan dan mazhab dalam bidang hukum Islam. Bahkan
tak hanya berlaku masalah hukum saja. Juga menyangkut tafsir, ulumul qur’an, syarh hadits,
ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.

Para Imam Madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Hanafie, dan Imam Hambali
berbeda pendapat. Namun mereka tidak saling membid’ah atau menganggap sesat yang lain.
Begitu pula para pengikutnya.

Dalam khasanah Islam, para ulama salaf dikenal dengan sikap kedewasaan, toleransi, dan
objektivitasnya yang tinggi dalam menyikapi perbedaan. Ucapan Imam Imam Syafi’i yang
sangat masyhur sebagi bentuk penghormatan perbedaan pada pihak lain adalah, “Pendapatku
benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi
memiliki kemungkinan untuk benar.”

7
Kalau sekarang kan jangankan beda madzhab. Dalam satu sekte aliran itu pun saat beberapa
ulamanya berbeda pendapat, mereka saling memaki dan menyebut yang lain sebagai “Ular”
segala macam. Bagaimana kita bisa temukan akhlak Islam yang mulia dari mereka?

Adab Berbeda Pendapat dalam Islam

Khilaf (perbedaan pendapat) di mana pun selalu ada. Di mana pun dan sampai kapan pun.
Jika tidak disikapi dengan tepat dan bijaksana, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan
perpecahan, permusuhan, dan bahkan kehancuran. Karena itu, Islam memberi arahan
bagaimana cara menghadapi perbedaan pendapat di antara kita semua. Di bawah ini adalah
adab-adab yang harusnya dilakukan kaum Muslim;

1. Ikhlas dan Lepaskan Diri dari Nafsu

Kewajiban setiap orang yang berkecimpung dalam ilmu dan dakwah adalah melepaskan diri
dari nafsu tatkala mengupas masalah-masalah agama dan syariah. Mereka hendaknya tidak
terdorong kecintaan mencari ketenaran serta menonjolkan dan memenangkan diri sendiri.
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, orang yang mencari ilmu karena hendak
mendebat para ulama, melecehkan orang-orang yang bodoh, atau untuk mengalihkan
perhatian manusia pada dirinya, maka dia tidak akan mencium bau surga (Riwayat Tirmidzi
dan Ibnu Majah).

2. Kembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah

Ketika terjadi perbedaan pendapat, hendaklah dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah
Rasul. Keduanya dijadikan sebagai ukuran hukum dari setiap pendapat dan pemikiran. “…
Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadits).” (An-Nisaa’: 59).

3. Tidak Menjelekkan

Masing-masing tetap mempunyai hak yang tidak bisa dihilangkan dan dilanggar, hanya
karena tidak sependapat dalam suatu masalah. Di antara haknya adalah nama baik
(kehormatan) yang tidak boleh dinodai, meski perdebatan atau perbedaan pendapat semakin
meruncing. Wilayah pribadi seperti itu tidak boleh dimasukkan dalam materi perbedaan.

4. Cara yang Baik

”…Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125).

Berdialog harus dengan cara yang baik (menarik) sehingga bisa mendapatkan simpati dan
lawan bicara mau mendengarkan kebenaran yang dibawa. Cara seperti ini terhindar dari sikap
yang keras dan kaku, jauh dari perkataan yang menyakitkan dan mengundang antipati.

Penyeru kebenaran adalah orang yang mementingkan dakwah, bukan kepentingan pribadi.
Jika bersikap keras dan kaku, berarti telah mementingkan nafsu pribadi sehingga berakibat
orang menjauh dari dakwahnya.

5. Mendalami Nash Syariah dan Pendapat Ulama

8
Agar dapat keluar dari khilaf dengan membawa hukum yang benar, maka semua nash syariah
yang berkaitan dengan masalah itu harus dihimpun. Dengan demikian, persoalan yang umum
bisa dijelaskan dengan yang khusus, yang global bisa diperjelas dengan yang terinci, serta
yang kiasan bisa dijelaskan dengan yang gamblang.

6. Bedakan antara Masalah yang Sudah Di-Ijma’ dan yang Diperselisihkan

Masalah-masalah yang sudah di-ijma’ (disepakati) sudah tidak perlu lagi diperdebatkan dan
dipertanyakan. Komitmen kepadanya merupakan keharusan agama, seperti halnya terhadap
Al-Qur’an dan Hadits.

7. Pertimbangkan Tujuan dan Dampaknya

Orang yang mencari kebenaran kemudian salah, berbeda dengan orang yang memang sengaja
mencari kebatilan lalu dia mendapatkannya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala
tetap memberikan satu pahala bagi hakim yang memutuskan perkara hukum, namun salah,
karena niat dan keinginannya untuk mendapatkan kebenaran. Dan Allah tidak membebankan
kewajiban kepada manusia kecuali berdasarkan kemampuannya. (Al-Baqarah: 286). Wallahu
Ta’ala a’lam.* [Sahid, dilengkapi cha/ www.hidayatullah.com]

Nabi saw. bersabda, “Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli
bidah sesudah aku (Rasulullah saw.) tiada, maka tunjukkanlah sikap menjauh (bebas) dari
mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan tentang mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka
agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-orang yang
dikhawatirkan meniru-niru bidah mereka. Dengan demikian, Allah akan mencatat bagimu
pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat.” (HR Ath-Thahawi).

“Dikatakan kepada Nabi saw: “Ya Rasulullah, sesungguhnya fulanah menegakkan salat lail,
berpuasa di siang harinya, beramal dan bersedekah (tetapi) ia menyakiti tetangganya dengan
lisannya.” Bersabda Rasulullah saw., “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk ahli
neraka.” Berkata (perawi), “Sedangkan fulanah (yang lain) melakukan salat maktubah dan
bersedekah dengan benaja kecil (tetapi) dia tidak menyakiti seseorang pun.” Maka bersabda
Rasulullah saw., “Dia termasuk ahli surga.” (Silsilah Hadits as-Shahihah, no. 190).

Memang Allah memerintahkan kita untuk bersatu. Jika berselisih tentang sesuatu, hendaknya
kita kembali pada Al Qur’an dan Hadits. Para ulama hendaknya melakukan Ijma’ untuk
memutuskan hal yang diperselisihkan.

Namun jika terjadi perbedaan pendapat juga akibat beda dalam menafsirkan Al Qur’an dan
Hadits, hendaknya tidak saling cela/hina karena itu diharamkan Allah [Al Hujuraat 11-12].
Sebab kadang perbedaan tak bisa dihindarkan sehingga para Nabi saja seperti Nabi Daud dan
Nabi Sulayman bisa berbeda pendapat [Al Anbiyaa’ 78-79] demikian pula para sahabat dan
para Imam Mazhab. Mereka semua sangat faqih dalam memahami Kitab Suci dan Hadits.

Jika kita karena perbedaan tersebut mencela sesama Muslim dengan sebutan Ahlul Bid’ah,
Sesat, Kuffar, Musyrik, dsb sementara Jumhur Ulama tak berpendapat demikian, maka
kitalah yang sesat.

Referensi:

9
http://www.hidayatullah.com/read/10666/08/02/2010/hidayatullah.com f

http://islamqu.blogspot.com/2010/01/sikap-dalam-menghadapi-perbedaan.html

http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/10/11915/Ubudiyyah/
Dzikir_dan_Syair_sebelum_Shalat_Berjama__8217_ah.html

http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1183437220

http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=302&Itemid=53

Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/2012/02/16/cara-nabi-menghadapi-perbedaan/

Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA)


Share on :

Jaib Najhan :: Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA)

Pada saat sekarang ternyata masih ada orang yang belum faham apa itu ahlus sunnah wal
jama'ah (ASWAJA) dan bagaimana ahlus sunnah wal jama'ah (ASWAJA).
Kalau membahas secara mendetail apa dan bagaimana itu Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA)
memang sangat panjang dan untuk menulisnya membutuhkan banyak waktu,karna itu saya
mencoba mencari tulisan mengenai Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di beberapa Situs Blogger Ahlus
Sunnah Wal Jama'ah dan akhirnya saya menemukannya.
Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA)
Bisa difahami bahwa definisi Ahlussunnah wa Al jamaah ada dua bagian yaitu: definisi secara umum
dan definisi secara khusus .
* Definisi Aswaja Secara umum adalah : satu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen
mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik ( fiqih)
dan hakikat ( Tasawwuf dan Akhlaq ) .
* Sedangkan definisi Aswaja secara khusus adalah : Golongan yang mempunyai I’tikad / keyakinan
yang searah dengan keyakinan jamaah Asya’iroh dan Maturidiyah.

Pada hakikatnya definisi Aswaja yang secara khusus bukan lain adalah merupakan juz dari definisi
yang secara umum, karena pengertian Asya’iroh dan Ahlussunnah adalah golongan yang komitmen
berpegang teguh pada ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal aqidah. namun penamaan golongan
Asya’iroh dengan nama Ahlus sunnah Wa Al Jamaah hanyalah sekedar memberikan nama juz dengan
menggunakan namanya kulli.
Syaih Al Baghdadi dalam kitabnya Al Farqu bainal Firoq mengatakan : pada zaman sekarang kita tidak
menemukan satu golongan yang komitmen terhadap ajaran Nabi dan sahabat kecuali golongan
Ahlussunnah wal jamaah. Bukan dari golongan Rafidah, khowarij, jahmiyah, najariyah,
musbihah,ghulat,khululiyah, Wahabiyah dan yang lainnya. Beliau juga meyebutkan; bahwa elemen
Alussunnah waljamaah terdiri dari para Imam ahli fiqih, Ulama’ Hadits, Tafsir, para zuhud sufiyah,
ulama’ lughat dan ulama’-ulama’ lain yang berpegang teguh paa aqidah Ahli sunnah wal jamaah.

10
secara ringkas bisa disimpulkan bahwa Ahlu sunnah wal jamaah adalah semua orang yang berjalan
dan selalu menetapkan ajaran Rasulullah SAW dan para sahabat sebagai pijakan hukum baik dalam
masalah aqidah, syari’ah dan tasawwuf.
II. Pengertian Sunnah dan ajaran-ajarannya
Kalimat Sunnah secara etimologi adalah Thoriqoh ( jalan ) meskipun tidak mendapatkan ridlo.
Sedangan pengertian Sunnah secara terminlogi yaitu nama suatu jalan yang mendapakan ridlo yang
telah ditempuh oleh Rasulullah SAW, para khulafa’ al Rosyidin dan Salaf Al Sholihin. Seperti yang
telah disabdakan oleh Nabi :

‫َع َليُك ْم ِبُس َّن تِي َو ُس َّن ِة الُخَلَفاِء الَّر اِش ِديَن ِم ْن َب ْع ِدي‬
Ikutilah tindakanku dan tindakan para khlafaurrosyidin setelah wafatku.
Sedangkan pengertian kalimat Jamaah adalah golongan dari orang-orang yang mempunyai
keagungan dalam Islam dari kalangan para Sahabat, Tabi’in dan Atba’ Attabi’in dan segenap ulama’
salaf As solihin.
Setiap ajaran yang berdasarkan pada Usul Al syari’ah dan Fur’nya dan pernah dikerjakan oleh para
nabi dan Sahabat sudah barang tentu merupakan ajaran yang sesuai dengan aqidah ahli sunnah wa
aal jamaah seperti : Shalat Tarawih, witir, baca shalawat, ziarah kubur, mendo’akan orang yang
sudah mati dll.
III. Definisi Bid’ah
Bid’ah dalam ma’na terminologi ( Syara’) menurut syaih Zaruq dalam kitabnya Iddah Al Marid yaitu
semua perkara baru dalam agama yang menyerupai salah satu dari bentuk ajaran agama namun
sebenarnya bukan termasuk dari bagian agama, baik dilihat dari sisi bentuknya maupun dari sisi
hakikatnya. Dan pekara tersebut berkesan seolah-olah bagian dari jaran Islam seperti : membaca
ayat-ayat Al-Qur’an dan Shalat dengan diiringi alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan kaum
mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham liberal yang marak akhir-akhir ini.
Karena berdasarkan pada Ayat Al-Qur’an :

" 35 ‫َو َم ا َك اَن َص َالُتُهْم ِع ْن َد الَب ْي ِت اَّال ُمكَاًء َو َت ْص ِدَي ًة " االنفال‬
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka
rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. QS: Al Anfal 35
Dan Hadits Nabi yang berbunyi:

‫ قال رسول هللا صلى هللا‬: ‫عن أم المؤمنين أم عبد هللا عائشة رضي هللا عنها قالت‬
‫" َم ْن َأْح َد َث ِفي َأْم ِر َن ا َه َذ ا َم ا َلْي َس ِم ْن ُه َف ُهَو َر ٌّد‬: ‫"عليه وسلم‬.
Dari A’isyah RA. Rasulullah bersabda : barang siapa menciptakan hal baru dalam urusanku yang
bukan termasuk dari golongan urusanku maka akan tertolak.
HR. Bukhari dan Muslim

Kalimat ‫ أحدث‬dalam Hadits diatas mengandung pengertian menciptakan dan membuat-buat suatu
perkara yang didasari dari hawa nafsu. Sedangkan kalimat ‫ أمرنا‬mengandung suatu pengertian agama
dan Syari’at yang telah di Ridlohi oleh Allah SWT.
Rasulullah juga bersabda dalam sebuah Hadits :

‫وروى مسلم في صحيحه أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم كان يقول في‬
,‫ َو َخ يُر الَه دِى ُهَد ى ُم َح َّمٍد صلى هللا عليه وسلم‬,‫ " َخ يُر الَح ِديِث ِك َت اُب ِهللا‬: ‫ُخ طَبِتِه‬

11
‫ َو ُك ُّل ِبدَع ٍة َض اَل َلٌة " ورواه البيهقي وفيه‬, ‫ َو ُك ُّل ُمْح َدثٍة ِبدَع ٌة‬,‫َو َش ُّر اُألُموِر ُمْح َد َث اُتَه ا‬
‫"زيادة " وكل ضاللة في النار‬
Rosululloh bersabda: “ paling bagusnya Hadits adalah Kitabnya Allah, dan paling bagusnya petunjuk
adalah petunjuk Rasulullah SAW, dan paling jeleknya perkara adalah semua perkara yang baru, dan
setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat”. HR. Muslim dan juga
diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dengan tambahan kalimat “ setiap perkara sesat menempat
dineraka” .

Dari adanya dua Hadits diatas para ulama’ menjelaskan bahwa secara prinsip, bid’ah adalah
berubahnya Suatu hukum yang disebabkan karena meyakini suatu perkara yang bukan merupakan
bagian dari agama sebagai salah satu bagian dari agama, bukan berarti setiap perkara baru lantas
dikategorikan bid’ah, karena banyak hal baru yang sesuai dengan Usul Al Syar’ah dan tidak
dikategorikan bid’ah, atau hal-hal baru yang sesuai dengan Furu’ Al Syari’ah yang masih mungkin di
tempuh dengan jalan Analogi atau qiyas sehingga tidak termasuk kategori Bid’ah . berarti tidak
semua ritual yang baru serta-merta dikategorikan sebagai perbuatan bid’ah seperti ritual tahlil tujuh
hari,40 hari dan seratus hari dari kematian mayat, ziarah kubur, tawassul, mendoakan orang mati dll.
Imam Muhmmad Waliyuddin As Syabsiri dalam Syarah Arba’n Nawawi mengupas pengertian Hadits
Nabi yang berbunyai :

‫َم ْن َأحَد َث َح َد ًث ا َاْو آَو ى ُمحدًث ا َفَعليِه َلْع َن ُة ِهللا‬


Barang siapa menciptakan perkara baru atau melindungi pencipta perkara baru mak dia berhak
mendapatkan laknat Allah.
Hadits tersebut diatas memasukkan berbagai bentuk bentuk bid’ah seper Aqad fasid, memberi
hukum tanpa Ilmu, penyelewengan dan semua hal yang tidak sesuai dengan syari’at. Namun apabila
perkara baru itu masih sesuai dengan qonun syari’at maka tidak termasuk kategori bid’ah seperti
menulis mushaf, meluruskan madzhab, menulis ilmu nahwu ,Khisab dll.
Syaih Izzuddin ibni Abdis Salam menggolongkan perkara baru ( Bid’ah ) menjadi lima hukum yaitu :
1. Bid’ah wajib seperti : mempelajari ilmu nawu, dan lafad-lafad yang ghorib dalam Al-Qur’an dn
Hadits dan semua disiplin ilmu yang menjadi perantara untuk memahami syari’at.
2. Bid’ah Haram seperti : Faham Madzhab Qodariah, Jabariah dan Mujassimah.
3. Bid’ah Sunnah Seperti : Mendirikan Pondok, Madrasah dan semua perbuatan baik yang tidak
pernah ditemukan pada masa dahulu.
4. Bid’ah Makruh Seperti : Menghias MAsjid dan Al-Qur’an.
5. Bid’ah Mubah seperti : Mushofahah (Jabat tangan) setelah Shalat Subuh dan Ashar dll.
IV. Kriteria penggolongan Bid’ah
Dalam menggolongkan perkara baru yang menimbulkan konsekwensi hukum yang berbeda-beda,
Ulama’ telah membuat tiga kriteria dalam persoalan ini .
1. Jika perbuatan itu mempunyai dasar yang kuat berupa dalil-dalil syar’i, baik parsial ( juz’i ) atau
umum, maka bukan tergolong bid’ah, dan jika tidak ada dalil yang dibuat sandaran, maka itulah
bid’ah yang dilarang.
2. Memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama’ salaf ( Ulama’ pada abad I,II dan III H , jika sudah
diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka
perbuatan itu bukan tergolong Bid’ah.
3. Dengan jalan Qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliah yang telah ada

12
hukumnya dari Nash Al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka
perbuatan baru itu tergolong Bid’ah yang diharamkan. Apabila memiliki kemiripan dengan yang
wajib, maka tergolong perbuatan baru yang wajib. Dan begitu seterusnya.
V. Hal-hal baru yang tidak tergolong Bid’ah
Dari pengertian Bid’ah diatas, memberikan suatu natijah atau kesimpulan bahwa ada sebagian amal
Bid’ah yang sesuai dengan syari’at dan justru ada yang hukumnya sunnat dan fardlu kifayah. Oleh
sebab itu Imam Syafi’i berkata :

" ‫ َو َم ا أْح َد َث‬, ‫ما َأْح َد َث َو َخ اَلَف ِك َت اًبا َاو ُس َّن ًة او ِإجَم اًعا او أثًر ا فهو الِبْد َع ُة الَّض اَّلُة‬
‫" ِمَن الَخ يِر َو َلْم ُيَخ اِلْف َش يًئ ا من ذلك َفُهَو الِبْد َع ُة الَم ْح ُموَد ُة‬
“ Perkara baru yang tidak sesuai dengan Kitab Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Atsar sahabat termasuk
bid’ah yang sesat, dan perkara baru yang bagus dan tidak bertentangan dengan pedoman-pedoman
tersebut maka termasuk Bid’ah yang terpuji “
1. Ziarah kubur.
Tidak diragukan sama sekali, bahwa hukum berziarah ke makam kerabat atau auliya’ adalah sunnah,
dan hal ini telah disepakati oleh semua ulama’. Terdapat banyak Hadits yang menjelaskan
kesunnahan ziarah kubur, diantaranya adalah :

‫عن بريدة قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم " َقْد ُكْن ُت َن َه يُتُك ْم َع ْن ِز َي اَر ِة الُقُبوِر‬
‫ رواه الترمذي‬. ‫َفَق ْد ُأِذَن ِلُم َح مٍد فِي ِز َيارِة َقبِر ُأِّمِه َفُز وُر َه ا فإَّن َه ا ُتَذ ِّك ُر اآلخرَة‬
“ dari Buraidah. Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda “ saya pernah melarang kamu berziarah kubur,
tetapi sekarang Muhammad telah diberi izin untuk berziarah kemakam ibunya. Maka sekarang
berziarahlah ! karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat. HR. Al Thirmidzi
Ziarah kubur juga sunnah mu'akkad dilakukan di makam Rasulullah SAW dan juga makam para nabi
yang lain, bahkan ada sebagian ulama' yang mewajibkan ziarah kubur kemakam Rasulullah SAW bagi
orang yang mendatangi kota madinah. Namun sebaiknya ketika seseorang hendak melakukan ziarah
ke makam Rosul hendaklah niat ziarah ke masjid Nabawi dan setelah itu baru melaksanakan ziarah
ke makam Rosul dengan cara mengucapakan kalimat " ‫ " الَّس َالُم َع َليَك َي ا َر ُسوَل هللا‬dengan sura pelan dan
penuh tata karma. Tersebut dalam sebuah Hadits:

‫ َو اْبُن َم اَج ْه‬، ‫ َم ْن َز اَر ِني َب ْع َد َمَم اِتي َفَك َأَّن َم ا َز اَر ِني ِفي َح َي اِتي } َر َو اُه الَّد اَر ُقْط ِنُّي‬،}
Barang siapa berziarah padaku setelah wafatku, maka seakan akan dia berziarah padaku pada masa
hidupku

‫َم ْن َز اَر َقْب ِر ي َو َج َب ْت لُه َشَفاَع ِتي عن ابن عمر رضي هللا عنه أن النبي صلى هللا‬
‫ عليه وسلم قال‬:"Dari Ibnu Umar RA. Sesungguhnya Rasulullah bersabda : barang siapa berziarah
kemakamku, maka pasti akan mendapatkan Syafa'at ( pertolongan ) ku" HR. Al Thobroni
2.Tawassul.
Kalimat Tawassul secara bahasa adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wasilah artinya
adalah sesuatu yang dijadikan Allah SWT. Sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Dan pintu menuju kebutuhan yang diinginkan. Allah SWT berfirman :

‫َي ا َأُّي َه ا اَّلِذيَن َآَم ُنوا اَّتُقوا َهَّللا َو اْب َتُغ وا ِإَلْي ِه اْلَو ِس يَلَة َو َج اِه ُد وا ِفي َس ِبيِلِه َلَع َّلُك ْم ُتْف ِلُحوَن‬
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.

13
QS: Al Maidah : 35
Dengan demikian, tawassul tidak lebih dari sekedar upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT,
sedangkan wasilah adalah sebagai media dalam usaha tersebut. Tujuan utamanya tidak lain adalah
mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak ada sedikitpun keyakinan menyekutukan Allah SWT.
( Syirik ).

Kebolehan Tawassul juga telah disebutkan oleh Nabi dalam Haditsnya :


‫" َت َو َّس ُلوا ِبي َو ِبَأْه ِل َب يتِي الَى ِهللا فإَّن ُه اَل ُيَر ُّد‬, ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫"ُم َت َو ِّسٌل ِبَن ا‬
" Rasulullah SAW bersabda : Bertawassullah kalian dengan aku dan dengan para keluargaku,
sesungguhnya orang yang bertawassul dengan aku tidak akan ditolak"( HR.Ibnu Hibban )
3. Tabarruk ( Mencari Berkah )
Secara Etimologi kata berkah berarti tambah, berkembang. Selanjutnya kata barokah digunakan
dalam pengertian bertambahnya kebaikan dan kenuliyaan. Jadi Barokah adalah rahasia dan
pemberian Allah SWT yang dengannya akan bertambah amal- amal kebaikan., mengabulkan
keinginan, menolak kejahatan dan membuka pintu menuju kebaikan dengan anugrah Allah SWT.
Dari pengertian ini barokah adalah bagian dari rahmat dan anugerah Allah SWT. Allah SWT berfirman
:

31 ‫ مريم‬. ‫َو َج َع َلنِي ُم َب اَر ًك ا َأْي َن َم ا ُكْن َت‬


" Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati dimana saja aku berada " QS : maryam 31

"73 ‫َر َح ْم ُة ِهللا َو َبَر َك اُتُه َع َليُك م َأهَل الَبيِت "هود‬


" Rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul bait !
Para ulama' telah banyak membicarakan hukum mengambil barokah, dan berkesimpulan bahwa
mengambil barokah dari orang , tempat atau benda hukumnya adalah boleh dengan syarat tidak
dilakukan dengan cara-cara yang menyimpang syari'at Allah SWT.
Berikut adalah dalil-dalil kebolehan mengambil berkah :

‫َو َقاَل َلُهْم َن ِبُّيُهْم ِإَّن َآَي َة ُم ْلِكِه َأْن َي ْأِتَي ُك ُم الَّت اُبوُت ِفيِه َسِك يَن ٌة ِم ْن َر ِّب ُك ْم َو َب ِقَّي ٌة ِمَّما َت َر َك‬
‫ البقرة‬. ‫َآُل ُموَس ى َو َآُل َه اُروَن َت ْح ِم ُلُه اْلَم اَل ِئَك ُة ِإَّن ِفي َذ ِلَك َآَلَي ًة َلُك ْم ِإْن ُكْنُتْم ُمْؤ ِمِنيَن‬
248
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah
kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari
peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.QS: Al-Baqarah 248

‫ َأَمَس ْس َت النبَي صلى هللا عليه‬: ‫ قال ثابت ألنس رضي هللا عنه‬:‫عن ابن جدعان‬
‫ رواه البخاري‬. ‫وسلم قال َن َع ْم َفَق َّب َلَه ا‬
" Dari Ibnu Jad'an, berkata Tsabit kepada Anas ra : Apakah tanganmu pernah menyentuh Nabi SAW ?
Anas menjawab : ya, maka Tsabit menciumnya ". HR. Bukhori
Diriwayatkan oleh Al Khotib dari Ali dari Maimun, berkata : aku mendengar Imam Syafi'I berkata : "
sesungguhnya aku mengambil barokah dari Abu Khanifah dan aku mendatangi makamnya setiap
hari, maka jika aku mempunyai hajat, aku shalat dua rakaat dan mendatangi makam Abu Hanifah

14
lalu berdo'a meminta kepada Allah SWT. Tidak lama kemudian hajatku terpenuhi".
Kesimpulannya, mengambil barokah dari orang-orang yang shaleh adalah perbuatan yang terpuji.
Apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi serta pengukuhan dari Rasulullah SAW cukup untuk
dijadikan sebagai dalil.

4. Selamatan & Berdo'a untuk orang mati


Ritual mendoakan orang mati sudah biasa dilakukan bahkan sudah menjadi adat orang jawa setiap
kali ada salah satu keluarga yang meninggal mereka mengadakan selamatan dihari ke-7 atau ke-40
dari kematian keluarganya dengan mengundang tetangga setempat dan dimintai bantuan untuk
membaca surat Yasin, Tahlil dan berdo'a untuk mayat.
Hal tersebut diatas diperbolehkan menurut Syari'at, bahkan bagian dari amal ibadah yang pahalanya
bisa sampai kepada yang meninggal. Bukankah bacaan Al-Qur'an, Tahlil dan bersedekah, menyajikan
suguhan untuk para tamu adalah bagian dari amal Ibadah. Dalam sebuah Hadits dinyatakan :

‫ َأَّن الَن ِبَّي صلى عليه وسلم ُس ِئَل فقال الَس اِئُل يا َر ُسْو َل ِهللا‬,‫َع ْن َأَن ٍس رضي هللا عنه‬
‫ َن َع ْم إَّن ُه‬: ‫ِإَّن ا َنَت َص َّد ُق َع ْن َم وَت اَن ا َو َن ُح ُّج َع نُهْم َو َن ْد ُعو َلُهْم َه ْل َيِص ُل َذ ِلَك ِإَلْي ِه ْم ؟ َقاَل‬
‫ رواه ابو‬. ‫َلَيِص ُل ِإَلْي ِه ْم َو ِإَّن ُهْم َلَي ْف َر ُحوَن ِبِه َك َم ا َي ْف َر ُح َأَح ُد ُك ْم بالَّط ْب ِق إذَا ُأْه ِدَي ِإَلْي ِه ْم‬
‫حفص العكبري‬
Dari Anas ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya seseorang: " wahai Rasulullah SAW, kami
bersedekah dan berhaji yang pahalanya kami peruntukkan orang-orang kami yang telah meninggal
dunia dan kami berdoa untuk merek, apakah pahalanya sampai pada mereka ? Rasulullah SAW
menjawab : Iya, pahalanya betul-betul sampai kepada mereka dan mereka sangat merasa gembira
sebagaimana kalian gembira apabila menerima hadiah. HR. Abu Khafs Al Akbari.
VI. Sekilas Pembaharuan Agama
Ketika keintelektualan lebih mengedepankan nafsu serta semangat yang menggebu-gebu dengan
dalih memurnikan agama tanpa disertai dengan pemahaman agama secara benar, maka yang terjadi
justru pembaharuan- pembaharuan yang menyimpang dari ajaran yang telah dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW. pada pembahasan ini akan mengetengahkan pembaharu-pembaharu ( Mujaddid)
Islam yang telah melakukan banyak penyimpangan dari ajaran Islam yang murni.
1. Faham Ibnu Taimiyah
Di akhir masa 600 H, muncullah seorang laki-laki yang jenius yang telah banyak menguasai berbagai
jenis disiplin ilmu, dialah Taqiyuddin ahmad bin Abdul Hakim yang dikenal dengan nama Ibnu
Taimiyah. Ia dilahirkan di desa Heran, sebuah desa kecil di Palestina. Ia hidup sezaman dengan Imam
Nawawi salah satu ulama; terbesar madzhab Syafi'i.
Ia merupakan sosok pribadi yang memiliki karakter pemberani, yang selalu mencurahkan segala
sesuatu untuk madzhabnya, dengan keberanian yang ia miliki, ia telah menemukan hal baru yang
sangat tabu dan jauh dari kebenaran, karena yang menjadi dasar pendiriannya ialah mengartikan
ayat-ayat dan hadits-hadits nabi Muhammad yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan menurut arti
lafadznya yang dlohir, yakni hanya secara harfiyah saja, oleh sebab itu menurut Ibnu Taimiyah "
Tuhan itu memiliki muka, tangan, rusuk dan mata, duduk bersila, dating dan pergi, tuhan adalah
cahaya langit dan bumi karena katanya semua itu disebut dalam Al Qur'an".
Kontroversi yang ia ucapkan tidak hanya terbatas pada permasalahan ilmu kalam, melainkan juga
menyinggung beberapa permasalahan ilmu fiqih :
* Bepergian dengan tujuan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat hukumnya

15
maksiat
* Talak tiga tidak terjadi ketika diucapkan dengan sekaligus ( hanya jatuh satu )
* Seorang yang bersumpah akan mencerai istrinya , lalu ia melanggar sumpahnya, maka perceraian
itu tidak terjadi.
2. Faham Wahabi
Pada pertengahan kurun ke 12 muncul seorang yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang
berdomisili di Najd yang termasuk kawasan Hijaz, ia dilahirkan pada tahun 1111 H, dan meninggal
pada tahun 1207 H. pada mulanya ia memperdalam ilmu agama dari ulama'-ulama; ahli sunnah di
makkah dan madinah termasuk diantaranya adalah syaih Muhammad Sulaiman Al Kurdi dan syaih
Muhammad Hayyan Assindi, diantara guru yang pernah mengajarkan ilmu kepadanya, jauh sebelum
ia membuat pergerakan telah berfirasat kalau disuatu hari nanti ia tergolong orang yang sesat dan
menyesatkan, itupun akhirnya menjadi kenyataan, firasat ini juga dirasakan oleh ayah dan
saudaranya ( Syeh Sulaiman ).
Muhammad bin Abdul Wahab pada masa mudanya banyak membaca buku-buku karangan Ibnu
Taimiyah dan pemuka-pemuka lain yang sesat, sehingga ahirnya membangun faham Wahabiyah
yang terpusat ditanah Hijaz sebagai penerus tongkat estafet dari ajaran Ibnu Taimiyah, bahkan lebih
extrim dan radikal daripada Ibnu Taimiyah sendiri, sebab ia sangat mudah memberikan label kafir
kepada setiap orang yang tidak mau mengikuti fahamnya. Langkah yang ia tempuh dalam
mengembangkan fahamnya ialah dengan memberikan tambahan- tambahan baru dari ajaran Ibnu
Taimiyah yang semula dianutnya.
* Poin-poin dasar faham wahabiyah
1. Allah adalah suatu jisim yang memiliki wajah, tangan dan menempat sebagaimana mahluq juga
sesekali naik dan turun ke bumi.
2. Mengedapankan dalil Naqli daripada dalil aqli serta tidak memberikan ruang sedikitpun pada akal
dalam hal-hal yang berkenaan dengan agama ( keyakinan)
3. Mengingkari Ijma' ( Konsensus )
4. Menolak Qiyas ( Analogi )
5. Tidak memperbolehkan Taqlid kepada Ulama' Mujtahidin dan mengkufurkan kepada siapapun
yang taqlid kepada mereka
6. Mengkufurkan kepada ummat Islam yang tidak sefaham dengan ajarannya
7. Melarang keras bertawassul kepada Allah melalui perantara para Naabi, Auliya' dan orang- orang
sholeh
8. Memvonis kafir kepada orang yang bersumpah dengan menyebut nama selain Allah
9. menghukumi kafir kepada siapa saja yang bernadzar untuk selain Allah.
10. Menghukumi kafir kepada secara muthlak kepada siapapun yang menyembelih disisi makam
para nabi atau orang-orang Sholeh.

Perkembangan ajaran Wahabiyah yang disinyalir melalui cendekiawan-cendekiawan pada akhirnya


juga sampai di tanah air kita Indonesia, hal ini diawali dengan maraknya pergerakan-pergerakan
diawal abad ke-20 yang bertopeng keagamaan.
Diawali dengan terbentuknya organisasi Wathoniyah pada tahun 1908 M. kemudian disusul
organisasi Serikat Islam pada tahun yang sama, hanya saja berkecimpung dalam masalah
perdagangan. Dan puncaknya dibentuklah sebuah ormas pada tanggal 18 Desember 1912 oleh
seorang cendekiawan yang berfaham Wahabi, kendati organisasi ini lebih berorientasi pada masalah
social keagamaan, namun kelahirannya dibumi pertiwi ini menyebabkan keretakan diantara Muslim

16
Indonesia yang pada umumnya berhaluan faham Ahli Sunnah Wal jamaah,
Propaganda yang dilakukan oleh cendekiawan wahabi ialah dengan melakukan pendekatan pada
masyarakat awam, setelah terpedaya kemudian mereka mengeluarkan trik-trik baru yang justru
lebih berbahaya dampaknya, yaitu dengan menanamkan benih-benih permusuhan dan rasa
sentiment pada para ulama' salaf dan golongan yang tidak sefaham dengan mereka.
3. Faham Ahmadiyah
Pendiri golongan ini bernama Mirza Ghulam Ahmad, ia dilahirkan didesa Qodliyan Punjab Pakistan
pada tahun 1836 M. dia tidak hanya mengaku sebagai imam Mahdi yang ditunggu, Mujaddid dan
juru selamat,tetapi stelah ia berumur 54 tahun ia memproklamirkan diri sebagai nabi yang paling
akhir sesudah nabi Muhammad SAW dan benar-benar mendapatkan wahyu dari Allah SWT.
Poin-Poin faham Ahmadiyah yang menyimpang dari Syari'at
1. Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi terahir
2. Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa yang dijanjikan.
3. Syari'at Islam belum sempurna, tetapi disempurnakan oleh Syari'at Mirza Ghulam Ahmad.
4. Jaringan Islam Liberal
Belakangan ini gegap gempita pemikiran dan aliran yang muncul dikalangan Islam di Indonesia
begitu deras, sehingga berimplikasi pada sebuah kebebasan yang seakan tak terbatas. Disana-sini
bermunculan aliran dan sekte-sekte, termasuk salah satunya adalah Jaringan Islam Liberal ( JIL ).
Sebagai komunitas yang berslogan " Menuju Islam yang ramah, toleran dan membebaskan " JIL hadir
layaknya sebuah alternatif yang begitu intelektual dan cerdas. Mereka begitu Ofensif sehingga
berhasil menciptakan jaringan dengan tidak kurang dari 51 koran dan membuat radio 68 Hyang
beberapa acaranya dipancarluaskan oleh jaringan KBR 68 H diseluruh Indonesia. Maka tak heran
apabila pemikiran-pemikirannya begitu kuat mempengaruhi ummat.
Madzhab liberal merupakan aliran pemikiran Islam Indonesia yang menekankan pada kebebasan
berfikir dan tidak lagi terikat dengan madzhab-madzhab pemikiran keagamaan ( terutama Islam )
pada umumnya, melampaui batas-batas cara berpikir sectarian organisasi dan politik. Bagi Madzhab
liberal, yang paling penting adalah perlunya tradisi kritis dan perlunya Dekonstruksi atas pemahaman
lama yang telah berkembang ratusan tahun. Islam seharusnya difahami secara modern dan rasional,
karena Islam merupakan agama yang rasional dan mengutamakan rasionalitas yang dalam bentuk
konkritnya berupa Ijtihad. Islam harus dipahami secara kontekstual, progressif dan emansipatoris.
Dengan pemahaman seperti ini maka Islam akan mengalami kemajuan, bukannya kemunduran.
VII. Metode Pembentengan Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah
Dalam membentengi aqidah Ahlus Sunnah wal jamaah agar tetap eksis dan menjadi panutan
masyarakat, tentunya perlu diterapkan metode yang jitu dan tidak terkesan radikal. Upaya
penyampaian tentang pentingnya mempertahankan aqidah ahli sunnah wal jamaah bisa ditempuh
dengan berbagai macam cara, seperti memberikan pemahaman yang mendalam tentang hakikat
aswaja dan bahayanya mengikuti faham- faham sesat yang banyak bermunculan melalui pertemuan-
pertemuan khusus atau melalui majelis Dzikir, ketika Masyarakat berkumpul di Masjid untuk
melaksanakan Shalat atau pengajian dan berbagai moment keagamaan lainnya.
Islam mengajarkan pada penganutnya untuk berda'wah dan mengajak sesama menuju kejalan yang
benar dengan cara-cara yang terpuji, hal itu telah diuraikan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Seperti
halnya ajaran tentang mengajak masuk Islam dengan hikmah atau dalil dan hujjah juga dengan
mau'idlah yang ada dalam ayat Al-Qur'an, dan hal itu tentu harus dengan menggunakan adab dan
tata karma yang baik. Karena agama Islam identik dengan nasihat yang halus dan jauh dari
kekerasan.

17
Banyak media yang bisa kita gunakan untuk menyampaikan nilai-nilai Aswaja kepada masyarakat
luas yang selama ini masih minim dipraktekkan sebab kurangnya rasa peduli dari para nahdliyin.
Pengoptimalan Fungsi Masjid
Sebenarnya fungsi asal dibangunnya masjid selain untuk shalat seperti yang telah dijelaskan oleh
Imam Samarqondi adalah sebagai tempat untuk Dzikir, Takbir, Tahlil, Menyiarkan Islam dan
menjauhkan dari perbuatan syirik. Oleh sebab itu sudah saatnya para Ta'mir masjid dan pemuka
agama mengaplikasikan fungsi- fungsi tersebut dengan mengadakan Khalaqah diwaktu-waktu
tertentu untuk menyampaikan nilai-nilai faham Aswaja dengan tujuan menyelamatkan masyarakat
dari pengaruh faham yang sesat dan menyesatkan.
Oleh karenanya pengoptimalan fungsi masjid dengan cara digunakan sebagai media penyampaian
aqidah yang tegak sangat mutlaq diperlukan dizaman sekarang, mengingat bahayanya faham-faham
baru yang berkedok Islam namun jauh melenceng dari nilai-nilai Islam secara sempurna.
Apabila upaya pengoptimalan tersebut telah kita lakukan, sedikit banyak masyarakat akan faham
tentang Aswaja dan bahaya akiran-aliran sesat. Dan masjid yang kita miliki semakin tampak manfaat
dan fungsi-fungsinya. Jangan sampai Masjid yang kita rawat dan kita tempati sehari-hari diambil alih
oleh golongan- golongan yang tidak bertanggung jawab seperti yang telah diberitakan dalam sebuah
situs NU Online yaitu :
Kehidupan beragama di Indonesia semakin tidak aman. Sekelompok orang yang mengatasnamakan
Islam telah serampangan mengambil alih masjid-masjid milik warga (Nahdlatul Ulama) NU dengan
alasan bid’ah dan beraliran sesat.
Allah SWT berfirman dalam Al Qur'an :

‫اْد ُع ِإَلى َس ِبيِل َر ِّب َك ِباْلِح ْك َمِة َو اْل َم ْو ِع َظ ِة اْلَح َس َن ِة َو َج اِد ْل ُهْم ِباَّلِتي ِهَي َأْح َس ُن ِإَّن َر َّب َك‬
125 ‫ النحل‬. ‫ُه َو َأْع َلُم ِبَم ْن َض َّل َع ْن َس ِبيِلِه َو ُه َو َأْع َلُم ِباْل ُمْه َت ِديَن‬
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk. "QS: An Nahl 125

44 : ‫َفُقوَال َلُه َقْو ًال َّلّينًا َّلَع َّلُه َي َت َذ َّك ُر َأْو َي ْخ َش ى طه‬
maka berbicaralah kamu berdua ( Musa dan Harun ) kepadanya( Fir'aun ) dengan kata-kata yang
lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." QS : Thaha 44

83 ‫َو ُقوُلوْا ِللَّن اِس ُح ْس ًن ا البقرة‬


serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia." QS : Al Baqarah 83
Ayat-ayat diatas menjelaskan pada Ummat Islam bahwa ajakan menuju jalan Allah yang oleh ulama'
ditafsiri dengan Agama Islam harus dengan menggunakan Hikmah, dan hikmah yang dimaksud
dalam ayat tersebut diatas oleh ulama ditafsiri dengan burhan (dalil) atau hujjah, Allah juga
memerintahkan untuk mengajak dengan Mau'idlah atau peringatan yang bagus.
Dalam surat Thaha diatas Allah memerintahkan pada nabi Musa dan Harus AS. Untuk bertutur kata
yang halus kepada Fir'aun, agar Fir'aun bisa sadar atau takut kepada Allah. Sampai selentur itu
ajaran Allah untuk berda'wah, padahal kita ketahui bersama bagaimana kekejaman dan kerasnya
fir'aun dalam menentang agama Allah SWT. Demikian Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
(ASWAJA) Semoga Postingan Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) ini bisa memberikan
penjelasan yang bermanfaat buat kita semua AMIN.

18
Tag Manual:
Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Pengertian Ahlussunnah Wal Jama'ah, Pengertian Aswaja,
Pengertian Sunni, Definisi Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Apa Itu Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

Siapakah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?


6 January 2009 Redaksi At Tauhid Tahun V, Manhaj 47 comments

At Tauhid edisi V/2

Oleh: Yulian Purnama

Sungguh sayang sungguh malang, umat Islam di masa ini bak buih di lautan, banyak
jumlahnya namun tercerai-berai. Heran bukan kepalang melihat fenomena ini, kita semua
tahu bahwa Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam hanya 1 macam,
sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya: “Sesungguhnya kalian adalah umat yang
satu dan Aku adalah Rabb kalian, maka beribadahlah kepada-Ku” [Al-Anbiyaa : 92].
Namun mengapa hari ini Islam menjadi bermacam-macam? Aneh bukan?

Ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedari dulu telah memperingatkan hal ini:
“Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan ; dan telah berpecah kaum
Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh
puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya,
siapakah yang satu itu ya Rasulullah? ; Beliau menjawab: yaitu orang-orang yang berada
pada jalanku dan jalannya para sahabatku di hari ini” [HR. Tirmidzi]. Namun lihatlah,
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengabarkan bahwa ada 1 golongan yang selamat
dari perpecahan yaitu orang-orang yang beragama dengan menempuh jalan Islam
sebagaimana jalan Islam yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan
para sahabatnya pada masa itu. Dari sinilah muncul istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah istilah yang dilekatkan dengan sifat-sifat golongan yang
selamat yang disebutkan dalam hadist di atas. Maka tak pelak lagi, istilah Ahlus Sunnah pun
menjadi rebutan. Bahkan orang-orang yang menempuh jalan yang salah pun mengaku Ahlus
Sunnah. Sehingga masyarakat awam yang sedikit menyentuh ilmu agama pun dibuat bingung
karenanya, dan rancu dibuatnya, tentang siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah itu?

Makna Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Kata “Ahlussunnah” terdiri dari dua suku kata yaitu ’ahlu’ yang berarti keluarga, pemilik,
pelaku atau seorang yang menguasai suatu permasalahan, dan kata ’sunnah’. Namun
bukanlah yang dimaksud di sini sunnah dalam ilmu fiqih, yaitu perbuatan yang mendapat
pahala jika dilakukan, dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Akan tetapi sunnah adalah apa
yang datang dari Nabi baik berupa syariat, agama, petunjuk yang lahir maupun yang bathin,
kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin dan pengikutnya sampai hari Kiamat. Dengan
demikian definisi Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam dan sunnah para shahabatnya. Sehingga Imam Ibnul Jauzi
berkata,” Tidak diragukan bahwa orang yang mengikuti atsar (sunnah) Rasulullah

19
Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya adalah Ahlus Sunnah” (Lihat Talbisul Iblis
hal. 16)

Sedangkan kata ”Al Jama’ah” artinya bersama atau berkumpul. Dinamakan demikian karena
mereka bersama dan berkumpul dalam kebenaran, mengamalkannya dan mereka tidak
mengambil teladan kecuali dari para sahabat, tabiin dan ulama–ulama yang mengamalkan
sunnah sampai hari kiamat. Karena merekalah orang-orang yang paling memahami agama
yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun yang perlu digaris-bawahi
di sini adalah bahwa Al Jama’ah adalah orang-orang yang berada di atas kebenaran, bukan
pada jumlahnya. Jumlah yang banyak tidak menjadi patokan kebenaran, bahkan Allah Ta’ala
berfirman yang artinya: ”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka
bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” [Al An’am: 116]. Sehingga
benarlah apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu: “Al-Jama’ah adalah yang
mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian” (Syarah Usuhul I’tiqaad Al Laalika-i no.
160).

Ringkasnya, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya, dan dalam memahami dan
mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tersebut mereka meneladani
praktek dan pemahaman para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti mereka. Dan makna
ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tentang
satu golongan yang selamat pada hadits di atas: ”yaitu orang-orang yang berada pada
jalanku dan jalannya para sahabatku dihari ini”.

Pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Mungkin setelah dijelaskan makna Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, sebagian orang masih rancu
tentang siapakah sebenarnya mereka itu. Karena semua muslim, dari yang paling ’alim
hingga yang paling awamnya, dari yang benar hingga yang paling menyimpang akan
mengaku bahwa ia berjalan di atas jalannya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para
sahabatnya. Maka dalam kitab Ushul Aqidah Ahlis Sunnah, Syaikh Sholeh Al Fauzan
hafizhahullah menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dapat dikenal dengan dua
indikator umum:

1. Ahlus Sunnah berpegang teguh terhadap sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, berbeda
dengan golongan lain yang beragama dengan berdasar pada akal, perasaan, hawa nafsu,
taqlid buta atau ikut-ikutan saja.
2. Ahlus Sunnah mencintai Al Jama’ah, yaitu persatuan ummat di atas kebenaran serta
membenci perpecahan dan semangat kekelompokan (hizbiyyah). Berbeda dengan golongan
lain yang gemar berkelompok-kelompok, membawa bendera-bendera hizbiyyah dan bangga
dengan label-label kelompoknya.

Perlu diketahui juga bahwa istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah muncul untuk membedakan
ajaran Islam yang masih murni dan lurus dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan
ajaran Islam yang sudah tercampur dengan pemikiran-pemikiran menyimpang seperti
pemikiran Jahmiyah, Qodariyah, Syi’ah dan Khawarij. Sehingga orang-orang yang masih
berpegang teguh pada ajaran Islam yang masih murni tersebut dinamakan Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah. Imam Malik rahimahullah pernah ditanya : “Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia
menjawab: Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqb (julukan) yang sudah

20
terkenal. Yakni bukan Jahmiyah, bukan Qadariyah, dan bukan pula Syi’ah”. (Lihat Al-Intiqa
fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr).

Walaupun pada kenyataannya orang-orang yang berpemikiran menyimpang tersebut, seperti


Jahmiyah, Qodariyah, Syi’ah dan Khawarij juga sebagian mengaku sebagai Ahlus Sunnah.
Sehingga hal ini memicu para Imam Ahlus Sunnah untuk menjelaskan poin-poin pemahaman
Ahlus Sunnah, agar umat dapat menyaring pemahaman-pemahaman yang tidak sesuai dengan
Al Qur’an dan Sunnah. Salah satunya dari Imam Ahlus Sunnah yang merinci poin-poin
tersebut adalah Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dalam kitabnya Ushul As Sunnah.
Secara ringkas, poin-poin yang dijelaskan Imam Ahmad tentang pemahaman Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah diantaranya adalah:

 Beriman kepada takdir Allah,


 Beriman bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah (perkataan Allah), bukan makhluk dan bukan
perkataan makhluk,
 Beriman tentang adanya mizan (timbangan) di hari Kiamat, yang akan menimbang amal
manusia,
 Beriman bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla akan berbicara dengan hamba-Nya di hari Kiamat,
 Beriman tentang adanya adzab kubur dan adanya pertanyaan malaikat di dalam kubur,
 Beriman tentang adanya syafa’at Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bagi ummat beliau
 Beriman bahwa Dajjal akan muncul,
 Beriman bahwa iman seseorang itu tidak hanya keyakinan namun juga mencakup perkataan
dan perbuatan, dan iman bisa naik dan turun,
 Beriman bahwa orang yang meninggalkan shalat dapat terjerumus dalam kekufuran,
 Patuh dan taat pada penguasa yang muslim, baik shalih mau fajir (banyak bermaksiat).
Selama ia masih menjalankan shalat dan kepatuhan hanya pada hal yang tidak melanggar
syariat saja,
 Tidak memberontak kepada penguasa muslim,
 Beriman bahwa tidak boleh menetapkan seorang muslim pasti masuk surga atau pasti masuk
neraka,
 Beriman bahwa seorang muslim yang mati dalam keadaan melakukan dosa tetap
disholatkan, baik dosanya kecil atau besar.

Jangan salah membatasi

Imam Al Barbahari berkata: ”Ketahuilah bahwa ajaran Islam itu adalah sunnah dan sunnah
itu adalah Islam” (Lihat Syarhus Sunnah, no 2). Maka pada hakikatnya pemahaman Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah adalah Islam itu sendiri dan ajaran Islam yang hakiki adalah
pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Maka Ahlus Sunnah adalah setiap orang Islam
dimana saja berada yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan
pemahaman para sahabatnya. Jika demikian, sungguh keliru sebagian orang yang membatasi
Ahlus Sunnah dengan batas-batas yang serampangan.

Telah keliru orang yang membatasi Ahlus Sunnah dengan suatu kelompok atau organisasi
tertentu, seperti perkataan: ’Ahlus Sunnah adalah NU’ atau ’Ahlus Sunnah adalah
Muhammadiyah’. Telah salah orang yang membatasi Ahlus Sunnah dengan majlis ta’lim atau
ustadz tertentu dengan berkata: ’Ahlus Sunnah adalah yang mengaji di masjid A’ atau ’Ahlus
Sunnah adalah yang mengaji dengan ustadz B’. Keliru pula orang yang membatasi dengan
penampilan tertentu, misalnya dengan berkata ’Ahlus Sunnah adalah yang memakai gamis,
celana ngatung dan berjenggot lebat. Yang tidak demikian bukan Ahlus Sunnah’. Tidak benar
pula membatasi Ahlus Sunnah dengan fiqih misalnya dengan berkata ’Yang shalat shubuh
21
pakai Qunut bukan Ahlus Sunnah’ atau ’Orang yang shalatnya memakai sutrah (pembatas)
dia Ahlus Sunnah, yang tidak pakai bukan Ahlus Sunnah’. Dan banyak lagi kesalah-pahaman
tentang Ahlus Sunnah di tengah masyarakat sehingga istilah Ahlus Sunnah mereka tempelkan
pada kelompok-kelompok mereka untuk mengunggulkan kelompoknya dan berfanatik buta
terhadap kelompoknya.

Adapun Ahlus Sunnah yang sejati tidak sibuk dengan label dan pengakuan, serta benci
dengan semangat kekelompokkan. Sebagaimana perkataan Ibnu Qoyyim Al Jauziyah tentang
Ahlus Sunnah: ”Sesuatu yang tidak mempunyai nama kecuali Ahlus Sunnah” (Lihat
Madarijus Salikin III/174). Bahkan seorang Ahlus Sunnah menyibukkan diri dengan
menerapkan sunnah dalam setiap aspek kehidupannya. Dan tidak ada gunanya seseorang
mengaku-ngaku Ahlus Sunnah, sementara ia sibuk dengan melakukan bid’ah dan hal-hal
yang bertentangan dengan sunnah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya ”Sesungguhnya
Rabb-mu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia juga lebih
mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” [An Najm: 30].

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalan yang
ditempuh oleh orang-orang yang diberikan ni’mat, bukan jalannya orang-orang yang
dimurkai dan orang-orang tersesat. [Yulian Purnama]

22

Anda mungkin juga menyukai