Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH AGAMA

KELOMPOK 8

IKHTILAFIYAH DALAM ISLAM

Disusun Oleh :
Siska Febi Liani (2311103072)
MHD. Candra Apriandi (2311103097)
S1SI-07-B

PROGRAM STUDI S1 SISTEM INFORMASI


FAKULTAS INFORMATIKA
INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
2023

1
DAFTAR ISI
BAB I Pendahuluan ……………………………………………………………………… 3
A. Latar Belakang ……………………………………………………………………… 3
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………… 4
C. Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………… 4
BAB II Pembahasan ……………………………………………………………………… 5
A. Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Generasi Awal Islam ……………………………… 5
B. Pengertian Ikhtilaf ……………………………………………………………………… 6
C. Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf ……………………………………………………… 7
D. Pengaruh Ikhtilaf terhadap Perkembangan Ijtihad dalam Aspek HukumKeluarga ….... 11
E. Faktor - Faktor Terjadinya Ikhtilaf …………………………………………………….. 13
F. Akar Penyebab Munculnya Ikhtilaf Al Fuqoha …………………………………….. 16
G. Sikap Menghadapi Ikhtilaf …………………………………………………………….. 18
BAB III Penutup ……………………………………………………………………. 21
Kesimpulan …………………………………………………………………………….. 21
Kritik dan Saran …………………………………………………………………….. 22
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. 23

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam, sebagai agama besar dan kuno, telah mengalami perkembangan sejarah yang
panjang dalam konteks sosial, budaya, dan politik yang beragam. Dalam
perkembangannya, Islam menjadi salah satu agama dengan jumlah pengikut terbesar di
dunia yang tersebar di seluruh muka bumi. Namun seiring dengan perkembangan
tersebut, Islam juga mengalami perbedaan pendapat yang signifikan dalam berbagai
aspek agama, termasuk aqidah (keyakinan) dan fiqh (hukum).

Fenomena ikhtilafiyah atau perbedaan pendapat ini bukanlah hal baru dalam Islam.
Sejak awal berdirinya agama, para ulama dan ulama Islam telah berdebat dan
mendiskusikan berbagai permasalahan agama. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW, khususnya setelah
Nabi wafat. Perbedaan-perbedaan ini menjadi lebih jelas ketika para ulama mulai
merinci hukum-hukum Islam dan mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik,
dan budaya yang semakin kompleks.

Pentingnya memahami ikhtilafiyah dalam Islam adalah untuk menelusuri asal usul
perbedaan pendapat, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan
memahami dampaknya terhadap praktik keagamaan dan hubungan antar aliran
pemikiran yang berbeda dalam Islam. Dengan memahami konteks ikhtilafiyah, kita
dapat menghormati keberagaman dalam Islam dan mengupayakan dialog yang
produktif untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang agama ini. Lebih jauh
lagi, pemahaman tentang ikhtilafiyah dapat membantu para cendekiawan dan komunitas
Muslim mengatasi tantangan dan permasalahan kontemporer yang muncul dalam
masyarakat Muslim.

3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perbedaan pendapat (ikhtilaf) terjadi di antara generasi awal Islam,
terutama di antara para sahabat Rasulullah Muhammad saw.?
2. Apa pengertian ikhtilaf dalam Islam dan bagaimana konsep ini didefinisikan oleh
para ulama dan ahli pemikiran Islam?
3. Apa sebab-sebab utama yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam pemahaman
dan praktik Islam, terutama dalam hal hukum agama (fiqh) dan keyakinan
(aqidah)?
4. Apa model-model ikhtilaf yang ada dalam Islam, termasuk dalam konteks
hukum, teologi, dan pemikiran keagamaan?
5. Apa akar penyebab munculnya ikhtilaf al-Fuqoha (perbedaan pendapat di antara
ulama hukum Islam), dan bagaimana perbedaan pendapat di antara berbagai
madzhab hukum Islam seperti Hanafi, Maliki, Shafi'i, dan Hanbali memengaruhi
pemahaman hukum Islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Menyelidiki pengertian ikhtilaf dalam Islam dan menganalisis konsep ini dari
perspektif berbagai ulama dan ahli pemikiran Islam untuk memahami
bagaimana ikhtilaf dikonseptualisasikan dalam tradisi Islam.
2. Menganalisis sebab-sebab utama yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam
pemahaman dan praktik Islam, dengan fokus khusus pada hukum agama (fiqh)
dan keyakinan (aqidah).
3. Mengidentifikasi dan memahami berbagai model ikhtilaf yang ada dalam Islam,
termasuk dalam konteks hukum, teologi, dan pemikiran keagamaan, untuk
memahami keragaman pandangan di dalam agama ini.
4. Menyelidiki akar penyebab munculnya ikhtilaf al-Fuqoha (perbedaan pendapat
di antara ulama hukum Islam) dan memahami bagaimana perbedaan pendapat di
antara berbagai madzhab hukum Islam memengaruhi pemahaman hukum Islam.
5.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perbedaan Pendapat (ikhtilafiyah) Generasi Awal Islam
Mengawali pembahasan sederhana ini dapat dinyatakan dengan pasti bahwa
fenomena perbedaan pendapat pada masa yang paling awal dari sejarah pemikiran
Muslim / pada masa periode pertumbuhannya ( yakni pada masa Nabi Muhammad
SAW ) belumlah muncul seperti pada masa-masa berikutnya, terutama sekali pada
masa keemasan hukum Islam. Perbedaan pendapat pada masa Nabi tidaklah seramai
dan sekrusial pada masa pertumbuhan mazhab-mazhab hukum Islam. Bahkan
ikhtilaf yang terjadi di kalangan sahabat hampir-hampir sulit ditemukan ( al
Ulwaniy,Tt:33 juga dalam Hassan,1994:106 ), karena ketika sahabat berdebat
tentang suatu persoalan, Nabi bisa segera mendamaikan perbedaan pendapat itu,
sehingga sahabat tidak pernah berlarutlarut dengan ikhtilaf yang tiada akhir.

Sejarah mencatat bahwa perbedaan pendapat pertama yang mengakibatkan


ummat Islam terpecah dalam kelompok / firqah tertentu, adalah kasus pergantian
kepemimpinan Nabi ( suksesi / istikhlaf ). Dalam kasus ini ummat terpecah dalam
tiga kelompok, yakni kelompok Anshor, kelompok Muhajirin dan kelompok Bani
Hasyim yang saling berebut pengaruh untuk mendapatkan posisi kepemimpinan
tertinggi di pusat kekuasaan Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
perbedaan pendapat dalam tradisi Islam lebih disebabkan oleh hilangnya tokoh
sentral dan ideal seperti Nabi Muhammad SAW yang mampu mengayomi dan
menyatukan setiap perbedaan pendapat yang muncul di kalangan sahabat.
Sepeninggal beliau umat Islam mempelajari dan mengkaji dua warisan monumental
beliau -yakni al Qur’an dan al hadis- dalam rangka menjawab setiap persoalan
fiqhiyyah dan furu’iyyah yang muncul. Oleh karena tingkat kecerdasan dan
metode / manhaj istibanthiyah para ulama sangat beragam, maka kondisi seperti ini
memicu bagi tumbuhnya perbedaan pendapat di antara mereka. Masing-masing

5
imam mazhab memperkenalkan cara/metode tertentu di dalam memahami maksud
nash – al Qur’an dan al Hadis- sehingga hal itu berdampak pula pada beragamnya
hasil ijtihad yang sekaligus memperlebar jurang perbedaan pendapat di kalangan
umat Islam ( Zahrah,Tt:17-18 ).
Pertama: Khilaf Tadhod (Yaitu khilaf yang terjadi di dalamnya kontradiksi)
seperti masalah menyentuh wanita membatalkan wudhu’ atau tidak, keluarnya darah
membatalkan wudhu atau tidak, khomr najis atau bukan, zakat tijaroh
(perdagangan) ada atau tidak. Khilaf seperti ini dikatakan tadhod –yakni khilaf yang
saling bertentangan (kontradiksi). Ketahuilah bahwa khilaf seperti ini bisa
dipastikan: tidak mungkin semua pendapat benar, karena sabda Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak bertentangan satu dengan lainnya.
Kedua: Khilaf Tanawu’ (Yaitu perbedaan yang sumbernya adalah keragaman
pengamalan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam): misal, perbedaan bacaan doa
iftitah, bacaan dzikir ketika sujud, dan bacaan duduk diantara dua sujud. Dalam
masalah doa iftitah misalnya, kita dapatkan dalam kitab-kitab fikih terjadi
perbedaan. Syafi’iyah memilih doa iftitah dengan lafadz: Wajjahtu wajhiya lilladzi
fathorossamawati wal Ardh, Hanafiyah memilih lafadz: Subhanakallahumma
wabihamdika watabarokasmuka wa ta’ala jadduka wa laa ilaaha ghoiruka,
sementara Hanabilah: Allahumma ba’id baini.
B. Pengertian Ikhtilafiyah
Kata al-Ikhtilaf secara bahasa ikhtilaf berasal dari kata khalafa, yakhlifu,
khalfan. Adapun maknakhilafan yaitu berbeda, mengganti, membelakangi,
meninggalkan keturunan. Khalfan dapat juga diartikan dengan bertentangan, tidak
sepakat, berselisih paham, perbedaan pendapat atau pikiran yang masih terjadi di
kalangan ulama.

Sedangkan secara istilah, ikhtilaf bermakna perbedaan antara dua pihak yang
berselisih untuk menampakkan kebenaran dan memadamkan kebatilan. Ahamd bin

6
Mahmud dalam kitabnya Khabar al-wahid wa hujjatihi mengutip dari kitab al-
Raghib mendefinisikan ikhtilaf dengan

‫ أن يأخذ كل واحد طريقا غير طريق األخر في حاله أو قوله‬: ‫واإلختالف‬


Menurut al Jurjani ikhtilaf yaitu7 , “Perbedaan pendapat yang terjadi di
antara beberapa pertentangan untuk menggali kebenarannya dan sekaligus untuk
menghilangkan kesalahannya.”
Dari pengertian sebelumnya, ilmu fiqih menegaskan bahwa cara menetapkan
hukum itu sejalan dengan apa yang dilakukan oleh para imam mazhab sebelumnya
serta menolak perbedaan pendapat yang tidak diinginkan. Didalam Al-Qur'an
ikhtilaf (beda pendapat)1 merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah swt.
Sesungguhnya segala kemakmuran yang ada di jagat raya ini termasuk tegaknya
kehidupan tidak akan terwujud bila manusia diciptakan dalam keadaan yang sama
dalam segala hal, mulai dari proses penciptaan sampai pada metode berpikir hasil
ciptaan Allah itu (QS. Hud : 118-119). Jadi perbedaan dalam suatu hal itu hal yang
wajar sebagimana di kalangan ulama perbedaan pendapat itu merupakan rahmat
bagi umat. Sebab mereka telah melakukan ijtihad dengan mengerahkan seluruh
daya intelektual dan spiritual guna mencari kebenaran.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ikhtilaf (perbedaan pendapat) merupakan
perbedaan pola pikir dalam menentukan suatu hukum syara seperti wajib, sunnah,
haram makruf, dan mubah dari para kalangan mujtahid dengan jalan tidak
menyalahkan pendapat orang lain tetapi saling berdiskusi untuk menggali
kebenarannya.
C. Sebab – Sebab Terjadinya Ikhtilafiyah
Abdul Wahab Khallaf berpendapat bahwa perbedaan penetapan hukum
dalam Islam berpangkal pada tiga persoalan; (1). Perbedaan mengenai penetapan
sebagian sumber-sumber hukum (sikap dan cara berpegang pada sunah, standar
periwayatan, fatwa sahabat, dan qiyas);(2). Perbedaan mengenai pertentangan
penetapan hukum dari tasyri’(penggunaan hadith dan ra’yu) dan; (3). Perbedaan

7
mengenai prinsip-prinsip bahasa dalam memahami nash-nash syari’at ( ushlub
bahasa).
Kemudian, Muhammad Zuhri, membagi dalam tiga hal penyebab
terjadinyaikhtilaf (1),Berkaitan dengan sumber hukum; (2). Berkaitan dengan
metode ijtihad (teori tahsin wa taqbih,tema kebahasaan) dan; (3). Adat Istiadat.
Berdasarkan pendapat di atas, penulis mencoba untuk menyimpulkan
penyebab terjadinya ikhtilaf dikalangan imam mujtahid secara garis besar meliputi;
Pertama: perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkam);Kedua: perbedaan
dalam cara memahami nash dan;Ketiga: perbedaan dalam sebagian kaidah
kebahasaan untuk memahami nash.
1. Perbedaan dalam sumber hukum
a) Keberadaan hadist
Ada banyak sekali kasus di mana periwayatan hadith-hadith
tertentu tidak sampai kepada sebagian ulama karena adanya fakta
domisili sahabat yang meriwayatkan hadith berbeda, demikian juga
mazhabmazhab besar tumbuh dan berkembang di wilayah yang
berbeda pula.
Contoh: Imam Abu Hanifah menetapkan bahwa sholat
istisqa’ tidak termasuk sholat jamaah sunnat. Pendapatnya didasarkan
atas hadith yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik di mana Nabi
saw. dalam suatu kesempatan, berdoa secara spontan meminta hujan
tanpa dengan melakukan sholat. Sementara, murid-muridnya, Abu
Yusuf dan Muhammad serta imam-imam lain semuanya sepakat
bahwa sholat istisqa’ adalah dibenarkan. Pendapat mereka didasarkan
pada riwayat Abbad ibn Tamim dan lainnya, yang menyatakan
bahwa Nabi saw. pergi ke tempat sholat, berdoa meminta hujan
dengan menghadap kiblat membenahi jubahnya dan memimpin
kaum muslimin mengerjakan dua rakaat sholat.
b) Periwayatan Hadist Dhaif

8
Dalam beberapa kasus di mana sebagian ahli hukum mendasarkan
ketetapanny pada hadith yang dalam faktanya daif (lemah dan tidak
dan dipercaya). Hal in disebabkan pendapat bahwa hadith daif
digunakan untuk melakukan qiyas (deduksi analogis).
Contoh: Imam Abu Hanifah, rekan-rekannya serta Ahmad ibn
Hanbal berpendapat mengenai batalnya wudhu’ karena muntah
dengan mendasarkan ketetapannya pad hadith yang diriwayatkan
Aisyah di mana dia menyatakan bahwa Rasul Allah saw.pernah
berkata:” Barang siapa yang mengalami muntah, mimisan atau
muntah karena mual-mual, hendaknya membatalkan sholatnya.
Hendaklah ia berwudhu’dan kemudian melanjutkan rakaat yang
tersisa”10 Imam Syafi’i, Imam Malik berpendapat dua alasan bahwa
qay (muntah) tidak membatalkan wudhu’. Pertama, hadith yang
disebutkan di atas tidak sahih dan kedua, qay (muntah) tidak secara
khusus disebutkan dalam sumber hukum Islamlainnya sebagai suatu
tindakan yang membatalkan wudhu.
c) Persyaratan Penerimaan Hadist
Perbedaan lain di kalangan para ahli fiqh di wilayah sunnah muncul
dari beragamnya persyaratan yang mereka tetapkan untuk menerima
hadith. Para mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya),
misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawatirah dan sunnah
masyhurah dari kalangan ahli fiqh; sedangkan para mujtahidin
Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah
yang diamalkan penduduk Madinah. Adapun Imam-imam mujtahid
lainnya berhujjah dengan hadith yang diriwayatkan oleh perawi yang
adil dan tsiqah tanpa melihat mereka dari kalangan ahli fiqh atau
bukan dan apakah sesuai amalan ahli Madinah ataupun bertentangan.

9
2. Perbedaan kemampuan dan cara memahami nash
a) Perbedaan dalam memahami nash
Perbedaan dalam memahami nash ini memang sangat tergantung
kepada pribadi mujtahid itu sendiri. Kadangkala ada sebagian
mujtahid menetapkan hukum dengan melihat nash secara zahir saja.
Dan sebagian mujtahid yang lain menetapkan hukum berdasarkan
makna dan maksud dari nash tersebut.
b) Perbedaan dalam menetapkan hukum yang tidak ada dalil
nasnya
Jika tidak ditemukan suatu masalah yang tidak ada dalil nash yang
menjelaskannya, maka para mujtahid akan mempergunakan qiyas
atau ijtihad mereka untuk menentukan hukum dari masalah itu. Ini
merupakan pintu yang besar terjadinya ikhtilaf dikalangan fuqaha’.
Sebagaimana diketahui bahwa nash itu sangat terbatas sementara
kejadian dan masalah baru selalu bermunculan.
c) Perbedaan dalam menggunakan metode al jam’u dan al tarjih
pada dalil yang bertentangan
Seorang mujtahid kadang-kadang dihadapkan pada dua dalil yang
tampak bertentangan, dalil pertama menghendaki hukum yang
berbeda dengan dalil kedua. Ketika itu, para ulama akan berbeda
dalam menetapkan hukum persoalan tersebut. Perbedaan itu muncul
disebabkan perbedaan mereka dalam metode al jam’u dan al
tarjih.Para ulama berbeda pendapat tentang metode menyelesaikan
ta’arud al adillah ini.Ulama hanafiyah berpendapat bahwa langkah
untuk menyelesaikan masalah ta’arud al adillah ini dimulai dengan
pertama nasakh, kedua tarjih, ketiga al jam’u wa al taufik dan
keempat mengugurkan kedua dalil itu serta mencari dalil yang lain.
Hal ini berbeda dengan metode yang digunakan oleh jumhur ulama

10
dan ulama syafi’iah, yaitu pertama al jam’u wa al taufik, kedua al
tarjih, ketiga al nasakh, dan keempat menggugurkan kedua dalil.

D. Pengaruh Ikhtilaf Sahabat terhadap Perkembangan Ijtihad dalam Aspek


HukumKeluarga
Beberapa hal dari ikhtilaf sahabat yang berpengaruh kepada munculnya
konsekwensi
hukum dalam aspek hukum keluarga yang menjadi perbincangan, antara lain :
1. Masalah Pernikahan
a. Kasus mahar wanita yang dithalak suaminya sebelum digauli
Dalam permasalahan ini antara sahabat berbeda pendapat
dikarenakan tidak adanya nash yang tegas menyebutkan persoalan tersebut.
Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa wanita itu berhak mengambil maskawin
seperti biasa (mahar mitsil) dari harta peninggalan suaminya. Namun Ali bin
Abi Thalib keberatan dengan pendapat Ibnu Mas’ud karena menurutnya
ketentuan seperti itu merugikan satu pihak sehingga pemecahan masalah
tersebut dengan tidak adanya hak mahar dari harta peninggalan suaminya
atas isteri yang belum pernah melakukan hubungan suami isteri.
Dari sini tampak bahwa Ali mengqiyaskan masalah mahar bagi
wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum dukhul dengan wanita yang
dithalak oleh suaminya sebelum dhukul yang ketentuannya terdapat dalam
Al-Qur’an.
b. Masalah Nafkah bagi wanita yang dithalak 3 oleh suaminya
Umar bin Khattab berfatwa bahwa: wanita yang dicerai putus (Thalak Bain)
itu, mendapat nafkah dan tempat tinggal. Ketika sampai pada hadits
Fathimah binti Qais bahwasanya Rasulullah tidak memberikan nafkah dan
tidak pula tempat tinggal baginya setelah perceraian yang ketiga, maka ia
berkata: kita tidak meninggalkan kitab Tuhan dan Sunnah Nabi kita karena
perkataan seorang perempuan yang barangkali ia hafal atau lupa.

11
2. Kasus Kewarisan
a. Kewarisan Nenek
Persoalan warisan diatur secara jelas di dalam al-Quran. Walaupun
demikian tidak semua sahabat bisa sepakat dalam memahaminya dan juga
tidak semua hal yang terjadi kemudian diatur di dalamnya. Dalam aspek
inilah menjadi ranah para sahabat maupun ulama untuk melakukan ijtihad.
Salah satu yang tidak diatur di dalam al-Quran adalah masalah kewarisan
nenek. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika ada seorang
nenek datang kepada Khalifah Abu Bakar ra. menanyakan tentang warisan
untuknya. Sang khalifah lalu mencarinya di dalam alQur`an namun tidak
menemukannya, dan dia juga tidak mengetahui adanya suatu acuan dari
Rasulullah yang secara eksplisit atau implisit yang membahas tentang
warisan untuk nenek. Akhirnya dia bertanya kepada sahabat-sahabat yang
lain, kemudian muncullah al-Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin
Salamah yang memberi kesaksian bahwa Rasulullah memberikan hak waris
seperenam untuk seorang nenek.
b. Asahabah ma’al ghair
Abu Musa al-Asy’ari berfatwa bahwa: cucu perempuan (anak
perempuan dari anak lakilaki) tidak mendapat warisan bila ia mewarisi
bersama anak perempuan dan saudara perempuan, akan tetapi setelah kasus
yang sama diajukan kepada Ibnu Mas’ud, ia menetapkan sesuai dengan
keputusan Rasulullah yaitu bagi anak perempuan seperdua, cucu perempuan
seperenam dan sisanya untuk saudara perempuan.
Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut akan memberikan
dampak hukum ketika muncul kasus yang sama. Ketika seseorang
berpegang kepada pendapat Abu Musa al-Asy’ari, maka cucu perempuan
tersebut akan terhijab ( hijab hirman) oleh keberadaan anak perempuan dan

12
saudara perempuan yang mendapat ashabah ma’al ghair yang membuatnya
cucu perempuan mendapat warisan sama sekali. Sebaliknya jika seorang
qadhi berpegang kepada pendapat Ibnu Mas’ud dalam kasus yang sama,
maka cucu perempuan tersebut mendapat hak seperenam dari harta warisan,
jika tidak ada ahli warits lain yang menghalanginya. Oleh sebab itu maka
seorang hakim harus memberlakukan hukum tertentu sebagai dasar dalam
memberikan putusan
E. Faktor Faktor Terjadinya Ikhtilaf
1. Faktor Historis Hadis
Yakni terkait dengan latar belakang munculnya hadis :a) Ibal umur saidah fi
aljahiliyyah (pembatalan terhadap kepercayaan yang beredar di masyarakat
Arab), misalnya hadis tentang pengobatan menggunakan al-kayy. Terdapat
hadis-hadis yang saling bertentangan, sebagian mengatakan boleh dan sebagian
lagi mengharamkannya. b) altadarruj bi al-tasyri‘.
Terdapat dua langkah tahapan: (1) al-tadarruj bi al-tasyri‘iy al-zamaniy
(gradualisasi waktu), yaitu pentahapan ajaran Islam sesuai dengan fase
pewahyuan di Mekkah dan Madinah, misalnya awal disyariatkan aqidah dan
dasarnya, kemudian disyariatkan ibadah, jihad, muamalah, dan hukum pidana-
perdata. (2) al-tadarruj al-nau‘iy (gradualisasi jenis), yaitu pentahapan-
penetapan hukum tertentu, yang pada awalnya halal dan boleh kemudian
berubah menjadi haram. Misalnya, pernikahan antara seorang muslim dengan
orang musyrik, hukum khamr, dan hukum nikah mut‘ah.
2. Faktor Internal
Faktor ini yakni berhubungan dengan redaksi sebuah hadis yang memang
terlihat bertentangan. Apabila kontadiksi ini benar-benar terjadi, maka pada
umumnya dikarenakan hadis tersebut terdapat sebuah‘illat (cacat) yang
menjadikannya sebagai hadis dha’if. Jika memang hal itu terjadi, maka hadis
tersebut harus ditolak, terutama ketika bertentangan dengan hadis yang sahih.
a) Bermuara pada teks hadis

13
Banyaknya teks hadis yang tampak mengandung makna yang saling
kontradiksi merupakan kenyataan yang tidak bisa dielakkan
mengingat setiap hadis mempunyai karakter yang berbeda-beda.
keanekaragaman karakter hadis yang menjadikannya sebagai hadis
mukhtalif tidak lain dilatarbelakangi oleh hal-hal berikut :
1. Tahapan fase dakwah atau turunnya syariat (al-tadarrujfî al-
ashri).
2. Pemberlakuan hukum sesuai kondisi perorangan.
3. Pemberlakuan hukum sesuai dengan situasi dan keadaan.
4. Sifat teks hadis dzanni al-dilalah.
b) Bermuara pada Perawi hadis
Ikhtilaf pada sebuah hadis kadang disebabkan oleh perawi hadis
tatkala mentransformasikan hadis kepada generasi berikutnya.
Ikhtilaf yang disebabkan oleh perawi hadis ini terjadi diantara lain.
1. Perawi Tsiqah tidak dapat membedakan antara sabda Nabi dan
ucapan sahabat. Perawi meriwayatkan dua hadis yang berbeda,
padahal sebeneranya salah satunya bukan merupakan sabda Nabi.
2. Perawi meriwayatkan hadis kepada si A secara lengkap, lalu
kepada si B sepotong, dan kepada si C meriwayatkannya secara
substansi (bi al- ma’na). Aneka bentuk periwayatan dari satu
perawi ini menyebabkan terjadinya ikhtilaf dan kontradiksi pada
generasi berikutnya.
3. Sahabat hanya meriwayatkan jawaban RasulullahSaw. Atas
sebuah pertanyaan, tanpa mengikutkan pertanyaannya padahal
pertanyaan itu erat kaitannya dengan hadis Nabi dan andai
pertanyaan itu tidak dibuang maka akan terhindar dari ikhtilaf.
4. Perawi tidak mengetahui bahwa dalam sebuah kasus hadis
mukhtalif terdapat nasakh. Karena perawi tidak menyadari bahwa

14
salah satu hadis mukhtalif itu adalah nasikh, maka kontradiksi itu
tidak pernah terpecahkan
3. Faktor Eksternal
Faktor Eksternal yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian
dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan
tempat dimana Nabi menyampaikan Hadisnya.
Ikhtilaf yang disebabkan oleh pembaca teks hadits bertumpu pada tiga hal
pertama kepada keterbatasan pemahaman teks, ketidaktahuan akan adanya
qarinah atau asbabul wurud dan metode pembacaan teks.
a. Keterbatasan Pemahaman Teks
Keterbatasan kemampuan pembaca dalam memahami teks erat
kaitannya dengan kemampuan kebahasaan yang dimiliki. Misalnya HR.
Shahih Muslim.
Ibnu khuzaimah menyatakan bahwa mereka yang tidak ahli bahasa
mengira bahwa dhomir pada redaksi “Ala Shuratih” kembali kepada
Allah, yang benar adalah kembali kepada orang yang dihina sehingga
maknanya adalah “sesungguhnya Allah menciptakan Adam seperti
bentuk orang yang kamu hina” penguasaan bahasa dalam memahami
hadis seperti ini akan menjauhkan pembaca dari tasbihan zat Allah
dengan makhlukNya.
b. Metode Pembacaan Teks
Ikhtilaf pada hadis dapat diatasi jika menguasai metode pembacaan
teks dengan melihat aspek fungsional Nabi sebagai penutur, saat nabi
menuturkan hadits (terutama hadis yang mukhtalif) maka dilihat Sisi
fungsional Nabi secara rinci apakah ketika menuturkan sabdanya, Nabi
berfungsi sebagai penyampai Wahyu, pemimpin Negara, panglima
perang,konsultan, problem solving atau problematika sosial, penasehat
Hakim, serta pendidik.

15
Dan sebagaimana fungsi Nabi sebagai panglima perang yang
menggerakkan perang untuk membela Islam, Rasulullah SAW tidak
berpegang, tetapi pada ketentuan Allah. Semua itu tercermin pula dalam
peperangan-peperangan yang dipimpinnya, termasuk strategi perang dan
caranya memperlaku kan para tawanan perang. Di luar itu, Rasulullah
dikenal sebagai panglima yang mampu menimbulkan perasaan takut
dalam diri para musuhnya, tahu cara terbaik memperoleh informasi
tentang kekuatan musuh, serta memotivasi pasukannya untuk tidak
gentar melawan para musuh Allah.14 Tetapi Rasulullah pun tidak lupa
mengingatkan pasukannya untuk meminta izin kepada kedua orang
tuanya.
F. Akar Penyebab Munculnya Ikhtilaf Al Fuqoh
1. Perbedaan pendapat yang diakibatkan oleh eksistensi Nash (al Qur’an)
dan al Hadis) itu sendiri
(Ikhtilaf) dalam pemahaman hukum Islam. Salah satu faktor utama adalah
kesulitan para ulama dalam mengimplementasikan teks wahyu terhadap
berbagai permasalahan yang muncul dalam masyarakat. Keterbatasan nash (teks
wahyu) yang tidak selalu memberikan aturan yang jelas dan baku menjadi salah
satu tantangan utama. Sebagai akibatnya, fuqaha (ahli hukum Islam) seringkali
menggunakan ar-ra'yu (penalaran) dalam memberi status hukum terhadap
permasalahan yang tidak memiliki nash yang langsung relevan. Penggunaan ar-
ra'yu ini bisa dipengaruhi oleh semangat syariat atau juga oleh faktor-faktor
manusiawi seperti keinginan, hasrat, dan konteks sosial-budaya lokal.

ijtihadiyah (berasal dari ijtihad, penalaran) muncul pada masa setelah


terhentinya wahyu ke dalam kehidupan masyarakat. Hukum Islam, ijtihad, dan
perbedaan pendapat secara signifikan muncul pada abad ke-2 Hijriah. Ada juga
pandangan ekstrim yang menyatakan bahwa pemikiran tentang hukum Islam
baru muncul pada masa akhir pemerintahan dinasti Umayyah, sehingga periode

16
awal Islam sebelumnya tidak memiliki pemikiran hukum. Namun, pandangan
ini ditolak oleh beberapa ilmuwan yang menunjukkan adanya sistem aturan
yang menggambarkan nilai-nilai keagamaan sejak awal Islam.

Para fuqaha memiliki pendekatan yang berbeda dalam menilai kekuatan


sunnah berdasarkan periwayatannya, dan ini juga dapat menyebabkan perbedaan
dalam hasil ijtihad mereka. Kesulitan dalam menentukan 'illat (alasan) hukum
dalam nash juga menjadi salah satu faktor perbedaan pendapat, karena 'illat
sering kali sulit ditentukan dengan pasti. Terakhir, pembagian sumber hukum
Islam menjadi dua kelompok, yaitu qathiyyul/dhanniyul tsubut (sumber hukum
yang pasti/tidak pasti dalam eksistensi) dan qathiyyul/dhanniyul dalalah (sumber
hukum yang pasti/tidak pasti dalam penunjukan), juga menjadi faktor yang
memengaruhi perbedaan pendapat dalam ijtihad. Semua faktor ini dapat
menghasilkan perbedaan pendapat dalam pemahaman dan aplikasi hukum Islam
oleh fuqaha.
2. Perbedaan daya intelektualitas masing-masing ulama
Menafikan perbedaan tingkat kecerdasan ulama dalam memahami
aspekaspek yang menyebabkan perbedaan pendapat bukanlah suatu sikap yang
bijaksana dan dewasa. Metode yang ditempuh dan dijalani oleh akal untuk
mengkaji suatu obyek pengetahuan bersifat relative dan terbatas. Terbatas oleh
kemampuan akalnya itu sendiri, terbatas juga oleh hambatan-hambatan (Idols)
yang seringkali mengungkung kebebasan dan kemurnian corak pemikirannya.
Di dalam kitab ushul fiqh secara panjang lebar banyak ditulis tentang kondisi-
kondisi inherent manusia yang mengakibatkan seseorang mukallaf tidak bisa
menjalankan hukum azimah yang telah ditetapkan oleh Allah. Halangan-
halangan itu biasanya disebut sebagai Awarid al-Ahliyah.
Kenyataan itu membuktikan bahwa manusia lahir sembari membawa
keterbatassan-keterbatasan yang menghalangi dirinya untuk secara lebih jauh
mengenali dan memahami semua fenomena yang terjadi di dunia ini. Salah satu

17
dari Awarid al-Ahliyah itu adalah sifat lupa. Tidak dapat dipungkiri hampir
semua manusia telah merasakan yang namanya lupa tidak terkecuali ilmuwan,
perawi ataupun ulama sekalipun yang tidak dihinggapi penyakit lupa ini. Bisa
jadi daya ingat seseorang akan mengalami penyusutan – penyusutan atau
kekurangan disana-sini mengingat usia yang sudah udzur.

3. Perbedaan metode istinbathiyah dalam menginstinbathkan hukum


Di antara keempat madzhab yakni Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali
terdapat perbedaan yang cukup fundamental dalam cara beliau-beliau itu ketika
mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil syar’iy. Hanafi lebih mengandalkan
penggunaan ra’yu di ketika al-Qur’an dan al Hadis tidak membahas suatu
persoalan tertentu yang menucul di tengah-tengah masyarakat. Sehingga sangat
terkenal di kalangan ulama bahwa madzhab Hanafi banyak memproduksi furu’.
Hal ini disebabkan penggunaan qiyas dan ra’yu yang sangat intens di kalangan
madzhab Abu Hanifah. Sementara madzhab imam Maliki tidak terlalu
mengandalkan penalaran ra’yu sebagai basis istinbath hukum yang mereka
lakukan. Nampaknya warisan tradisi Nabi SAW yang melimpah ruah di
Madinah menjadi alasan utama keengganan Imam Malik dalam membuat
kesimpulan hukum. Sementara imam Syafii menggunakan hadis Nabi dan tidak
alergi terhadap penggunaan ra’yu. Mengingat beliau punya guru baik dari
kalangan ahli hadis yakni Imam Malik dan dari kalangan ahli Ra’yu yakni
Hasan al Syaibaniy. Adapun Ahmad bin hanbal sebagai penggagas madzhab
Hanbaliy juga tidak terlalu mengandalkan ra’yu dalam metode istinbath yang
mereka lakukan. Agaknya beliau lebih berkonsentrasi pada pengkajian terhadap
hadis-hadis Nabi SAW.

Dengan demikian dapat disimpulkan pendapat di antara mereka salah


satunya adalah perbedaan fuqaha dalam metodologi ushul fiqh. Imam Hanafi
dan Imam Malik sangat antusias dalam memahami hukum berdasarkan
pendekatan istihsan, sementara Imam Syafi’i agak menjauh dari praktek
semacam itu. Sekalipun dalam banyak hal hukum yang disimpulkan Imam
Syafi’i lewat metode istishlah sebenarnya wujud lain dari istihsan itu sendiri.
Demikian juga kelompok Syi’ah enggan untuk menggunakan qiyas sebagai
dasar hukum, sehingga mereka mendapat gelar Nufatul Qiyas, dari jumhur
ushuliyyun akibat sikapnya itu. Tapi yang jelas perbedaan metodologi itu
menjadi factor yang signifikan bagi perbedaan pendapat di kalangan fuqaha.
G. Sikap Menghadapi Ikhtilaf

18
Berkenaan dengan sikap dan etika dalam menghadapi perbedaan pendapat
dengan cara menyikapi perbedaan pendapat dan pandangan yang dicontohkan
Rasulullah saw., yaitu dengan cara terlebih dahulu mendengar seluruh pendapat
yang berbeda-beda dari para sahabatnya yang mulia.
Banyak sekali peristiwa dan kasus yang membuktikan sikap Rasulullah ini.
Rasulullah saw dalam sejarah selalu berusaha mendengar pendapat dari para
sahabatnya, kemudian menyaring sekaligus memilih pendapat terbaik dan
bermanfaat.
Teladan yang diperlihatkan Nabi saw dari hadis yang riwayat Imam Bukhari
dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, yang artinya yaitu :
Artinya:dari Ibnu Umar berkata: Nabi saw mengatakan bagi kami ketika kembali
dari Azhab ( Janganlah ada satupun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan
Bani Quraizhah. Lalu ada di antara mereka mendapati waktu Ashar di tengah
jalan, maka 12 Imam Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid 1, (Bairut: Dar al Kutub al
‘ilmiah, tth), h. 321 berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di
sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang
beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw,
namun Rasul tidak mencela salah satunya.” (H.R. Bukhari).
Berdasarkan Hadis di atas dapat disimpulkan bahwa, Nabi tidak mencela
salah satu pihak yang berlawanan pendapat dengan kata-kata bid’ah, sesat, kafir,
dan sebagainya, bahkan tidak mencela salah satunya. Masingmasing pihak punya
argumen. Sahabat yang shalat Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi,
namun mereka mencoba shalat di awal waktu sebagaimana diperintahkan Allah swt
dan RasulNya. Adapun sahabat yang shalat belakangan di perkampungan Bani
Quraizah juga tidak melanggar perintah shalat di awal waktu, namun mereka
mengikuti perintah Nabi di atas. Imam mazhab saling memuji satu sama lain,
walaupun mereka berbeda pendapat. Mereka saling menghargai, dan menghormati
perbedaan pendapat.

19
Dari berbagai keterangan dan sejarah perkembangan hukum Islam
menunjukkan bahwa, perbedaan pendapat semenjak masa Nabi Muhamamad, masa
sahabat, tabi’in sampai ke masa Imam mazhab terus berlangsung, tetap dalam
suasana yang harmonis, saling menghargai, saling memuji dan toleransi.

20
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pertama, perbedaan pendapat dalam Islam telah ada sejak masa awal sejarah Islam,
tetapi perbedaan ini tidak seintens dan sekompleks perbedaan pendapat yang muncul pada
masa kemudian, terutama pada masa mazhab-mazhab hukum Islam. Pada masa Nabi
Muhammad SAW, perbedaan pendapat seringkali dapat diselesaikan dengan mudah oleh
Nabi sendiri, yang tidak membiarkan ikhtilaf berlarut-larut.

Kedua, ikhtilaf dalam Islam memiliki beberapa jenis, seperti khilaf tadhod
(perbedaan yang kontradiktif) dan khilaf tanawu' (perbedaan yang berasal dari beragam
pengamalan Rasulullah). Jenis ikhtilaf ini mencerminkan keragaman pendapat dalam
berbagai masalah hukum dan ibadah.

Ketiga, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ikhtilaf dalam pemahaman


hukum Islam. Salah satunya adalah perbedaan dalam sumber hukum, di mana beberapa
mazhab dan ulama berpegang pada sumber-sumber yang berbeda. Selain itu, perbedaan
dalam kemampuan dan metode memahami teks hukum juga berperan penting dalam
menyebabkan ikhtilaf. Faktor-faktor eksternal seperti konteks sosial dan budaya juga dapat
memengaruhi perbedaan pendapat.

Dalam konteks ini, ikhtilaf di antara para sahabat juga memiliki dampak signifikan
dalam perkembangan ijtihad, terutama dalam aspek hukum keluarga. Masalah pernikahan,
kewarisan, dan masalah lainnya seringkali menjadi subjek ikhtilaf yang harus dipecahkan
oleh ulama dan mujtahid.

Akhirnya, perbedaan pendapat dalam Islam adalah fenomena yang wajar dan
merupakan rahmat bagi umat. Hal ini memungkinkan pemikiran yang lebih luas dan
beragam dalam menghadapi berbagai tantangan yang muncul dalam masyarakat. Yang
penting adalah bagaimana para ulama dan mujtahid saling berdiskusi untuk mencari
kebenaran dan memahami maksud nash (teks hukum) dengan baik.

21
Kritik dan Saran

Mungkin inilah yang dapat disampaikan pada penulisan Kelompok ini, meskipun
penulisan ini jauh dari kata sempurna. Masih banyak kesalahan dari penulisan Kelompok
kami, karena kami manusia yang adalah tempat salah dan dosa. Sehingga kami
membutuhkan kritikan dan saran yang memotivasi, guna untuk memperbaiki tulisan kami
di masa depan. Kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah
Agama Ibu Sulfiyah, yang telah memberi kami tugas kelompok demi kebaikan kita sendiri
dan untuk negara dan bangsa.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ikhsan, Muhammad. "MEMBEDAH FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA


IKHTILᾹF DI KALANGAN ULAMA."
https://journal.stiba.ac.id/index.php/nukhbah/article/view/10.

Basri, Muhammad, dkk. "DINAMIKA IKHTILAF DI ANTARA ULAMA MAZHAB


FIQIH." Vol. 1 No. 4 (2023): October : journal Islamic Education.
https://maryamsejahtera.com/index.php/Education/index.

Asyifak, Khoirul. "IKHTILAF AL-FUQAHA : STUDI TENTANG AKAR PERBEDAAN


PEMIKIRAN HUKUM ISLAM." Volume 2 Nomor 1 Tahun 2020 e-ISSN: 2714-7398.

Ihsan. "IKHTILAF SAHABAT MENURUT SYAH WALIYULLAH AL-DAHLAWI DAN


PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN IJTIHAD DALAM ASPEK
KELUARGA." Hukum Islam, Vol. 20, No. 2 Desember 2020

Afifah, Alvin dkk. "IKHTILAF AL-HADIST." Vol. 6 , No. 2 (July – December) 2020, 121-
147.

23

Anda mungkin juga menyukai