Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Penyakit yang dihadapi umat islam saat ini sangat kompleks, bercabang dan menjalar kemana-mana. Penyakit tersebut telah menyerang berbagai aspek kehidupan, baik agama maupun sosial. Diantara penyakit berbahaya yang menimpa umpat islam saat ini adalah penyakit Ikhtilaf atau mkhalafah (perbedaan cara pandang). Penyakit berbahaya ini berkembang semakin kronis dan menjalar kemana-mana. Penyakit ini telah merasuk kedalam seluruh aspek kehidupan masyarakat islam; pikiran; akidah; konsep; pandangan; perasaan; perilaku; moral; pola hidup; cara berinteraksi; gaya berbicara; cita-cita; visi jangka panjang maupun jangka pendek, smeua telah terjangkit oleh penyakit ini. Seolah-olah, segala sesuatu yang ada pada umat ini, seperti berbagai kewajiban, larangan dan ajaran mendorong pada munculnya ikhtikaf dan menyemarakkan permusuhan. Seharusnya, yang terjadi bukanlah hal seperti diatas, tapi sebaliknya. Sebab tidak ada yang paling ditekankan oleh Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw. untuk dilaksanakan oleh umat Islam, setelah kewajiban bertauhid, selain persatuan umat dan menyingkirkan perselisihan diantara mereka. Selain itu Kitab Allah dan Sunnah Rasulallah sangat menekankan untuk menghalalu segala yang bisa merobek kerekatan umatdan persatuannya. Kita sudah banyak kehilangan nilai berharga karena kita terlalu mempermasalahkan perbedaan disekitar hal yang mandub (bentuk keagamaan yang sifatnya hanya dianjurkan) dan mubah. Kita semua sangat semangat dalam bertarung (mubarazat) adu argument (muhajajat) dan berselisih, namun etika dan moral dari semua itu telah kita lupakan sama sekali. Perlu diketahui bahwa kehancuran ahli kitab bukan karena mereka kekurangan ilmu dan sedikit pengetahuan, namun kehancuran mereka adalah karena menggunakan ilmu dan pengetahuan untuk saling mengalahkan diantara mereka. Allah berfirman :

Orang-orang yang diberi al-kitab tidak berselisih kecuali setelah mereka mendapatkan ilmu karena rasa ingin salaing mengalahkan (baghy) diantara mereka. (QS 3: 19)

Melihat kondisi seperti diatas, manusia pasti akan selalu berbeda. Orangorang mukmin mesti akan berada dalam derajat yang berbeda-beda. Namun sangat disayangkan, perbedaan yang kalau dilihat secara jernih bisa menumpuk kesuburan akal seorang Muslim dan mempertajam daya analisisnya, saat ini telah berubah menjadi daya negative yang mengkhwatirkan karena sikap dan perilaku kaum Musim sendiri. Hal yang dimiliki sebagian besar umat Islam saat ini adalah kemampuan melihat berbagai persoalan secara komperehensif dan seimbang. Selain itu, kelemahan setiap orang saat ini adalah ketidakmampuan berpikir secara universal atas permasalahan yang ada, sehinga hatinya menjadi smepit dalam memandang hal-hal parsial tertentu. Permasalahan yang ada diatas haruslah segera diatasi. Salah satu cara untuk mengatasi pemasalahan tadi adalah dengan dibuatnya sebuah buku yang memuat isi mengenai perbedaan pendapat dalam agama Islam. Maka dari itu ditulis buku berjudul Etika Berbeda Pendapat dalam Islam karya Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-Awani sebagai salah satu solusi yang dapat memecahkan masalah diatas.

B.

Profil Buku Buku yang berjudul Etika Berbeda Pendapat dalam Islam karya Dr. Thaha Jabir

Fayyadh al-Awani ini merupakan buku terjemahan dari Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam dan diterbitkan oleh The Internationa Institute of Islamic Thought, di Herndon, Amerika Serika. Diterjemahkan oleh Ija Suntana pada tahun 2001 oleh penerbit Pustaka Hidayah. Buku ini dapat dikatakan buku yang banyak diminati karena terbukti buku ini mengalami tiga kali penerbitan ulang. Buku yang dengan judul Etika Berbeda Pendapat dalam Islam karya Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-Awani ini terdiri dari enam bab. Secara garis besar buku ini terdiri atas bagian awal yang membahas pemahaman mengenai ikhtilaf dan hal-hal yang berhubungan dengan ikhtilaf dan bagian akhir dari buku yang berupa gambaran bagaimana umat Islam menghadapi perbedaan pendapat dan menggambarkan etika yang baik untuk menghadapi perbedaan tersebut. Melihat dari fakta-fakta diatas, maka dapat dikatakan buku Etika Berbeda Pendapat dalam Islam karya Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-Awani merupakan buku yang patut dikaji.

Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengkaji isi buku ini yang hasilnya penulis susun dalam bentuk laporan buku.

C. Rumusan Masalah Dalam penulisan laporan bukuini penulis mengajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apa saja isi buku Etika Berbeda Pendapat dalam Islam karya Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-Awani? 2. Apa saja keunggulan dari buku Etika Berbeda Pendapat dalam Islam karya Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-Awani? 3. Apa saja kelemahan dari buku Etika Berbeda Pendapat dalam Islam karya Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-Awani?

D.

Pokok Buku ini membahas mengenai cara pemecahan masalah yang pada zaman ini sudah

semakin menjalar dan mengakar. Permasalahan tersebut adalah terjadinya perbedaan pendapat dalam hal keagamaan. Terkadang perbedaan masalh ini dapat menimbulkan perselisihan dan perpecahan diantara umat Islam sendiri. E. Sub Masalah Selain membahas permasalahan pokoknya mengenai etika berbeda pendapat dalam Islam di dalam buku ini dibahas beberapa sub masalahnya, yaitu sebagai berikut : 1. Hakikat Ikhtilaf 2. Sejarah Ikhtilaf dan Perkembangannya 3. Ikhtilaf para Imam dalam Istinbath Hukum Mazhab-mazhab Fikih 4. Sebab-sebab dan Perkembangan Ikhtilaf 5. Bentuk-bentuk Ikhtilaf Para Imam Mazhab dan Etikanya 6. Ikhtilaf dan Etikanya setelah Masa Imam Mazhab

BAB II RINGKASAN

Ikhtilaf, dalam istilah lain disebut mukhalafah (perbedaan), yaitu perbedaan cara pandang antara satu orang dengan orang lain, baik dalam perbuatan atau perkataan. Kata alkhilaf (berbeda) lebih umum maknanya disbanding kata adh-dhid (berlawanan). Sebab, ua hal berlawanan pasti berbeda, tiap-tiap yang berbeda belum tentu berlawanan. Sesuai dengan pengertian diatas, al-khilaf dan al-ikhtilaf mengandung makna yang sama, yaitu berbeda dengan perkataan, pemikiran, keadaan, situasi dan peranan. Faidah-faidah Ikhtilaf bisa didapat jika pelaksanaan ikhtilaf tidak melanggar batas yang ditentukan dan menggunakan kode etik yang seharusnya dijaga. Namun, jika batas yang telah ditentukan dilanggar dan etika ikhtilaf ditinggalkan, perbedaan tersebut akan berubah menjadi jidal dan syiqaq. Jidal berarti berbeda pendapat dengan cara bertengkar dan saling mengalahkan, sedangkan syiqaq berarti berbeda pendapat tanpa mempertimbangkan hak dan kebenaran yang sesungguhnya, bahkan sama sekali tidak ada saling pengertian dan indikasi kearah kesepakatan bersama. Ikhtilaf terjadi pada orang-orangyang tertimpa permasalahan dan tidak bisa menyampaikan keada Rasulallah, karena letak tempat tinggal mereka yang jauh dari kota madinah. Terkadang mereka berbeda pandangan dalam menafsirkan Alquran dan Sunnah Rasulallah erta cara penerapannya dalam kasus yang terjadi pada kasus mereka. Bahkan terkadang mereka kesulitan menemukan aturan secara tekstual, sehingga ijtihad mereka pun berbeda. Hanya jika para sahabat tersebut mengunjungi Rasulallah dan berjumpa dengannya, mereka mengutarakan permasalahnya dan mendapat jawaban pasti dari Rasulallah. Jawaban Rasulallah terbagi menjadi dua kemungkinan. Pertama, pandangan dan keputusan Rasulallah sesuai dengan hasil pemikiran sebagian dari mereka, dan ini merupakan bagian khusus dari Sunnah Rasulallah yang disebut dengan Sunnah Taqririyah. Kedua, pandangan dan keputusan Rasulallah tidak sesuai dengan hasil pemkiran mereka. Dalam kemungkinan kedua ini Rasulallah memberikan penjelasan hukum yang benar dan lurus sehingga mereka merasa tentram dengan keputusan Rasul dan menjadikannya sebagai pegangan. Keputusan Rasul ini secara otomatis menghilangkan ikhtilaf diantara mereka.

Bagi para mujtahid cerdik dan ahli hukum yang mahir orang-orang yang berusaha keras untuk menjelaskan dalil-dalil kulli (teks-teks dalil yang masih bersifat global) syariat, punya kesempatan untuk mengambil kesimpulan hukum berdasarkan zhahirul lafzh dan makna kontekstual yang ada di belakang lafal zahir sebuah dalil. Memahami dalil sesuai dengan makna khusus di belakang makna zahirnya dikenal dengan sebutan takwil. Takwil dilakukan dengan cara mengorek makna khusus di balik makna zahir sebuah dalil. Mazhab- mazhab fikih yang muncul setelah periode sahabat dan tokoh-tokoh tabiin, menurut sebagian peneliti mencapai 13 mazhab. Seluruh pendiri dan pengikutnya mengaku sebagai mazhab ahlus sunnah (mazhab yang berpijak pada Sunnah Nabi Muhamad). Di samping yang ketiga belas mazhab itu, yang berhasil dilacak adalah sebanyak 89 mazhab. Jumlah mazhab yang bisa dibukukandari 89 mazhab di atasdan yang dapat dilacak baik tokoh, metode dan pokok-pokok pemikirannya hanyalah berjumlah 9. Adapun para Imam yang mazhabnya mengakar dan bertahan sampai hari ini, serta mendapat pengikut yang banyak dari negeri-negeri Muslim adalah tokoh terkemuka yang berjumlah empat orang, yaitu Abu Hanifah, Malik, asy-SyafiI dan Ahmad bin Hanbal. Pola pemikiran fikih mereka, menurut jumhur ulama, menjadi poros penentuan hukum fikih dan fatwa. Jika kita menerima ikhtilaf dalam masalah pemikirantermasuk perbedaan dalam masalah fikihmerupakan situasi alami, sebagai akibat dari perbedaan manusia dalam akal, pemahaman dan pengetahuan, maka kita harus menerima bahwa perbedaan pendapat pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin yang terjadi diantara beberapa orang sahabat adalah fenomena nyata yang didukung oleh beberapa fakta. Tidak mengakui adanya ikhtilaf di kalangan mereka, berarti menganggap tidak ada proses pengelolaan atas agama (Islam) ini. Kalau kita tidak menjelaskan ikhtilaf di kalangan sahabat, kita tidak bisa mengetahui niat baik mereka dalam melakukan perbedaan tersebut. Hanya, yang membuat jiwa seorang Mukmin merasa tenang terhadap ikhtilaf para sahabat adalah karena perbedaan mereka, bukan muncul karena kelemahan akidah atau dari keraguan terhadap apa yang dikatakan Rasulallah, tetapi bertjuan untuk mencari kebenaran dan mengenakan sasaran hukum syariat terhadap tumpuan harapan seluruh orang yang berbeda pandangan itu.

Dari beberapa peristiwa perbedaan di zaman Rasulallah dan para sahabat, kita dapat memahami bahwa secara umum sebab-sebab ikhtilaf tersebut tidak lebih dari sekedar perbedaan interpretasi atas nash karena faktor kebahasaan atau metode ijtihad. Perbedaan tersebut muncul ketika mereka menafsirkan nash yang mereka ketahui, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasulallah saw. tidak ada motif tersembunyi lain yang mendorong munculnya ikhtilaf, selain beberapa upaya kaum munafik untuk menyuburkan benih-benih perselisihan. Adalah karunia Allah yang agung ketika fikih menjadi bidang yang dibolehkan padanya ikhtilaf. Sebab, yang dimaksud dengan fikih adalah kemampuan seorang ahli fikih dalam menetapkan hukum suatu objek berdasarkan dalil tafsili yang disediakan oleh pembuat syariat, baik kitab Allah maupun Sunnah Rasulallah. Ijtihad seorang ahli fikih , kadang sesuai dengan kehendak syari, dan kadang tidak sesuai. Namun, dalam kondisi seerti itu, seorang ahli fikih tidak akan dituntut lebih banyak kecuali untuk mengerahkan seluruh kemampuan nalar dan matahatinya dalam proses penetapan hukum. Para Imam maxhab seringkali berbeda pendapat dalam beberapa masalah yang bersifat ijtihadi, sebagaimana sering dialami oleh sahabat dan tabiin sebelum mereka. Para Imam selalu berada dalam petunjuk, sehingga ikhtilaf yang terjadi pada mereka tidak muncul karena dorongan emosi kemanusiaan yang cenderung menimbulkan pertengkaran. Seluruh daya upaya dan kemampuan mereka tidak dicurahkan kecuali untuk mencari kebenaran dan ridha Allah. Pada zaman sahabat, tabiin r.a dan orang-orang setelah mereka ada yang membaca basmalah di awal surat dan ada yang tidak membacanya, ada yang mengeraskan bacaan basmalah dan ada yang menghaluskan bacaannya, ada yang biasa qunut di salat subuh, ada yang meninggalknanya, ada yang berwudhu karena ada darah yang keluar dari hidung, muntah, diambil darah dan ada yang tidak melakukannya, ada yang berpendapat batal wudhu karena bersentuhan dengan kulit wanita dan ada yang tidak. Seluruh perbedaan tadi tidak jadi penghalang bagi mereka untuk melakukan salat di belakang seseorang yang berbeda pendapat dengannya. Setelah abad ke empat Hijriyyah habislah masa ijtihad, sinarnya meredup, taklid pun menyebar, kitab-kitab yang telah dikarang diperarui lagi, berkata sesuai dengan pendapat manusiadan berfatwa berdasarkan suatu mazhab dari para mujtahidin, mengambil pendapatnya dan menceritakan kisah-kisahnya dan berfikih hanya dengan mazhabnya. Hal

seperti itu tidak terjadi pada abad ke satu dank e dua Hijriyyah. Sedangkan pada abad ke tiga, ijtihad masih dilakukan walaupun tidak tersebar luas. Sebagian ulama meneliti (takhrij) kaidah-kaidah dan dasar-dasar yang dibakukan oleh para pendahlu mereka. Tetapi mereka tidak bertaklid dan bergantung kepada pendapat mereka. Umat Islam di abad ke empat Hijriyyah terdiri dari para ulama dan orang-orang awam. Orang-orang awam mengikuti apa yang dikatakan oleh para ahli ilmu yang mereka riwayatkan dari Rasulallah saw. dalam masalah-masalah yang tidak pernah diperdebatkan pleh para mujtahid, seperti masalah bersuci, salat, puasa, zakat dan lain-lain. Mereka mengamalkan sesuai dengan apa yang diriwayatkan kepada mereka tentang masalah itu. jika ada masalah yang membutuhkan fatwa, maka mereka, para ahli ilmu berfatwa tentang hal itu tanpa memperhatikan mazhab yang dianutnya. Sedangkan orang-orang khusus dan ahli ilmu, mereka menyibukkan diri dengan hadis-hadis Rasulallah saw., atsar-atsar sahabat, mereka tidak membutuhkan lagi hal lain dalam membahas suatu masalah yang terdapat dalam hadis atau pendapat-pendapat yang jelas dari jumhur sahabat dan tabiin. jika mereka tidak mendapat sesuatuyang memuaskan hati mereka dalam masalah tersebut karena adanya pertentangan ayat atau hadis (taarudun naql) dan tidak ada kejelasan dalam tarjih (mana yang lebih unggul), maka mereka mengembalikannya kepada pendapat para fukoha. Jika ada dua pendapat fukoha tentang satu masalah, mereka memilih salah satu yang dianggap paling kuat, baik yang berasal dari Madinah atau Kufah.

BAB III ANSLISIS-TANGGAPAN

A. Tanggapan Pembahasan dari buku ini sangatlah lengakap dan terperinci karena di dalam buku ini dibahas pendapat-pendapat dari para ahli. Dalam buku ini juga diberikan contoh dan teladan dari Rasulallah dan para sahabatnya, sehingga dapat memberikan contoh teladan dan menjadi inspirasi bagi kita yang membacanya. B. Kritik Di dalam buku ini terdapat beberapa kata yang mungkin masih asing bagi orang awam dan kata-kata yang masih asing itu ada yang tidak diberi pemeahamannya. Dan juga ada beberapa pembahasan yang mungkin sulit dimengerti oleh para pembaca karena menggunakan kalimat yang terlalu rumit. C. Penilaian Buku ini sangat membantu bagi orang-orangyang terkadang masih bingung dengan terjadinya perbedaan pendapat dalam Islam. Denga membaca buku ini maka perselisihan dalam agama Islam pun bisa diminimalisir. Secara garis besar buku ini sangat bagus dan patut untuk dibaca karena isinya benar-benar berbobot. D. Implikasi Tidak ada implikasi yang begitu berarti dalam menulis buku ini. Hanya saja penulis sedikit mengalami kendala saat akan menulis mengenai profil buku ini. Hal yersebut dikarenakan buku ini adalah buku terjemahan, hal itu menyebabkan penulis kebingungan menuliskan nama penerbit karena terdapat dua penerbit ang menerbitkan buku ini. Penerbit pertama adalah penerbit asli dan penerbit kedua adalah penerbit yang menerbitkan hasil terjemahan buku ini. E. Aplikasi Setelah membaca buku ini kita harus mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, contoh pengaplikasian kita misalnya kita tidak boleh saling menghina hanya karena teman kita merayakan hari Idul fitri lebih cepat satu hari, kita harus menghargainya karena teman kita pun mempunyai pegangan tersendiri terhadap apa yang dilakukannya.

ETIKA BERBEDA PENDAPAT DALAM ISLAM (DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SYARAT KELULUSAN MATA KULIAH AGAMA)

WANTI MUTIA U 1100487 MRL A

PROGRAM STUDI MANAJEMEN RESORT DAN LEISURE FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2011

Anda mungkin juga menyukai