Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU KALAM KLASIK (MU’TAZILAH)”


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata kuliah : Teologi Islam
Dosen Pengampu : Ummi Qudsiyah S.Pd, M.Pd.

Disusun oleh :
Aamilatur Rosyidah (2214120100)
Rizky Valentino (2214120131)
Melda Sapira (2214120113)
Lina Shelvia (2214120126)
Widia (2214120077)

INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2022/1444 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillahhirobil’alamin,
Puji syukur kehadirat Allah SWT., yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta
hidayah-nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Teologi Islam.
Penulis menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak
terutama kepada dosen pengampu dalam menyelesaikan tulisan ini. Maka, dengan
hati yang tulus penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada Ibu Ummi Qudsiyah S.Pd, M.Pd., yang membimbing penulis
dalam penyusunannya. Tanpa adanya bimbingan dari beliau, kiranya tidak akan
mampu menyelesaikan tugas yang diberikan kepada penulis. Terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu terselesainya tugas ini.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis
berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu’alaikum. Wr.wb.

Palangka Raya, November 2022

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................1
C. Tujuan Rumusan Masalah................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................2
A. Aliran Mu’tazilah.............................................................................................2
B. Asal Kemunculan Mu’tazilah...........................................................................3
C. Al-Ushul Al-Khamsah (Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah)....................5
BAB III PENUTUP.....................................................................................................9
A. Kesimpulan.......................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain ilmu ushuludin,
ilmu tauhid, fiqh al-akbar, dan teologi islam. Disebut ilmu ushuluddin karena ilmu ini
membahas pokok-pokok agama (ushuludin), disebut ilmu tauhid karena ilmu ini
membahas keesaan Allah SWT.
Secara historis ilmu kalam bersumber pada al-qur’an, hadits, pemikiran
manusia, dan instink. Ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang mempunyai obyek
tersendiri, tersistematiskan, dan mempunyai metodologi tersendiri. Dikatakan oleh
Musthafa Abd Ar-Raziq bahwa ilmu ini bermula di tangan pemikir Mu’tazilah, Abu
Hasyim, dan kawannya Imam Al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah.
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan
politik. Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul
adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang
telah keluar dari islam dan siapa yang masih tetap dalam islam.
Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam yaitu: Aliran
Khawarij, Aliran Murji’ah, dan Aliran Mu’tazilah. Dan dengan itu makalah kami
akan menjelaskan mengenai Aliran Mu’tazilah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Aliran Mu’tazilah?
2. Bagaimana Asal Kemunculan Mu’tazilah?
3. Apa saja Al-Ushul Al-Khamsah (Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah)?
C. Tujuan Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Aliran Mu’tazilah
2. Untuk mengetahui Asal Kemunculan Mu’tazilah
3. Untuk mengetahui Al-Ushul Al-Khamsah (Lima Ajaran Dasar Teologi
Mu’tazilah)

iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Aliran Mu’tazilah
Secara etimologi kata mu'tazilah berasal dari kata ‘Itizala yang artinya
menunjukan kesendirian, kelemahan, keputusasaan, mengasingkan diri. Sebagian
ulama mendefinisikan muktazilah sebagai suatu kelompok yang lahir dari Qodariyah
yang berselisih pendapat dengan umat Islam lain dalam permasalahan hukum pelaku
dosa besar. kelompok ini dipimpin oleh whasil bin atha’ dan Amr Bin Ubaid pada
zaman Hasan Al-bashri1.
Aliran Mu‟tazilah adalah aliran pikiran islam terbesar dan tertua, yang telah
memainkan peranan yang sangat penting. Orang yang hendak mengetahui filsafat
Islam yang sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah
pemikiran Islam haruslah menggali buku-buku yang dikarang orang-orang
Mu’tazilah, bukan yang dikarang oleh orang-orang lazim disebut filosof filosof
Islam, seperti Ibnu Sina dan lain-lain. Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada
permulaan abad ke-II Hijriyah di kota Basrah, pusat ilmu dan peradaban Islam kala
itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam
agama2.
Kemunculan aliran mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam diawali oleh
masalah yaitu mengenai status pelaku dosa besar, apakah masih beriman atau telah
menjadi kafir. Perbedaannya, bila Khawarij mengafirkan pelaku dosa besar dan
Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan
status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap memukmin atau
kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah bain al-
manzilatain. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada di posisi tengah di
antara posisi mukmin dan kafir.
Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai dosa besar, aliran
Mu’tazilah merumuskan secara lebih konseptual ketimbang aliran Khawarij. Yang
dimaksud dengan dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan

1
Elmansyah, Kuliah Ilmu Kalam: Formula Meluruskan Keyakinan Umat Di Era Digital, hlm. 106
2
Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta, Bulan Bintang, 2001), hlm. 43.

v
yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil adalah
sebaliknya, yaitu segala ketidak patuhan yang ancamannya tidak tegas dalam
nas. Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai criteria dasar bagi dosa
besar maupun kecil.

B. Asal Kemunculan Mu’tazilah


Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri3. Secra teknis,
istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon
politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam
bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-
lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis,
golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik
tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di
kemudian hari4.
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat
adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat
dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang
yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji. Beberapa versi
tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada
peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ata serta temannya, Amr bin ubaid, dan hasan
al-basri di basrah. Ketika wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh hasan al
basri dimesjid basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat hasan
al-basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika hasan al-basri masih berpikir, wasil
mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan. “saya berpendapat bahwa orang
yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada

3
Luwis Ma’luf, Al-Munjidfi Al-Lughah, Darul Kitab Al-Arabi,cct.X, Beirut,t.t., hlm.207
4
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1995, cct. II,
hlm.17.

vi
posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian wasil
menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid.
Di sana Wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya
peristiwa ini, Hasan Al-Basri berkata “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala
anna).” Menurut asy-syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa
inilah yang disebut kaum Mu’tazilah5.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan
temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnya karena
ada pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar.
Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar itu tidak mukmindan tidak pula kafir. Oleh karena itu, golongan in
dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin
Dama’ah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr
bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al-Basri. Setelah mengetahuinya
bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan
tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazila.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan
Mu’tazilah6.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah
tanpa menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al-Basri.
Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya karena berpendapat bahwa orang yang
berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara
kafir dan mukmin (al manzilah bain al-manzilatain). Dalam artian mereka member
status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
Teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, menerangkan bahwa nama
Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan Al-Basri dan
sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Nama Mu’tazilah
diberikan kepada orang yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian politik yang
terjadi pada zaman Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian
disana, satu golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain menjauhkan
diri ke Kharbita (I’tazalat ila kharbita). Oleh karena itu, dalam surat yang dikirimnya

5
Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani. Al-Milal wa An-Nihal. Tp., Kairo 1951, hlm.48
6
Ahmad MahmudSubhi, Fi’Ilm Al-Kalam, ttp., Kairo, 1969, hlm.75.

vii
kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamai golongan yang menjauhkan diri dengan
Mu’tazilin, sedang Abu Al-Fida menamainya dengan Mu’tazilah.
Dengan demikian kata I’tazala dan Mu’tazilah telah dipakai kira-kira seratus
tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan Al-Basri yeng mengandung arti
golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi pada
zamannya7.
C.A Nallino, seseorang oreintalis Itali mengemukakan pendapat yang hampir sama
dengan Ahmad Amin dan selaras dengan Mas’udi. Ia berpendapat bahwa nama
Mu’tazilah sebenarnya bukan berarti “memisahkan dari umat Islam lainnya”
sebagaimana pendapat Asy-Syahrastani, Al-Baghdadi dan Tasy Qubra Zadah. Nama
Mu’tazilah, diberikan kepada mereka karena mereka berdiri netral diantara Khawarij
dan Mujiah. Oleh karena itu, golongan Mu’tazilah II ini mempunyai hubungan yang
erat dengan Mu’tazilah I8. Pendapat ini dibantah oleh Ali Sami An- Nasysyar
mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah II timbul dari orang-orang yang
mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadah, bukan dari golongan
Mu’tazilah I yang disebut kaum netral politik.

C. Al-Ushul Al-Khamsah (Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah)


Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah
yaitu:
1. At-Tauhid
At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran
Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini.
Namun, bagi Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan
dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kamahaesaan-Nya. Tuhanlah satu-
satunya yang Esa, yang unik dan tak ada satu pun yang menyamai-Nya. Oleh karena
itu, hanya dia-lah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi
ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan)9.
Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tansih), Mu’tazilah menolak konsep
Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan, dan Tuhan dapat dilihat

7
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah. Analisa Perbandingan, UI Press,Jakarta, 1986.
8
Abd Ar-Rahman Badawi , At-Turas Al-Yunani fi Al-Hadarah Al-Islamiya, ttp., Kairo,1965,hlm.185.
9
Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah. Maktab Wahbah. Kairo. 1965.hlm.196.

viii
dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu pun
yang menyerupai-Nya. Dia Maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui, dan
sebagainya. Namun mendengar, kuasa, mengetahui, dsb itu buksan sifat melainkan
dzat-Nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan yang
Qadim, berarti ada dua yang qadim, yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil bin Ata, seperti
dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan, “siapa yang mengtakan sifat yang qadim
berarti telah menduakan Tuhan”10.  Ini tidak dapat diterima karena merupakan
perbuatan syirik.
Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satu pun
yang dapat menyamai Tuhan. Begitu pula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan
makhluk-Nya. Tuhan adalah immateri. Oleh karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap
atribut materi. Segala yang mengesankan adanya kejisiman Tuhan, bagi Mu’tazilah,
tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Mahasuci Tuhan dari
penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya. Tegasnya, Mu’tazilah menolak
antropomorfisme.

2. Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti Tuhan Maha
Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan
kesempurnaan. Karena Tuhan Maha sempurna. Dia sudah pasti adil. Ajaran ini
bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benaradil menurut sudut pandang
manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan
manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (ash shalah) dan
terbaik (al ashlah) dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak
melanggar janji-Nya. dengan demikian, Tuhan terikat dengan janjiNya.

Ajaran tentang keadilan ini terkait erat dengan beberapa hal, antara lain:
perbuatan manusia, berbuat baik dan terbaik, dan mengutus rasul.

3.   Al-Wa’ad wa al-Wa’id

10
Abi Al-Fath Muhammad Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nahl, Dar Al-
Fikr,Bcirut,t,t, hlm.46.

ix
Al-Wa’ad wa al-Wa’id berati janji dan ancaman. Tuhan yang Maha adil dan
Maha bijaksana, tidaka akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan
dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik
(al-muthi) dan mengancam dengan siksa mereka atas orang yang durhaka (al-ashi).
Begitu pula janji Tuhan untuk member pengampunan pada orang yang bertobat
nasuha pasti benar adanya. ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun
berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, siapapun berbuat jahat akan dibalasnya
dengan siksa yang sangat pedih.
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-
Nya, yaitu member pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat,
kecuali orang yang sudah bertobat nasuha. tidak ada harapan bagi pendurhaka kecuai
bila ia tobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka
adalah kejahatan yang termasuk dosa besar, sedangkan terhadap dosa kecil, Tuhan
mungkin mengampuninya. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia
berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.  

4.    Al-Manzilah bain al-manzilatain


Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah.
Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa
besar. Seperti tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai
orang kafir bahkan musyik, sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap
mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Boleh jadi dosa tersebut
diampuni Tuhan. Adapun pendapat Wasil bin Ata (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain
lagi. Menurutnya, orang tersebut berada si antara dua posisi (al-manzilah bain al-
manzilatain). Karena ajaran inilah, Wasil bin Ata dan sahabatnya Amir bin Ubaid
harus memisahkan diri (I’tizal) dari majelis gurunya, Hasan AL-Basri. Berawal dari
ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan
sebagai mukmin mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada
Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah
kepatuhan melainkan kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikataka kafir secara
mutlak karena ia masih percayakepada Tuhan, rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan
yang baik. Hanya saja kalau meninggal sebelum bertaubat, ia dimasukkan ke neraka

x
dan kekal di dalamnya. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka.
Orang fasik pun dimasukkan ke neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari pada
orang kafir. Mengapa ia tidak dimaukkan ke surge dengan “kelas” yang lebih rendah
dari mukmin sejati? Tampaknya di sini Mu’tazilah ingin mendorong agar manusia
tidak menyepelekan perbuatan dosa, terutama dosa besar.

5.    Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Al Munkar


Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang
kemunkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakkan kepada kebenaran dan kebaikan.
Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan
harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat
baik dan mencegahnya dari kejahatan.
Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima
ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang
diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarah
pun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-
ajarannya.

xi
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa: pertama, apa itu
Mu’tazilah? aliran Mu’tazilah secara etimologi kata mu'tazilah berasal dari kata
‘Itizala yang artinya menyendiri, kelemahan, memisahkan diri, mengasingkan diri.
Sedangkan menurut terminologi Mu’tazilah berarti orang yang memisahkan atau
mengasingkan diri dari golongan-golongannya.
Asal Kemunculan Mu’tazilah, Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari
I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau
menjauhkan diri Secra teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik
murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam bersikap
lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya,
terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat
adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat
dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang
yang berbuat dosa besar
mengenai ajaran-ajaran yang dibahas dalam ajaran ini mecakup lima hal yang
disebut Al-Ushul Al-Khamsah, yaitu Al-Tauhid, Al-adl, Al-Waad wa AlWa’id,
Almanzilah bain Al-Manzilatain dan Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al Nahy an Al-
Munkar.

xii
DAFTAR PUSTAKA

Dr.Abdul Rozak, Dr. Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung, CV.Pustaka Setia,


hlm.77-87.2001
Dr.Abdul Rozak, Dr. Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung, CV.Pustaka Setia,
hlm.137.2001
Abbas, Siradjuuddin. 2016, I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, Jakarta, Pustaka
Tarbiyah Baru.

xiii

Anda mungkin juga menyukai