Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH ALIRAN TEOLOGI ISLAM:

MU’TAZILAH, ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH

Disusun untuk memenuhi tugas akhir pada mata kuliah Aliran Teologi Islam dan Analisa
Perbandingan yang di ampu oleh Prof. Dr. H. Muh. Qasim Mathar, M.A.

OLEH:

NAMA : ANDI ALFIAN

NIM : 30200116069

KELAS : FILSAFAT AGAMA (FA-2)

AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufiq dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
meskipun terdapat kekurangan di dalamnya. Ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Muh.
Qasim Mathar, M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Aliran Kalam: Analisa dan
Perbandingan, yang telah memberikan tugas kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita tentang aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kami juga
menyadari sepenuhnya, bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah ini.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
kami mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Makassar, 18 Juli 2018.

Pemakalah

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 3

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 3


B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 3
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 5

A. Aliran Teologi Mu’tazilah .................................................................................... 5


B. Aliran Teologi Asy’ariyah .................................................................................... 9
C. Aliran Teologi Maturidiyah .................................................................................. 17

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 25

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 25
B. Saran ..................................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 26

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Munculnya berbagai macam golongan aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan
warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya
Rasulullah. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya berbagai golongan
dengan segala pemikirannya. Di antaranya adalah faktor politik sebagaimana yang telah terjadi
pertentangan antara kelompok Ali dengan para pengikut Muawiyah, sehingga muncullah
golongan-golongan baru yaitu golongan Khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain
sebagai reaksi dari golongan satu pada golongan yang lain.

Antara golongan-golongan tersebut memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda antara


satu dengan yang lainnya. Ada yang berpegang pada wahyu, ada pula yang menetapkan akal
dalam menafsirkan wahyu. Dengan berdasar pada hadis, sekarang banyak yang mengklaim
dirinya sebagai Ahlussunnah wal jama’ah.

Sebagai reaksi terhadap firqoh-firqoh yang berbeda di masa-masa awal, maka pada
akhir abad ke-3 H timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlusunnah wal jama’ah.
Golongan ini dipimpin oleh dua ulama besar yaitu, Syaikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari sebagai
pendiri aliran Asy’ariyah dan Syaikh Abu Mansur al-Maturidi sebagai pendiri aliran
Maturidiyah. Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak
sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontraversi dalam umat,
khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Oleh
karena itu, dibutuhkan sebuah pembahasan mendalam untuk beberapa aliran-aliran ini.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:

1. Bagaimana pemikiran aliran Mu’tazilah?


2. Bagaimana pemikiran aliran Asy’ariyah?
3. Bagaimana pemikiran aliran Maturidiyah?

3
C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas final mata kuliah
Aliran Teologi Islam: Analisa dan Perbandingan yang diampu oleh Prof. Dr. H. Muh. Qasim
Mathar, M.A. Dan yang paling penting adalah untuk menjawab persoalan-persoalan yang
tertera pada rumusan masalah di atas. Yang meliputi:

1. Penjelasan tentang aliran Mu’tazilah.


2. Penjelasan tentang aliran Asy’ariyah.
3. Penjelasan tentang aliran Maturidiyah.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. ALIRAN TEOLOGI MU’TAZILAH

Mu’tazilah (dari kata Arab a’tazalah, mengambil jarak, memisahkan diri,


mengundurkan diri). Sebuah aliran pemikiran yang muncul akibat konversi setelah perang
saudara antara pihak Ali bin Abi Thalib dan pihak Zubayr dan Thalhah, dan sebagai reaksi
terhadap keabsolutan pandangan hitam di atas putih gerakan Kharijiyyah. Menghadapi konflik
antara dua kelompok yang saling bertentangan di mana tidak satupun dari keduanya tidak
membawakan kebenaran pandangan secara komprehensif yang dapat diterima oleh pemikiran
rasional, maka muncullah kebutuhan terhadap nuansa dogmatis.1

Salah satu respon atau solusi yang ditawarkan aliran Mu’tazilah adalah konsep al-
Manzilat Baynal-Manzilatain (sebuah posisi di antara dua posisi) konsep ini merupakan
jawaban terhadap sebuah pertanyaan yang muncul di tengah-tengah majelis Hasan al-Bashari,
yakni “apakah muslim yang melakukan dosa besar tetap sebagai mukmin atau tidak”. Terhadap
permasalahan ini, pihak Kharijiyyah berpendapat bahwa orang tersebut tidak lagi
berkedudukan sebagai orang beriman sehingga ia harus dihukum bunuh.

Jawaban Hasan Al-Basri mengenai permasalahan ini adalah bahwasanya orang tersebut
tetap berkedudukan sebagai seorang muslim yang berperilaku munafik, sedang pandangan
Washil Ibnu Atho (W.131/748) menegaskan bahwa kedudukan orang tersebut tidak sebagai
mukmin juga bukan sebagai kafir, melainkan berada di antara kedua kedudukan tersebut, dan
pandangan ini merupakan awal lahirnya kelompok Mu’tazilah, yakni orang-orang yang
memisahkan diri dari Hasan Al-Bashri sebagai guru besar yang terpercaya perkataannya.

Tokoh lain dari aliran ini adalah Amr Ibnu Ubayd (W.145/762) dan berikutknya adalah
Abu Huday (W.235/849). Mereka ini adalah tokoh-tokoh perumus ajaran Mu’tazilah. Aliran
ini mengambil cara pemikiran filsafat Helenistik, dan menerapkan rasio atau pemikiran akal
untuk menyelesaikan problema kefilsafatan, karenanya aliran ini mendorong munculnya
disiplin kalam, yakni sebuah teologi yang khas Islam. Paham Mu’tazilah mensuplai berbagai
ideologi tertentu yang berkembang di Persia, dan melalui posisi sejarahnya berada antara pihak

1
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), Jilid I (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), h. 292.

5
Umayyah dan Syiah. Sehingga selama periode tertentu aliran ini dengan mudah menjadi
pandangan filsafat yang dominan dalam pemerintahan Abbasyiah. 2

Doktrin Mu’tazilah mengenai kebebasan berkehendak, dan doktrin lainnya, dapat


dijadikan sebagai kekuatan untuk melawan pihak penguasa Umayyah di mana pihak Umayyah
mempertahankan regimnya dengan argumentasi takdir Tuhan sebagaimana yang dikemukakan
oleh kalangan Tradisionalis (Ahl al-Hadis).

Sebagai aliran rasionalis, Mu’tazilah, menegaskan bahwasanya al-Quran adalah


makhluk, “ciptaan Tuhan” (sedang kalangan ortodoks menegaskan bahwa esensi al-Quran
bersifat azali, artinya bukan makhluk). Doktrin ini pada tahun 212/827 oleh khalifah al-
Makmun dinyatakan sebagai pandangan resmi pemerintah, dan dipaksakan melalui kebijakan
mibnab, yakni kebijakan pemaksaan keyakinan terhadap tokoh-tokoh ulama. Ibnu Hambal,
tokoh pendiri mazhab fiqih Hambali dihukum cambuk lantaran ia di muka publik menolak
kebijakan tersebut seraya menegaskan bahwa al-Quran bukan makhluk sejak awal dan sampai
kapan pun. Namun tidak lama setelah peristiwa mibnab tersebut, yakni pada masa
pemerintahan khalifah al-Mutawakkil, doktrin Mu’tazilah ini mengalami penekanan sehingga
gerakan Mu’tazilah mengalami kemunduran dan lenyap pengaruhnya. 3

Sekalipun demikian, pengaruh aliran mu’tazilah tidak dapat diabaikan, yakni


bekembangnya pengguna metode pemikiran rasional di seluruh penjuru muslim yng
mengiringi perkembangan teologi,dan sejumlah pemahaman khas aliran ini diserap oleh aliran
mayoritas (yakni Asy’ariyyah ), meskipun aliran ini sendiri dituduh sebagai aliran bid’ah yang
menyesatkan.

Kalangan Mu’tazilah menamakan alirannya sebagai abl-adl wal-taubid (orang-orang


yang berpegang pada prinsip keadilan dan prinsip tauhid), dan aliran mereka ini didasarkan
pada lima prinsip, sebagaimana berikut ini:

1. tauhid (keesaan Tuhan).


2. adl’ (keadilan).
3. al-wa’d wal-wa,id (janji dan ancaman).
4. al-manzila baynal manzilatain (satu posisi di antara dua posisi).

2
Ibid.,
3
Ibid., h. 93

6
5. al-amr bil-ma,ruf wannaby anil-munkar (menegakkan kebajikan dan menghentikan
kejahatan).

Berdasarkan prinsip Tauhid mereka menegaskan bahwa sifat-sifat Tuhan adalah satu
dan tidak dapat terlepaskan dari esensinya (Zat) Tuhan. Teologi Sunni secara khusus
mengistimewakan tujuh Sifat Tuhan di antara sifat-sifat dan nama-nama yang tersebut dalam
al-Qur’an: yakni Sifat Hayah (Hidup), ‘Ilm (Mengetahui), Qudrap (Berkuasa), Iradah
(Berkehendak), Sam’ (Mendengar), Bashr (Melihat), Kalam (Berbicara). Sifat-sifat yang
tersebut dalam al-Qur’an khususnya yang bersesuaian dengan Nama-nama Tuhan mestilah
diyakini berada di dalam realitasyang absolut; sesuatu yang absolut mestilah tidak terbatas dan
tidak terbagi-bagi, yakni tunggal. Oleh karena itulah sifat ketuhanan dapat dipandang sebagai
yang Absolut (atas “Beyond-Being”), dan sekaligus sebagai Being, dimana yang tersebut
terakhir merupakan sebuah diferensiasi segala kemungkinan dari yang absolut.

Kalangan Mu’tazilah berargumen bahwa jikalau Tuhan memiliki sifat-sifat yang


terpisah dari esensinya, maka mestilah sifat-sifat tersebut merupakan sesuatu yang lain “di luar
Tuhan”. Bahkan berdasarkan prinsip tauhid ini, mereka secara tidak langsung menyatakan
bahwa terdapat pertentangan kekuatan pada bidang ketuhanan. Selain meniadakan problema
pertentangan beberapa elemen ketuhanan, defenisi tauhid yang dikemukakan Mu’tazilah juga
berusaha meniadakan pertentangan antara Tuhan dan dunia, atau setidak-tidaknya
memperkenalkan sebuah ruang kekosongan; dunia adalah sesuatu yang sama sekali “lain”, atau
sebuah emanasi; yakni sejumlah problem yang belum pernah dihadapi oleh Mu’tazilah, dan
problem yang muncul selama posisi kesejarahan mereka sebagai sebuah tahapan peralihan
dalam perkembangan teologi Islam.4

Problem-problem inilah yang menyebabkan Al-Asy’ari meninggalkan paham


Mu’tazilah, dengan menekankan pada teorinya tentang atom-atom pada dimensi waktu dan
ruang yang merupakan “cermin” bagi Realitas Yang Esa, dan teorinya tentang kehendak
sebagai “upaya pihak makhluk dalam memenuhi tindakan Tuhan” (ikhtisab).

Dalam pandangan gagasan ortodoks, sesuai dengan pandangan bahwasanya Tuhan


sebagai yang Absolut dan sekaligus Being (Habut dan Labut), terdapat keberlangsungan
identitas antara Sifat-sifat dan keAbsolutan Tuhan. Sifat bukan merupakan Esensi (Zat), dan
bukan pula sesuatu yang lain di luar Esensi; hal ini merupakan sebuah keniscayaan antinomi

4
Ibid.,

7
yang tidak dapat dihindarkan. Sifat inilah yang dimaksudkan dengan identitas vertikal, “ia
berada bersama Tuhan dan Esa bersama Tuhan”, yang merupakan non-dualitas yang sejati,
dengan pengertian bahwa sifat-sifat “bukan suatu yang lain di luar Tuhan”. (Baca al-Wujud;
Lima Prinsip Kehadiran Ketuhanan).

Serupa dengan beberapa pemikiran filsafat modern misalnya filsafat Martin Buber,
konsep tauhid Mu’tazilah sebagai konsep ke-Esaan Tuhan hanyalah sebatas istilah saja;
permasalahan tentang “bagaimanakah membayangkan sebuah kesatuan yang di dalamnya
mengandung keragaman diferensiasi” merupakan permasalahan yang masih terabaikan,
sehingga tauhid Mu’tazilah tidak lagi sebuah ke-Esaan.

Berdasarkan prinsip al-‘Adl, mereka mempertegas pernyataan bahwasanya manusia


memiliki kebebasan berkehendak, yang merupakan keniscayaan dari keadilan Tuhan. Mereka
juga menegaskan bahwa Tuhan mestilah berbuat sesuatu yang terbaik (shalah atau ashlah)
terhadap dunia yang diciptakan-Nya. Gagasan shalah menjadi satu di antara poin yang
menyebabkan al-Asy’ari memisahkan diri bahkan menentang Mu’tazilah, secara rapi ia
menunjukkan kelemahan gagasan tersebut. Mereka juga menegaskan bahwa Tuhan
mengimbangi keselamatan terhadap penderitaan (cacat) orang-orang selama hidup. (Baca al-
Asy’ari; Anak-anak).

Dengan prinsip ketiga, yakni al-wa’d wal-wa’id, yang dimaksudkan oleh mereka
adalah syurga dan neraka. Mereka meyakinkan bahwa jika seseorang masuk neraka,
seharusnya ia tidak akan menuju kesana dengan alasan Sifat Rahman Tuhan. Sedang kalangan
Asy’ariyyah meyakini bahwa dosa dapat diampuni oleh Tuhan, bahkan ketika seseorang telah
berada di dalam neraka sekalipun, atau keyakinan mereka yang menyatakan bahwa orang
mukmin dapat dikeluarkan dari neraka ketika dosa-dosa mereka telah habis oleh siksaan
neraka.5

Mu’tazilah menolak pandangan bahwa di dalam syurga seseorang akan melihat Tuhan,
dengan alasan bahwa setiap bentuk penglihatan terhadap Tuhan akan menempatkan Tuhan
pada dimensi ruangan. Diriwayatkan Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa penghuni
syurga akan menyaksikan Tuhan. Ketika ditanya perihal bagaimana melihat Tuhan, Nabi
menjawab: “sebagaimana orang melihat bulan purnama”, maksudnya adalah dengan melalui

5
Ibid., h. 294.

8
“refleksi” (“pancaran, secara tidak langsung”) sebagaimana bulan memancarkan cahaya
matahari. (Baca Penglihatan Terhadap Tuhan).

Prinsip keempat, yakni “sebuah posisi di antara dua posisi”, pada satu sisi merupakan
metode filsafat mereka, namun pada sisi lain prinsip ini juga merupakan wawasan politik
mereka dalam kontraversi kesejarahan. Prinsip ini merupakan sikap tengah-tengah antara pihak
Sunni dan Syiah, sehingga menjadikan keyakinan Mu’tazilah sebagai teologi yang terpilih
selama masa-masa awal dinasti Abbasiyah, dan menjadi teologi yang sangat berpengaruh di
kalangan Syiah. Terlepas dari doktrin Imamah, belakangan Syiah mengembangkan sistem
teologinya pada masa pemerintahan Buwaihiyyah.

Pada waktu itu, pemikiran Mu’tazilah menjadi dasar perumusan teologi Syiah Dua
Belas Imam, dengan tanpa ada unsur modifikasi, sementara itu doktrin Imamah Syiah dapat
terus berkembang tanpa unsur pertentangan di dalamnya. Tetapi meskipun prinsip al-manzilat
bainal manzilatain terkesan sebagai “jalan tengah” kefilsafatan, namun prinsip ini merupakan
kenyataan sebuah adaptasi ajaran metafisika bangsa Persia yang memandang kejahatan sebagai
sebuah gabungan substansi (gumishisn), yakni campuran dari dua buah prinsip.

Terdapat pandangan yang menuduh bahwa paham Mu’tazilah merupakan pandangan


kefilsafatan yang bertentangan dengan Islam. Tuduhan seperti ini telah berkembang jauh
sebelum al-Asy’ari, disebabkan berkembangnya hadis berikut ini (namun hadis ini terbukti
lemah bahkan menunjukkan sebuah reaksi perlawanan yang dilancarkan oleh pihak ortodoks):
“Mu’tazilah adalah Majusi (nama pemeluk kepercayaan bangsa Persia); janganlah engkau
menjadikannya sebagai pimpinan sholat, dan janganlah hadir dalam prosesi jenazah mereka”.

Prinsip kelima, sebuah prinsip yang ditujukan untuk pembentukan corak masyarakat
Islami, tidak berbeda dengan pandangan pihak Sunni. Baca, al-Asy’ari; Anak-anak; Filsafat;
Hasan al-Bashri; Istawa; Kalam; Kharijiyyah; Al-Makmun; al-Maturidi; Penglihatan Terhadap
Tuhan.

B. ALIRAN TEOLOGI ASY’ARIYAH

Salah satu aliran teologi yang terpenting dalam Teologi Islam disebut juga aliran
Ahlusunnah wal Jamaah yang berarti golongan yang mayoritas yang sangat teguh berpegang
pada sunnah Nabi SAW. Nama aliran ini dinisbatkan kepada pendirinya, Abu Hasan al-Asy’ari.

9
Aliran ini muncul pada awal Abad ke-9 ketika aliran Mu’tazilah berada dalam tahap
kemunduran.

Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari (Basrah, 260 H/873 M - Baghdad, 324 H/935 M).
Seorang ahli hukum Islam terkenal, pemuka kaum teolog dan pendiri aliran Asy’ariyah. Ia
memiliki hubungan keturunan dengan Abu Musa al-Asy'ari, seorang sahabat Nabi SAW yang
juga periwayat hadis. Pada mulanya ia adalah murid Abu Ali al-Jubba'i (salah seorang
terkemuka dalam golongan Mu'tazilah) sehingga, menurut Husain bin Muhammad al-Askari,
al-Jubba'i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.

Empat puluh tahun al-Asy'ari menganut paham Mu'tazilah, dan pada akhirnya ia
meninggalkan paham tersebut. Faktor penyebabnya, menurut pendapat yang berasal dari as-
Subki dan Ibnu Asakir, ialah pada suatu malam al-Asy'ari bermimpi; dalam mimpinya itu ia
mendengar Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa mazhab ahli hadislah yang benar,
sedangkan mazhab Mu'tazilah adalah salah. Sebab lain, al-Asy'ari pernah berdebat dengan
gurunya, al-Jubba'i dan dalam perdebatan itu guru tidak dapat menjawab tantangan muridnya
itu.

Salah satu perdebatan itu, menurut as-Subki yaitu:

Al-Asy'ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut; mukmin, kafir, dan anak kecil di
akhirat?

Al-Jubba'i : Yang baik (mukmin) masuk dalam surga, yang kafir masuk neraka, dan anak
kecil terlepas dari bahaya neraka.

Al-Asy'ari : Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga,
mungkinkah itu?

Al-Jubba'I : Tidak, sebab yang mungkin mendapat tempat baik adalah orang yang patuh
kepada Tuhan; sedangkan anak kecil belum mempunyai kepatuhan seperti itu.

Al-Asy'ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “itu bukanlah salahku. Jika
sekiranya engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan mengerjakan perbuatan-
perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu”.

Al- Jubba'I : Allah akan menjawab,"aku tahu jika engkau terus hidup engkau akan berbuat
dosa dan karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu aku cabut
nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab".

10
Al-Asy'ari : Sekiranya yang kafir mengatakan, "engkau ketahui masa depanku
sebagaimana engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya engkau tidak jaga
kepentinganku?"

Di sinilah al- jubba'i terdiam.

Perdebatan di atas menunjukkan ketidakpuasan al-Asy'ari terhadap aliran Mu'tazilah


yang dianutnya selama ini. Sehingga al-Asy’ari mengasingkan diri di rumah selama lima belas
hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Setelah itu ia keluar rumah, pergi ke Masjid,
naik mimbar dan mengatakan kepada umat bahwa ia telah mengasingkan diri dan berpikir
mendalam tentang keterangan-keterangan serta dalil-dalil yang diberikan masing-masing
golongan. Dalil-dalil yang diajukan dalam penelitiannya sama kuatnya. Oleh karena itu, ia
meminta petunjuk kepada Allah SWT dan atas petunjuk itu ia meninggalkan keyakinan-
keyakinan yang lama dan menganut keyakinan baru yang di tulis dalam buku-bukunya.
“Kemudian keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju
ini”. (Referensi buku yang ditulis oleh al-Asy’ari dalam bukunya: al-Luma’ fi ar-radd ‘ala ahl
az-Ziyag wa al-Bida’).6

Al-Asy’ari membantah ajaran Mu’tazilah berikut:

1. Ajaran tentang tidak adanya sifat Tuhan.

2. Faham keadilan Tuhan yang dibawa Mu’tazilah.

3. Al-wa’d wa al- wa’id (janji baik dan ancaman buruk).

Bagi al-Asy’ari, orang yang berdosa besar tetap mukmin karena imannya masih ada,
tetapi dosa besar yang dilakukannya, ia menjadi fasik. Sekiranya orang yang berdosa besar
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya tidak didapati kufur atau iman;
dengan demikian bukanlah ia ateis dan bukan pula monoteis, bukan teman dan bukan pula
musuh. Ini tidaklah mungkin. Pengikut di antara mereka yang terkenal adalah; Abu Bakar
Muhammad al-Baqillani, al-Isfirayaini, al-Qusyairi, al-Juwaini, dan al-Ghazali. Di antara
pengikutnya yang paling berpengaruh adalah al-Ghazali yang menyebarluaskan ajaran Islam
yang lebih khusus ahlusunnah waljamaah.

1. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedia Islam, Jilid I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
1994), h. 184.

11
Abu Musa al-Asy’ari memiliki suara yang merdu ketika membaca al-qur’an, sehingga
Nabi SAW menyebutnya dikaruniai seruling Nabi Daud. Pada suatu malam, Nabi dan Istrinya
lewat di depan rumah al-Asy’ari lalu ia mendengarnya membaca Alquran lantas Nabi berhenti
sampai selesai membaca Alquran kemudian Nabi baru pergi setelah berhenti mengaji.

Sebagai sahabat Nabi SAW, al-Asy’ari banyak menerima ayat Alquran dan Hadis dari
Nabi SAW. Kemudian ia menerima penyampaian Hadis Nabi SAW dari al-Khulafa’ ar-
Rasyidun (empat sahabat Nabi SAW) dan dari sahabat Mu’as Bin Jabal, Ibnu Mas’ud, Ubay
Bin Ka’b, dan Ammar.

Sebagaimana layaknya pengikut Hambali, al-Asy’ari berpendapat bahwa Alquran


sepenuhnya bukan makhluk, termasuk suara dan hurufnya. Sebagian kalangan Asy’ariyah
menetapkan bahwa hanya esensi Alquran bersifat Qadim, sedang perwujudannya dalam bentuk
suara dan huruf adalah makhluk. Namun, sekalipun menolak doktrin-doktrin Mu’tazilah, al-
Asy’ari telah menggunakan metode dialektik rasional Mu’tazilah terhadap dogma-dogma
ortodoksi Islam. Di samping ia menggunakanya dalam hal-hal keduniaan juga berpegang teguh
terhadap aspek-aspek dengan ketuhanan dengan memberikan batas yang tegas untuk
menghindari spekulasi dengan menggunakan kaimat “bila kaifa” (tanpa bertanya bagaimana).

Al-Asy’ari juga dikenal karena doktrin kasab (lih. perolehan) kaitannya dengan
perbuatan manusia. Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya mengangkat ujung
jari, adalah ciptaan Tuhan, namun ia diperoleh untuk dipertanggungjawabkan.

Dengan segala sesuatu yang mungkin terjadi, al-Asy’ari memberikan pernyataan insya
Allah (jika Allah menghendaki) sebagai ungkapan syarat terhadap hal-hal yang mungkin terjadi
di masa depan. Hal ini merupakan perjuangan besar al-Asy’ari dalam mengukuhkan paham
ortodoks. Seorang sufi, misalnya Hasan al-Bashri, berusaha mengatasi problem metafisis
dengan pendekatan intuitif bahkan mengintegrasikan filsafat ke dalam pemikiran Islam dalam
rangka mempersiapkan sarana dan konsep untuk menghadapi pemikiran metafisik secara tepat.
Dalam teologi, paham Asy’ari menyusun barisan perlawanan terhadap pemikiran rasional,
yang pada akhirnya juga digunakan untuk menentang pemikiran filsafat, sebagaimana yang
dikembangkan oleh al-Ghazali.7

2. Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), Jilid I (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), h. 41-42.

12
Al-Asy’ari juga pernah berkata, “pendapat-pendapat dan faham-faham kami
didasarkan pada kitabullah (Alquran), sunah Rasulullah SAW, pendapat-pendapat para
sahabat dan tabi’in serta ahli hadis”.

Adapun ajaran-ajaran pokok al-Asy’ari yaitu:

1. Tentang sifat Allah SWT.


Al-Asy’ari berbeda pendapat dengan Mu’tazilah, baginya Allah Swt mempunyai sifat
(sifat dua puluh) seperti, al-Ilm (mengetahui), al-Qudrah (kuasa), al-Hayah (hidup), as-Sam’a
(mendengar), dan al-Basar (melihat).
2. Tentang kedudukan Alquran.
Alquran adalah kalam Allah dan bukan makhluk dalam arti diciptakan. Karena Alquran
sabda Allah SWT maka pastilah Alquran bersifat Qadim.
3. Tentang melihat Allah SWT di akhirat.
Allah Swt akan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala karena Allah SWT
mempunyai wujud.
4. Tentang perbuatan manusia.
Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT. Walaupun al-Asy’ari
mengakui adanya daya dalam diri manusia, daya itu tidak efektif.
5. Tentang antropomorfisme.
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah SWT mempunyai mata, muka, tangan dan
sebagainya seperti disebut dalam Alquran (QS. 55:27 ) dan (QS. 54: 14). Akan tetapi, tidak
dapat diketahui bagaimana bentuknya.
6. Tentang dosa besar.
Orang mukmin yang berdoasa besar tetap dianggap mukmin selama ia masih beriman
kepada Allah SWT dan Rasulnya. Ia hanya digolongkan sebagai orang ‘asi (durhaka). Tentang
dosa besarnya diserahkan kepada Allah SWT, apakah akan diampuni atau tidak.
7. Tentang keadilan Allah SWT.
Allah SWT adalah pencipta seluruh alam. Dia memiliki kehendak mutlak terhadap
ciptaannya. Karena itu ia dapat berbuat sekehendaknya. Ia dapat memasukkan seluruh manusia
ke dalam surga, sebaliknya dapat pula memasukkan semua manusia ke dalam neraka.8
Pemikiran-pemikiran al-Asy’ari tersebut dapat diterima oleh kebanyakan umat Islam
karena sederhana dan tidak filosofis. Sehingga pendapatnya cepat banyak yang mendukung

3. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 185-187.

13
dan tidak sedikit jumlahnya. Faktor lain yang mempercepat proses perkembanganya karena
mendapat dukungan dari pemerintah Bani Abbas yang berkuasa saat itu dan kemampuan
mempertahankan pendapat-pendapatnya.

Aliran Asy’ariyah mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan mampu


mendominasi alam pikiran dunia Islam dan penyebaran dilakukan di berbagai pelosok dunia
Islam. Ajaran ini berkembang di daerah penguasa, seperti dinasti Abbasiyah, menghapuskan
pengajaran yang bercorak Syiah dan menggantikan dengan pengajaran yang bercorak Sunni
Asy’ariyah. Bahkan kurikulum di sekolah-sekolah diganti dengan kurikulum-kurikulum yang
bercorak Asy’ariyah.

Pemikiran yang lain al-Asy’ari tentang kuasa Tuhan, yaitu:

1. Tuhan adalah wajibul wujud (wajib ada) berdasarkan wahyu dari padanya serta dapat
ditangkap oleh akal pikiran dengan bukti wujud alam semesta.
2. Sifat yang Qodim, maka Tuhan mempunyai sifat yang Qodim pula, karena sifatnya juga
zat-Nya.
3. Tuhan berkuasa mutlak dan karenanya, kemauan, kehendak dan perbuatannya tidak
bisa diganggu gugat.
4. Manusia dan akalnya bisa mengetahui Tuhan, tetapi akal manusia tidak menunjukkan
kewajiban untuk melakukan sesuatu yang baik karena kebaikannya dan tidak pula
menunjukkan yang buruk dan meninggalkan karena keburukannya, tetapi semua hanya
ditujukan oleh wahyu, qodla dan qodar di tangan Tuhan.
5. Manusia tidak berkuasa untuk menciptakan sesuatu ia hanya mempunyai sikap kasab
(usaha) untuk memperoleh sesuatu dari perbuatannya, sedang hasil atau tidaknya
berada di tangan Tuhan.9

Tokoh-tokoh penting Asy’ariyah:

1. Al-Baqillani atau nama lengkapnya Muhammad bin at-Tayyib bin Muhammad Abu
Bakar al-Baqillani. Ia mendalami ajaran Asy’ariyah melalui kedua gurunya yaitu, Ibnu
Mujahid dan Abu Hasan al-Bahili. Kedua gurunya itu adalah murid langsung dari al-

4. Ibid., h. 48.

14
Asy’ari, namun al-Baqillani ada perbedaan pendapat dengan al-Asy’ari, terutama pada
sifat Tuhan dan perbuatan manusia. Menurut al-Asy’ari dan al-Baqillani yaitu:
a) Sifat Tuhan, bagi al- Baqillani, apa yang disebut sifat oleh al-Asy’ari, bukanlah
sifat, melainkan hal. Sifat memberi pengertian sesuatu yang menetap, sedangkan
hal sesuatu yang tidak menetap, pendapat ini sesuai dengan pendapat Abu Hasyim
dari Mu’tazilah.
b) Perbuatan manusia, menurut al-Asy’ari, diciptakan oleh Tuhan, tapi manusia diberi
daya untuk mewujudkan kehendaknya, namun daya itu juga diciptakan oleh Tuhan.
Daya yang ada pada diri manusia itu tidaklah efektif. Sedangkan menurut al-
Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan
perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri
manusia. Adapun bentuk dan sifat dari gerak itu ditentukan oleh manusia sendiri.

2. Al-Juwaini, nama lengkapnya Abdul Ma’ali al-Juwaini dan mendapat gelar Imam al-
Haramain karena ia pernah tinggal di Mekah dan Madinah untuk memberikan pelajaran
dan fatwa. Bukunya yang terkenal adalah al-Irsyad (Petunjuk), yang menguraikan
masalah-masalah fikih yang bersumber pada ajaran Imam Syafi’i dengan corak faham
Asy’ariyah. Dalam pandangan teologinya, ia tidak sepenuhnya setuju dengan
pemikiran-pemikiran al-Asy’ari. Misalnya soal antropomorfisme. Ia berpendapat
bahwa semua gambaran tentang Tuhan yang bersifat jasmani seperti: muka, tangan,
mata, dan wajah harus dita’wilkan. Tangan dita’wilkan dengan kekuasaan, mata
diartikan penglihatan, dan wajah Tuhan diterjemahkan dengan wujud Tuhan, dan
seterusnya. Adapun soal perbuatan manusia, menurut al-Juwaini sama dengan pendapat
al-Baqillani dan bahkan lebih maju lagi.

3. Al-Ghazali, nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.


Atas pengaruhnya, ajaran al-Asy’ari meluas di kalangan ahlusunah waljamaah, ia juga
mengajar di Madrasah Nizamiyah. Ia diberi gelar Hujjah al-Islam karena melalui karya-
karyanya ia telah membelah Islam dari paham-paham yang menyesatkan seperti paham
Batiniah. Paham Batiniah adalah paham yang menyatakan bahwa Alquran mempunyai
arti zahir (lahir) dan arti batin. Arti batin hanya disampaikan Nabi Muhammad SAW
kepada Ali bin Abi Thalib, tidak yang lainya. Berbeda dengan al-Baqillani dan al-
Juwaini, seluruh pendapat al-Ghazali seirama atau sejalan dengan pemikiran al-Asy’ari.

15
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa al-Ghazali kembali kepada pendapat-pendapat
al-Asy’ari yang asli dengan memberikan argumen-argumen yang bahkan lebih kuat.

4. As-Sanusi, nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi (833-895
H/ 1427-1490 M). Penyebaran konsep teologinya tentang sifat Tuhan dan sifat Rasul
ke dalam tiga bagian yaitu:
a. Sifat wajib bagi Tuhan ada 20. Kemudian sifat wajib ini dikelompokkan lagi
menjadi tiga bagian yaitu:
1) Sifat nafsiyah (kedirian Tuhan).
2) Sifat salbiyah (sifat yang membedakan Zat Tuhan dengan lainya).
3) Sifat ma’ani (sifat yang abstrak).
b. Sifat mustahil bagi Tuhan ada 20.
c. Sifat jaiz bagi Tuhan hanya 1. 10

Perbandingan pendapat antar tokoh dalam aliran al-Asy’ariyah:

1. Al-Baqillani, berbeda pendapat dengan al-Asy’ari maupun tokoh yang lainnya terutama
pada pemikiran tentang sifat Tuhan dan perbuatan manusia. Dalam pemikiran ini ia
membantah pemikiran gurunya dalam hal konsep sifat dan perbuatan manusia.
2. Al-Juwaini, juga berbeda pendapat dengan al-asy’ari maupun tokoh yang lainnya
terutama pada pemikiran tentang persoalan antropomorfisme.
3. Al-Ghazali, satu-satunya tokoh al-Asy’ari yang sepaham pemikiran dengan gurunya,
bahkan al-Ghazali melebihi kapasitas ilmu gurunya.
4. As-Sanusi, tokoh ini tidak menjelaskan perbedaan maupun persamaan dalam pemikiran
dengan tokoh yang lainnya bahkan terhadap gurunya.

5. Ibid., h. 188-189.

16
C. ALIRAN TEOLOGI MATURIDIYAH

AL-MATURIDI, (Abu Mansyur) (859-944), adalah seorang teolog terkemuka. Nama


lengkap Abu Mansyur Al-Maturidi ialah Abu Mansyur Muhammad bin Muhammad bin
Mahmud al-Hanafi al-Mutakallim al-Maturidi as-Samarkandi. Ia lahir di Maturid dekat
Samarkand wilayah Transoxiana Asia Tengah (sekarang termasuk daerah Uzbeskistan Uni
Sovyet). Oleh sebagian penulis, Al-Maturidi dinyatakan keturunan dari Abu Ayyub al-Anshari,
seorang sahabat Rasulullah di Madinah. Hal ini, menurut mereka diperkuat oleh fakta bahwa
sebagian kaum kerabat Al-Maturidi yang tingal di Samarkand adalah orang-orang yang berasal
dari Arab Madinah. Meskipun Al-Maturidi termasuk salah seorang tokoh di bidang teologi
Islam yang terkenal dan cukup banyak pengikutnya, tetapi riwayat hidupnya secara lengkap
tidak banyak diketahui orang.

Menurut Ayyub Ali, penyebabnya ialah karena seluruh penulis biografi, hanya
memberikan gambaran kehidupannya secara singkat saja. Tahun kelahiran Al-Maturidi tidak
diketahui dengan pasti. Ayyub Ali memperkirakan ia lahir sekitar tahun 238 H/ 853 M. Dasar
pertimbangannya antara lain: salah seorang guru Al-Maturidi, yaitu Muhammad al-Muqatil ar-
Razi, meninggal dunia tahun 248 H/862 M, Al-Maturidi hidup masa Khalifah Al-Mutawakil
yang memerintah pada tahun 232-247 H/847-816 M. Walaupun perkiraan Abu Ayyub Ali
tersebut mempunyai dasar pertimbangan historis, namun angka pasti tentang tahun kelahiran
Al-Maturidi tersebut masih perlu penelitian lebih lanjut.

Al-Maturidi wafat pada tahun 333 H/944 M, di kota Samarkand. Berdasarkan perkiraan
Ayyub Ali di atas, dapat diduga Al-Maturidi tidak hanya lebih tua usianya dari Abu Hasan Al-
Asy’ari (lahir 873 M, tetapi juga dapat diperkirakan bahwa gerakan Al-Maturidi dalam
menentang golongan Mu’tazilah, dimulai lebih dahulu dari gerakan Al-Asy’ari. Karena Al-
Asy’ari sampai usia 40 tahun aktif mengembangkan faham Mu’tazilah, sedangkan Al-Maturidi
ketika itu telah berusia 60 tahun.

Di zaman Al-Maturidi sedang berkembang suasana ilmu dalam bentuk menghangatnya


diskusi dan polemic antara ulama Fiqh dengan ulama Hadis, serta antara keduanya dengan
ulama Mu’tazilah. Al-Maturidi memperoleh pendidikan dari ulama yang terkenal di masanya,
misalnya: Syeikh Abu Bakar Ahmad bin Ishak, Abu Nasr Ahmad bin Abbas, Nusai bin Yahya
al-Bakhi, Muhammad bin Al-Muqatil ar-Razi, yang kesemuanya merupakan murid Imam Abu
Hanifah. Keadaan masyarakat dan latar belakang pendidikan Al-Maturidi tersebut telah

17
mempengaruhi alam pikirannya, khususnya di bidang teologi Islam, yang walaupun menentang
Mu’tazilah tetapi pahamnya lebih dekat terhadap Mu’tazilah daripada terhadap Asy’ariyah.

Aliran Fiqh yang dianut Al-Maturidi, sebagaimana yang dianut oleh para gurunya yaitu
aliran Fiqh Hanafi. Sebagaimana ulama mengatakan bahwa di bidang teologi pun
sesungguhnya Al-Maturidi merupakan penerus dan pengembang pikiran Abu Hanifah yang
banyak menggunakan rasio dan beraliran Murji’ah moderat. Atas dasar keahlian Al-Maturidi
yang mendalam di bidang teologi Islam, masyarakat telah memberikan gelar kepadanya dengan
sebutan “Imamul Huda” dan “Imamul Mutakallim”. Mahmud al-Kuwafi menyebut Al-
Maturidi sebagai: “Pemimpinnya pembimbing, cerminan kaum Sunni dan pembimbingnya,
pembawa standar Ahlus-Sunnah wal Jamaah, pembongkar kesesatan yang lahir dari kekacauan
dan bid’ah, pemimpin skolastik dan ahli perbaikan keimanan umat Islam”. Al-Maturidi telah
menulis beberapa karya ilmiah yang kesemuanya masih dalam bentuk manuskripts atau
makhtutah antara lain: Kitabutta’wilil Qur’an, Kitabun Na’Khazisy syara’I, Kitabul Jadal.
Kitabul Ushulu fi Ushuluddin, Kitabul Maqalatifil Kalam, Kitabul Tauhid, Kitabul Raddi ‘alal
Karamitah, Kitabul Bayani Wahmil Mu’tazilah, Kitabur Raddi Wa’idil Fussaqi, dan Syarhul
Fiqhil Akbar.

Sumbangan pikiran tentang Teologi Islam Al-Maturidi: Menurut Al-Maturidi, untuk


mencapai suatu pengetahuan yang benar, diperlukan adanya tiga macam sumber, yaitu: panca
indra (ala’yan), berita (al-Akhbar) dan akal (al-nazar). Akal merupakan sumber terpenting
antara ketiga sumber tersebut. Sebab tanpa adanya akal, panca indra dan berita tidak dapat
memberikan kepastian tentang suatu pengetahuan. Selanjutnya, menurut Al-Maturidi bahwa
akal sebagai panca indra memiliki keterbatasan yang tidak dapat dielakkan. Karenanya,
manusia masih memerlukan bimbingan berupa wahyu Allah.

Menurut Al-Maturidi, wahyu Allah tidak terbatas hanya berisi tentang masalah-
masalah dunia. Dalam Alquran tidak terdapat ayat-ayat yang berlawanan antara satu dengan
yang lainnya. Kalaupun ada, ayat-ayat tersebut haruslah diberi ta’wil atau diserahkan
pengertiannya kepada Allah sendiri. Jika akal bertentangan dengan hokum syara’, akal harus
tunduk pada hokum syara’, bukan sebaliknya. Akal tidak berstatus sebagai penguasa terakhir
untuk menetapkan kewajiban manusia dan agama. Dasar kewajiban haruslah berasal dari
wahyu dan bukan dari akal.

Tentang Sunnah Rasul, Al-Maturidi mengakui sebagai salah satu sumber pengetahuan.
Akan tetapi dalam hal ini, ia menekankan perlunya sikap kritis terhadap isi (matan) dan

18
rangkaian periwayat (sanad) Sunnah Rasul tersebut. Menurut Al-Maturidi, akal dapat
mengetahui tentang kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi yang buruk.

Tentang pemikiran Teologi, Al-Maturidi meletakkannya pada dua dasar, yaitu: tanzih
dan hikmah. Prinsip dasar tanzih (freedom from similitude) yaitu pembebasan dari persamaan
rupa atau bentuk bagi Tuhan. Sedangkan prinsip dasar hikmah (divine wisdem) yaitu hikmah
atau kebijaksanaan Tuhan. Prinsip dasar tanzih pada hakikatnya bertolak dari dan bersumber
pada tauhid atau ke-Maha Esaan Allah. Karenanya semua masalah teologi haruslah
mencerminkan dan berpegang teguh akan ke Maha Esaan Allah.

Dalam hubungan ini, Al-Maturidi menjelaskan tentang masalah-masalah pokok


teologinya sebagai berikut: karena akal dapat mencapai pengetahuan akan kewajiban
mengetahui Allah, iman bukanlah sekedar pembenaran (tasdiq) tentang adanya Allah semata,
tetapi haruslah lebih dari itu, yaitu ma’rifat atau amal dalam arti mengetahui Allah dengan
segala sifat-sifatnya. Tuhan mempunyai sifat, dan sifat-sifat Tuhan bukanlah berarti Zat Tuhan,
tetapi juga tidak lain dari Tuhan. Jika dikatakan Tuhan Maha mengetahui, artinya bahwa Tuhan
mengetahui bukanlah dengan Zatnya, akan tetapi dengan pengetahuan-Nya.

Tentang at Tasybih atau at-Tajsim (anthropomorphisme) ditolah oleh Al-Maturidi.


Karena menurutnya faham menyerupakan Tuhan dengan makhluk, berarti telah menodai ke
Maha Esaan Allah, yang berarti pula faham tersebut bertentangan dengan akal. Yang dimaksud
dengan at-Tasybih atau at-Tajsim, yaitu penggambaran Tuhan dengan makhluk misalnya
bahwa Tuhan dinyatakan mempunyai wajah, tangan, mata, dan sebagainya sebagaimana yang
dimiliki oleh makhluk. Menurut Al-Maturidi, kata wajah, tangan, mata, dan lain-lainnya itu
dikaitkan dengan Allah dalam Alquran, haruslah dita’wilkan dan diartikan secara kiasan
(majasi). Bahkan ayat yang berbunyi “Nahwu aqrabu ilayahi min hablilwarid” (Q.S. Qaf, ayat
16), secara harfiah bermakna Kami (Tuhan) lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,
haruslah difahami sebagai pertanda akan ke Maha Sempurnaan kekuasaan Allah SWT.

Menurut Al-Maturidi, Tuhan dapat dilihat, karena Tuhan mempunyai wujud. Yang
tidak dapat dilihat adalah yang tidak berwujud. Setiap yang berwujud pasti dapat dilihat, dan
karena Tuhan berwujud maka Tuhan pasti dapat dilihat. Di samping itu, Tuhan Maha Melihat
segala apa yang ada, termasuk diri-Nya sendiri. Dalam Alquran Tuhan berfirman yang artinya:
“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka
melihat”. (Q. S. Al-Qiyamah, ayat 22 dan 23).

19
Tentang Alquran, Al-Maturidi berpendapat bahwa ia merupakan sifat Allah. Karena
Alquran adalah kalam Allah dalam arti makna yang melekat pada Zat Allah dan bukanlah yang
tersusun dari huruf dan kata-kata. Karena Alquran adalah sifat Allah, maka Alquran Qodim
bukan huruf dan kata-katanya, tetapi maknanya. Meskipun Alquran itu Qodim dan tidak
terpisah dari esensi Allah, tetapi Alquran tidak identik dengan Allah. Yang tersusun dalam
bentuk huruf dan kata-kata adalah baru (tidak qadim), dan semua yang baru tidak melekat pada
yang qadim.

Mengenai hikmah, Al-Maturidi menjelaskan: bahwa yang dimaksud dengan hikmah


adalah kebijaksanaan Tuhan dalam arti perpaduan dua keadaan yang disebut ‘Adil (justice) dan
Fadl (rahmat dan utama). Tuhan memiliki kekuasaan absolut, namun keabsolutan-Nya itu
bukanlah sebagai subyek yang terdapat pada kaidah-kaidah hukum yang berada di luar,
melainkan berada pada kebijaksanaan-Nya juga.

Al-Maturidi menjelaskan tentang masalah-masalah teologi sebagai berikut: Kekuasaan


dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh batasan-batasan yang telah ditetapkan Tuhan sendiri,
dan ditentukan batasan-batasan tersebut atas dasar kebijaksanaan Tuhan sendiri. Di antara
batasan-batasan yang telah diciptakan Tuhan adalah kebebasan untuk manusia berupa
perbuatan dalam arti menggunakan daya, dan kehendak dalam arti memilih apa yang baik dan
yang buruk. Meskipun dinyatakan bahwa Tuhan telah menciptakan batasan-batasan terhadap
diri-Nya, namun Tuhan tidak dipaksa atau terpaksa berbuat, sebab Tuhan bebas memilih,
berkehendak dan berbuat apa yang diinginkan-Nya. Hal yang mendorong Tuhan menciptakan
batasan-batasan terhadap diri-Nya tidak berasal dari luar diri-Nya, tetapi berasal dari sifat
kebijaksanaan-Nya.

Allah menciptakan segala sesuatu termasuk di dalamnya perbuatan manusia. Hal ini
tercermin dalam firman Allah yang menyatakan “Wallahu Khaaqakumwa ma ta’maluun” (Q.
S. As-Saffat ayat 96), artinya: “Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”. Namun
atas dasar kebijaksanaan Tuhan, maka Tuhan menciptakan kebebasan untuk manusia berupa
perbuatan agar dapat menggunakan daya dan kehendak dalam hal memilih yang baik dan yang
buruk. Dalam hubungan ini Harun Nasution menyatakan, Al-Maturidi mengambil jalan tengah
antara faham Qadariyah dan Jabariyah.

Tentang keadilan Tuhan, Al-Maturidi berpendapat di antara yang membatasi kekuasaan


dan kehendak mutlak Tuhan adalah adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan terhadap
manusia, sekurang-kurangnya berupa kewajiban untuk menepati janji-janji-Nya tentang pahala

20
dan siksa. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa kewajiban Tuhan itu datangnya bukanlah berasal
dari luar diri Tuhan, tetapi berasal dari Tuhan sendiri, dan kewajiban bagi Tuhan itu diciptakan
atas kewajiban untuk menepati janji-janji-Nya tentang adanya pahala dan siksa, sedangkan
manusia oleh Tuhan diberikan kebebasan menggunakan daya dan memilih antara yang baik
dan yang buruk, dengan demikian Tuhan bersifat Adil. Jadi karena Tuhan Maha Bijaksana,
berarti Tuhan Maha Adil. Dan karena Tuhan bersifat adil, tidak mungkin ada suatu beban yang
diberikan kepada manusia yang berada di luar kemampuan daya manusia.

Tentang orang yang beriman dan berdosa besar, Al-Maturidi berpendapat: orang yang
beriman dan yang berdosa besar tetap dinyatakan sebagai orang mu’min. Adapun bagaimana
nasibnya kelak di akherat, terserah kepada kehendak Tuhan.

Sekte-sekte dalam Maturidiyah:

Berdasarkan beberapa referensi yang kami peroleh, aliran Maturidiyah dapat


digolongkan menjadi dua bagian yaitu:

1. Golongan Samarkand

Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Maturidiyah sendiri. Golongan


ini cenderung ke arah paham Mu’tazilah, mengenai sifat-sifat Tuhan. Menurut Maturidi, Tuhan
mempunyai sifat-sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan zat-Nya, melainkan dengan
pengetahuan-Nya. Begitu juga Tuhan berkuasa bukan dengan zat-Nya.

Bagi Maturidiyah Samarkand, iman tidaklah cukup dengan tashdiq, tetapi harus dengan
ma’rifah pula. Tidak akan ada tashdiq kecuali setelah ada ma’rifah. Jadi, ma’rifah
menimbulkan tashdiq. Iman versi Maturidiyah Samarkand adalah mengetahui Tuhan dalam
ketuhanan-Nya. Ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dengan segala sifat-Nya dan Tauhid
adalah mengetahui Tuhan dalam Keesaan-Nya. Qadir adalah mengetahui Tuhan dalam
kekuasan-Nya

Golongan ini tidak mendapat kesulitan dalam memecahkan persoalan keadilan.


Baginya, perbuatan manusia itu dikendaki oleh manusia sendiri dan dia dihukum atas perbuatan
yang dilakukannya atas dasar kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya. Tuhan hanya
membalas perbuatan baik dengan pahala dan membalas perbuatan jahat dengan siksa.

21
2. Golongan Bukhara

Golongan Bukhara di pimpin oleh Abu al-Yusr Muhammad Al-bazdawi. Yang


dimaksud golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran
Maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Asy’ari.
Namun, walaupun sebagai aliran Maturidiyah, Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan
Maturidiyah. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagian umat Islam yang
bermazhab Hanafi.

Golongan bukhara berkeyakinan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban-


kewajiban karena akal hanya mampu mengetahui sebab kewajiban Tuhan.

Persamaan dan Perbedaan Maturidiyah Samarkand dan Bukhara:

Setelah Maturidiyah terpecah menjadi dua bagian, yakni aliran Samarkand dan
Bukhara, ajaran aliran maturidiyah mengalami perbedaan dan ada juga yang sama di antara ke
dua aliran ini, yakni sebagai berikut:

1. Mengenai pelaku dosa besar

Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa


pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun
balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia
meninggal tanpa taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada
kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan
memasukkannya keneraka, tetapi tidak kekal di dalamnya.

2. Mengenai Iman dan Kufur

Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah
tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan, di mana suatu penegasan bahwa
keimanan itu tidak cukup hanya perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu.Apa yang di
ucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui
ucapan lidah.

22
Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al-Bazdawi
menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tidak bisa bertambah dengan adanya ibadah-
ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa
ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang,
esensi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan
kehadiran bayang-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah.

3. Mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia


a. Mengenai perbuatan Tuhan

Mengenai perbuatan Allah SWT ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah
Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand
sebagai kewajiban Tuhan. Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan tentang pengiriman rasul,
sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat
wajib dan hanya bersifat mungkin saja.

b. Mengenai perbuatan Manusia

Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara mengenai


perbuatan manusia. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah
Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam
arti kiasan, maksudnya daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama
dengan perbuatannya. Sedangkan Maturidiyah Bukhara memberikan tambahan dalam masalah
daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat
mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan bagi-
Nya.

4. Mengenai sifat-sifat Tuhan.

Maturidiyah Bukhara berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani.Ayat-


ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi
ta’wil.

Sedangkan golongan Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak
lain dari Tuhan. Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan
menghadapi jasmani ini, al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka,
mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.

23
5. Mengenai kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan.

Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan


Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik dan tidak mampu
untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.
Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Tuhan
berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang
menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.

24
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan – persoalan teologi yang
lebih mendalam dan bersifat filosofis. Golongan ini dikenal sebagai kelompok rasionalis,
karena mereka memberikan peran dan fungsi yang sangat besar kepada akal dalam kehidupan
manusia. Tokoh utama aliran Mu’tazilah ini yakni Wasil bin Atha’. Dalam pemikirannya
mereka merumuskan lima prinsip ajaran yang mereka sepakati yaitu: tauhid, adil, janji dan
ancaman, tempat di antara dua tempat dan amar ma’ruf nahi mungkar.

Asy’ariyah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam periode klasik yang namanya
dinisbatkan kepada nama pendirinya yaitu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Dalam belajar
agama, Al-Asy’ari mula-mula berguru kepada Abu Ali al-Jubba’i seorang pemuka Mu’tazilah.
Akan tetapi, pada usia 40 tahun ia menyatakan diri keluar dari Mu’tazilah, karena ia mengalami
berbagai keraguan dan tidak puas terhadap doktrin-doktrin Mu’tazilah.

Sedangkan Maturidiyah didirikan oleh al-Maturidi, nama lengkapnya Abu Mansur


Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi. Ia dilahirkan di Maturid. Tahun
kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H
dan wafat pada tahun 333 H. Doktrin teologi Maturidiyah antara lain tentang sifat Tuhan,
kewajiban mengetahui Tuhan, perbuatan manusia, kebaikan dan keburukan dapat diketahui
dengan akal, hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan, pelaku dosa besar dan melihat Tuhan.

B. SARAN

Dalam penyusunan makalah ini, saya selaku pemakalah sangat menyadari kekurangan
yang baik dalam aspek penulisan maupun isi dari makalah. Oleh karena itu, saya selalu terbuka
atas kritik dan saran yang membangun. Hal tersebut sangat penting karena bertujuan untuk
mengembangkan pengetahuan baik bagi penulis maupun pembaca. Kritik dan saran tersebut
bisa dijadikan pembanding untuk menghasilkan karya yang lebih baik.

25
DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedi Islam Di Indonesia, Jilid 2. Departemen Agama R.I.


Perguruan Tinggi Agama /IAIN Jakarta. 1992/1993.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedia Islam, Jilid I.


Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.

Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), Jilid I. penerjemah


Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999.

Abdul Mun’im Al-Hafni,. Ensiklopedia:Golongan, Kelompok,


Aliran, Partai dan Gerakan islam seluruh dunia, cet.II. penerjemah Muhtarom
dan Tim Grafindo, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2009.

Syahrir dan Hasan Bakti Nasution Harahap,. Ensiklopedia Akidah


Islam, cet; II. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

26

Anda mungkin juga menyukai