Husnaini
Abstract
Ketidakragaman pendapat antara imam mazhab terhadap
hukum membaca fatihah bagi makmum dalam shalat jihad
antara Syafi’i dan Hanafi semakin tajam diperbincangkan
dalam masyarakat, karena terjadi multi pemahaman
terhadap surat Al-‘Araf Ayat 204. Maka penulis tertarik
untuk mengkaji bagaimana hukum membaca surat Al-
Fatihah bagi makmum dalam shalat jihad menurut mazhab
Syafi’i dan Hanafi. Untuk menjawab pertanyaan ini penulis
menggunakan metode kualitatif dengan cara analisis
komparatif dan bila ditinjau dari segi pendekatan data
penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library
research) dengan hasil penelitian pertama: dalam Mazhab
Syafi’i hukum membaca surat Al-Fatihah bagi makmum
dalam shalat jihad adalah wajib, sedangkan dalam mazhab
Hanafi tidak wajib, sedangkan penulis condong kepada
Mazhab Syafi’i.
Artinya: Perjanjian antara kita (orang Islam) dan diantara mereka (orang
kafir) adalah shalat, maka barang siapa yang meninggalkan shalat,
maka sesungguhnya dia itu kafir.
Hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani yang artinya: jangan kamu
meninggalkan shalat dengan sengaja, maka sesungguhnya orang yang
meninggalkan shalat secara sengaja, maka sungguh dia itu kafir.
Berdasarkan hadis yang tersebut diatas, maka shalat tidak boleh
ditinggalkan, adapun persoalan dalam hadis orang yang meninggalkan shalat
disebut kafir, para ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan kafir
artinya kufur nikmat, ada yang mengatakan kafir, mati dalam keadaan kafir
dan ada pula yang mengatakan kafir yang sebenarnya.
Adapun imam Syafi’i orang yang meninggalkan shalat tidak dihukum
kafir, selama dia masih mengi’tiqadkan bahwa shalat itu wajib, akan tetapi
kapan dia dihukum kafir kalau dia tidak melaksanakan shalat dan
mengi’tiqadkan shalat itu tidak wajib.
Shalat adalah ibadah yang dianjurkan untuk berjamaah ada yang
mengatakan berjamaah fardhu ‘ain bagi laki-laki, ada pula yang mengatakan
berjamaah adalah fardhu kifayah, ada yang mengatakan berjamaah adalah
shalat untuk sahnya shalat, dan dalam mazhab Syafi’i hukum berjamaah
adalah sunat yang sangat dikuatkan.
Adapun yang menjadi pembahasan kita adalah pemahaman surat Al-
a’raf ayat 204:
Artinya: “Dan apabila dibacakan Al-Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (Q.S. Al-
a’raf : 204).
Berangkat dari ayat tersebut, maka apabila imam membaca fatihah
dan ayat pada rakaat pertama dan rakaat kedua dalam shalat jihad, makmum
harus mendengar, diam dan sekaligus menjadi larangan bagi makmum untuk
membaca fatihah, ini yang menjadi pembicaraan ditengah-tengah masyarakat,
bahkan sudah ada pemahaman sebahagian masyarakat kalau makmum masih
tetap membaca fatihah dalam rakaat pertama dan rakaat kedua dalam shalat
jihad dianggap melanggar nash yang qath’i yaitu Al-quran.
Oleh karena al-Fatihah satu Surat yang menjadi rukun (tiang)
sembahyang, baik sembahyang fardhu yang lima waktu, ataupun sekalian
sembahyang yang sunat dan nawafil, maka dalam hal ini tidaklah cukup kalau
kita hanya sekedar menafsirkan arti surat Al-‘araf ayat 204, melainkan kita
pelengkap lagi dengan hukum atau sunnah Nabi sebagaimana yang telah
diatur dalam syariat.
1Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 1,
hal. 17.
2Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin), Lubab at-Ta’wil fi
3Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut:
4Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim,(Beirut: Dar
Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran wa as-Sab’i
6
Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim, Shahih Ibn Hibban, (Beirut: Muassasah
7
8Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fi al-Bukhari, Al-
Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H), juz 12,
hal. 450.
10 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang CV. Asy-Syifa’ (Q.S.
Al-a’raf : 204)
11 Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cet. ketiga, 1426, 23/265-268
d. Selain itu, ada juga ulama yang menganggap ayat tersebut khusus buat
orang kafir. Pemahaman seperti ini dapat terjelaskan dari
ilmu manâsabât (korelasi) antar ayat. Imam Fakhruddîn ar-Râzî
menjelaskan bahwa besar kemungkinan ayat tersebut ditujukan kepada
orang kafir. Hal ini dapat dibuktikan dari ayat sebelumnya, yakni ayat 203,
yang berbicara tentang orang kafir yang meminta kepada Nabi Muhammad
untuk mendatangkan mukjizat. Lalu Nabi menjelaskan bahwa dia hanya
mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya berupa Alquran, maka ketika
Alquran dibacakan, diam dan dengarkanlah baik-baik, supaya kamu tahu
bahwa Alquran itu sendiri adalah mukjizat dari Allah SWT.
c. Kitab Al Jaami’ul Kabir (Himpunan Besar). Kitab ini sama dengan Al-
Jaami’ush Shaghir hanya uraiannya lebih luas.
d. Kitab As-Sairu Al-shaghir (sejarah hidup kecil). Berisi tentang jihad
(hukum perang)
e. Ktab As-Sairul Kabiir (sejarah hidup besar). Berisi masalah-masalah fiqih
yang ditulis oleh Muhammad bin Hasan
f. Kitab Az-Ziyaadat.13
Keenam buku tersebut dikumpulkan dalam Mukhtashar al-Kafi yang
disusun oleh Abu Fadhal Al-Muruzi.14
2. Tingkat kedua ialah kitab Masaa-ilun Nawadhir (persoalan langka)
Merupakan persoalan yang diriwayatkan dari pada pemuka mazhab di
atas, tetapi tidak diriwayatkan dalam buku-buku yang sudah disebut tadi,
diriwayatkan dalam buku-buku lain yang ditulis oleh Muhammad,
seperti Al-Kisaniyat, Al-Haruniyyat, Al-Jurjaniyyat, Al-Riqqiyyat, Al-Makharij
Fil Al-Hayil dan Ziyadat Al Ziyadat yang diriwayatkan oleh Ibnu Rustam.
Buku-buku tersebut termasuk buku mengenai fiqih yang diimlakan
(didiktekan) oleh Muhammad. Riwayat seperti itu juga disebut ghair zhahir
al-riwayah karena pendapat-pendapat itu tidak diriwayatkan dari
Muhammad dengan riwayat-riwayat yang zhahir (tegas) kuat, dan shahih
seperti buku-buku pada kelompok pertama.15
3. Tingkat yang ketiga dinamakan Al-Fataawa Al-Waaqi’aat (kejadian dan
fatwa)
Merupakan kumpulan pendapat sahabat-sahabat dan murid-murid Imam
Abu Hanifah. Buku pertama mengenai al-Fatawa ialah Al-Nawazil ditulis
oleh Faqih Abu Laits Al-Samarqandi. Setelah itu sekelompok syaikh
menulis buku yang lain seperti Majmu’ al-Nawazil wa al-Waqiat yang
ditulis oleh Al-Nathifi dan Al-Waqiat yang ditulis oleh Shadr A-Syahid Ibnu
Mas’ud.16
14Wahbah Zahayly, Al Fiqh Al Islami Wa’adillatuh, (Terj) Agus Efendi, Bahrudin Fanani,
Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung : Remaja Rosdakarya,1995, cet. Pertama, hal.53
15Ibid, hal.53
16Ibid, hal.54
dan Imam Awaluddin dengan judul Biografi 10 Imam Besar, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, C.
ke 3, h. 59-65. Lihat juga M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada,
2002, h. 203-4.
18Abdul Azis Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, artikel "Asy-Syafi'i", Imam"
20Saifudin Nur, Ilmu Fiqh Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam,Bandung:
21Muhammad Ali As-Sayis, Tārikh al-Fiqh al-Islāmi, diterjemahkan oleh Nurhadi Aga
dengan judul Sejarah Fikih Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003, C. Ke I, h. 156-7.
Selain mereka berdua, murid-murid Imam Syafi'i yang lain, yaitu ar-Rabi'
Ibn Sulaiman al-Marawi, 'Abdullah Ibn Zubair al-Hamidi. Abu Ibrahim,
Yunus Ibn Abdul a'la as-Sadafi, Ahmad Ibn Sibti, Yahyah ibn Wazir al-Misri,
Harmalah Ibn Yahya Abdullah at-Tujaidi, Ahmad Ibn Hanbal, Hasan Ibn 'Ali
al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim Ibn Khalid Yamani al-Kalbi serta Hasan Ibn
Ibrahim Ibn Muhammad as-Sahab az-Za'farani.23
d. Karya-Karya Imam Syafi'i
Adapun beberapa kitab fikih karangan Imam Syafi'i, seperti kitab al-
Ummdan al-Risālah yang merupakan rujukan utama para ulama mazhab syafi'i
dalam fikih dan ushul fikih. Selama itu, kitab lain karangan Imam Syafi'i
seperti al-Musnad yang merupakan kitab hadis Nabi SAW yang dihimpun
dari al-Umm, sertaikhtilāf al-Hadīś, yaitu kitab yang menguraikan pendapat
Imam Syafi'i mengenai perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam hadis.24
Beberapa kitab kaidah fikih Imam Syafi'i yang dikarang oleh ulama-
ulama bermazhab Syafi'i antara lain :
1) Qawā'id al-ahkam fī Maşālih al-Anam karya Ibnu 'Abdulsalam (wafat
660 H)
2) Al-Asybah wa al-Nazā'ir karya Ibnu Wakil (wafat 716 H)
3) Al-Asybah wa al-Nazā'ir karya Taj al-Din al-Subki (wafat 771 H)
4) Al-Asybah wa al-Nazā'ir karya Ibnu al-Mulaqqin (wafat 804 H)
5) Al-Asybah wa al-Nazā'ir karya Jalaluddin as-Suyuthi (wafat 911 H).
22Ibid, h. 157. Lihat juga Abu Amenah Bilal Philips, The Evolution of Fiqh: Islamic Law and
the Madhabs, diterjemahkan oleh Muhammad Fauzi Arifin, dengan Judul Asal Usul dan
Perkembangan Fiqih, Bandung: Nusa Media dan Nuansa, 2005, C. ke I, h. 113.
23Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, artikel "Syafi'i, Imam", Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2001, Jilid 4, C. ke 5, h. 329. Bandingkan dengan Rasyad Hasan Khalil, Tārikh al-
Tasyrī’ al-Islāmi, diterjemahkan oleh Nadirsyah Hawari dengan judul Tarikh Tasyri’, Sejarah
Legislasi Hukum Islam, Jakarta; Amzah, 2009, h. 188.
24Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja
25Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja
Ilmu, 1997), h. 95
al-Hadits, tetapi dalam bidang fiqih banyak terpengaruh oleh kelompok “Ahl
al-Ra’yu” dengan melihat metode penerapan hukum yang beliau pakai.
Bantahan Imam Syafi’i kepada orang yang mengingkari sunnah
sebagai hujjah.
1. Allah telah mewajibkan kita untuk mengikuti sunnah Rasulullah dan
menyuruh kita mematuhi perintah dan menjauhi larangannya.
2. Tidak ada cara lain bagi kita untuk menaati perintah Allah tersebut kecuali
dengan mengamalkan apa yang datang dari Rasulullah dengan lapang dada
dan bersih hati dari keinginan untuk menolaknya, serta pasrah pada
perintah dan hukum-hukumnya.
3. Seorang muslim membutuhkan sunah Rasulullah untuk menjelaskan
globalitas isi Al-Qur’an.
Pandangan Imam Asy-Syafi’i tentang hadits Ahad, Hadits Ahad adalah
hadits yang tidak memenuhi semua atau sebagian syarat –syarat hadits
mutawattir. Yaitu diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat dan
logika mereka tidak mungkin berdusta, dan diriwayatkan dari orang banyak
dan menyandarkan hadis kepada sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera.
27Muhammad Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1996, C ke I, h. 113-9. Lihat juga Muhammad Ali as-Sayis, Tarikh, h. 155. Lihat
Khudhari Beik, Tārikh al-Tasyrī’ al-Islāmi, diterjemahkan oleh M. Zuhri dengan judul Tarjamah
Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Semarang; Daarul Ihya, t.th., h. 436-7.
29 HR. Ahmad Bin Hambal: Abu ‘Abd Allah Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal
Bin Asad Al-Syibany. Musnad Al-Imam, Ahmad Bin Hambal, Berikut: Mu’assasah El-Risalah,
1421 H/2001 M, Cet. 1, Vol Ix, P. 342.
2. Mazhab Hanafi
Membaca surat Al-fatihah dalam sholat fardu tidak diharuskan, dan
membaca bacaan apa saja dari Al-Qur’an itu boleh.32 Berdasarkan Al-Qur’an
surat Al-Muzammil ayat 26.
Artinya: “...Bacalah apa yang (mudah bagimu) dari Al-Qur’an...(Q.S Al-
Muzzammil: 20).
Membaca Al-fatihah itu hanya diwajibkan dua rakaat pertama,
sedangkan pada rakaat ketiga pada shalat magrib, dan pada dua rakaat
terakhir pada shalat isya’ dan Ashar maka bacalah, jika tidak, bacalah tasbih,
atau diam.
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari
surat. Dan tidak disunahkan membaca dengan keras atau pelan (sir). Orang
yang sholat sendiri ialah boleh memilih apakah mau didengar sendiri
(membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca
dengan keras) dan bila suka dibaca secara sembunyi-sembunyi, bacalah
dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir.
Sedangkan menyilangkan dengan dua tangan adalah sunnah bukan wajib. Bagi
laki-laki adalah lebih utama meletakkan telapak tangannya yang kanan diatas
belakang telapak tangan yang kiri dibawah pusarnya, sedangkan bagi wanita
yang lebih utama adalah meletakan dua tangannya diatas dadanya.
Jadi, menurut mazhab Imam Hanafi tentang membaca surat Al-fatihah
adalah: Imam Hanafi: “Sesungguhnya bacaan Al-fatihah bagi makmum
dibelakang imam adalah makruh dan bisa berdosa baik dalam shalat
berjamaah Sirriyyah (zuhur dan Ashar) ataupun jahriyah (subuh, magrib dan
isya) karena banyaknya hadis-hadis yang diriwayatkan mengenai
pengalamanpelarangan membaca apapun bagi makmum yang berjamaah”.
C. Analisa Penulis
Wajib atas orang-orang yang mengerjakan shalat, baik sendirian
maupun imam, bahwa ia membaca Ummul Qur’an pada setiap raka’at, dan
tidak memadai yang lain. Apabila ditinggalkan satu huruf dari Ummul Qur’an,
karena lupa atau lalai niscaya tidak dihitung raka’at itu. Karena orang yang
meninggalkan satu huruf dari Ummul Qur’an niscaya tidak dinamakan orang
yang membaca Ummul Qur’an dengan sempurna.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai data dan referensi yang peneliti perolehi sebagaimana
yang sudah dipaparkan sebelumnya, disini dapatlah kesimpulan bahwa :
1. Mazhab As-syafi’iyah mewajibkan makmum dalam shalat jama’ah untuk
membaca surat Al-fatihah sendiri meskipun dalam shalat jahriyah (yang
dikeraskan bacaan imamnya). Tidak cukup hanya mendengarkan bacaan
imam saja. Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca
surat Al-fatihah gugur dalam kasus seseorang makmum yang tertinggal
dan mendapati imam sedang ruku’ (masbuk). Maka saat itu yang
bersangkutan ikut ruku’ bersama imam dan sudah terhitung mendapat
satu rakaat.Membaca Al-fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada
bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir,
baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah.
2. Dalam Mazhab Hanafi Membaca surat Al-fatihah dalam shalat fardhu
tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Qur’an itu boleh
membaca Al-fatihah itu hanya diwajibkan dua rakaat pertama, sedangkan
pada rakaat ketiga pada shalat magrib, dan pada dua rakaat terakhir pada
shalat isya’ dan Ashar maka bacalah, jika tidak, bacalah tasbih, atau diam.
Jadi, menurut mazhab imam Hanafi tentang membaca surat Al-fatihah
adalah: Imam Hanafi: “Sesungguhnya bacaan Al-fatihah bagi makmum
dibelakang imam adalah makruh dan bisa berdosa baik dalam shalat
berjamaah Sirriyyah (zhuhur dan ashar) ataupun jahriyah (subuh, magrib
dan isya) karena banyaknya hadis-hadis yang diriwayatkan mengenai
pengalamanpelarangan membaca apa pun bagi makmum yang
berjamaah”.
B. Rekomendasi
1. Diharapkan kepada pemuka agama, jangan mempertajam khilafiah
ditengah umat karena dapat meresahkan dan mengganggu persatuan
umat.
2. Karena Aceh pada umumnya bermazhab Syafi’i, maka diajarkan
kepada masyarakat apa yang sesuai dengan Mazhab Syafi’i supaya
masyarakat tidak bingung dan bimbang dalam melaksanakan ibadah
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abû Bakar Muhammad bin Abdullâh (Ibn al-`Arabî), Tafsîr Ahkâm al-Qur’ân,
Bairut: Dâr al-Jail, tt.
Abû Laits Nashr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrâhîm as-Samarqandî (w.
375 H), Tafsîr as-Samarqandî al-Musammâ bi Bahr al-`Ulûm, Bairut:
Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1993.
Dahlan, Abdul Azis (et.al), 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, artikel "Asy-Syafi'i",
Imam", Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996,
HR. Ahmad Bin Hambal: Abu ‘Abd Allah Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal
Bin Hilal Bin Asad Al-Syibany, 1421 H/2001 M, Musnad Al-Imam
Ahmad Bin Hanbal, Cet. 1, Beirut: Mu’assasah El-Risalah.
Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-
Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994).
Mubarok, Jaih, 2002, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan
Qaul Jadid, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada.
_____, 2000, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Nur, Saifudin, Ilmu Fiqh Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam,
Bandung: Tafakur, 2007
Philips, Abu Amenah Bilal, 2005, The Evolution of Fiqh: Islamic Law and the
Madhabs, diterjemahkan oleh Muhammad Fauzi Arifin, dengan
JudulAsal Usul dan Perkembangan Fiqih, Bandung: Nusa Media dan
Nuansa, 2005
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, artikel "Syafi'i, Imam", Jilid 4, Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 2001