Anda di halaman 1dari 26

Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat Jihar Dalam Perspektif Mazhab

Syafi’i Dan Hanafi 73

HUKUM MEMBACA SURAT AL-FATIHAH BAGI MAKMUM


DALAM SHALAT JIHAR DALAM PERSPEKTIF
MAZHAB SYAFI’I DAN HANAFI
(Kajian Terhadap Surat AL-A’raf Ayat 204

Husnaini

Abstract
Ketidakragaman pendapat antara imam mazhab terhadap
hukum membaca fatihah bagi makmum dalam shalat jihad
antara Syafi’i dan Hanafi semakin tajam diperbincangkan
dalam masyarakat, karena terjadi multi pemahaman
terhadap surat Al-‘Araf Ayat 204. Maka penulis tertarik
untuk mengkaji bagaimana hukum membaca surat Al-
Fatihah bagi makmum dalam shalat jihad menurut mazhab
Syafi’i dan Hanafi. Untuk menjawab pertanyaan ini penulis
menggunakan metode kualitatif dengan cara analisis
komparatif dan bila ditinjau dari segi pendekatan data
penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library
research) dengan hasil penelitian pertama: dalam Mazhab
Syafi’i hukum membaca surat Al-Fatihah bagi makmum
dalam shalat jihad adalah wajib, sedangkan dalam mazhab
Hanafi tidak wajib, sedangkan penulis condong kepada
Mazhab Syafi’i.

A. Latar Belakang Masalah


Shalat adalah Rukun Islam yang kedua setelah syahadat, sebagaimana
yang sudah dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Islam itu dibangun atas lima
dasar, pertama: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi
bahwa sesungguhnya Muhammad itu Rasulullah, kedua: mendirikan shalat,
ketiga: puasa, keempat: Zakat, kelima: haji.
Shalat juga tiang agama, maka barang siapa yang mendirikan shalat,
maka dia telah menegakkan agama, dan barang siapa yang meninggalkan
shalat maka dia telah meruntuhkan agama.
Shalat adalah sebagai perbedaan antara orang Islam dengan orang kafir,
sebagaimana dijelaskan di dalam hadis:
ِ
‫مسلمرواه )الكفرالصالةولرجالابينبني‬،‫ابوداود‬, ،‫جمهابننساءترمذى‬ (
Artinya: Perbedaan antara seseorang dengan kafir adalah shalat.
Dan hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad adalah :
‫كفرفقدتركهافمنالصالةبينهموبينناالذىلعحدا‬

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


74 Husnaini

Artinya: Perjanjian antara kita (orang Islam) dan diantara mereka (orang
kafir) adalah shalat, maka barang siapa yang meninggalkan shalat,
maka sesungguhnya dia itu kafir.
Hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani yang artinya: jangan kamu
meninggalkan shalat dengan sengaja, maka sesungguhnya orang yang
meninggalkan shalat secara sengaja, maka sungguh dia itu kafir.
Berdasarkan hadis yang tersebut diatas, maka shalat tidak boleh
ditinggalkan, adapun persoalan dalam hadis orang yang meninggalkan shalat
disebut kafir, para ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan kafir
artinya kufur nikmat, ada yang mengatakan kafir, mati dalam keadaan kafir
dan ada pula yang mengatakan kafir yang sebenarnya.
Adapun imam Syafi’i orang yang meninggalkan shalat tidak dihukum
kafir, selama dia masih mengi’tiqadkan bahwa shalat itu wajib, akan tetapi
kapan dia dihukum kafir kalau dia tidak melaksanakan shalat dan
mengi’tiqadkan shalat itu tidak wajib.
Shalat adalah ibadah yang dianjurkan untuk berjamaah ada yang
mengatakan berjamaah fardhu ‘ain bagi laki-laki, ada pula yang mengatakan
berjamaah adalah fardhu kifayah, ada yang mengatakan berjamaah adalah
shalat untuk sahnya shalat, dan dalam mazhab Syafi’i hukum berjamaah
adalah sunat yang sangat dikuatkan.
Adapun yang menjadi pembahasan kita adalah pemahaman surat Al-
a’raf ayat 204:

Artinya: “Dan apabila dibacakan Al-Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (Q.S. Al-
a’raf : 204).
Berangkat dari ayat tersebut, maka apabila imam membaca fatihah
dan ayat pada rakaat pertama dan rakaat kedua dalam shalat jihad, makmum
harus mendengar, diam dan sekaligus menjadi larangan bagi makmum untuk
membaca fatihah, ini yang menjadi pembicaraan ditengah-tengah masyarakat,
bahkan sudah ada pemahaman sebahagian masyarakat kalau makmum masih
tetap membaca fatihah dalam rakaat pertama dan rakaat kedua dalam shalat
jihad dianggap melanggar nash yang qath’i yaitu Al-quran.
Oleh karena al-Fatihah satu Surat yang menjadi rukun (tiang)
sembahyang, baik sembahyang fardhu yang lima waktu, ataupun sekalian
sembahyang yang sunat dan nawafil, maka dalam hal ini tidaklah cukup kalau
kita hanya sekedar menafsirkan arti surat Al-‘araf ayat 204, melainkan kita
pelengkap lagi dengan hukum atau sunnah Nabi sebagaimana yang telah
diatur dalam syariat.

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat Jihar Dalam Perspektif Mazhab
Syafi’i Dan Hanafi 75

II. LANDASAN TEORI


A. Surat Al-Fatihah dan Filosofis Penamaannya
Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan menurut mayoritas ulama
diturunkan di Mekkah.1 Namun menurut pendapat sebagian ulama, seperti
Mujahid, surat ini diturunkan di Madinah. Menurut pendapat lain lagi, surat ini
diturunkan dua kali, sekali di Mekkah, sekali di Madinah.2 Ia merupakan surat
pertama dalam daftar surat Al-Qur’an. Meski demikian, ia bukanlah surat yang
pertama kali diturunkan, karena surah yang pertama kali diturunkan adalah
Surah al-Alaq.3
Surat ini dinamakan al-fatihah (pembuka) karena secara tekstual ia
memang merupakan surat yang membuka atau mengawali Al-Qur’an, dan
sebagai bacaan yang mengawali dibacanya surah lain dalam shalat.4 Selainal-
Fatihah, surat ini juga dinamakan oleh mayoritas ulama dengan Ummul
Kitab.Namun nama ini tidak disukai oleh Anas, al-Hasan, dan Ibnu Sirin.
Menurut mereka, nama Ummul Kitab adalah sebutan untuk al-Lauh al-
Mahfuzh. Selain kedua nama itu di atas, menurut as-Suyuthi memiliki lebih
dari dua puluh nama, di antaranya adalah al-Wafiyah (yang mencakup), asy-
Syafiyah (yang menyembuhkan), dan as-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang
diulang-ulang).5
Dinamakannya Al-Fatihah sebagai Ummul Kitab (Induk Kitab) adalah
karena ia mengandung seluruh tema pokok dalam Alquran, yaitu tema pujian
kepada Allah yang memang berhak untuk mendapatkan pujian, tema ibadah
dalam bentuk perintah maupun larangan, serta tema ancaman dan janji
tentang hari kiamat.6 Dengan kata lain, al-Fatihah mencakup ajaran-ajaran
pokok dalam Islam, yaitu ajaran tentang tauhid, kepercayaan terhadap hari
kiamat, cara beribadah, dan petunjuk dalam menjalani hidup.

1Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 1,
hal. 17.

2Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin), Lubab at-Ta’wil fi

Ma’ani at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), juz 1, hal. 15.

3Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut:

Dar al-Ma’rifah, 1391 H), juz 1, hal. 206.

4Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim,(Beirut: Dar

al-Fikr, 1994), juz 1, hal. 101.

Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi


5

al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz 2, ha. 315.

Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran wa as-Sab’i
6

al-Matsani, juz 1, hal. 35.

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


76 Husnaini

B. Faedah Membaca Surat Al-Fatihah dalam Shalat


Paling tidak ada, ada dua keutamaan Surah al-Fatihah, pertama:
membaca Surah Al-Fatihah adalah salah satu rukun dalam shalat. Dengan
demikian, ia pun selalu dibaca dalam setiap shalat. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi Muhammad SAW:
)‫الكتاببفاحتةيق ٔرامللمنصالةال (رواه ابن حبان‬
Artinya: Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Surah al-Fatihah
(H.R. Ibnu Hibban).7
Keutamaan kedua adalah bahwa al-Fatihah merupakan surat paling
agung dalam Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:

‫ُصِلي قَ َال أَََلْ يَ ُق ْل‬ َ ‫تأ‬


َِّ ‫ول‬
ُ ‫اَّلل إِِِن ُكْن‬ َ ‫ت ََي َر ُس‬ ِ ِ َّ ‫يد ب ِن الْمعلَّى قَ َال ُكْنت أُصلِي فَ َدع ِاِن النَِِّب صلَّى‬
ُ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم فَ لَ ْم أُجْبهُ قُ ْل‬ َ ُّ َ َ ُ
ِِ
َ ُ ْ ‫َع ْن أَِِب َسع‬
‫َخ َذ بَِي ِدي فَ لَ َّما أََرْد ََن أ َْن‬ ِِ ِ ِ ِ ِ ‫َّلل ولِ َّلرس‬
َ ‫ول إِذَا َد َعا ُك ْم} ُُثَّ قَ َال أََال أ َُعل ُم‬
ِِ ِ
َ ‫ك أ َْعظَ َم ُس َورٍة ِِف الْ ُقْرآن قَ ْب َل أَ ْن َ َْتُر َج م ْن الْ َم ْسجد فَأ‬ ُ َ َّ ‫{اسَتجيبُوا‬ ْ ُ‫اَّلل‬ َّ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ِ ‫اْلم ُد ََّّلل ر‬ ِ ِ ِ ِ
‫السْب ُع الْ َمثَ ِاِن َوالْ ُقْرآ ُن الْ َعظ ُيم الَّذي‬
َّ ‫ني ه َي‬ َ ‫ب الْ َعالَم‬ َ ْ َْ ‫َّك أ َْعظَ َم ُس َورٍة م ْن الْ ُقْرآن قَ َال‬ َ ‫ُعل َمن‬َ ‫ت ََل‬ َ ‫اَّلل إِن‬
َ ‫َّك قُ ْل‬ َّ ‫ول‬َ ‫ت ََي َر ُس‬
ُ ‫ََنُْر َج قُ ْل‬
8
.‫أُوتِيتُ ُه‬
Artinya: Dari Abu Sa’id bin al-Mu’alla, ia berkata, Saya sedang shalat, lantas
Nabi SAW memanggilku, dan aku tidak menyahut panggilan beliau.
(Usai shalat), aku pun menemui beliau dan berkata, “Ya, Rasulullah,
saya sedang shalat.” Beliau lalu bersabda, “Bukankan Allah
berfirman: [ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah
dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang
memberi kehidupan kepada kamu (QS. Al-Anfal: 24)?”]Kemudian,
beliau kembali bersabda, “Maukah kau kuajari sebuah surat yang
paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid
nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku.
Tatkala kami sudah hampir keluar masjid, aku pun berkata, “Wahai
Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, ‘Aku akan mengajarimu sebuah
surat paling agung dalam Al Quran?’” Maka beliau bersabda, “(Surat
itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah
As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam
shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.”

C. Kedudukan Fatihah sebagai Rukun Shalat


Oleh karena al-Fatihah satu Surat yang menjadi Rukun (tiang)
sembahyang, baik sembahyang fardhu yang lima waktu, ataupun sekalian
sembahyang yang sunnat dan nawafil, maka dalam hal ini tidaklah cukup

Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim, Shahih Ibn Hibban, (Beirut: Muassasah
7

ar-Risalah, 1993), juz 5, hal. 81.

8Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fi al-Bukhari, Al-

Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H), juz 12,
hal. 450.

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat Jihar Dalam Perspektif Mazhab
Syafi’i Dan Hanafi 77

kalau kita hanya sekedar menafsirkan arti al-Fatihah, melainkan kita


pelengkap lagi dengan hukum atau ketentuan Syariat berkenaan dengan al-
Fatihah.
Segala sembahyang tidak sah , kalau tidak membaca al-Fatihah
tersebut dalam hadis-hadis.Dan hendaklah dibaca pada tiap-tiap rakaat,
karena Hadits :
1. Dari pada Ubadah bin as-Shamit, bahwasannya Nabi s. a. w
berkata: "Tidaklah ada sembahyang (tidak sah sembahyang) bagi siapa yang
tidak membaca Fatihatil Kitab. " 9
2. Dan pada lafadz yang lain: " Tidaklah memadai sembahyang bagi siapa yang
tidak membaca Fatihatil-Kitab." (Dirawikan oleh ad-Daruquthni, dan beliau
berkata bahwa isnad Hadits ini sahih).
3. "Tidaklah diterima sembahyang kalau tidak dibaca padanya UmmulQuran.
" (Dirawikan oleh Imam Ahmad)
4. "Dari Abu Qatadah, bahwasanya Nabi SAW adalah beliau tiap-tiap raka'at
membaca Fatihatil- kitab." (Dirawikan oleh Bukhari)
5. "Dia menyuruh kita supaya membaca al-Fatihah dan mana-mana yang-
mudah. "(dirawikan oleh Abu Daud daripada Abu Said al Khudri).
Berkata Ibnu Sayidin Nas : "Isnad Hadits ini Shahih dan rijalnya semua
dapat dipercaya."
6. "Dari pada Ubadah, berkata dia bahwa satu ketika Rasulullah s. a. w.
Sembahyang Subuh, maka memberati kepadanya bacaan. Maka tatkala
sembahyang telah selesai, berkatalah beliau : Saya perhatikan kamu
membaca. Berkata Ubadah : Kami jawab : Ya Rasulullah, memang kami
membaca. Walloh. Lalu berkata beliau : jangan lakukan itu, kecuali dengan
Ummul Qur'an. Karena sesungguhnya tidaklah sah sembahyang bagi barang
siapa yang tidak membacanya."(Hadits dirawikan oleh Abu Daud dan
Tirmidzi).
Dan sebuah Hadits lagi dari Ubadah juga; dengan lafadz lain:
7. Dari Ubadah bahwasanya Rasulullah s. a. w. pernah berkata: "sekali kali
jangan seorang pun di antara kamu membaca sesuatu dari al-Qur'an,
apabila aku menjahar, kecuali dengan Ummul Qur'an. " (Dirawikan oleh Ad-
Daruquthni)

D. Asbabun Nuzul Surat Al-‘Araf ayat 204


Allah Berfirman:10


9 HR. Al Bukhari 756, Muslim 394

10 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang CV. Asy-Syifa’ (Q.S.

Al-a’raf : 204)

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


78 Husnaini

Artinya: “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan


perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (Q.S.
Al-a’raf : 204).
Sekilas, ayat ini memerintahkan untuk mendengarkan dan
memerhatikan bacaan Alquran. Hal ini berdasarkan pada kata ‫ا ْست َِمعُوا‬
dan ‫صتُوا‬ ِ ‫ أ َ ْن‬dengan menggunakan fi`l amr (kata perintah). Namun, ulama
berbeda pendapat tentang ketegasan, kondisi dan objek perintah dalam ayat
tersebut. Perbedaan itu dapat disimpulkan dalam beberapa poin sebagai
berikut:
a. Banyak ulama memahami ayat di atas secara khusus, yakni mengaitkannya
dengan asbâb an-nuzûl. Dalam hal ini, ada dua kumpulan riwayat yang
menjelaskan tentang sebab turunnya.Pertama, ayat tersebut diturunkan
berkenaan dengan bacaan imam dalam shalat. Artinya, ketika imam
membaca ayat Alquran, makmum harus diam dan mendengarkan.Imam as-
Suyûthi (849-911 H) dalam tafsirnya ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-
Ma’tsûr, menyebukan banyak riwayat menjelaskan hal ini, diantaranya:
ِ ‫ف رس‬
ْ ‫ت ِِف َرْف ِع اَل‬
ِ ِ َ‫القرآ ُن ف‬ ِ ِ ِ
‫ول هللا صلى هللا عليه‬ ُ َ َ ‫ َوُه ْم َخْل‬،‫َص َوات‬ ْ َ‫ نََزل‬:‫ قَ َال‬،‫اسَتم ُعوا لَهُ َوأَنْصتُوا‬
ْ ْ ُ ‫ىء‬ َ ‫ َوإ َذا قُ ِر‬:‫َع ْن أَِِب ُهَر َيرة ِف َقوله‬
َّ ‫وسلم ِِف‬
.‫الصالَة‬
“Dari Abû Hurairah, beliau berkata mengenai ayat, “Apabila dibacakan
Alquran, maka dengarkanlah dan diamlah” (QS. Al-A`râf : 204), ayat ini
turun ketika para jamaah mengangkat suara dibelakang Nabi dalam shalat
(Hadis ini dikeluarkan oleh Ibnu Jarîr, Ibnu Abî Hâtim, al-Baihaqî, dan Ibnu
`Asâkir). Imam Ahmad menerangkan bahwa umat Islam sepakat tentang
surat al-A`râf ayat 204 ini berkenaan dengan bacaan shalat. Bahkan Ibnu
Abbâs pernah ditanya mengenai ayat tersebut, apakah ayat ini dipahami
secara umum, beliau menjawab bahwa ayat ini khusus dalam shalat
wajib.11 Kedua, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan shalat dan
bacaan khatib dalam khutbah Jumat dan atau khutbah `idul fitri dan adha.
Riwayat yang menjelaskan hal ini adalah:
ِ ‫ف رس‬ ِ ِ َ‫ وإِذَا قُ ِرىء ال ُقرآ ُن ف‬:‫عن اب ِن عبَّاس ِِف قَولِه‬
‫ول هللا صلى هللا عليه‬ ُ َ َ ‫َص َوات َخْل‬ ْ ‫ت ِِف َرفْ ِع اَل‬ْ َ‫ نََزل‬:‫ قَ َال‬،‫اسَتم ُعوا لَه َوأَنْصتُوا‬ ْ ْ َ َ َ ْ َْ
.ُ‫صالَةَ لَه‬ ‫ال‬
َ ‫ف‬
َ ‫ب‬ ُ‫ط‬ ‫َي‬ ‫ام‬‫م‬ ِ
‫إل‬ ‫ا‬
ْ‫و‬ ‫ة‬ ِ ‫ع‬ ‫م‬ ‫جل‬ْ‫ا‬ ‫م‬‫و‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ك‬
َ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫م‬ : ‫ال‬
َ ‫ق‬
َ‫و‬ ،‫ة‬
ٌ ‫ال‬
َ ‫ص‬ ‫ا‬ َّ
‫ََّن‬ ِ
‫َل‬ ِ
‫ة‬ ‫ب‬ ‫ط‬
ْ ‫اخل‬ ‫ِف‬ِ
‫و‬ ،‫ة‬ ‫ال‬
َ ‫الص‬
َّ ‫وسلم ِِف‬
َ ُ َْ ُ َ َ َ ُ ُ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ ُ َ
“Dari Ibnu Abbâs, beliau berkomentar tentang ayat, “Apabila dibacakan
Alquran, maka dengarkanlah dan diamlah” (QS. Al-A`râf 204), ayat ini turun
ketika para jamaah mengangkat suara dibelakang Nabi dalam shalat dan
khutbah, karena khutbah adalah shalat. Nabi bersabda, “Siapa yang
berbicara pada hari Jum’at sedangkan imam berkhotbah, maka tidak ada
shalat baginya.” Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Mardawaih dan al-
Baihaqi.
Pendapat ini diusung oleh Mujtahid, namun menurut Imam Ibn al-`Arabi,
pendapat ini lemah, karena membaca Alquran dalam khutbah sangat
sedikit, sedangkan perintah untuk diam dan mendengarkan dari mulai

11 Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cet. ketiga, 1426, 23/265-268

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat Jihar Dalam Perspektif Mazhab
Syafi’i Dan Hanafi 79

awal khutbah sampai akhirnya. Imam as-Samarqandî menjelaskan bahwa


Mujahid berpendapat, ayat tersebut bukan hanya berkenaan dengan
khutbah saja, tapi juga berkenaan dengan bacaan imam dalam shalat.
Bahkan jelas bahwa Mujahid berpendapat boleh berbicara ketika orang
membaca Alquran di luar shalat.

b. Kumpulan ulama al-Azhar yang tergabung dalam penulisan Tafsîr al-


Wasîth menjelaskan bahwa wajib hukumnya bagi orang yang ada dalam
suatu halaqah Alquran untuk diam dan mendengarkan bacaan
Alquran. Oleh pengarang tafsir, ayat ini dimaknai secara khusus walau
tanpa ada penjelasan apa yang mengkhususkannya. Namun demikian,
makna ini cukup bagus untuk diikut, karena tidak wajar jika Alquran
dibacakan, orang yang ada alam halaqah tersebut sibuk dengan urusan
yang lain.
Muhammad Amin al-Urami al-Harari menjelaskan bahwa sangat dibenci
(makrûh syadîdah) orang yang tidak mendengarkan bacaan Alquran
pada halaqah yang mana Alquran dibacakan. Lebih tegas beliau
menambahkan bahwa tidak boleh membaca Alquran pada kumpulan orang
yang tidak mau mendengarkannya.

c. Sementara ulama memahami ayat di atas secara umum. Artinya, dalam


kondisi apa pun, kaum muslimin dianjurkan untuk mendengarkan dan
diam ketika Alquran dibacakan. Hal ini dipahami dari kata ‫( إذَا‬apabila)
dan ‫ئ‬َ ‫( قُ ِر‬dibacakan), yakni fi`il mâdhî majhûl. Maknanya, dalam kondisi apa
pun dan siapa pun yang membaca Alquran, dianjurkan untuk
mendengarkannya dan diam merenunginya. Sebuah kaidah tafsir
mengatakan:
.‫العربة بعموم اللفظ ال خبصوص السبب‬
“Yang menjadi `ibrah adalah keumuman lafalnya, bukan kekhususan sebab
turunnya.”
Dalam footnote terjemahan Alquran Departemen Agama RI
dijelaskan, “Jika dibacakan Alquran, kita diwajibkan mendengarkan dan
memperhatikan sambil berdiam diri, baik di dalam shalat maupun di luar
shalat.”12Imam Fakhruddîn ar-Râzi menjelaskan bahwa pendapat ini dianut
oleh al-Hasan dan Ahli Zhahir. Dari pendapat ini, wajib bagi siapa pun yang
mendengar bacaan Alquran untuk mendengarnya dan diam, termasuk
orang yang berada dalam perjalanan atau dalam proses pendidikan. Hal
yang sama juga dipertegas oleh al-Qâsimi dalam tafsirnya Mahâsin at-
Ta’wîl. Beliau menambahkan pendapat ini juga dianut oleh Abû Muslim al-
Ashfahâni.

12 Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, al-

Jumanatul Ali Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: J-ART, 2005.

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


80 Husnaini

Namun, tidak sedikit ulama yang berpendapat demikian, ayat tersebut


berlaku umum, tapi mereka menjelaskan bahwa perintah pada
ِ ‫ أ َ ْن‬tidak tegas, sehingga hukumnya tidak sampai wajib,
kata ‫ ا ْست َِمعُوا‬dan ‫صتُوا‬
hanya sekedar anjuran. Karena, jika diwajibkan pastilah perintah tersebut
sulit untuk dijalankan dan membawa pada masyaqqah dalam hukum Islam,
padahal Islam adalah agama yang mudah. Berkenaan dengan penjelasan
ini, Imam Muhammad ath-Thâhir Ibn `Âsyûr menjelaskan bahwa tidak ada
satu orang pun yang mewajibkan bagi seseorang yang sibuk dengan
pekerjaannya untuk mendengarkan Alquran yang dibacakan. Ini juga
dipertegas oleh Quraish Shihab, beliau menjelaskan bahwa ulama sepakat
memahami perintah tersebut bukan dalam arti mengharuskan setiap yang
mendengar ayat Alquran harus benar-benar tekun mendengarnya.
Betapapun penghormatan kepada Alquran mengharuskan kita
mendengarnya kapan dan di mana saja ia dibacakan, sesuai dengan kondisi
dan situasi yang sedang dihadapi dan dalam keadaan yang tidak
menyulitkan atau memberatkan.

d. Selain itu, ada juga ulama yang menganggap ayat tersebut khusus buat
orang kafir. Pemahaman seperti ini dapat terjelaskan dari
ilmu manâsabât (korelasi) antar ayat. Imam Fakhruddîn ar-Râzî
menjelaskan bahwa besar kemungkinan ayat tersebut ditujukan kepada
orang kafir. Hal ini dapat dibuktikan dari ayat sebelumnya, yakni ayat 203,
yang berbicara tentang orang kafir yang meminta kepada Nabi Muhammad
untuk mendatangkan mukjizat. Lalu Nabi menjelaskan bahwa dia hanya
mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya berupa Alquran, maka ketika
Alquran dibacakan, diam dan dengarkanlah baik-baik, supaya kamu tahu
bahwa Alquran itu sendiri adalah mukjizat dari Allah SWT.

III. METODE PENELITIAN


Bila dilihat dari sisi data yang disajikan, maka penelitian ini termasuk
jenis penelitian yang menggunakan metode kualitatif, dimana data yang
disajikan dan model pelaporannya dengan cara Analisis Komparatif. Data yang
ditemukan dianalisis satu persatu dan akan mengemukakan pendapat mereka
masing-masing serta kecenderungan peneliti.

A. Metode Pengumpulan Data Dan Sumber Data


Bila ditinjau dari segi pendekatan data, maka penelitian ini, data yang
diambil melalui pendekatan kepustakaan (Library Research).
Untuk lebih mudah peneliti dalam merampungkan penelitian ini maka
pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara
menelusuri ayat-ayat Al-Quran yang membicarakan langsung surat Al-‘Araf
ayat 204sebagai data primer dan hadis-hadis Nabi yang memperkuat
penjelasan tersebut, dan kitab Al-Umm, Fiqh 4 Mazhab, juga ditambah dengan

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat Jihar Dalam Perspektif Mazhab
Syafi’i Dan Hanafi 81

pendapat-pendapat ulama fiqh untuk data pendukung, serta referensi-


referensi lain yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji.

B. Teknis Pengolahan Data dan Analisis Data


Setelah semua data dikumpul akan diolah satu persatu, bila data yang
diperoleh dari tulisan maka penulis akan mengklasifikasi sesuai dengan
kepentingan masing-masing. Setelah semuanya diolah maka akan dianalisis
satu persatu dan akan mengemukakan pendapat mereka masing-masing,
serta kecenderungan penulis yang dapat memberikan manfaat besar bagi
pertumbuhan dan perkembangan dalam rangka memperkaya khazanah
pemikiran Hukum Islam dimasa yang akan datang.
IV. HASIL PENELITIAN
A. Biografi Hanafi dan Syafi’i
1. Biografi Imam Hanafi
a. Awal kehidupan
Abu Hanifah merupakan imam pertama dari keempat imam dan yang
paling dahulu lahir juga wafatnya, ia mampu memperoleh kedudukan yang
terhormat dalam masyarakat yang menghimpun faktor-faktor positif dan
faktor-faktor negatif, sehingga tidak heran ia di juluki Imam A’zham
(pemimpin terbesar), ia juga dikenal sebagai fakih irak, dan imam Ar-Ra’y
(Imam Aliran Rasional). Beliau dilahirkan di kota Kuffah, pada tahun 80 H
(699 M), beliau bernama asli Nu’mam bin Tsabit Bin Zhauth Bin Mah, ayah
beliau keturunan bangsa Persi (Kabul Afganistan) yang menetap di Kuffah,
Tsabit bapak dari abu hanifah lahir sebagai seorang muslim dan diriwayatkan
dia berasal dari bangsa Anbar. Ada pula ia mukim di Tirtmidz, ada lagi yang
mengatakan ia bermukim di Nisa, bisa jadi ia bermukim di tiap-tiap kota itu
sementara waktu. Ia adalah seorang pedagang yang kaya dan taat beragama,
sebagai mana ia pernah bertemu dengan Ali bin Abi Thalib, lalu sang imam
mendoakan dan keturunannya dengan kebaikan dan keberkahan.

b. Pendidikan Imam abu Hanifah


Pada masa abu Hanifah terdapat empat sahabat, mereka adalah: Anas
bin Malik, Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin Sa’ad dan Abu Thufail, mereka
adalah sahabat-sahabat yang paling akhir wafat, namun abu Hanifah tidak
Berguru kepada mereka. Mengapa tidak berguru kepada mereka?, mungkin
diantara mereka ada yang sudah wafat sedang abu Hanifah masih kecil,
seperti Abdullah bin Aufa yang meninggal pada tahun 87 Hijriyah sehinggga
umur abu Hanifah pada waktu itu baru 7 tahun, dan seperti abu Sahl bin Sa’ad
yang wafat tahun 88 atau 91 Hijriyah dan umur Imam Hanafi baru berumur 11
tahun. Sementara Anas bin Malik wafat pada tahun 90 atau 92 atau 95
Hijriyahdan ala itu abu Hanifah berumur 15 tahun dan belum mulai mencari
ilmu, ketika itu beliau masih berdagang.

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


82 Husnaini

c. Murid-Murid Imam Hanafi


Di antara beberapa murid Abu Hanifah yang terkenal ialah Abu Yusuf
Ya’akub Al-Ansari, dengan pengarahan dan bimbingan dari gurunya ia
terkenal sebagai seorang alim dalam ilmu fiqih dan diangkat menjadi qadli
semasa khalifah Al-Mahdi dan Al-Hadi. Dan juga Al-Rasyid pada masa
pemerintahan Abasiyyah.

d. Karya-Karya Imam Hanafi


Hasil karya dan karangan Imam Abu Hanifah, meskipun ia diakui
sebagai ahli dalam agama Islam, namun sampai sekarang tidak banyak yang
dapat kita nikmati. Hal ini dapat dimaklumi sebab dilihat segi dari masa
hidupnya yang sebenarnya sudah banyak bahan, namun belum dituangkan
dalam bentuk karya yang sistematis, sampai akhir hidupnya dalam penjara
yang relatif lama sehingga apa yang kita baca pada pendapat-pendapat beliau
pun sebenarnya banyak merupakan kodifikasi dari murid-muridnya atau
bahkan hanya sekedar hasil kuliah dari beberapa murid beliau untuk
kemudian dikodifikasikannya.
Pada saat beliau masih hidup, masalah-masalah agama dan buah
pikirannya tersebut dicatat oleh sahabatnya, dikumpulkan berikut juga paham
mereka sendiri, yang kemudian disebut sebagai “mazhab Imam Hanafi”. Dalam
usaha itu, ulama Hanafiyah membagi hasil yang mereka kumpulkan itu dibagi
kepada 3 tingkatan, yang tiap-tipa tingkatan itu merupakan suatu kelompok
yaitu :
1. Tingkat pertama dinamakan Masailul –Ushul (masalah-masalah pokok)
Merupakan suatu kumpulan kitab yang bernama Zhaahirur riwayat yaitu
pendapat-pendapat Abu Hanifah yang terdapat dalam kumpulan kitab itu
mempunyai riwayat yang diyakini kebenarannya karena diriwayatkan oleh
murid-murid dan sahabat-sahabat beliau yang terdekat dan
kepercayaannya. Kitab zhahirur riwayat dihimpun oleh Imam Muhammad
bin Hasan terdiri atas 6 kitab yaitu :
a. Kitab Al Mabsuth (Terhampar)
Kitab ini memuat maslah-masalah keagamaan yang dikemukakan oleh
Imam Abu Hanifah. Di samping itu juga memuat pendapat-pendapat
Imam Abu Yusuf dan Muhamamd bin Hasan yang berbeda dengan
pendapat Imam Abu Hanifah, juga perbedaan pendapat Abu Hanifah
dengan Ibnu Abi Laila yang meriwayatkan kitab Al-Mabsuth ialah
Ahmad bin Hafash Al-Kabir, murid dari Muhammad bin Hasan.
b. Kitab Al-Jaami’ush shaghir (himpunan kecil)
Diriwayatkan oleh Isa bin Abban dan Muhammad bin Sima’ah yang
keduanya murid Muhammad bin Hasan. Kitab ini dimulai dengan bab
shalat. Karena sistematika kitab ini tidak teratur, maka disusun kembali
oleh Al-Qodhi Abdut-Thahir Muhammad bin Muhammad Adalah-Dabbas

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat Jihar Dalam Perspektif Mazhab
Syafi’i Dan Hanafi 83

c. Kitab Al Jaami’ul Kabir (Himpunan Besar). Kitab ini sama dengan Al-
Jaami’ush Shaghir hanya uraiannya lebih luas.
d. Kitab As-Sairu Al-shaghir (sejarah hidup kecil). Berisi tentang jihad
(hukum perang)
e. Ktab As-Sairul Kabiir (sejarah hidup besar). Berisi masalah-masalah fiqih
yang ditulis oleh Muhammad bin Hasan
f. Kitab Az-Ziyaadat.13
Keenam buku tersebut dikumpulkan dalam Mukhtashar al-Kafi yang
disusun oleh Abu Fadhal Al-Muruzi.14
2. Tingkat kedua ialah kitab Masaa-ilun Nawadhir (persoalan langka)
Merupakan persoalan yang diriwayatkan dari pada pemuka mazhab di
atas, tetapi tidak diriwayatkan dalam buku-buku yang sudah disebut tadi,
diriwayatkan dalam buku-buku lain yang ditulis oleh Muhammad,
seperti Al-Kisaniyat, Al-Haruniyyat, Al-Jurjaniyyat, Al-Riqqiyyat, Al-Makharij
Fil Al-Hayil dan Ziyadat Al Ziyadat yang diriwayatkan oleh Ibnu Rustam.
Buku-buku tersebut termasuk buku mengenai fiqih yang diimlakan
(didiktekan) oleh Muhammad. Riwayat seperti itu juga disebut ghair zhahir
al-riwayah karena pendapat-pendapat itu tidak diriwayatkan dari
Muhammad dengan riwayat-riwayat yang zhahir (tegas) kuat, dan shahih
seperti buku-buku pada kelompok pertama.15
3. Tingkat yang ketiga dinamakan Al-Fataawa Al-Waaqi’aat (kejadian dan
fatwa)
Merupakan kumpulan pendapat sahabat-sahabat dan murid-murid Imam
Abu Hanifah. Buku pertama mengenai al-Fatawa ialah Al-Nawazil ditulis
oleh Faqih Abu Laits Al-Samarqandi. Setelah itu sekelompok syaikh
menulis buku yang lain seperti Majmu’ al-Nawazil wa al-Waqiat yang
ditulis oleh Al-Nathifi dan Al-Waqiat yang ditulis oleh Shadr A-Syahid Ibnu
Mas’ud.16

2. Biografi Imam Syafi'i


a. Awal Kehidupan
Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas
bin Utsman bin Syafi'i, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW
pada kakeknya Abdul Manaf.Imam Syafi'i lahir pada bulan Rajab pada tahun
150 H. di Gaza, tidak lama kelahiran beliau, ayah beliau wafat. Ibu beliau
bernama Fatimal al-Azdiyah, salah satu kabilah di Yaman. Imam Syafi'i kecil

13Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, Jakarta : Erlangga, 1990, hal.78

14Wahbah Zahayly, Al Fiqh Al Islami Wa’adillatuh, (Terj) Agus Efendi, Bahrudin Fanani,
Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung : Remaja Rosdakarya,1995, cet. Pertama, hal.53

15Ibid, hal.53

16Ibid, hal.54

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


84 Husnaini

memiliki kecerdasan yang mengagumkan serta kecepatan hafalan yang luar


biasa. Beliau pernah berkata: "Saat aku di kuttab, aku mendengar guruku
mengajar ayat-ayat Alquran, maka aku langsung menghafalkan, apabila dia
mendiktekan sesuatu. Belum selesai guruku membacakannya kepada kami,
aku telah menghafal seluruh apa yang didiktekannya. Maka dia berkata
kepadaku suatu hari: Demi Allah, aku tidak pantas mengambil bayaran dari
kamu sesen pun". Imam Syafi'i amat gemar mengembara, khususnya
bertujuan menuntut ilmu.17 Beliau pindah ke Madinah untuk belajar fikih
kepada Imam Malik, pada usia dua puluh tahun sampai Imam Malik meninggal
pada tahun 179 H. pada tahun 184 H, Khalifah Harun Al-Rasyid
memerintahkan Imam Syafi'i didatangkan ke Baghdad bersama sembilan
orang lainnya atas tuduhan menggulingkan pemerintahan. Namun beliau
dapat lepas dari tuduhan itu atas bantuan Muhammad Ibn al-Hasan Al-
Syaibani, murid dan teman Imam Hanafi, yang kemudian hari menjadi guru
beliau.18 Tak lama berada di Baghdad, Imam Syafi'i kembali ke Mekkah al-
Mukarramah, dengan membawa ilmu ahl ra'yu, yang dia peroleh dari
Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, yang bersinergi dengan ilmu ahl Hijaz,
yang diperoleh dari Imam Malik. Pada tahun 195 H, beliau kembali ke
Baghdad yang bertujuan untuk berdiskusi tentang fikih. Tidak lama di
Baghdad, beliau melanjutkan perjalanan ke Mesir dan tiba di Mesir pada bulan
Syawal tahun 199 H. Tak lama setelah tinggal di Mesir, tepatnya tahun 2004
204 H, beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Konon beliau sebelum wafat
menderita penyakit wasir yang parah, hingga terkadang jika naik kuda,
darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaos
kakinya. Beliau rela menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir.
Selain itu, beliau terus mengajar, meneliti, dialog serta mengkaji baik siang
maupun malam.19
b. Guru-Guru Imam Syafi'i
Imam Syafi'i merupakan ulama sintesis yang beraliran antara ahl
ra'yu dan ahl hadis (Kufah dan Madinah), di Kufah Imam Syafi'i menimba ilmu
kepada Muhammad Ibn al-Hasan al Syaibani yang merupakan murid sekaligus
sahabat dari Imam Hanafi. Sedangkan di Madinah, beliau belajar kepada Imam
Malik, beliau (Imam Malik) dikenal dengan sebutan ahl Hadis. Selain itu, beliau
juga berguru kepada ulama-ulama di Yaman, Mekah dan Madinah. Adapun
ulama Yaman yang menjadi guru Imam Syafi'i yaitu :

17Muhammad Hasan al-Jamal. Hayāh al-Imāmah, diterjemahkan oleh M. Khaled Muslih

dan Imam Awaluddin dengan judul Biografi 10 Imam Besar, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, C.
ke 3, h. 59-65. Lihat juga M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada,
2002, h. 203-4.

18Abdul Azis Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, artikel "Asy-Syafi'i", Imam"

Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Jilid 5, C. ke I, h. 1680.

19M. Hasan Al. Jamal, Hayāh, h. 84.

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat Jihar Dalam Perspektif Mazhab
Syafi’i Dan Hanafi 85

1) Mutharaf Ibn Mazim


2) Hisyam Ibn Yusuf
3) 'Umar Ibn Abi Salamah
4) Yahya Ibn Hasan
Adapun selama tinggal di Mekkah, Imam Syafi'i belajar kepada
beberapa ulama antara lain:
1) Sufyan Ibn 'Uyainah
2) Muslim Ibn Khalid al-Zauji
3) Sa'id Ibn Salim al-Kaddah
4) Daud Ibn 'Abdurrahman al-'Aththar
5) 'Abdul Hamid 'Abdul aziz Ibn Muhammad ad-Dahrawardi
6) Ibrahim Ibn Abi Sa'id Ibn Abi Fudaik
7) 'Abdullah Ibn Nafi'.20
Selain dua fikih di atas (aliran ra'yu dan hadis), Imam Syafi'i juga
belajar fikih aliran al-Auza'i dari 'Umar Ibn Abi Salamah dan fikih al-Laits dari
Yahya Ibn Hasan.
c. Murid-Murid Imam Syafi'i
Imam Syafi'i mempunyai banyak murid alam meneruskan kajian fikih
dalam alirannya. Yang paling berperan dalam pengembangan aliran fikih
Imam Syafi'i ini antara lain :
1) Al-Muzani
Nama asli beliau Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya al-Muzani al-Misri yang
lahir pada tahun 185 H serta menjadi besar dalam menuntut ilmu dan
periwayatan hadis. Saat Imam Syafi'i datang ke Mesir pada tahun 1994, al-
Muzani menemuinya dan belajar fikih kepadanya. Al-Muzani dianggap
orang yang paling pandai, cerdas serta yang paling banyak menyusun kitab
untuk mazhabnya. Beliau meninggal pada tahun 264 H. adapun kitab
karangan beliau antara lain al-Jami' al-Kabīr, al-Jami' aş-Şagir, serta yang
terkenal al-Mukhtaşar aş-Şagir.21
2) Al-Buwaiti
Nama beliau adalah Abu Ya'qub Yusuf Ibn Yahya al-Buwaiti, yang berasal
dari Bani Buwait kampung di Tanah Tinggi Mesir. Beliau adalah murid
sekaligus sahabat Imam Syafi'i yang tertua bekebangsaan Mesir dan
pengganti atau penerus Imam Syafi'i, sepeninggalnya. Beliau belajar fikih
dari Imam Syafi'i dan mengambil hadis darinya pula serta dari Abdullah bin
Wahab dan dari yang lainnya. Imam Syafi'i merupakan sandarannya dalam
berfatwa serta pengaduannya apabila diberikan satu masalah padanya.
Beliau selalu menghidupkan malam dengan membaca Alquran dan shalat

20Saifudin Nur, Ilmu Fiqh Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam,Bandung:

Tafakur, 2007, C. Ke I, h. 99-100.

21Muhammad Ali As-Sayis, Tārikh al-Fiqh al-Islāmi, diterjemahkan oleh Nurhadi Aga

dengan judul Sejarah Fikih Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003, C. Ke I, h. 156-7.

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


86 Husnaini

serta selalu menggerakkan kedua bibirnya dengan berzikir kepada Allah.


Beliau wafat pada tahun 231 H. di dalam penjara Baghdad, karena tidak
menyetujui paham Mu'tajilah yang merupakan paham resmi negara saat
itu, tentang kemakhlukan Alquran. Beliau menghimpun kitab al-fiqh, al-
Mukhtaşar al-Kabīr, al-Mukhtaşar aş-Şagir dan al-Fara'id dalam
aliran Imam Syafi'i menjadi satu. 22

Selain mereka berdua, murid-murid Imam Syafi'i yang lain, yaitu ar-Rabi'
Ibn Sulaiman al-Marawi, 'Abdullah Ibn Zubair al-Hamidi. Abu Ibrahim,
Yunus Ibn Abdul a'la as-Sadafi, Ahmad Ibn Sibti, Yahyah ibn Wazir al-Misri,
Harmalah Ibn Yahya Abdullah at-Tujaidi, Ahmad Ibn Hanbal, Hasan Ibn 'Ali
al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim Ibn Khalid Yamani al-Kalbi serta Hasan Ibn
Ibrahim Ibn Muhammad as-Sahab az-Za'farani.23
d. Karya-Karya Imam Syafi'i
Adapun beberapa kitab fikih karangan Imam Syafi'i, seperti kitab al-
Ummdan al-Risālah yang merupakan rujukan utama para ulama mazhab syafi'i
dalam fikih dan ushul fikih. Selama itu, kitab lain karangan Imam Syafi'i
seperti al-Musnad yang merupakan kitab hadis Nabi SAW yang dihimpun
dari al-Umm, sertaikhtilāf al-Hadīś, yaitu kitab yang menguraikan pendapat
Imam Syafi'i mengenai perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam hadis.24
Beberapa kitab kaidah fikih Imam Syafi'i yang dikarang oleh ulama-
ulama bermazhab Syafi'i antara lain :
1) Qawā'id al-ahkam fī Maşālih al-Anam karya Ibnu 'Abdulsalam (wafat
660 H)
2) Al-Asybah wa al-Nazā'ir karya Ibnu Wakil (wafat 716 H)
3) Al-Asybah wa al-Nazā'ir karya Taj al-Din al-Subki (wafat 771 H)
4) Al-Asybah wa al-Nazā'ir karya Ibnu al-Mulaqqin (wafat 804 H)
5) Al-Asybah wa al-Nazā'ir karya Jalaluddin as-Suyuthi (wafat 911 H).

B. Metode Istinbat Hukum Hanafi Dan Syafi’i Tentang Membaca Al-


Fatihah Dalam Shalat
1. Metode Istinbāt Imam Hanafi
Sampai akhir hayatnya, Imam Abu Hanifah belum mengkodifikasikan
metode penetapan hukum yang digunakannya, meskipun secara praktis dan

22Ibid, h. 157. Lihat juga Abu Amenah Bilal Philips, The Evolution of Fiqh: Islamic Law and

the Madhabs, diterjemahkan oleh Muhammad Fauzi Arifin, dengan Judul Asal Usul dan
Perkembangan Fiqih, Bandung: Nusa Media dan Nuansa, 2005, C. ke I, h. 113.

23Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, artikel "Syafi'i, Imam", Jakarta: Ichtiar Baru van

Hoeve, 2001, Jilid 4, C. ke 5, h. 329. Bandingkan dengan Rasyad Hasan Khalil, Tārikh al-
Tasyrī’ al-Islāmi, diterjemahkan oleh Nadirsyah Hawari dengan judul Tarikh Tasyri’, Sejarah
Legislasi Hukum Islam, Jakarta; Amzah, 2009, h. 188.

24Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2000, C. ke I, h. 115.

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat Jihar Dalam Perspektif Mazhab
Syafi’i Dan Hanafi 87

aplikatif telah diterapkannya dalam menyelesaikan beberapa persoalan


hukum. Thaha Jabir Fayadl al-‘Ulwani, membagi cara ijtihad Imam Abu
Hanifah menjadi dua cara: cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang
merupakan tambahan.25 Cara ijtihadnya yang pokok dapat dipahami dari
ucapan beliau sendiri, yaitu:
‫ فما َل اجده فيه اخذت بسنة رسول هللا واآلاثر الصحاح عنه الىت فشت ِف ايدى الثقات‬،‫اىن آخذ بكتاب هللا اذا وجدته‬. ‫فاذا َل اجد‬
‫ِف كتاب هللا و سنة رسول هللا صلى هللا عليه و سلم اخذت بقول اصحابه اخذت بقول ما شئت ُث ال اخرج عن قوهلم اىل قول‬
‫ فاذا انتهى االمر اىل ابراهيم والشعِب وابن املسيب‬،‫فاجتهد كما اجتهدوا )عدد رجاال(غريهم‬
Artinya: “Sesungguhnya aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Qur’an apabila
aku mendapatkannya; apabila tidak ada dalam Al-Qur’an, aku
merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW dan atsar yang shahih yang
diriwayatkan oleh orang-orang tsiqah. Apabila aku tidak
mendapatkan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, aku merujuk
kepada qaul sahabat, (apabila sahabat ikhtilaf), aku mengambil
pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan
pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain.
Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, Al-Sya’bi dan ibnu Al-
Musayyab, serta yang lainnya, aku berijtihad sebagai mana mereka
berijtihad.”
Ringkasnya, dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah, ialah:Al-
Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW (hadits) dan atsar-atsar yang shahih yang
telah masyhur di antara para ulama, Fatwa-fatwa para sahabat, Qiyas, Istihsan,
Adat dan ‘uruf masyarakat.26
a. Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’
b. Qiyas (Deduksi Analogis)
c. Istihsan (Prepensi)
d. ‘Uruf (Tradisi Lokal)

2. Metode Istinbāt Hukum Imam Syafi’i


Imam Syafi’i termasuk salah seorang imam mazhab yang masuk ke
dalam jajaran “Ahli Al Sunnah wal Jama’ah”, yang didalam
bidang “furu’iyyah” ada dua kelompok yaitu : “Ahl al-Hadits” dan “Ahl al-
Ra’yu” dan beliay sendiri termasuk “Ahl al-Hadits”. Imam Syafi’I termasuk
imam madzhab yang mendapat julukan “Rihalah fi Thalab al-‘Ilm” yang pernah
meninggalkan Mekkah pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Imam
Malik dan ke Irak menuntut ilmu ke Muhammad Ibn al-Hassan (seorang murid
Imam Abu Hanifah). Karena kedua guru inilah, beliau termasuk kelompok Ahl

25Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2000, C. ke I, h. 110-120.

26 Huzaen Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana

Ilmu, 1997), h. 95

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


88 Husnaini

al-Hadits, tetapi dalam bidang fiqih banyak terpengaruh oleh kelompok “Ahl
al-Ra’yu” dengan melihat metode penerapan hukum yang beliau pakai.
Bantahan Imam Syafi’i kepada orang yang mengingkari sunnah
sebagai hujjah.
1. Allah telah mewajibkan kita untuk mengikuti sunnah Rasulullah dan
menyuruh kita mematuhi perintah dan menjauhi larangannya.
2. Tidak ada cara lain bagi kita untuk menaati perintah Allah tersebut kecuali
dengan mengamalkan apa yang datang dari Rasulullah dengan lapang dada
dan bersih hati dari keinginan untuk menolaknya, serta pasrah pada
perintah dan hukum-hukumnya.
3. Seorang muslim membutuhkan sunah Rasulullah untuk menjelaskan
globalitas isi Al-Qur’an.
Pandangan Imam Asy-Syafi’i tentang hadits Ahad, Hadits Ahad adalah
hadits yang tidak memenuhi semua atau sebagian syarat –syarat hadits
mutawattir. Yaitu diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat dan
logika mereka tidak mungkin berdusta, dan diriwayatkan dari orang banyak
dan menyandarkan hadis kepada sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera.

b. Sumber hukum dan Metode Imam Syafi’i dalam ber Istinbāt


Secara sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam Syafi'i
dalam Istinbāt hukum, antara lain :
1) Alquran dan sunnah
2) Ijmak
3) Menggunakan al-Qiyas dan at-Takhyir bila menghadapi ikhtilaf.27
Sedangkan manhaj atau langkah-langkah ijtihad Imam Syafi'i, seperti
yang dikutip DR. Jaih Mubarok dari Ahmad Amin dalam kitabnya Duha al-
Islam, yaitu sebagai berikut :
… rujukan pokok adalah Alquran dan sunnah. Apabila suatu persoalan tidak
diatur dalam Alquran dan sunnah, hukumnya ditentukan dengan qiyas.
Sunnah digunakan apabila sanadnya sahih. Ijmak diutamakan atas khabar
mufrad. Makna yang diambil dari hadis adalah makna zahir. Apabila suatu
lafaz ihtimal (mengandung makna lain), maka makna zahir lebih diutamakan.
Hadis munqati' ditolak kecuali jalur Ibn Al-Musayyab. As-Asl tidak boleh
diqiyaskan kepada al-asl. Kata "mengapa" dan "bagaimana" tidak boleh
dipertanyakan kepada Alquran dan sunnah, keduanya dipertanyakan hanya
kepada al-Furu'…28
Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafi’i
menggunakan lima sumber, yaitu:a. Nash, Ijmak, Qiyas, Istidlal.

27Muhammad Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1996, C ke I, h. 113-9. Lihat juga Muhammad Ali as-Sayis, Tarikh, h. 155. Lihat
Khudhari Beik, Tārikh al-Tasyrī’ al-Islāmi, diterjemahkan oleh M. Zuhri dengan judul Tarjamah
Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Semarang; Daarul Ihya, t.th., h. 436-7.

28Jaih Mubarok, Sejarah, h. 105-106.

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat Jihar Dalam Perspektif Mazhab
Syafi’i Dan Hanafi 89

2. Hukum Membaca Surat Al-Fatihah bagi Makmum dalam Shalat Jihar


dalam perspektif Mazhab Syafi’i dan Hanafi Kajian terhadap Surat Al-
‘Araf ayat 204)
1. Mazhab Syafi’i
Para imam mazhab berpendapat bahwa membaca surat fatihah adalah
wajib bagi imam dan bagi orang yang shalat sendirian (munfarid) pada duaa
rakaat subuh dan pada rakaat pertama dan kedua shalat yang lain.
Ulama mazhab berbeda pendapat, apakah membaca fatihah itu
diwajibkan pada setiap rakaat, atau pada setiap dua rakaat pertama saja, atau
diwajibkan secara aini (yang harus ada setiap orang) pada setiap rakaat?
Apakah basmalah itu merupakan bagian yang harus dibaca atau boleh
ditinggalkannya? Apakah semua bacaan yang dibaca secara nyaring atau
lemah pada tempatnya adalah wajib atau sunah?
Markaz Al-fatwa di dalam fatwanya No. 1740 menyebutkan bahwa
pendapat jumhur ulama adalah makmum tidak perlu membaca Al-fatihah dan
tidak juga membaca yang lainnya (surat) di belakang imam di dalam shalat
jahriyah apabila dia mendengar bacaan imam. Mereka mendasari
pendapatnya dengan firman Allah swt:

Artinya: Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (Q.S Al-
araf: 204).
Hadits Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda “sesungguhnya imam
dijadikan untuk diikuti. Apabila dia bertakbir maka bertakbirlah kalian dan
apabila dia membaca maka dengarkanlah” Dan hadits ini terdapat di Al-
Musnad dan yang lainnya dinukil dari Imam Muslim yang telah dishahihkan.
Mazhab As-syafi’iyah mewajibkan makmum dalam shalat jama’ah
untuk membaca surat Al-fatihah sendiri meskipun dalam shalat jahriyah (yang
dikeraskan bacaan imamnya). Tidak cukup hanya mendengarkan bacaan
imam saja. Hal ini didasarkan pada.29
Artinya: “Tidak ada yang namanya shalat tanpa adanya bacaan surat
(Al-Fatihah)”.30
Kemudian juga didasarkan pada hadits dia berkata: Rasulullah saw
bersabda: dari Abu hurairah.
Artinya: “Barang siapa yang tidak membaca Al-fatihah maka shalatnya
kurang, tidak sempurna. (HR. Muslim no. 359).

29 HR. Ahmad Bin Hambal: Abu ‘Abd Allah Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal

Bin Asad Al-Syibany. Musnad Al-Imam, Ahmad Bin Hambal, Berikut: Mu’assasah El-Risalah,
1421 H/2001 M, Cet. 1, Vol Ix, P. 342.

30 HR.Bukhari, Azam/714; Tirmizi, 247

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


90 Husnaini

Karena itu mereka menyebutkan bahwa ketika imam membaca surat


Al-fatihah, makmum baru mendengarkannya, namun begitu selesai
mengucapkan, masing-masing makmum membaca sendiri-sendiri surat Al-
fatihah secara sirr (tidak terdengar). Hal ini didasarkan dengan surat Al-a’raf:
204).

Artinya; “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (Q.S Al-
a’raf: 204).
Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat Al-
fatihah gugur dalam kasus seseorang makmum yang tertinggal dan mendapati
imam sedang ruku’. Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku’ bersama
imam dan sudah terhitung mendapat satu rakaat.31
Membaca Al-fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada
bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir,
baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah.
Imam syafi’i berpendapat bahwa wajib membaca Al-fatihah bagi
makmum baik bagi shalat jahriyah maupun sirriyah di belakang imam
berdasarkan hadits-hadits yang menyebutkan tentang kewajiban membaca Al-
fatihah tanpa membedakan antara imam dan makmum, sebagaimana hadis di
sahihkan Ubadah bin ash shamit bahwa Nabi saw bersabda, “Tidak ada shalat
bagi yang tidak membaca fatihah kitab (Al-fatihah).
Dan yang lebih tegas lagi apa yang terdapat disunan Abi Daud, an
Nassari, an Naasai dan lainnya dari hadits Ubadah bin ash Shamit bahwa Nabi
saw shalat subuh sepertinya bacaan beliau terasa berat. Sesuai shalat, beliau
bersabda, beliau bersabda: “Sepengetahuanku, beliau membaca dibelakang
imam kalian. “Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah! (hingga) kami
menyusul bacaanmu dengan cepat. “Beliau bersabda: “Jangan kalian lakukan
kecuali Fatihatul kitab (Al-fatihah) karena tidak ada shalat seseorang yang
tidak membacanya”.
Dari penjelasan diatas tampak bahwa hal tersebut masih menjadi
permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama terdahulu maupun yang
belakangan. Dan setiap kelompok memiliki dalil-dalilnya, dimana kelompok
yang satu membantah dalil-dalil mereka atau tanpa dalil didalam
permasalahan yang diperselisihkan namun hanya bersandar kepada
pendapatnya.
Dengan demikian jika Anda shalat bersama imam dan memiliki
kesempatan untuk membaca Al-fatihah hingga selesai sebelum imam ruku’
maka hendaklah Anda membacanya hingga selesai. Akan tetapi jika Anda
belum selesai membacanya sementara imam sudah bertakbir untuk ruku

31 AL-Imam An-Nawawi Rahimahullah, Kitab Al-Majmu, Jilid 3, Hal 344-350.

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat Jihar Dalam Perspektif Mazhab
Syafi’i Dan Hanafi 91

maka hendaklah Andaruku’ bersamanya walaupun Anda belum


menyelesaikan bacaan Al-fatihah tersebut dikarenakan tidak mungkin
menyelesaikan bacaan tersebut, berdasarkan hadis Abu Hurairah diatas.

2. Mazhab Hanafi
Membaca surat Al-fatihah dalam sholat fardu tidak diharuskan, dan
membaca bacaan apa saja dari Al-Qur’an itu boleh.32 Berdasarkan Al-Qur’an
surat Al-Muzammil ayat 26.

Artinya: “...Bacalah apa yang (mudah bagimu) dari Al-Qur’an...(Q.S Al-
Muzzammil: 20).
Membaca Al-fatihah itu hanya diwajibkan dua rakaat pertama,
sedangkan pada rakaat ketiga pada shalat magrib, dan pada dua rakaat
terakhir pada shalat isya’ dan Ashar maka bacalah, jika tidak, bacalah tasbih,
atau diam.
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari
surat. Dan tidak disunahkan membaca dengan keras atau pelan (sir). Orang
yang sholat sendiri ialah boleh memilih apakah mau didengar sendiri
(membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca
dengan keras) dan bila suka dibaca secara sembunyi-sembunyi, bacalah
dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir.
Sedangkan menyilangkan dengan dua tangan adalah sunnah bukan wajib. Bagi
laki-laki adalah lebih utama meletakkan telapak tangannya yang kanan diatas
belakang telapak tangan yang kiri dibawah pusarnya, sedangkan bagi wanita
yang lebih utama adalah meletakan dua tangannya diatas dadanya.
Jadi, menurut mazhab Imam Hanafi tentang membaca surat Al-fatihah
adalah: Imam Hanafi: “Sesungguhnya bacaan Al-fatihah bagi makmum
dibelakang imam adalah makruh dan bisa berdosa baik dalam shalat
berjamaah Sirriyyah (zuhur dan Ashar) ataupun jahriyah (subuh, magrib dan
isya) karena banyaknya hadis-hadis yang diriwayatkan mengenai
pengalamanpelarangan membaca apapun bagi makmum yang berjamaah”.

C. Analisa Penulis
Wajib atas orang-orang yang mengerjakan shalat, baik sendirian
maupun imam, bahwa ia membaca Ummul Qur’an pada setiap raka’at, dan
tidak memadai yang lain. Apabila ditinggalkan satu huruf dari Ummul Qur’an,
karena lupa atau lalai niscaya tidak dihitung raka’at itu. Karena orang yang
meninggalkan satu huruf dari Ummul Qur’an niscaya tidak dinamakan orang
yang membaca Ummul Qur’an dengan sempurna.

32 Mugniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2001)

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


92 Husnaini

Tapi yang menjadi persoalan hari ini adalah bagaimana posisi


simakmum, apakah dia harus baca fatihah, sedangkan disisi yang lain dia
harus mendengar dan diam disaat imam lagi membaca Al-Quran, baik ketika
imam membaca Fatihah atau ketika imam membaca ayat setelah Fatihah,
jawabannya ayat itu bersifat mujmal, global atau umum.
Dan disaat perintah dengar dan diam bukan berarti kita juga dilarang
untuk membaca, dan tidak ada larangan untuk membaca, justru diperintahkan
bagi kita untuk membaca fatihah dalam shalat. Cuma perintah ini tidak kita
temukan dalam ayat tadi yang sifatnya mujmal, akan tetapi kita temukan
dalam hadis. Bahkan hadis ini sifatnya tafshiliat rini, detail, atau khas (khusus)
yaitu:
)‫الكتاببفاحتةيق ٔرامللمنصالةال (رواه ابن حبان‬
Artinya: tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihah kitab.
Jadi hadis ini secara spesifik menjelaskan tidak ada shalat bagi orang
yang tidak membaca Fatihah, apakah dia imam, makmum atau mumfarid.
Maka tidak boleh bagi makmumdengan ayat itu tadi tidak lagi membaca
Fatihah, berarti itu memahami hukum Islam secara sepenggal-sepenggal. Jadi
harus kita bawa atau kita giring pemahaman ayat yang umum tadi kepada
pemahaman hadis yang lebih khusus. Maka kalau kita lihat dalam pendapat
Mazhab Syafi’i:
‫ بدوَّناالفاحتة‬.‫املومماالمامذلكفىسواءهوا‬
ٔ ‫الصالةتصحالركنالصالةركعامتنركعتكلفىالفاحتةالقراءة ق ٔراةعنهفتسقطاملسبقفىاالو‬
Kemudian ada hadist yang diriwayatkan dari Darul Quthni
‫قراءةهلفقراءهتلهاماملهكامنن‬
Hadist ini dalamMazhab Syafi’i dipertanggungkan bagi si masbuk
(artinya Fatihah si masbuk ditanggung oleh imam). Maka jangan gara-gara
hadis ini si makmum tidak lagi baa Fatihah, karena hadis ini dipertanggungkan
kepada si masbuk.
Adapun kita yang munfarid tetap harus baca Fatihah, kalau tidak
membaca Fatihah bertentangan dengan hadis
)‫لكتاببفاحتةيق ٔرامللمنصالةال (رواه ابن حبان‬
Kemudian muncul pertanyaan apakan harus Fatihah yang kitabaca,
padahal ada ayat yang menjelaskan:
‫مننتيسرمافاقروا‬
ٔ ‫الق ٔرا‬
Artinya: maka bacalah olehmu apa yang mudah dari Al-Quran.
‫مبااقروااوعنهاالعاجذعلىمحموهلواو‬
ٔ ‫ فقوله الفاحتةبعدتيسر‬: ‫تيسرما‬: ‫مبينمجمل‬،‫مفسرمبهماومقيدمطلقاو‬
Kenapa kita katakan demikian:
Ayat itu mujmal tapi mubaiyin, ayat itu mutlaq tapi muqayyad, ayat itu
mubham tapi mufasir.
Maka harus kita baca tetap Fatihah, walaupun dalam ayat
menyebutkan apa yang mudah dalam Al-Quran, karena ayat itu telah ditafsir
oleh nabi :
‫الق ٔرامننتيسرما‬

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat Jihar Dalam Perspektif Mazhab
Syafi’i Dan Hanafi 93

adalah fatihah. Ini tafsirnya Nabi pada simasiek shalat.


Pada suatu hari yakni shalat fajar, Nabi merasa berat dalam membaca
ayat, karena para sahabat dibelakang Nabi juga sibuk membaca ayat, selesai
shalat Nabi bertanya apakah kamu membaca Al-Quran? Ya dijawab oleh
sahabat, kemudian Nabi berkata, mudah-mudahan tidak ada lain yang kamu
baca kecuali Ummul Quran yaitu Fatihah. Dalam hadis yang lain: Barang siapa
yang shalat, lantas dia tidak membaca Fatihah didalamnya maka shalatnya
tidak sempurna.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai data dan referensi yang peneliti perolehi sebagaimana
yang sudah dipaparkan sebelumnya, disini dapatlah kesimpulan bahwa :
1. Mazhab As-syafi’iyah mewajibkan makmum dalam shalat jama’ah untuk
membaca surat Al-fatihah sendiri meskipun dalam shalat jahriyah (yang
dikeraskan bacaan imamnya). Tidak cukup hanya mendengarkan bacaan
imam saja. Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca
surat Al-fatihah gugur dalam kasus seseorang makmum yang tertinggal
dan mendapati imam sedang ruku’ (masbuk). Maka saat itu yang
bersangkutan ikut ruku’ bersama imam dan sudah terhitung mendapat
satu rakaat.Membaca Al-fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada
bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir,
baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah.
2. Dalam Mazhab Hanafi Membaca surat Al-fatihah dalam shalat fardhu
tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Qur’an itu boleh
membaca Al-fatihah itu hanya diwajibkan dua rakaat pertama, sedangkan
pada rakaat ketiga pada shalat magrib, dan pada dua rakaat terakhir pada
shalat isya’ dan Ashar maka bacalah, jika tidak, bacalah tasbih, atau diam.
Jadi, menurut mazhab imam Hanafi tentang membaca surat Al-fatihah
adalah: Imam Hanafi: “Sesungguhnya bacaan Al-fatihah bagi makmum
dibelakang imam adalah makruh dan bisa berdosa baik dalam shalat
berjamaah Sirriyyah (zhuhur dan ashar) ataupun jahriyah (subuh, magrib
dan isya) karena banyaknya hadis-hadis yang diriwayatkan mengenai
pengalamanpelarangan membaca apa pun bagi makmum yang
berjamaah”.

B. Rekomendasi
1. Diharapkan kepada pemuka agama, jangan mempertajam khilafiah
ditengah umat karena dapat meresahkan dan mengganggu persatuan
umat.
2. Karena Aceh pada umumnya bermazhab Syafi’i, maka diajarkan
kepada masyarakat apa yang sesuai dengan Mazhab Syafi’i supaya
masyarakat tidak bingung dan bimbang dalam melaksanakan ibadah

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


94 Husnaini

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abû Bakar Muhammad bin Abdullâh (Ibn al-`Arabî), Tafsîr Ahkâm al-Qur’ân,
Bairut: Dâr al-Jail, tt.

Abû Laits Nashr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrâhîm as-Samarqandî (w.
375 H), Tafsîr as-Samarqandî al-Musammâ bi Bahr al-`Ulûm, Bairut:
Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1993.

Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin),Lubab at-


Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, Beirut: Dar al-Fikr, 1979

Al Mulakhosh Al Fiqhi, Syaikh Sholeh Al Fauzan, terbitan Ar Riasah Al ‘Ammah


lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, cetakan kedua, 1430

Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah, Kitab Al-Majmu, Jilid 3.

Al-Jamal, Muhammad Hasan, 2007, Hayāh al-Imāmah, diterjemahkan oleh M.


Khaled Muslih dan Imam Awaluddin dengan judul Biografi 10 Imam
Besar, Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Al-Qurthubi, al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-Hadîts, 2002.

An-Nasâ’i, Sunan an-Nasâ’i, Riyâdh: Maktabah al-Ma`ârif, tt.

As-Sayis, Muhammad Ali, Tārikh al-Fiqh al-Islāmi, diterjemahkan oleh Nurhadi


Aga dengan judul Sejarah Fikih Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003

Beik, Khudhari, t.th., Tārikh al-Tasyrī’ al-Islāmi, diterjemahkan oleh M. Zuhri


dengan judul Tarjamah Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Semarang; Daarul
Ihya.

Chalil, Moenawar.1965.Biography empat serangkai imam madzhab, Jakarta :


N.V Bulan- Bintang

Dahlan, Abdul Azis (et.al), 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, artikel "Asy-Syafi'i",
Imam", Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996,

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang CV. Asy-Syifa’

Dyaya, tamar. Studi Perbandingan Imam Madzhab, Penerbit : Ramadhani

Fakhruddîn ar-Râzî, at-Tafsîr al-Kabîr au Mafâtîh al-Ghaib, Kairo: Maktabah at-


Taufiqiyah, 2003.

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat Jihar Dalam Perspektif Mazhab
Syafi’i Dan Hanafi 95

_______________, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000

Hasan, M. Ali,Perbandingan Mazhab, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada,2002

HR. Ahmad Bin Hambal: Abu ‘Abd Allah Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal
Bin Hilal Bin Asad Al-Syibany, 1421 H/2001 M, Musnad Al-Imam
Ahmad Bin Hanbal, Cet. 1, Beirut: Mu’assasah El-Risalah.

HR. Al Bukhari 756, Muslim

HR.Bukhari, Azam/714; Tirmizi

Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, , Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426

Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-
Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994).

Jalal ad-Din as-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma’tsûr, Cairo:


Markaz Hijr li al-Buhuts wa ad-Dirasat al-`Arabiyah wa al-Islamiyah,
2003.

Khalil, Rasyad Hasan, , Tārikh al-Tasyrī’ al-Islāmi, diterjemahkan oleh


Nadirsyah Hawari dengan judul Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi
Hukum Islam, Jakarta; Amzah, 2009

Khallaf, Syekh Abdul Wahab.1955.ilmu Ushul Fiqih, Jakarta : PT Rineka Cipta

Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia,


al-Jumanatul Ali Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: J-ART, 2005.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,


Jakarta: Lentera Hari, 2002.

Mubarok, Jaih, 2002, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan
Qaul Jadid, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada.

_____, 2000, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.

Mughniyah, Muhammad Jawad. 2006.Fiqih Lima Madzhab, Jakarta : Lentera

_________, 2001, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera.

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


96 Husnaini

Muhammad Amîn al-Uramî al-Hararî, Tafsîr Hadâ’iq ar-Rauh wa ar-Raihân fî


Rawâbî `Ulûm al-Qur’ân, Bairut: Dâr ath-Thauq an-Najâh, 2001.

Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, Adhwa al-Bayan fi Idhah al-


Qur’an bi al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Muhammad ath-Thâhir Ibn `Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Tunis: Dâr
as-Suhnûn, tt.

Muhammad Fu’âd Abdul Bâqî, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-


Karîm, Kairo: Dâr al-Hadîts, tt.

Muhammad Jamâl ad-Dîn al-Qâsimi, Tafsîr al-Qâsimî al-Musammâ Mahâsin at-


Ta’wîl, Kairo: Dâr al-Hadîts, 2003.

Nur, Saifudin, Ilmu Fiqh Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam,
Bandung: Tafakur, 2007

Philips, Abu Amenah Bilal, 2005, The Evolution of Fiqh: Islamic Law and the
Madhabs, diterjemahkan oleh Muhammad Fauzi Arifin, dengan
JudulAsal Usul dan Perkembangan Fiqih, Bandung: Nusa Media dan
Nuansa, 2005

Rusydî al-Badrâwi, Qashash al-Anbiyâ’ wa at-Târîkh: Khâtim al-Anbiyâ’


Muhammad Shallallâh `alaih wa Sallam, Kairo: Jazîrah International,
2004.

Syaltut, Mahmud. Fiqih Tujuh Madzhab, Bandung : CV Pustaka Setia, 1973

Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, artikel "Syafi'i, Imam", Jilid 4, Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 2001

Tim Penyusun, Tafsîr al-Wasîth li al-Qur’ân al-Karîm, Kairo: Hai’ah al-`Âmmah


li Syu’ûn al-Mathâbi’ al-Amîriyah, 1977.

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, Damasukus: Dâr Fikr,


2007.

Yanggo, Tahido, Huzaen, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos


Wacana Ilmu, 1997)

Zayd, Nashr Hamid Abu. Imam Syafi’i Moderatisme Eklektisme Arabisme,


Yogyakarta : LkiS, 1977

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat Jihar Dalam Perspektif Mazhab
Syafi’i Dan Hanafi 97

Zein, Muhammad Ma’sum. Arus Pemikiran Empat Madzhab, Jombang : Darul


Hikmah, 2008.

Zuhri, Muh. Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : PT Raja


Grafindo,1996.

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016


98 Husnaini

AL – MABHATS VOL. I. NO.I TAHUN 2016

Anda mungkin juga menyukai